Tate no Yuusha Jilid 4 LN Bab 6 (Indonesia)

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Chapter 6 - Kedamaian Dewa Burung[edit]

Satu hari terlewati seperti sebuah mimpi, dan nggak lama setelah itu, malam datang. Raphtalia, Filo dan Melty tidur di sebuah sarang besar yang dipersiapkan para Filolial untuk mereka.


Sama seperti malam kemarin, Fitoria tetap bangun untuk berbicara denganku empat mata.


"Apa yang mau dibicarakan?"


"Tentang apa yang kita bicarakan kemarin malam..."


"Sialan, kau sungguh keras kepala. Apa yang mustahil tetaplah mustahil."


Pagi tadi dia serius mencoba membunuh kami. Aku sadar bahwa berkat upaya Filo kami bisa selamat.


Tapi kenapa dia begitu kuat? Gimana caranya dia menjadi sekuat itu hingga bisa mempermainkan Filo seperti sebuah boneka? Dia cukup kuat untuk menghadapi keempat pahlawan sekaligus.


"Apa kau benar-benar... mencoba berteman dengan mereka? Apa kau mencobanya?"


Aku nggak segera menjawab. Kalau aku nggak memikirkan jawabanku, dia mungkin akan membunuhku.


Motoyasu sudah jelas memusuhiku. Aku nggak yakin apa yang dipikirkan Ren atau Itsuki.


Sejak kami kabur membawa Melty, kami belum bertemu lagi.


Gak mungkin aku tau dimana mereka berada, tapi aku ingat bahwa saat terakhir kali kami meninggalkan mereka, mereka tampaknya mulai curiga tentang apa yang dituduhkan padaku.


"Apa kau pernah mencoba membersihkan namamu?"


Dia menyadari bahwa aku nggak betul-betul melakukan sesuatu.


Terutama mengenai tuduhan pemerkosaan yang dibuat Lonte itu, aku lebih memprioritaskan kemarahanku karena aku betul-betul yakin nggak ada peluang seseorang akan mempercayai aku.


Aku memberitahu mereka bahwa aku difitnah, dan mereka gak mempercayai aku. Itu sebabnya aku nggak mempercayai mereka. Tapi kalau aku bisa menunjukkan bukti, akankah mereka mengubah pikiran mereka?


Kami nggak cukup dekat untuk duduk berbicara. Mereka tau segala sesuatu tentang dunia ini, dan mereka tau bahwa aku gak tau apa-apa—tapi mereka tetap membiarkan aku sendiri dan nggak berupaya untuk menolongku. Kenapa aku harus mendatangi mereka?


Yang mereka mau cuma bermain di dunia mereka dan bertindak kejam.


Mana bisa aku tau apa yang mereka pikirkan?


Aku memikirkannya sebelumnya. Aku mencoba membayangkan apa yang Ren pikirkan.


Dia tau bahwa semua orang panik karena aku dituduh memperkosa Lonte itu. Ren gak tau banyak soal si Lonte, tapi dia tau kalau Lonte itu cantik.


Siapa yang harus dia percayai? Pria yang dituduh atas kejahatan itu, atau wanita yang menyatakan sebagai korbannya?


Kalau aku jadi dia, dan aku nggak betul-betul tau apapun tentang masing-masing dari mereka, aku akan memihak wanita yang menyatakan sebagai korbannya.


Itu adalah hal yang serupa dengan yang kudengar saat di dunia asalku. Suatu ketika di kereta, seorang wanita memegang lengan seorang pria dan berteriak, "Pria ini menyentuhku!"


Meskipun pria itu nggak menyentuh si wanita, semua orang yang ada di kereta akan segera menatap dia dengan tatapan lain, curiga. Meski dia bisa membuktikan bahwa dia difitnah, posisi sosial pria itu akan selamanya rusak.


Apa yang Lonte itu lakukan padaku adalah hal yang serupa dengan itu.


"Haaaaa....."


Kemarahanku mulai mereda, meski cuma sedikit.


Sama seperti aku gak tau apa-apa tentang Ren atau Itsuki, mereka juga gak tau apa-apa tentang aku. Begitu pula dengan Motoyasu.


Yah, Motoyasu jelas-jelas cuma mikirin perempuan.


Aku merasa seperti aku menyadari sesuatu yang penting.


Kalau Ren dan yang lainnya memahami apa yang telah terjadi, maka itu mungkin layak untuk dicoba dan berbicara dengan mereka. Kalau kami bertemu lagi.


Yah, aku akan mencoba berbicara kalau aku ketemu mereka.


Kalau semuanya berjalan baik, kami mungkin bisa menghasilkan sedikit perubahan.


Tentu saja, perubahan akan mustahil sampai Lonte dan Sampah itu dihukum.


"Apa kau ingat pembicaraan kita yang sebelumnya? Kemana aku harus membawamu setelah kita meninggalkan tempat ini?"


"Ya."


"Aku berencana untuk mengantarmu ke suatu tempat yang tidak jauh dari para Pahlawan Suci."


"Kau ikut juga, kan?"


Kalau dia sekuat ini, dia mungkin bisa meluruskan kesalahpahaman.


Prioritas utamanya adalah bahwa para pahlawan harus bekerja sama. Mempertimbangkan itu, sepertinya itu adalah sebuah permintaan yang wajar.


"Aku gak akan mengganggu urusanmu lagi. Tunjukkan padaku kalau ada alasan buatku untuk peduli padamu."


"Egois sekali."


"Itulah masalahnya. Aku belum menemukan suatu alasan untuk menghargai para Pahlawan saat ini. Satu-satunya dari kalian yang sudah kutemui yang memiliki potensi adalah Filo. Buktikan kalau aku salah."


Dia jelas-jelas menganggap dirinya sendiri diatasku, tapi kalau dia berpikir bahwa dia melakukannya demi kebaikan dunia, maka dia mungkin betul-betul membunuh para pahlawan karena pertikaian mereka.


Aku nggak betul-betul bisa mengatakan dia salah.


Tapi aku masih punya perasaan bahwa dia mungkin akan menyelamatkan dunia dengan menghabisi orang-orang yang saling bertikai.


Sebenarnya mungkin aku— atau bukan aku, tapi kami... para pahlawan... mungkin kami salah tentang seberapa serius ancaman tersebut.


"Selain itu, aku punya banyak hal yang membuatku selalu sibuk."


"Misalnya?"


"Seperti menyelamatkan dunia dari gelombang. Gelombang gak cuma datang ke tempat-tempat dimana manusia tinggal."


"Apa ada jam pasir selain ditempat yang dihuni manusia?"


Fitoria mengangguk. Lebih baik aku nggak tau itu. Jadi bukan cuma peradaban manusia yang terancam?


"Aku bertugas di area-area itu. Aku akan senang kalau kau membantuku, tapi kau harus menjadi lebih kuat terlebih dulu."


Jadi maksud dia adalah bahwa dia rela repot-repot menemui kami dan menguji kami... ketika dia punya waktu.


Dia ingin mengetahui apakah kami cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang. Kalau kami gak cukup kuat, dia akan membunuh kami.


"Jika kau bisa, cobalah berbicara dengan mereka. Dunia tak punya waktu untuk pertengkaran kecil dari para Pahlawan."


"Kau membuatnya terdengar seperti para pahlawan selalu bertengkar."


"Aku sudah melihatnya berkali-kali."


"Baik. Yang perlu kulakukan adalah memperbaiki hubungan, kan?"


"Ada lagi."


"Apa?"


"Meski satu dari para Pahlawan tidak ada saat gelombang datang, gelombangnya akan semakin kuat. Jika itu terjadi, maka para Pahlawan harus dibunuh agar Pahlawan baru bisa dipanggil. Itu dilakukan demi dunia."


Sialan.... Aku gak mau tau itu juga. Itu artinya bahwa bahayanya akan semakin buruk kalau ada salah satu pahlawan yang tewas.


Tapi kalau semua pahlawan terbunuh, maka para pahlawan baru bisa dipanggil. Apa-apaan itu.


Dia menyuruh kami untuk akur dan bekerja sama. Tapi kalau kami nggak melakukannya, dia akan membunuh kami.


Filolial Queen ini betul-betul tau caranya memberi perintah yang menjengkelkan.


Aku sedang berpikir secara mendalam selama beberapa saat, jadi Fitoria berdiri dan menoleh padaku.


"Aku tidak tau berapa banyak gelombang yang akan terjadi. Tapi akan ada waktu saatnya dimana semua kehidupan di dunia akan dipaksa untuk mengorbankan sesuatu yang besar."


"......"


"Pada saat itu para Pahlawan akan dipaksa mengambil keputusan. Aku akan menunggumu sampai saat itu."


"Keputusan?"


"Apakah kau akan bertarung demi dunia atau demi orang-orang. Jika kau tidak bisa akur dengan para Pahlawan yang lain dan mengabaikan tujuanmu, maka setidaknya bertahanlah hidup sampai saat itu. Jika kau memilih bertarung demi dunia, kau akan diharuskan membuat pengorbanan besar, tapi kau akan bisa memenuhi tujuanmu."


"Apa yang terjadi kalau aku memilih bertarung demi orang-orang?"


"Itu adalah sebuah jalur yang berat. Para Pahlawan di masa lalu menginginkan hal itu. Tetapi itu tak lagi bisa dilakukan. Itu adalah sebuah jalan dimana kau tidak bisa berjalan sendirian. Kau tak akan pernah berhasil."


"Hmmm.... Seberapa banyak yang kau ketahui? Katakan padaku segalanya."


"Aku sudah banyak yang lupa. Tapi aku ingat satu hal. Menyelamatkan dunia dan menyelamatkan umat manusia bukanlah hal yang sama."


Dunia dan penduduknya itu berbeda.


Dari cara dia mengatakannya, sudah jelas bahwa dia berada di pihak dunia. Dia nampaknya sangat acuh dengan apa yang terjadi dengan manusia. Maka apa maksudnya bertarung demi dunia? Aku tau yang dia maksudkan adalah melawan gelombang, tapi aku nggak bisa memahami sisanya.


Terlepas dari itu, ada saat ketika dia ingin bertemu kami lagi.


Itu mungkin setelah gelombang terakhir. Aku bertanya-tanya...apa yang harus kupilih?


Meskipun itu demi orang-orang, kalau aku bisa melakukan sesuatu untuk melindungi Raphtalia dan yang lainnya, aku mungkin akan memilih menolong orang.


"Jadi, tolong cobalah akur dengan para Pahlawan yang lain."


"Aku cuma bisa bilang aku akan mencobanya. Aku nggak tau bagaimana mereka akan bereaksi, tapi kau memberi kami hadiah-hadiah itu. Setidaknya aku akan berusaha."


Dia memberi Filo mahkota, dan memberiku sebuah perisai. Aku yang harus menurut.


"Kau melewati ujian. Aku punya harapan yang lebih besar padamu daripada para Pahlawan lain."


"Kenapa?"


"Pahlawan Perisai yang membesarkan Filolial Queen yang baru tidak mungkin orang yang jahat."


"Sayangnya aku orang yang buruk."


Aku mengatakannya tanpa berpikir.


Maksudku... Aku membeli seorang gadis kecil sebagai seorang budak dan memaksa dia bertarung demi aku.


Pastinya aku bukanlah orang yang baik.


"....."


Fitoria menatap langit dan menghela nafas dalam-dalam.


"Pikirkan apa yang kau mau untuk saat ini. Namun jangan lupa bahwa kita terhubung melalui Filo."


Kalau Filo gagal melewati ujiannya.... dia akan membunuhku.


Dia sangat mampu melakukannya. Terlebih lagi aku terluka.


"Baik."


"Pahlawan Perisai, kurasa kau memiliki kekuatan untuk memperbaiki hal dengan para Pahlawan lain. Dan sejujurnya... mereka hanya terlalu lemah. Dengan keadaan sekarang ini, aku tidak akan ikut campur. Kau harus mengurusnya sendiri."


"Apa itu begitu susahnya?"


"Memang. Dan kalau kau harus menggunakan Perisai itu..."


Fitoria mengulurkan tangannya ke arah armorku.


Aku tiba-tiba merasa lebih ringan.


Inti naga yang dimasukkan kedalam Barbarian Armor-ku sepertinya berubah. Sekarang itu tampak seperti sebuah simbol Taoist ying-yang.


Barbarian Armor +1 (Perlindungan Dewa Burung)

defense up
resistensi benturan (medium)
resistensi api (besar)
resistensi angin (besar)
resistensi bayangan (besar)
pemulihan HP (sangat kecil)
magic up (medium)
agility up (medium)
pembentukan pertahanan sihir
resistensi kontaminasi spiritual
pemulihan otomatis


"Apa ini?"


"Itu akan membantumu menahan Rangkaian Terkutuk. Tetap saja, itu tidak akan membuatmu sepenuhnya aman.... Jangan gunakan Perisai itu jika kau bisa menghindarinya."


"Akan kulakukan apa yang aku bisa, tapi kau nggak harus menahan nafasmu. Tentang ini ataupun tentang berdamai dengan para pahlawan lain."


"Tolong usahakan...."


Fitoria mengeluarkan senyum yang paling tulus yang pernah kulihat saat dia mendekat dan bersandar padaku.


"Kau berat. Menjauhlah."


Tapi Fitoria nggak menunjukkan tanda-tanda menjauh.


"......"


Dia terus bersandar padaku dalam diam.


Apa yang dia lakukan? Dia terlihat seperti anak kecil yang hendak menangis.


Kenapa? Itulah pikiran pertamaku. Kenapa? Apa yang dia mau?


Lalu aku terpikir alasan-alasan. Dia bilang bahwa seorang pahlawan lah yang membesarkan dia.
Dimana pahlawan itu sekarang? Entah dia telah kembali ke dunia asalnya, atau dia sudah lama tewas.


Apa dia menganggap aku seperti orang tua barunya sekarang? Apa dia melihat pahlawan lama-nya dalam diriku.


Gak ada yang bisa ku perbuat tentang itu.


Aku menempatkan tanganku pada kepalanya. Saat aku melakukannya, dia membenamkan kepalanya pada bahuku dan memelukku.


Sepertinya satu-satunya alasan dia harus terus bertahan adalah janji yang dia buat dengan sang pahlawan di masa lalu. Apa itu yang dia lakukan?


Dia berjanji untuk melindungi dunia. Berapa tahun lamanya dia melakukannya?


Kalau berpikir tentang beberapa lama dia berjuang demi dunia, aku merasa setidaknya yang bisa kulakukan adalah menerima permintaannya.


Di sepanjang hidupnya, berapa banyak orang yang dia temui dan bekerjasama dengan dia? Di dunia ini? Dia pasti sudah berkali-kali mengalami kekecewaan dan keputusasaan. Apa itu sebabnya dia nggak mempercayai siapapun selain para pahlawan?


Dia adalah seorang cewek yang agak kikuk. Dia sangat kuat, namun itu kemungkinan karena dia berusaha begitu keras.


Saat seorang gadis kecil memintamu melakukan sesuatu, sangat sulit untuk bilang tidak.


Aku akan melakukan apa yang aku bisa.


Pada akhirnya nafas Fitoria menjadi semakin dalam, dan aku menyadari dia sudah tertidur di bahuku. Dengkurannya terdengar persis seperti dengkuran Filo.


Suatu hari nanti, setelah aku pergi, akankah Filo bersandar pada bahu pahlawan lain dan tertidur? Saat aku berpikir tentang hal itu, kelopak mataku semakin berat, dan gak lama aku juga tertidur.


* * * * *


"Makasih banyak!"


Melty dan Filo melambaikan tangannya dengan riang.


Pagi menjelang, dan Fitoria mengatakan bahwa itu mungkin sudah saatnya kami melanjutkan perjalanan. Dia memberi isyarat pada kami agar naik ke kereta.


Setelah kami semua naik ke kereta, Fitoria menteleport kami kembali ke tempat dimana kami bertarung melawan Tyrant Dragon Rex, dan kami semua turun dari kereta. Apa para pahlawan lain ada didekat sini?


"Apa para pahlawan lain ada disuatu tempat dekat sini?"


"Aku merasakan adanya reaksi dari sekitar sini..."


Fitoria menatap kereta. Ini bukanlah tanda-tanda yang bagus.


Beberapa saat berlalu. Lalu Fitoria berubah ke wujud Filolial normalnya kemudian mengangkat sayapnya dan pergi.


"Itu adalah sebuah pengalaman yang menarik, kan, Tuan Naofumi?"


"Memang. Baiklah, Filo..."


"Uh huh?"


Oh, aku lupa menyebutkan bahwa Fitoria memberi Filo sebuah hadiah perpisahan.


Itu adalah sebuah kereta baru. Kereta itu terbuat dari kayu, meskipun kualitasnya tidaklah sangat bagus.


Segalanya menjadi betul-betul rumit. Kenapa dia memberi begitu banyak beban pada pundakku?


Filo Lebih suka kereta yang kubeli, tapi sudah gak ada pilihan lain selain terima apa adanya.


Filo berubah ke wujud Filolial Queen dan mulai menarik kereta.


"Ayo berangkat!"


"Oke!"


"Ya!"


"Kita bisa melakukannya, kan Filo?!"


Kami sudah jauh melenceng dari jalur, tapi kami sudah kembali ke jalan yang benar sekarang. Kami menuju ke perbatasan barat daya.


"Aku gak nyangka akan sampai sejauh ini..."


Kami sampai di perbatasan. Dari tempat kami berada, kami bisa melihat bangunan kecil yang seperti benteng dimana para penjaga mengawasi perbatasan sambil berpatroli di atapnya.


Nggak cukup banyak orang yang melintasi perbatasan, dan ada para penjaga yang memeriksa isi dari kereta-kereta.


"Sialan. Mereka terus mengawasi dengan ketat."


"Karena mereka mencari kita, kan? Setidaknya jumlah penjaganya lebih sedikit daripada yang ada di perbatasan timur laut."


"Memang benar...."


Motoyasu berdiri di dekat perlintasan perbatasan. Iblis maniak api juga ada bersama dia.


Aku berharap Motoyasu pergi ke tempat lain. Dia betul-betul gak pernah mau mendengarkan aku.


Atau begitulah yang kupikirkan, lalu kata-kata Fitoria terngiang kembali. Mungkinkah itu adalah asumsiku sendiri yang mencegah kami dari berdamai?


Terlepas dari itu, Lonte itu juga ada disana—dan gak mungkin dia akan mendengarkan aku.


Aku menaruh harapan kecil bahwa mereka mungkin akan mendengarkan Filo, Melty atau Raphtalia.


Kalau kami mencari perlintasan lain sekarang, itu akan membuat kami berkeliaran selama setidaknya beberapa hari. Dan selain itu, gunakan kami tepat berada didepan kami.


Masalah utamanya adalah Motoyasu. Kami lah yang palinh banyak bertikai sampai sejauh ini. Kalau dia nggak mendengarkan apa yang harus kami katakan, maka kami janua harus menerobos.


Betul—kami hanya perlu menerobos.


"Melty, tujuan kita ada disini. Kita harus menerobos, apapun yang terjadi. Meski begitu, aku akan mencoba berbicara pada Motoyasu."


Aku tau kalau Melty memiliki semacam sifat yang histerik, tapi itu penting untuk memastikan bahwa kami semua sepaham dan sepemikiran.


"Oke."


"Huh? Apa itu?"


"Apanya yang apa?"


"Kupikir kau akan bilang padaku untuk nggak melakukannya karena itu akan membuat kita terlihat jahat."


"......"


Dia berpaling dan menghela nafas karena frustasi.


"Kalau negeri ini berperilaku begitu gegagah, maka perlakukan kasar diperlukan."


Aku tau apa yang dia maksudkan. Dia berpikir tentang bangsawan yang sangat menginginkan kami mati sampai-sampai dia melepaskan segel dari seekor monster kuno. Dia membakar wilayahnya sendiri untuk menghabisi kami.


Melty penuh tekad. Itu bagus.


Memaksakan melintasi perbatasan mungkin akan menghasilkan kehancuran yang lebih sedikit daripada terus-terusan kabur.


"Baiklah. Ayo bergerak! Apa kalian siap?"


"Pasti."


"Yup!"


"Waktunya beraksi."


"Baiklah!"


Aku mengangkat tanganku, dan Filo mencondongkan badannya ke depan, berlari dengan kecepatan penuh sambil menarik kereta.


Kami berlari lurus kearah perlintasan perbatasan.


"Itu si Iblis Perisai!"


Sapaannya semacam itu...


Aku berencana untuk berkompromi dan mencoba membicarakan semuanya. Dan begini cara mereka menyapa?


Aku mempertimbangkan kembali pendekatanku setelah membicarakannya dengan Fitoria. Tapi apa aku salah?


"Berhenti!"


Sebelum perlintasannya, terdapat semacam tikar yang digelar. Tikar itu dipenuhi dengan paku-paku yang berdiri. Kereta kami gak akan bisa melewatinya.


Tapi Filo gak menunjukkan tanda-tanda melambat.


"Mereka datang!"


Motoyasu mengacungkan tombaknya ke arah kami.


Dia adalah pecinta wanita. Dia nggak akan menyerang Filo menggunakan tombaknya... kan?


Tombak miliknya mulai bersinar.


"Myne!"


"Oke!"


Lonte itu mulai merapal sebuah mantra.


"Zweite Fire!"


"Air Strike Javelin! Dan...."


Saat Myne selesai merapal mantranya, Motoyasu mengangkat tombaknya yang bersinar dan melemparkannya kearah kami.


"Skill Kombo, Air Strike Fire Lance!"


Sebuah tombak yang terbuat dari api terbang ke arah kami.


Sial!


Aku segera melompat ke punggung Filo dan milai menhekuaykan skill milikku sendiri.


"Air Strike Shield! Second Shield!"


Dia Air Strike Shield muncul di udara dan menghentikan tombak api milik Motoyasu.


Tapi perisai-perisai itu gak mampu sepenuhnya menghentikannya. Tombak itu memantul dan terus terbang ke arah kereta. Filo melompat menjauh dari kereta untuk menghindarinya. Aku berbalik dan melihat Raphtalia dan Melty berpegangan tangan dan melompat dari kereta tepat waktu.


Apa Motoyasu mengeluarkan skill-skill pada kami tanpa ragu-ragu sekarang?


Selain itu, apaan itu? Sihir dan skill bisa digabungkan menjadi skill kombo?


Kurasa begitu. Itu seperti pedang sihir.


Apa dia menahan diri sepanjang waktu ini? Apa itu sebabnya mereka gak menggunakannya sampai sekarang?


"Apa yang lu lakuin?!"


Aku berencana mencoba berbicara dengan dia sebelum kami kabur, tapi dia cuma berlari dan mulai menyerang kami.


"Myne!"


"Aku tau!"


Putri Lonte itu menatap para prajurit.


Saat dia melakukannya, sebuah sangkar sihir terbuat dari energi mulai berderak dan berdesir, muncul disekitar kami.


"Apa?!"


"Apa.... Apa ini?!"


"Apa yang terjadi?"


Sangkar itu sangat besar, panjangnya sekitar 40 meter. Sangkar itu tampak terbuat dari listrik.


Apa itu.... sihir? Ataukah itu terbuat dari sesuatu yang lain?


"Akhirnya kami bisa nemuin elu, Naofumi. Kali ini lu gak akan bisa lolos."


"Motoyasu....."


Dia menatap kami, terlihat sangat songong.


Apa maksudnya itu? Sikap masa bodo-nya yang biasanya sudah hilang.


"Naofumi, ini adalah perangkat sihir bernana Lightning Cage."


Melty menatap sangkar itu dan menjelaskan fungsinya.


"Itu adalah sebuah perangkap yang dipasang di area tertentu. Itu dirancang untuk menjebak para wizard dan para pengguna sihir."


"Untuk para wizard? Apa gunanya?"


"Itu dimaksudkan untuk mengurung targetnya didalam."


Sekarang itu masuk akal. Mereka sudah melihat kami melarikan diri menggunakan kecepatan Filo sebelumnya, jadi mereka ingin bertarung di area yang sepenuhnya tertutup.


"Aku bisa menghancurkannya, tapi itu butuh waktu."


"Gimana cara normal untuk keluar dari kurungan ini?"


"Kau membutuhkan kunci dari orang yang memasangnya."


Aku turun dari punggung Filo dan menatap Motoyasu.


"Apa kamu akan bertarung?"


"Yah aku ingin membiarkan sesuatu terlebih dahulu. Tapi kayaknya pertarungan sudah gak bisa dihindari lagi."


Raphtalia menghunus pedangnya.


"Raphtalia, kamu fokus saja pada pertahanan. Menjauhlah kalau kamu bisa."


"Tapi aku...."


"Aku ikut bertarung?"


"Ya. Kalau memang sudah gak bisa dihindari."


Motoyasu lemah terhadap cewek-cewek cantik. Dia akan menyerang tanpa ragu-ragu, tapi aku akan mengasumsikan bahwa dia berpikir kami menghindarinya.


"Melty, bisakah kau fokus pada menghancurkan kurungannya?"


"Aku akan mencobanya.... tapi aku nggak bisa janji."


"Baiklah kalau begitu—Raphtalia, kamu fokus melindungi Melty saat dia mencoba menghancurkan kurungannya."


"Baik!"


Setelah aku selesai menetapkan peran mereka masing-masing, aku berjalan kearah Motoyasu.


"Motoyasu, dengerin gue."


Itu mungkin karena percakapanku dengan Fitoria, tapi aku mulai mencurigai bahwa Motoyasu sudah ditipu oleh Lonte itu.


Kalau nggak begitu, maka dia nggak akan repot-repot mencoba menyelamatkan Raphtalia dariku.


Dia mungkin agak lola, tapi untuk saat ini aku akan menganggap bahwa dia nggak betul-betul berniat untuk menjebakku.


"Lu pikir lu bisa mencuci otak gue pake Perisai Pencuci Otak punya lu?!"


Astaga... Dia sudah berhasil diyakinkan kalau Perisai Pencuci Otak memang betul-betul ada.


Sejujurnya, itu adalah kekurangan dia bahwa dia gampang sekali dicuci otak.


Tapi dia adalah Pahlawan Tombak. Kalau aku bisa mempercayai apa yang kubaca dalam The Record of Four Holy Warriors, maka Pahlawan Tombak seharusnya memiliki hati yang loyal.


Loyalitas dalam hal ini jelas-jelas berarti bahwa dia nggak akan meragukan orang-orang yang dia anggap temannya.


Dan putri Lonte serta raja Sampah itu ada dibelakang dia. Kalau dia mempercayai orang-orang yang dia sebut teman tanpa keraguan, maka dia cuma orang idiot.


"Tuan Motoyasu! Kita harus bergegas menyelamatkan Melty dan korban pencucian otak lainnya dari Iblis Perisai!"


Lonte itu selalu saja menyiramkan bensin ke api. Seberapa busuknya wanita ini?


"Gue gak bakal nahan diri lagi."


"....Gue juga."


Setelah aku dipanggil kesini, aku harus menahan kebodohan Motoyasu di hari kedua, lalu di hari pertama bulan kedua.


Pemikiran akhir dari semua itu nampaknya cukup masuk akal.


Sialan! Begini lagi, jatuh ke pola yang sama lagi. Kenapa aku gak belajar?!


"Dengerin gue. Apa para pahlawan punya waktu buat bertikai diantara mereka sendiri? Dimana Ren dan Itsuki? Kalo lu gak mikirin alasan yang bagus karena lu mengerahkan semua waktu lu buat ngejar gue, maka elu bertindak kek orang bego!"


Kalau dia sudah diyakinkan kalau aku ini jahat, maka aku akan mengalihkan pembicaraan pada Ren dan Itsuki—karena mereka gak mengejar aku.


Kalau kami membicarakannya baik-baik, mungkin Motoyasu akan mulai mencurigai yang sebenarnya.


"Meskipun mereka mati, gue gak akan mempercayai apapun yang lu katakan!"


"Huh?"


Mati? Apa yang dia bicarakan?


Ren dan Itsuki? Kami? Siapa? Apa?


"Woi Motoyasu. Apa yang lu bicarain? Siapa yang mati?"


"Begitulah cara lu menipu Ren dan Itsuki juga! Begitulah cara lu membunuh mereka!"


"Apa? Apa yang lu katakan? Jelasin!"


"Lu coba nipu gue! Jangan harap gue dengerin elu! Gue tau semuanya! Setelah monster itu dilepaskan dari sebuah kota dimana lu berada, lu menyelinap ke belakang Ren sama Itsuki terus membunuh mereka!"


Apaan yang terjadi di Melromarc saat kami bersama Fitoria?


Satu-satunya pemikiran yang bisa kupikirkan adalah bahwa Ren dan Itsuki pergi melihat segel yang dibuka. Mereka begitu dekat dengan kebenarannya sehingga seseorang membunuh mereka.


Aku gak tau apakah itu si Sampah atau Gereja, tapi seseorang mencoba memfitnahkan semuanya padaku, dan mereka mengatakan hal itu pada Motoyasu!


"Lu salah! Pikirin lagi! Gue gak punya alasan buat bunuh Ren ataupun Itsuki!"


"Diem. Gue gak percaya sama lu. Gue udah muak nahan diri! Meskipun seorang cewek harus menjadi Perisai yang baru, gue musti mengotori tangan gue buat membalas dendam Ren sama Itsuki!"


Percuma saja. Motoyasu sudah percaya dengan teguh kalau aku sudah membunuh para pahlawan yang lain.


Sialan. Seseorang telah membebankan itu padaku.


Fitoria, aku minta maaf. Para pahlawan sepertinya sama sekali gak peduli tentang menyelamatkan dunia.


Dari semua pahlawan yang diperlukan untuk menghadapi krisis yang menimpa dunia.... entah gimana... cuma dua saja yang tersisa.


Dan melihat sikap Motoyasu, dia gak akan puas sampai aku mati juga.


Tapi aku gak boleh mati disini.


Aku mengganti perisaiku menjadi Chimera Viper Shield dan menghadap Motoyasu.


Motoyasu memiliki si Lonte dan dua cewek dalam partynya. Ada para prajurit yang keluar dari perlintasan perbatasan. Kerangkeng itu membuat mereka gak bisa ikut campur secara langsung—tapi itu juga mencegah kami melarikan diri.


Adapun di pihakku, Filo dan aku berdiri di barisan depan. Melty berada di belakang berusaha menghancurkan kerangkengnya sedangkan Raphtalia melindungi dia.


"Semuanya, ayo balas dendam!"


"Motoyasu, lu gila. Sudah waktunya lu menyadarinya."


Baik. Semuanya sudah berbeda sekarang.


Melty gak bisa bertarung, tapi aku masih punya Filo dan Raphtalia.


Kalau aku betul-betul menggunakan perisaiku, kami gak akan kalah.


Akhirnya, kami akan menyelesaikan seluruh masalah ini.


“AAAAHHHHHHHH!”


Kami berlari masuk kedalam pertempuran demi masa depan.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya