Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 3 Peti

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Masing-masing dari kita mempunyai peti dengan berbagai ukuran, warna, dan bentuk.

Di dalam peti ini, mungkin kita menyimpan kenangan yang begitu berharga untuk kita.

Mungkin kita menyimpan masa lalu yang memalukan.

Mungkin kita menyimpan suatu dosa yang tak termaafkan.

Masing-masing dari kita mempunyai sebuah peti.

Sebuah peti rahasia dimana kita menyembunyikan hal-hal yang tak boleh dilihat siapapun, yang tak boleh diambil oleh siapapun juga.



Mataku tertuju ke sebuah peti.

Kuraih penutupnya, dan kubuka peti itu. Engselnya berderit ketika penutupnya berputar ke belakang.

Hati-hati, kuletakkan ia di dalamnya. Ia terbangun dari tidurnya, dan perlahan-lahan membuka matanya.

Ia menatapku dengan mata yang sayu namun tetap terfokus, yang menunjukkan betapa lemahnya ia, membuatku sedih.

Berusaha menahan untuk tidak mengatakan apa-apa, kututup mulutku rapat-rapat.

Aku tak bisa mengeluarkannya sekarang, apapun yang akan ia katakan. Meskipun ia juga tak akan bisa mengucapkan kata-kata untuk memintanya.

Tiba-tiba, sesuatu jatuh di hidungnya dengan suara lirih.

Yang jatuh bukanlah air mata, melainkan tetesan hujan yang sudah diperkirakan akan turun siang ini.

Tak mengerti apa yang telah membasahi hidungnya, matanya memicing ke atas penuh kebingungan, dan akhirnya ia menyeka hidungnya dengan dinding peti untuk menyingkirkan air yang menetes di hidungnya.

Hujan turun semakin deras, dan semakin tak tertahankan lagi. Kubuka payung yang sudah kubawa, dan kuangkat ke atasnya.

Sekali lagi ia kebingungan, karena tetesan air hujan tiba-tiba menghilang, dan ia melihat ke sekeliling.

Namun, tak lama setelahnya, ia kedinginan dan badannya gemetar.

Sesaat, aku begitu ingin mendekapnya dalam pelukanku, namun aku masih bisa menahan diri.

Belum. Aku belum bisa memelukmu, sekarang

Maafkan aku sudah meletakkanmu di tempat seperti ini. Aku benar-benar mohon maaf. Namun aku tak bisa menyerahkanmu ke siapapun juga. Aku tak mau.

Jadilah anak yang baik dan tetap sembunyi di sini, ya?

Tak ingin membalas tatapan polosnya, kututup peti itu.

Ia akan tertidur lelap di tengah kegelapan, tak memedulikan apa yang terjadi di luar.

Suatu hari nanti, akan kukeluarkan kau dari sini. Aku janji.

Jadi, kumohon, bertahanlah di dalam sana!



Aku, Tokiya Kurusu, sedang dalam perjalanan menuju tempatku bekerja paruh waktu.

Biasanya, murid SMA kelas 2 bekerja paruh waktu di restoran cepat saji atau SPBU, tapi aku sedikit berbeda dengan yang lainnya.

Setelah berbelok menjauh dari jalan utama, dan melewati beberapa gang, aku tiba di toko kecil yang di depannya terdapat papan bertuliskan "Toko Barang Antik Tsukumodo". Tempat itu adalah tempat kerjaku.

Ketika pintu kubuka, aku disambut dengan dentang lonceng dan pemandangan barang-barang yang kami jual, seperti benda-benda keramik, boneka, serta jam tua yang berukuran besar.

"Kau terlambat, Tokiya," kata pemilik toko ini, Towako Settsu, ketika aku masuk.

Sepasang alis yang indah menghiasi wajahnya, tekad yang kuat bersinar dari matanya, dan rambut hitam yang lembut dan berkilau dibiarkan memanjang hingga pinggangnya. Tubuhnya yang ramping tidak hanya mirip dengan model, namun juga bisa menjadi hiburan untuk mata yang lelah ketika ditambah dengan sikapnya yang penuh kepercayaan diri. Ia mungkin akan menghajarku jika aku bilang bahwa fisiknya masih sempurna untuk perempuan yang usianya mendekati tiga puluh, tapi memang itulah kebenarannya.

"Ia baru saja kembali," kata rekan kerjaku, Saki Maino, yang baru saja muncul dari ruang tengah.

Begitu kontras dengan rambutnya yang berwarna putih pucat, yang panjangnya sampai ke punggung dan berkilau perak ketika disinari, serta kulitnya yang putih dan lembut, ia berpakaian serba hitam; ia mengenakan kemeja hitam yang berenda, rok hitam, serta sepatu bot berwarna hitam. Aku tak pernah melihatnya memakai pakaian yang tidak berwarna hitam atas kehendaknya sendiri. Itu adalah salah satu kebiasaannya.

"Kali ini kau pergi cukup lama juga, ya?" kataku.

"Ya, tapi kali ini aku dapat banyak barang-barang bagus!"

Towako-san baru saja pulang dari perjalanannya untuk berbelamja. Kadang-kadang ia meninggalkan toko kepada kami berdua dan pergi untuk membeli barang-barang baru, meskipun aku sendiri juga tak tahu kemana ia sebenarnya pergi. Kulihat-lihat lagi, ia nampak kesulitan untuk menahan senyumnya—sepertinya kali ini ia memang mendapat barang yang bagus. Ia tak sabar untuk menunjukkannya pada kami.

"Jadi, apa yang kau beli?"

Seolah-olah sudah menungguku bertanya, ia segera mengambil satu barang dari tumpukan barang di belakangnya dan memperlihatkannya padaku dan Saki.

Sebuah peti kayu besar yang tutupnya disambung dengan engsel.

"Lihat ini: apapun yang disimpan di kotak ini akan tetap segar dan takkan membusuk!"

Meskipun biasanya orang akan bertanya-tanya apa yang ia maksud ketika ia berbicara tentang "kotak penyimpanan yang menjaga isinya tetap segar", ia sebenarnya tidak bercanda.

Di dunia ini ada benda-benda yang disebut 'Relik'.

Bukan barang antik atau benda seni, tidak: barang-barang ini adalah alat-alat dengan kemampuan khusus yang dibuat oleh ahli sihir atau orang-orang hebat di masa lalu, atau benda-benda yang telah menyerap dendam pemiliknya atau mendapatkan kekuatan spiritual alami setelah waktu yang sangat lama.

Misalnya: batu yang membawa keberuntungan, boneka yang rambutnya terus tumbuh setiap malam, cermin yang akan menunjukkan dirimu di masa depan, pedang yang akan membawa kehancuran pada semua orang yang menggunakannya.

Semua orang kemungkinan besar telah mendengar hal-hal semacam ini, karena barang-barang ini biasanya muncul di dongeng dan rumor.

Namun, kebanyakan orang menganggap Relik hanya khayalan karena mereka tak pernah melihatnya sendiri. Meskipun ada Relik di depan mata mereka, mereka tak akan menyadarinya. Kalau ada kejadian misterius, mereka akan menganggapnya kebetulan belaka. Beberapa orang tak peduli, dan yang lainnya yakin bahwa tak ada benda-benda semacam ini.

Sayangnya, Relik itu nyata, dan ada jauh lebih banyak daripada yang kebanyakan orang pikir.

Nyatanya, aku sendiri baru saja terlibat dengan sebuah cermin yang dapat membuat tuli siapapun yang ada di pantulannya, topeng yang dapat menggandakan penampilan, kemampuan, dan sifat dari pemiliknya, sebuah kacamata yang memberitahukan apa yang pernah dilihat mata orang lain, serta sebuah kamera yang mencetak foto masa depan dari benda atau orang yang dipotret.

Yang dicari Towako-san ketika ia pergi adalah Relik-relik semacam itu.

"Sesuatu telah disimpan sejak beberapa tahun lalu di dalamnya. Kubeli juga bersama dengan peti ini," katanya sembari meletakkan tangannya di atas peti itu. Ia melirik kami berdua dan berkata, "Siap? Buka mata kalian dan lihat baik-baik."

Ia menarik tutup peti itu. Berusaha untuk tidak mengatakan bahwa ekspresi mukanya aneh, Saki dan aku berdiri di sisinya dan mengintip ke dalam peti itu, dan—

Tsukumodo V3 17.jpg

"WOAH!"

Kami bertiga meloncat ke belakang.

"Bau! Baunya parah banget! Pasti ada barang busuk di dalamnya!"

Tepat setelah kami membuka peti itu, bau busuk yang telah tertahan di dalam selama bertahun-tahun terlepas ke seluruh bagian toko.

"Saki! Jendela! Buka jendelanya! Eh? Jangan pingsan disini! Bangun!" teriakku ketika kulihat Saki sudah tergeletak di lantai, tak sadarkan diri.

"Mataku...! Mataku!" ratap Towako-san yang menggeliat kesakitan dengan mata memerah.

"Permi—HIIIII!"

Pengunjung yang kurang beruntung masuk ke toko, segera berbalik dan berlari dengan teriakan yang memekakkan telinga. Sebenarnya ia adalah pengunjung pertama kali dalam seminggu ini, tapi sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu.

"Tutup petinya!"

"Tokiya, kami percaya padamu!" teriak Towako-san yang kabur ke ruang tengah bersama Saki, meninggalkanku begitu saja.

Bermodal keberanian luar biasa, hati-hati kudekati peti itu dan kutendang ke luar toko. Ketika peti itu terguling, sesuatu yang gambarnya pasti sudah dibuat kabur di TV terlempar keluar dan jatuh ke selokan.

Sekilas kulihat benda itu bergerak-gerak sendiri, tapi aku yakin itu hanya perasaanku saja.

Setengah jam setelahnya, setelah kami membuka semua jendela dan pintu, dan menyemprotkan berkaleng-kaleng pengharum ruangan ke peti itu dan ke seluruh ruangan, toko ini kembali ke keadaan semula.

"Sial! Barang ini palsu! Orang itu benar-benar menipuku!" teriak Towako-san yang memegang kepala dan menendang-nendang peti yang ternyata palsu itu. "Tokiya, taruh barang ini di rak barang-barang yang dijual."

Pada akhirnya, kami membuang—tidak, kami meletakkan peti yang sudah tidak bau itu di pojokk toko, menambah lagi daftar barang yang tak akan dibeli siapapun juga.

Sepertinya sudah cukup jelas sekarang: seperti yang tertulis di namanya, semua barang yang dijual di Toko Barang Antik Tsukumodo (PALSU) adalah Relik palsu yang kami dapat karena Towako-san kena tipu.

Namun, peti itu bukanlah satu-satunya barang yang ia beli kali ini. Ada juga sikat pembersih yang katanya bisa membersihkan kotoran apapun (jangan-jangan dia pergi berbelanja kebutuhan rumah?), jam perut yang membuatmu lapar pada jam yang sudah kau atur (literally sebuah jam perut), cermin yang membuatmu terlihat kurus (banyak yang menjual barang seperti ini), dan sebagainya. Sayangnya, semua barang itu palsu, dan semuanya berakhir di rak toko kami.

"Rrrghh…" Towako-san yang kesal menggertakkan giginya dan menunjukkan padaku pembelian terakhirnya. "Ini adalah kalung anjing yang membuat pemakainya melakukan apapun yang kau katakan!"

"Keren."

"Tak bisakah kau memberikan reaksi dengan sedikit lebih semangat!?"

"Wooow."

"'Pikirmu kau bisa mengejekku sekarang, hah?!" teriaknya sambil menggenggam leherku, tapi jujur saja, aku sudah bosan dengan kebiasaan seperti ini.

Sudah biasa. Tiga kali pertama masih lucu. Oke, jujur saja, sebenarnya sejak pertama kali juga sudah tidak lucu, sih.

"Baiklah, kalau begitu kau yang memakai kalung ini!"

Towako-san berusaha memasang kalung itu di leherku, tapi ternyata tali kalungnya terlalu pendek. Tak heran, kalung seperti itu memang didesain untuk hewan seperti kucing atau anjing.

"Sial…!"

Ketika Towako-san masih menggerutu sendiri, Saki muncul dari ruang tengah: "Kalian masih belum selesai?"

Ia baru selesai mandi, setelah mengeluh bahwa bau peti tadi masih belum hilang dari badannya. Rambutnya yang masih basah terbalut handuk, dan pakaiannya sudah diganti. Masih hitam, juga.

Toko Barang Antik Tsukumodo juga menjadi tempat tinggal Towako-san. Di belakang toko ini ada rumah dua lantai, dimana di lantai pertama ada ruang tengah, dapur, toilet dan kamar mandi, sedangkan di lantai dua ada dua kamar tidur. Aku sendiri menyewa apartemen di tempat lain, tapi Saki tinggal disini.

"Panggil aku kalau kalian sudah selesai," kata Saki.

Ketika dia berbalik kembali ke ruang tengah, aku berkata pada Towako-san, "Baiklah, tapi ini yang terakhir ya—"

Tiba-tiba, aku baru tersadar kalau Towako-san sudah menghilang. Kulihat ke sekeliling, dan kutemukan ia sedang mengendap-endap di belakang Saki. Ia tersenyum licik sambil memegang kalung anjing itu di tangannya.

"Hm?"

Saki yang merasa ada seseorang di belakangnya segera berbalik, tapi sudah terlambat: Towako-san memasang kalung itu di leher Saki. Meskipun kalungnya terlalu pendek untuk leherku, kalung itu pas di leher saki.

"Saki-chan, buatkan teh."

"…Baiklah," ia mengangguk menjawab permintaan Towako-san yang tiba-tiba dan masuk ke ruang tengah, menuju ke dapur.

"Jeng-jeng! Bagaimana menurutmu, Tokiya?" kata Towako-san penuh kepuasan sambil menunjuk ke Saki.

"Tunggu dulu… biasanya kau juga memintanya membuatkan teh, kan?"

"Masih tak percaya denganku, ya?"

"Tidak, kupikir kata-kataku barusan masuk akal…"

"Baiklah, kalau begitu giliranmu untuk memberikan perintah padanya. Kalau ia langsung melakukannya, maka kau harus mengakui keaslian kalung itu!" kata Towako-san.

Tak lama, Saki kembali dengan membawa segelas teh hitam.

Towako-san menggerakkan dagunya ke arah Saki, memberi aba-aba padaku untuk memberikan perintah. Sepertinya aku tak bisa membantah lagi. Supaya ia segera mengakui bahwa Relik ini hanyalah barang palsu, aku harus memberikan perintah yang dalam kondisi normal tak akan dilakukan oleh Saki.

"Err… Hei, Saki, senyum."

"Ada apa ini, kok tiba-tiba?"

"Tak apa, senyumlah saja."

"…Ini sudah," kata Saki dengan muka datar.

Senyum yang mana?!

"…"

"…"

Kesunyian yang aneh terasa di antara kami berdua. Saki mengaku bahwa ia sedang tersenyum, tap mukanya masih datar seperti biasa.

Saki bukan orang yang menunjukkan perasaannya, dan bisa dibilang tak bisa berekspresi. Dengan fakta bahwa ia tak bisa tersenyum ramah di depan pengunjung toko, jelas ia bukan orang yang cocok untuk melayani pelanggan, meski ia justru sangat yakin akan sebaliknya.

Yang pasti, sekarang ini tak dapat dipastikan apakah ia menuruti perintahku barusan atau tidak.

"Kau bisa menyuruhnya melakukan hal yang lain, kan? Suruh saja ia melepas pakaiannya, selesai!" kata Towako-san padaku.

Woah, tunggu dulu... menyuruhnya melepas pakaiannya? Yah, toh Relik itu kan palsu, jadi tak mungkin ia melakukannya.

"Baiklah. Saki, lepas pakaianmu."

Mata Saki membelalak dan badannya sedikit tegang, tapi sesaat kemudian ia menundukkan kepala dan mendekap tangannya di dada.

Eh? Ini tak seperti yang kubayangkan…?

Saki melangkah ke arahku dan matanya menatapku dengan malu-malu.

Err, apa? Apakah ia akan benar-benar…?

Lalu tangannya yang terkepal ia angkat dari dadanya, dan mendarat keras tepat di mukaku.

"Ugh!"

"Kau pantas menerimanya," kata Towako-san yang tak terkejut, tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Kau yang menyuruhku mengatakannya!"

"Yang kumaksud itu handuk di kepalanya."

"Kau sama sekali tak mengatakannya!" Sial! Kutukku pada diriku sendiri sambil mengelus-elus hidungku yang nyeri. "Tapi sekarang kau tahu bahwa kalung itu adalah Relik palsu."

"…"

"…"

"Astaga, mereka menipuku…!"

"Kau baru sadar?!"

Setelah perjalannya berakhir sia-sia, Towako-san benar-benar syok dan pergi ke kamarnya.

Aku hanya bisa mengangkat bahu dan mendesah lega—namun langsung disela.

"Jadi apa yang sebenarnya kalian lakukan barusan?" tanya Saki dengan suara yang sangat datar.

"Ah, jadi Towako-san bilang bahwa kalung yang kau kenakan akan membuatmu melakukan apa yang kami katakan, lalu kami mengeceknya apakah kalung itu memang Relik asli atau bukan."

"Begitu, Jadi itu tujuanmu memberikan perintah yang sekonyol itu?"

"Yah, begitulah. Tapi aku yakin kalau kalung itu palsu."

"Bagaimana jika kalung itu Relik asli?" balasnya.

"Hm?"

"Apa yang akan terjadi kalau kalung itu memang Relik yang asli?"

"Yah, kurasa kau akan mengikuti perintahku dan melepas pakaianmu, iya kan?"

"He-em," gumam Saki dengan suara yang dingin.

Entah kenapa, akhir-akhir ini aku bisa mengenali apa yang dirasakan Saki meskipun mukanya tetap tak menunjukkan apa-apa.

"Ehm…" erangku sembari menggaruk kepala. "Kau marah?"

Saki tetap diam dan memukulku di muka sekali lagi.


Saki dan aku berjalan bersebelahan. Mungkin untuk membalas perintahku tadi, ia menyuruhku untuk membantunya berbelanja, salah satu tugasnya sebagai orang yang mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Meski begitu, entah menjaga toko atau membawakan beberapa tas belanjaan tak ada bedanya. Justru, meninggalkan toko pada Towako-san dan pergi berbelanja memberikan kesempatan untuk keluar dari hal-hal yang rutin.

Tentu saja tidak ada perbincangan yang terjadi antara Saki dan aku, tapi itu juga bukan hal baru. Lagipula, berjalan-jalan dengan santai dan tenang sepertinya telah memperbaiki moodnya.

Tiba-tiba, kami bertemu dengan seorang gadis kecil yang menyandang tas ransel berjongkok di tengah jalan. Melihat ada orang yang mendekat, gadis itu mengangkat kepalanya dan melihat kami berdua.

"Saki-chan!" teriaknya, sambil melambaikan tangan, ketika matanya menemukan Saki.

Terkejut, kulihat Saki yang juga melambaikan tangannya dengan muka datar seperti biasa.

Dari apa yang dikatakan Saki, gadis ini, yang menguncir rambutnya menjadi berbentuk sepasang sanggul dengan jepit rambut berbentuk bunga, bernama Asami Yanagi. Mereka berteman setelah merawat kucing liar bersama-sama. Kucing itu lalu dibawa pulang oleh Asami-chan, jadi akhir-akhir ini mereka hanya bertemu ketika berpapasan di jalan.

"Bagaimana kabar Mii?" tanya Saki. Muka Asami-chan berubah masam ketika ia mendengar nama kucing yang baru saja disebutkan. "Ada apa?"

"Mii pergi dari rumah…" kata Asami-chan.

"Kau tak tahu kemana ia pergi?"

"Entah... ia pergi tiga hari lalu dan belum kembali."

Kucing adalah hewan yang menyukai kebebasan, dan seringkali pulang ke rumah tuannya sesukanya saja. Tapi tetap saja, aku bisa mengerti mengapa Asami-chan khawatir.

"Tapi Saki-chan, menurutku ia ada di pondok kucing!"

"Pondok kucing?"

"Mm. Disana ada rumah besar yang ada banyak sekali kucing di dalamnya! Orang bilang kucing-kucing yang hilang biasanya pergi kesana."

"Apakah kau sudah pergi kesana dan mencari Mii?" tanya Saki.

"Mmm, aku takut dengan nenek yang tinggal disana…" gumam Asami-chan pelan, menunduk lesu. Aku bisa merasakannya, ia sedih karena khawatir dengan kucingnya, tapi ia juga tak berani menghadapi nenek tua yang menakutkan.

Berusaha menghibur, Saki menepuk pundak Asami-chan dan mengatakan, "Kalau begitu, ayo kita pergi bersama-sama."

"Benarkah?" tanya si gadis kecil yang wajah muramnya berganti dengan senyum yang lebar.

"Ya, kubantu kau mencarinya," jawab Saki penuh keyakinan.

"Terima kasih banyak!"

Saki memegang tangan Asami-chan dan berjalan di sisinya ke arah yang Asami-chan tunjuk.

Tsukumodo V3 29.jpg

"Baiklah, aku akan kembali ke toko kalau begitu."

Tiba-tiba sadar kalau aku ada di sini juga, Saki berhenti dan menghampiriku.

"Apa maksudmu? Kau ikut bersama kami juga, Tokiya."

"Eh?"

Ia pasti bercanda! Masa aku juga harus ikut mencari kucing. Mana waktu kerjaku juga sudah hampir selesai, juga.

"Ya? Kau mau membantahku?"

"…Tidak, tentu saja tidak," aku tak bisa membantah dan hanya bisa mengikuti perintahnya, meskipun aku sendiri sebenarnya tak setuju.

Aku tak bisa menolak perintah Saki. Mungkin kalung itu adalah Relik yang asli, meskipun dengan kekuatan yang berbeda… ah, mana mungkin.

Setelah menelepon Towako-san dan mengabarkan kalau kami akan pulang terlambat, kami pergi mencari kucing itu. "Ayo pergi," kata Asami-chan yang menarik tanganku dan mulai berjalan.

Dengan si gadis kecil di antara kami berdua, aku dan Saki beranjak ke pondok kucing.


Papan nama di tempat yang Asami-chan sebut sebagai "pondok kucing" juga bertuliskan "pondok". Yang pasti, rumah besar itu, yang dikelilingi dengan tembok tebal dan tinggi, meskipun terlihat tua, namun sangat besar dan di dalamnya pasti ada lebih dari 20 kamar.

Selain itu, nama "pondok kucing" juga bukan tanpa dasar: ada banyak kucing di halaman, di atap, dan dimana-mana—dari kucing yang biasa dijumpai seperti kucing putih, hitam, dan tiga warna, sampai kucing yang tak lazim yang biasanya hanya ada di toko hewan piaraan. Kuhitung sekilas, ada lebih dari 20 kucing di luar sini.

Tak heran banyak orang yang mengira bahwa kucing yang hilang biasanya akan bisa ditemukan disini.

"Wow, ada American Shorthair disana. Wah, ada Chincilla juga," ujar Saki.

"Kau tahu banyak juga, ya?" Aku tak pernah mengira ia tahu tentang hal-hal seperti itu.

"Aku membaca buku tentang kucing tempo hari. Kalau tidak salah judulnya 'Panduan Lengkap Segala Kucing'."

"Ingin memelihara kucing?"

Saki merengut dan membalas, "Apa maksudmu, Tokiya? Tentu saja untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan."

Saki punya kebiasaan membaca berbagai jenis buku untuk menguasai seni melayani pelanggan, yang ia pikir adalah panggilan hidupnya.

Tapi, ia sendiri tak sadar bahwa ia sama sekali tak berbakat untuk itu.

"Kalau aku bisa memahami sifat kucing, aku juga bisa memahami sifat pelanggan kita, kan?"

"Nggak, sama sekali nggak. Sepertinya kau takkan berhasil."

Asami-chan memiringkan kepalanya ketika mendengarkan kami berbicara, tak memahami apa yang kami bicarakan. Ya, maklum saja: bahkan aku tak mengerti apa yang sebenarnya kami bicarakan, meskipun aku sudah terbiasa membicarakannya.

Yah, kami sebaiknya tak berdiri di gerbang depan terlalu lama.

Karena kami tak bisa masuk begitu saja, kuminta Saki menekan tombol bel.

Beberapa saat kemudian, seseorang berteriak, "Siapa itu?" dan muncul di balik pagar besi. Ia adalah seorang wanita tua dan bungkuk yang berambut putih dan berbadan kecil. Kerutan di mukanya menunjukkan sifat kerasnya; Asami-chan bersembunyi di balik tubuh Saki.

"Aku bertanya siapa kalian!" ia tak berteriak ke arah Saki, yang membunyikan bel, tapi ke aku, dan ia melihatku tepat ke mataku.

"Err, sepertinya kucing gadis ini hilang dan mungkin pergi ke rumah ini. Bolehkah kami mencarinya disini?"

Si wanita tua melihat satu-persatu dari kami dan menggaruk hidungnya, "Kucing-kucing ini semuanya milikku. Jangan ganggu aku, pulang sana."

Contoh sempurna dari orang yang sulit ditawar. Tak heran sifat nenek itu akan membuat anak kecil seperti Asami-chan takut. Namun, setelah berhadapan dengan orang yang tak menampakkan emosi setiap harinya, merespon nenek itu tentu saja bukan hal yang sulit buatku.

"Tapi ada yang melihat kucing itu pergi kemari! Tak bisakah anda memberikan kami kesempatan?"

"Aku sudah menyuruh kalian pergi."

"Kami tak akan mengganggu anda, nek. Kami hanya akan sebentar saja disini."

"Keras kepala sekali kau, ya? Apakah kau tak sadar kalau kau sudah menggangguku sekarang?" katanya gusar, lalu berbalik dan segera menutup percakapan kami.

Tak lama, segerombolan kucing telah berkumpul mengelilingi nenek tua itu, menggosok-gosokkan pipinya ke kaki si nenek.

"Apakah sekarang waktunya makan?" tanya Saki. Nenek itu menjawab dengan anggukan pelan, "Ya."

Saki berbalik melihat ke si gadis kecil dan berkata, "Asami-chan, kau sudah dengar sendiri, kan? Kucing-kucing ini mau makan, jadi kita kembali lagi nanti saja."

"Baiklah... mungkin mereka sudah lapar..." Asami-chan tak menolak, karena ia sudah melihat kucing-kucing itu mengeong di sisi kaki nenek itu.

"Kami akan kembali lagi lain kali. Saya akan sangat berterima kasih kalau anda mempersilahkan kami mencarinya di waktu itu," kata Saki dengan nada yang sopan.

Nenek itu mendengus kesal, "...Kalau kalian membantuku memberi makan kucing-kucing ini, aku akan ijinkan kalian masuk untuk mencari kucing itu."

Ia berjalan ke balik pagar, membuka kuncinya dan berbalik lagi, diikuti dengan kucing-kucingnya.

"Cepat masuk. Aku tak butuh orang-orang malas," teriaknya tanpa berbalik karena kami masih terpaku di tempat, kebingungan dengan apa yang barusan terjadi. Mungkin ia memang sebenarnya ia tidak sejahat yang ditunjukkan perilakunya tadi.

Kami mengikuti kucing-kucing yang berjalan di belakang nenek itu menuju ke halaman depan. Sedikit demi sedikit, kucing-kucing yang lain ikut berkumpul dari segala arah, tergiur dengan makanan yang akan segera dibagikan, dan bergabung menjadi satu rombongan yang terdiri dari lusinan kucing. Asami-chan juga ikut ke rombongan itu dengan mata berbinar-binar kesenangan.

"Gadis yang ceria, ya?" kataku pada Saki yang berjalan di sebelahku, tapi ia tak membalas. Curiga dengan diamnya Saki, aku menengok melihatnya dan ternyata ia begitu terpesona dengan rombongan kucing-kucing itu. Tentu saja ia tak sadar aku sedang berbicara padanya.

Tak lama kemudian, si nenek kembali membawa sekantong besar makanan kucing yang ia ambil di depan pintu. Namun, Asami-chan yang masih ketakutan bersembunyi di belakang Saki.

Nenek itu sadar bahwa Asami-chan malu-malu, namun ia tak menaruh perhatian sedikitpun dan memasukkan tangannya ke kantong itu, lalu melemparkan segenggam makanan kucing, melemparkannya ke arah kucing-kucing yang bergerombol.

Dengan suara mengeong yang makin keras, kucing-kucing itu segera menyerbu makanan dan gigi-gigi mereka menggeretak mengunyah makanan.

"Ini," kata si nenek sembari menyerahkan kantongnya kepada kami. Sepertinya, kami sudah harus mulai bekerja.

Aku sudah akan mengulurkan tanganku untuk menerima kantong itu, tapi Saki maju lebih dulu dan mengambilnya. Adanya Asami-chan sepertinya membuat Saki lebih semangat. Meski begitu, aku agak khawatir kantong itu terlalu berat untuknya karena kantong itu begitu besar.

"Kutinggalkan kucing-kucing di luar pada kalian. Pastikan mereka semua mendapatkan makanan!" Dengan kata-kata itu, si nenek masuk ke dalam rumah.

Secara bersamaan, Asami-chan keluar dari balik tubuh Saki.

"Kau masih ketakutan?" tanyaku, dan senyum aneh menjadi jawabannya. "Ya, mungkin ia memang tidak bisa akrab dengan orang lain, tapi sepertinya ia bukan orang yang jahat."

Sepertinya nenek itu masuk ke dalam supaya ia tak menakut-nakuti Asami-chan.

"Mm…" gadis itu mengangguk.

"Tapi dia sama saja dengan Saki, kan?"

"Heh? Tentu saja tidak! Saki-chan tidak menakutkan! Ia baik sekali, dan suka tersenyum!"

"Dia suka apa?" tanyaku setengah kaget. "Ia tak pernah tersenyum, kan?"

"Ia tersenyum! Walau sebenarnya tak mudah terlihat. Payah sekali kamu, kak! Kau 'kan pacarnya, jadi perhatikan yang benar, dong!"

Kebingungan dengan sikapnya yang tiba-tiba seperti orang dewasa, aku membalas kata-katanya dengan jelas: "Aku bukan pacarnya."

"Orang dewasa tak ada yang bisa berbohong!" serunya seolah-olah ia sudah tahu semuanya, dan ia berjalan ke arah Saki yang akan membagikan makanan kucing.

Sedikit goyah karena berat kantong yang dibawanya, Saki mulai melemparkan makanan itu seperti yang dilakukan nenek itu sebelumnya. Kucing-kucing itu, melompat kesana kemari dan menyerbu makanan yang sudah disebar.

"Saki-chan, aku mau memberi makan juga!" kata Asami-chan mengulurkan kedua tangannya pada Saki untuk meminta kantong yang dibawanya.

Setelah berpikir-pikir sesaat, Saki memberikan makanan kucing itu padanya. Namun, kantong itu terlalu berat untuk gadis kecil seperti Asami-chan; tak mampu menahan berat kantong itu, ia menjatuhkannya dan isinya terlempar kemana-mana.

Saki segera bergerak untuk mengumpulkan makanan yang keluar kembali ke dalam kantongnya, tapi ternyata itu langkah yang kurang tepat: kucing-kucing segera menyerbu dari segala penjuru, beberapa bahkan melompat, dan Saki malah terjatuh. Kucing-kucing itu sepertinya tak peduli, dan tak lama kemudian ia tenggelam di lautan kucing.

"Kuharap Saki-chan baik-baik saja…"

"Mungkin dia tak bisa bernafas disitu."

Setelah beberapa saat dimana kami hanya melihat kucing-kucing berpesta pora dari kejauhan, satu persatu dari mereka menyingkir dan Saki yang tergeletak di tanah dengan rambut acak-acakan mulai nampak.

Ketika kami mendekatinya, ia terduduk dan matanya menatap kosong.

"Halo? Kau baik-baik saja?" tanyaku sambil melambai-lambaikan tangan di depan mukanya. Ia tak bereaksi, namun ia tak terlihat syok.

Untuk mengetes, kuambil seekor kucing putih dan kupegang di atas Saki. Seperti tersihir, pelan-pelan ia mengangkat tangannya.

Kuangkat kucingnya ke kanan, dan ia mengayunkan tangannya ke kanan.

Kuangkat kucingnya ke kiri, dan ia mengayunkan tangannya ke kiri.

Ketika kulepaskan kucing itu ke pelukannya, ia memeluknya lembut, pipinya memerah dan matanya sembab.

"Kau benar-benar suka kucing, ya?"

Seakan-akan mengiyakan, Saki menghela nafas panjang, "Hau…"


Hm… aku baru tahu kalau ia begitu suka kucing.

Sepertinya, ia mulai tertarik dengan kucing setelah membaca buku-buku pengembangan diri itu dan semakin menyukai kucing setelah memberi makan Mii si kucing liar. Mungkin, ia memang ingin merawat seekor kucing, tapi aku juga belum melihat tanda-tanda kearah sana.

Asami-chan tentu akan menceramahiku kalau ia tahu…

Setelah kami selesai memberi makan kucing, kami mendapat izin dari nenek itu untuk mencari di seluruh bagian rumah itu, kecuali di kamarnya.

"Segera pulang setelah kalian menemukan kucing kalian!" gerutunya sebelum ia masuk ke kamarnya. Ia tak ingin mengawasi kami, apalagi membantu.

"Baiklah, dimana sebaiknya kita mulai? Oh, seperti apa kucing itu sebenarnya?"

"Bulunya putih, dan telinga kanannya berwarna hitam. Ia akan merespon kalau kau memanggilnya Mii, jadi kalian akan mudah menemukannya."

Aku sih tak begitu yakin pikirku tak setuju, tapi sepertinya ia benar-benar yakin bahwa kucing itu akan muncul kalau kami memanggilnya. Asami-chan mencoba memberikan ukuran kira-kira kucing itu dengan tangannya, tapi ukurannya kurang lebih sama dengan kebanyakan kucing.

"Apakah ia memakai kalung atau sejenisnya?"

"Ya. Sebuah kalung yang bertuliskan 'Mii.'"

Bulunya putih, kuping kanannya hitam, dan memakai kalung—itu ciri-ciri kucing yang kami cari. Tugas kami sekarang adalah mencari kucing putih dengan kuping kanan hitam, lalu mengecek kalungnya.

Kucing-kucing ini tidak hanya berkeliaran di luar, tapi juga di dalam pondok. Asami-chan tidak melihat Mii ketika ia memberi makan kucing di luar; seharusnya kami seharusnya ikut melihat nenek itu ketika ia memberi makan kucing-kucing yang lain, tapi sudah terlambat.

"Sebaiknya, untuk sementara kita fokus mencari di dalam pondok."

Saki dan Asami-chan mencari di lantai pertama, sedangkan aku bertugas mencari di lantai atas. Seekor kucing yang sedang duduk di pegangan tangga menatapku dan melompat lalu pergi. Tapi warnanya coklat, sih.

Di lantai dua, ketika aku sedang berjalan di sepanjang lorong, tiba-tiba seekor kucing putih yang badannya bulat mendorong pintu hingga terbuka dan berlari melewatiku. Kucing yang ini jauh lebih besar daripada yang dijelaskan Asami-chan tadi. Sayang sekali.

Namun, berikutnya aku baru tersadar kalau tidak ada pintu yang benar-benar tertutup disini. Mungkin untuk membiarkan kucing-kucing bebas keluar masuk.

Supaya bisa segera mulai mencari, aku bergerak ke pintu yang paling dekat, dan membukanya. Di dalamnya tidak ada futon, namun sebuah kasur dengan seekor kucing belang tiga di atasnya, yang menguap santai dan kembali tidur. Kucing ini sepertinya tak takut dengan manusia.

Aku juga mencari ke ruangan yang lain, tapi semuanya bisa dibilang kosong. Kalau tidak karena ada nenek itu, mungkin tempat ini lebih cocok disebut pondok tak berpenghuni.

Kalau dipikir-pikir lagi, apakah dia satu-satunya yang tinggal disini? Tempat ini sepertinya terlalu besar untuk ditinggali seorang saja. Apakah ia tak punya sanak saudara?

Setelah selesai melihat-lihat, aku kembali ke bawah dan berpapasan dengan nenek yang meninggalkan kamarnya.

"Tak ketemu?"

Aku mengangguk, dan ia mendesah: "Sudah kuduga."

"Maaf kalau saya lancang, tapi apakah anda tinggal di sini sendirian?"

"Ya, sekarang aku tinggal sendiri." Untuk sesaat, aku khawatir telah menanyakan tentang masa lalu yang kelam karena mendengar kata 'sekarang', tapi sepertinya ia telah melihat kekhawatiranku, dan ia menambahkan: "Aku punya suami dan seorang anak perempuan yang meninggal lebih dulu dariku. Tapi, ingat, aku bukan orang yang kesepian yang memilih untuk ditemani kucing."

Jurang yang membedakan pengalaman hidup kami berdua mulai nampak.

"Lalu, kalau begitu kenapa anda memelihara begitu banyak kucing di rumah ini?"

"Aku tidak memelihara mereka—mereka datang sendiri kemari. Meskipun ada juga orang-orang yang sengaja meninggalkan kucing mereka di sini. Mereka pasti berpikir aku takkan bisa membedakan kucing satu dengan yang lainnya."

"Apakah anda mengembalikan kucing-kucing itu ke pemiliknya?" tanyaku.

"Kau ingin aku mengembalikan kucing yang baru saja dibuang pemiliknya? Aku takkan melakukannya meskipun si pemilik berubah pikiran dan memohon-mohon padaku untuk mengembalikan kucingnya."

Pantas saja ada begitu banyak kucing disini, kataku pada diri sendiri.

Setelah ia selesai berbicara, seekor anak kucing mendekatinya dan menggosok-gosokkan badannya ke kaki nenek itu.

"Tak kebagian, ya?" katanya, tahu apa maksud kucing itu, dan meletakkan beberapa butir makanan kucing yang ia ambil dari kantong ke lantai. Sepertinya, anak kucing yang ini kalah ketika berebut makanan dan masih kelaparan.

Tiba-tiba, si nenek tua sadar aku sedang mengamatinya dan bertanya dengan agak canggung, "Apa yang lucu?"

"Oh, tak usah pedulikan aku."

Jelas-jelas, ia tak berkata jujur ketika ia mengatakan bahwa ia tak memelihara kucing-kucing itu. Ia sepertinya lupa bahwa tadi ia telah mengatakan pada kami bertiga kalau semua kucing ini adalah miliknya.

"Hmph! Jangan salah sangka, anak muda. Aku bukan perempuan lemah pecinta kucing yang tak bisa meninggalkan kucing liar yang tak berdaya!"

Apakah ini juga termasuk tsundere? tanyaku pada diriku sendiri, tapi kuputuskan untuk mengubah topik pembicaraan supaya ia tidak semakin kesal:

"Kau tidak pernah melihat kucing putih dengan telinga kanan berwarna hitam?"

"Anak muda, kau salah sangka kalau kau pikir aku ingat semua kucing yang ada di sini."

Ia bohong. Baru saja ia sendiri mengatakan kalau beberapa pemilik kucing meninggalkan kucing mereka berpikir bahwa ia tak memperhatikan. Aku yakin ia ingat semua kucing yang tinggal di sini.

"Petunjuk sekecil apapun akan sangat membantu."

"…Aku tak yakin ada kucing seperti itu di sini. Kalau ada aku kucing seunik itu, aku pasti akan mengingatnya."

Kalau begitu, mungkin kucing itu memang tidak ada di sini.

"Bisakah kalian pulang sekarang? Hari sudah gelap," katanya. Kulihat jam tanganku, sudah hampir jam 6. "Aku tak tahu bagaimana dengan anak-anak jaman sekarang, tapi aku yakin anak sekecil dia tidak seharusnya berkeliaran di luar setelah petang. Apakah orang tuanya tahu? Kalau tidak, pasti mereka akan khawatir!"

Meskipun tidak ada jam malam untukku atau Saki, ia benar sekali, kalau kami harus segera membawa Asami-chan pulang.

Tak lama, Saki dan Asami-chan muncul.

"Kalian sudah menemukan kucingnya?"

Keduanya menggelengkan kepala. Asami-chan nampak kecewa. Aku mendengar suaranya memanggil-manggil Mii dari lantai dua tadi, tapi sepertinya usahanya sia-sia.

"Kali ini kita cukupkan di sini saja, ya?" usulku pada Saki sambil menunjuk ke arah jam di dinding. Ia mungkin ingin mencari lagi, tapi setelah melihat jam, ia setuju denganku.

"Ayo pulang, Asami-chan," kataku.

"Tapi…" gadis itu menggumam kesal.

"Kami akan membantumu mencari lagi besok. Setuju?"

Saki mengangguk tanda setuju. Kami lalu menentukan waktu kami berkumpul lagi esok hari.

"Kucing putih dengan telinga hitam, kan?" kata nenek itu. "Akan kuberitahukan kalau aku melihatnya. Sekarang, kalian pulang segera."

Asami-chan mengangguk patuh dan pergi bersama Saki untuk mengambil tasnya.

"Kau anak muda yang baik juga, ya?" kata nenek tua saat dia melihatku dengan senyum tipis.

Yah, sudah terlanjur basah, lebih baik menceburkan diri sekalian. Lagipula, aku tak bisa meninggalkan salah satu teman Saki, yang memang sejak awal jumlahnya tidak banyak.

"Tapi kenapa anda tiba-tiba menjadi baik pada kami?" tanyaku, karena aku jelas-jelas tidak mengira ia akan mau menerima kami setelah 'sambutannya' di depan gerbang.

"Hmph. Yah… karena rasa simpati, mungkin? Aku punya pengalaman seperti itu juga di masa lalu. Jangan pernah … jangan pernah meninggalkan apa yang berharga bagimu. Karena kadang-kadang, kau takkan bisa mendapatkannya kembali."

Apakah orang tuanya membuang binatang peliharaannya di masa lalu, atau semacamnya? Mungkin pondok kucing ini adalah reaksinya dari kejadian itu.

Tepat ketika pikiran itu muncul di kepalaku, seseorang mengetuk pintu.

"Siapa itu yang datang di waktu semalam ini?" keluh si nenek.

Kami berdua beranjak ke pintu depan. Ketika ia membuka pintu, seorang wanita muda muncul di baliknya. Ekspresi wajahnya serius, tapi mukanya mirip dengan Asami-chan.

"Kau…"

"Apakah Asami disini? Ada yang melihatnya pergi kemari."

Ternyata ia memang ibu Asami-chan. Sepertinya ia datang kemari untuk menjemput putrinya karena jam yang sudah cukup larut.

"Ya, ia ada di sini dan sedang bersiap-siap untuk pulang. Tunggu sebentar, aku akan memanggilnya," kata nenek dan ia pergi ke dalam memanggil Asami-chan.

Terlambat menyusulnya, aku ditinggal berdua dengan ibu Asami yang sama sekali tak terlihat senang.

"Ehm, saya teman Asami-chan. Kami sedang mencari Mii."

"Mii? Oh, terima kasih."

Meskipun ia mengatakan terima kasih, tapi aku sama sekali tak merasa bahwa ia sungguh-sungguh berterima kasih. Kami sama-sama tak bersuara setelahnya.

Tiba-tiba, seekor kucing muncul dan berjalan ke kaki ibu itu.

Awalnya, kuharap kucing itu bisa menjadi penghubung antara kami berdua, tapi ibu Asami-chan buru-buru bergeser setelah melihat kucing itu sekilas. Namun, kucing itu mendekatinya lagi. Akhirnya, wanita itu mendorong kucing itu menjauh dengan kakinya. Meskipun sambil berhati-hati supaya tidak menyakiti kucing itu, tapi jelas-jelas ia tidak suka kucing.

"Anda tidak suka kucing?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku dan dibalas dengan tatapan tajam dari matanya.

"Ehm, saya hanya penasaran karena Asami-chan suka kucing."

"Ya. Asami dan suamiku memaksa untuk memelihara kucing, tapi aku tak begitu suka dengan kucing. Kucing perlu banyak perawatan, dan mereka juga akan mengotori karpet dan cucian kami…"

"Apakah anda tahu dimana Mii mungkin berada?"

"Entahlah. Tapi kucing, kan, memang binatang yang suka berkeliaran kemana-mana."

Bagiku, ia bukannya tidak tertarik dengan dimana kucing itu, tapi justru seperti biasa saja, mungkin lebih tepat dibilang senang bahwa kucing itu hilang.

"Yah, lagi pula kami juga tak akan memelihara kucing itu lagi, meskipun kalian menemukannya."

"Hm?"

"Asami tidak bilang apa-apa?" tanyanya. "Kami akan pindah ke apartemen yang baru minggu ini karena rumah yang selama ini kami sewa sudah cukup tua. Tempatnya tidak begitu jauh, jadi Asami dapat pergi ke sekolah yang sama seperti sebelumnya, namun hewan peliharaan tidak diperbolehkan di apartemen kami yang baru."

"Aku tak mau pindah!" teriak Asami-chan ketika dia muncul di pintu depan. "Aku takkan pergi ke rumah baru itu! Aku akan tinggal di rumah bersama Mii!"

"Asami. Bisa tidak kau berhenti berulah seperti anak nakal? Kita sudah setuju bahwa kau hanya akan memelihara Mii selama kita tinggal di rumah yang lama, kau ingat?"

"Tidak! Aku ingin bersama Mii!"

"Tapi Mii sudah kabur, nak!" balas sang ibu.

"Ia hanya sedang berjalan-jalan! Mii pasti akan kembali pulang!"

"…Pokoknya, sekarang sudah malam. Kita pulang sekarang."

"Aku tak mau!"

"Ya sudah! Terserah kau saja!"

Nenek tua pemilik rumah ini membalas kata-kata si ibu, "Kau tak boleh mengatakan hal seperti itu pada anakmu sendiri."

Namun, si ibu tidak mengindahkan kata-kata nenek itu dan berkata, "Terima kasih sudah mengijinkan Asami kemari. Tapi aku akan sangat berterimakasih apabila kita hentikan keributan ini sekarang juga."

Ia menunduk dan segera beranjak pergi, disusul oleh Asami-chan yang menangis memohon-mohon pada ibunya untuk menunggunya. Tak ada anak yang mau ditinggal ibunya, meskipun mereka sedang bertengkar. Sadar akan hal itu, sang ibu berhenti di depan pintu dan berjalan bersama Asami-chan meninggalkan pondok ini.

Aku sama sekali tidak memperkirakan bahwa semuanya akan berakhir seperti ini, pikirku. Keluarga Asami-chan akan pindah dalam beberapa hari, jadi ia takkan bisa memelihara Mii lagi.

Namun, meski begitu, ia tidak menyerah dan tetap mencari kucingnya, percaya bahwa keadaannya, entah bagaimana caranya, akan menjadi lebih baik. Sedangkan bagi sang ibu, hilangnya kucing itu secara tiba-tiba terjadi pada saat yang sangat tepat.

Mungkinkah Mii kabur karena ia merasa bahwa ia akan ditinggal pergi tak lama lagi?

"Aku ingin tinggal bersama Mii…" bisik si nenek lirih, mengulang apa yang dikatakan Asami-chan beberapa saat sebelumnya.



Jam tujuh malam—waktunya peti itu muncul.

Peti tersebut, yang sudah ada di rumahku sekian lama, punya efek khusus, dimana ia dapat menyimpan apapun yang ada di dalamnya serta menjaganya supaya kondisinya tetap seperti sebelum dimasukkan. Ada 14 tombol angka yang diputar, yang dapat digunakan untuk menyetel tanggal dan jam; peti itu akan hilang dan muncul sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Bergantung dari pengaturan yang diberikan, peti itu dapat menghilang nyaris selamanya—namun, pada akhirnya, ia akan muncul lagi. Seperti sebuah kesalahan yang pernah dilakukan, akan tidak mungkin untuk menghapus keberadaan peti itu,

Kalau ada waktu dimana aku bisa menghapus kesalahanku—dan peti ini—maka waktu itu adalah ketika aku menarik nafas untuk terakhir kalinya.

Aku yakin peti ini dulunya milik orang lain, tentu saja mereka tidak menggunakannya seperti bagaimana aku memakainya: dengan mengunci makhluk hidup di dalam peti ini.

Namun, aku tak punya pilihan lain selain tetap menyembunyikannya. Tak ada seorangpun yang bisa melihatnya, dan tak ada yang bisa menemukannya; karena peti ini menyimpan bukti dosa yang aku lakukan.

Kubuka tutup peti itu, yang sekarang telah muncul di depanku, dan aku hanya bisa mendesah lega setelah yakin bahwa tak ada yang berubah.

Meskipun kebiasaan setiap hari ini nyaris saja diganggu dengan kedatangan tamu yang tak diundang, saat-saat seperti ini adalah ritual yang tak bisa kutinggalkan sama sekali dan telah menjadi bagian dari keseharianku.

Tapi aku tak menyangka gadis itu adalah anak dari Yanagi-san. Untung saja…

Situasinya sekarang menjadi sedikit lebih rumit.

Saat itu, bukti dari kesalahanku membuka matanya, dan melihatku. Dengan mata yang bening dan penuh kepolosan, si kecil menatapku.

Ia lambat-lambat membuka mulutnya untuk mengeluarkan gumaman pelan yang tak bermakna, dan lenyap dalam keheningan.

"Lepaskan aku!" telingaku seolah-olah mendengar kata-katanya. Tentu saja, tak mungkin ada percakapan di antara kami berdua.

Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu. Meskipun kuabaikan, orang di luar sana tak berhenti mengetuk pintu rumahku. Tak punya pilihan lain, kutinggalkan kamarku dan pergi membuka pintu.

"Siapa?" tanyaku, yang dijawab dengan kemunculan Asami-chan. "Ada urusan apa kau datang kemari pada jam selarut ini?"

Apakah ia meninggalkan sesuatu? pikirku, tapi tak mungkin ibunya menyuruhnya kembali kesini sendiri. Jelas-jelas ia datang kemari secara diam-diam.

"Apakah terjadi sesuatu?"

Asami-chan menatapku dalam-dalam dan berkata, "Kembalikan Mii padaku."

Aku langsung menyerah dan tak melanjutkan kebohongan ini.

Ia sudah tahu.

Kupikir aku sudah menyembunyikannya dengan baik…

"…Baikalh! Akan kuberikan Mii kepadamu," kataku.

Asami-chan mengangguk dan tanpa banyak bicara, masuk ke dalam.

Mungkin akan lebih baik kalau kau tetap tidak tahu, nak...

Kututup pintu.



Aku sedang dalam perjalanan pulang dari Toko Barang Antik Tsukumodo. Aku sengaja mengambil jalan memutar melewati pondok itu, setengah berharap aku akan menemukan Mii.

Tepat ketika aku lewat di depan pondok, aku melihat seseorang berdiri di depan pintu masuk.

Sudah jam 8 lewat; apakah nenek itu dikunjungi seseorang pada waktu selarut ini? Setelah kuamati dengan lebih teliti, aku baru sadar kalau si pengunjung adalah ibu Asami-chan.

Apakah ia mengeluhkan Asami-chan yang terlambat pulang setelah datang kemari? pikirku, dan kuputuskan untuk ikut campur kalau-kalau situasinya menjadi lebih parah, dan aku menyelinap masuk gerbang depan dan menuju ke halaman.

Namun, kekhawatiranku tak terbukti: si ibu berbalik, lalu melangkah pergi, dan ia melihatku.

"Siapa…" gumamnya, mungkin ia salah mengira kalau aku ini hantu atau sosok yang mencurigakan. "Apakah kau masih ada urusan di sini?"

"Tidak, saya hanya kebetulan lewat. Tapi apa yang anda lakukan di sini, Yanagi-san?"

"…Aku minta maaf karena Asami tiba-tiba datang kemari tadi. Kau juga sebaiknya tak datang kemari lagi, Mii tidak ada di sini."

"Bagaimana anda bisa tahu?"

"Yah, karena…" ia mulai berkata-kata namun seperti kesulitan untuk memberikan alasan dari pernyataan sebelumnya.

"Anda tidak akrab dengan pemilik pondok ini, kan?"

"Aku hanya tak bisa memahaminya, itu saja! Aku tak mengerti bagaimana ia bisa lebih mengutamakan kucing daripada segalanya. Suatu kali, tetangganya mengeluhkan suara kucing-kucingnya, namun ia mengabaikannya begitu saja."

"Apakah itu yang mengganggu anda?" tanyaku.

"…Lalu ada juga gosip bahwa seseorang melihat ada anak kecil di pondok itu… meskipun ia tak punya cucu. Kabarnya, ia menyembunyikan seseorang yang berbahaya di dalam, dan polisi datang untuk menyelidiki. Namun, mereka tak menemukan apa-apa."

Omong kosong, pikirku. Tentu saja cerita-cerita itu dibuat oleh orang-orang yang tak suka dengan nenek itu.

"Pokoknya, tolong berhenti mencari Mii, ya? Aku juga akan meminta Asami untuk berhenti."

Ia akhirnya mengatakan inti pembicaraan sebenarnya.

Memang benar, Asami-chan tak akan mampu mendekati pondok itu tanpa bantuan kami, bahkan mungkin ia akan langsung menyerah! Aku merasa sang ibu secara tidak langsung menyalahkan aku dan Saki.

Tentu saja, ia tak mengatakannya langsung, dan kembali pulang. Aku sedang menunggu di halaman depan beberapa saat supaya tidak berpapasan lagi dengannya, ketika tiba-tiba lanpu menyala di kamar nenek tua itu.

Aku ingat ia sendiri berkata bahwa ia pergi tidur jam tujuh—apakah ia terbangun?

Melihat ke balik jendela, aku bisa melihat nenek itu. Bertarung dengan rasa bersalah karena mengintip, aku mengamati sesuatu yang aneh.

Ia memegang seekor kucing. Tentu saja, tidak ada yang aneh mengenai adanya kucing di kamarnya, tapi kupikir di sana tak ada kucing karena ia melarang kami mencari Mii di kamarnya….

Aku bukannya tidak mempercayainya, namun aku merasa perlu melihat dan mengamatinya lebih dekat.

Ia nampaknya sedang merapikan sesuatu, meskipun malam sudah selarut ini. Ia berdiri di balik peti besar yang ada di tengah kamar. Peti itu terbuat dari kayu, nampak sangat tua, dan besarnya cukup untuk beberapa ekor kucing—atau seorang anak kecil.

Aku tak bisa melihat apa yang ada di dalam peti itu, karena tutupnya yang ditahan engsel menghadap ke arahku. Namun, ada cermin di belakang nenek itu, yang membuat aku bisa melihat punggungnya. Kalau aku sedikit menggeser posisiku, mungkin ada kemungkinan aku bisa melihat ke dalam peti itu.

Kugeser kepalaku, berharap untuk bisa melihat lebih jauh, ketika tiba-tiba nenek itu berdiri. Karena posisi nenek itu berpindah, isi dari peti itu mulai nampak di cermin.

Aku berada terlalu jauh, sehingga aku tak bisa melihatnya terlalu jelas, namun aku benar-benar yakin ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Ketika aku berusaha melihat lebih jauh, nenek itu kembali lagi dan aku buru-buru menundukkan kepala.

Ia kembali di depan peti itu, menutupnya, dan mengunci peti itu setelah mengatur sesuatu dengan tangannya.

"?"

Aku nyaris saja berteriak karena kaget.

Apakah aku melihat hantu?

Aku berani bersumpah bahwa peti itu tiba-tiba lenyap setelah ia menguncinya.


Hari Sabtu, dan kami punya waktu setengah hari untuk mencari kucing itu. Ketika aku sampai di Toko Barang Antik Tsukumodo, sudah siap untuk mencari Mii, Saki juga sedang bersiap-siap.

"Oh, kau datang lebih cepat dari biasanya, Tokiya."

"Aku pasti akan menemukan kucing itu hari ini," balasku.

"Saki-chan, apakah ini cukup?" tanya Towako-san yang muncul dari ruang tengah, membawa pita hitam.

"Hm? Aku bukan satu-satunya yang benar-benar siap, ya?"

"Hah?"

"Yah, sepertinya kau akan mengikat rambutmu dengan pita itu, bukan?"

Saki menerima pita itu dari Towako-san, lalu menjawab, "Tentu saja," dan mengikat rambut panjangnya menjadi kuncir kuda.

Kami lalu beranjak ke pondok kucing, seperti yang telah kami setujui dengan Asami-chan tempo hari.

Jujur saja, aku ingin untuk mencari di tempat lainnya juga. Namun, Asami-chan tak nampak meskipun kami tunggu cukup lama. Karena kami tak punya petunjuk untuk mencari ke tempat lainnya, kami putuskan untuk menelusuri pondok itu sementara ini.

"Kalian benar-benar anak yang keras kepala… Ya sudah, cari saja sendiri. Tapi jangan terlalu lama," desah si nenek tua.

Untuk membuat pencarian kami lebih efektif, kali ini aku bertugas mencari di lantai satu, sedangkan Saki mencari di lantai dua. Si nenek mengikuti Saki ke lantai dua.

Kucari hingga setiap ujung kamar, namun tak ada tanda-tanda keberadaan Mii.

Tiba-tiba, satu pintu menarik perhatianku. Aku berani bersumpah kalau aku mendengar suara mengeong dari balik pintu itu.

Pintu itu adalah pintu kamar si nenek tua; satu-satunya kamar yang belum kami masuki sejauh ini.

Kami dilarang untuk memasuki kamar itu, tapi aku masih tak bisa melupakan apa yang kulihat tadi malam. Aku melihat ada seekor kucing di dalam kamar itu.

Dengan perasaan bersalah, kupastikan tidak ada orang yang turun ke bawah, lalu kumasuki kamar pribadi itu—yang mungkin kurang cocok disebut pribadi, karena toh kamar itu tidak dikunci, tapi tetap saja, aku memasuki kamar itu tanpa izin.

Aku tak berharap akan menemukan Mii di dalamnya. Aku hanya tak bisa menahan rasa penasaran mengenai kucing yang kulihat tadi malam.

Di dalam hanya ada tempat tidur dan sebuah lemari; tidak ada TV, meja, atau barang-barang lain yang lazim ada di kamar.

Anehnya, aku tak melihat kucing seekorpun. Dan yang lebih aneh lagi, tak ada peti di kamar ini. Jelas-jelas peti sebesar itu takkan bisa disembunyikan di manapun di kamar ini, jadi kupikir, mungkin ia menyimpan peti itu di tempat lain di rumah ini.

Meski aku yakin peti itu lenyap begitu saja...

Lalu aku melihat ada sepasang figura yang berdiri di atas lemari yang pendek.

Fotonya sudah lama dan gambarnya mulai kabur, di dalamnya terdapat keluarga yang terdiri dari tiga orang. Tak sulit mengenali nenek tua itu sebagai ibu muda yang ada di foto ini. Sang anak kuperkirakan seumuran anak SD. Di samping foto itu, ada foto lain yang lebih tua lagi, yang hitam-putih dan menampilkan seorang gadis balita.

Ada yang mengganjal di pikiranku. Entah apa itu, tapi ada sesuatu yang sepertinya tidak pas. Namun, sebelum aku menemukan jawabannya, ada yang menarik perhatianku.

Sebuah jepit rambut tergeletak di lantai, tersembunyi antara lemari dan tembok; jepit rambut ini seperti yang lazim dipakai anak kecil, dengan hiasan bunga. Memang, rasanya aneh kalau seorang nenek tua mengenakan barang yang kekanak-kanakan seperti itu, aku tak bisa menghilangkan perasaan seperti pernah melihatnya.

Badanku membungkuk untuk mengambilnya, dan tak sengaja menyenggol lemari dengan bahuku.

"Aduh si…!"

Terguncang karena lemarinya kusentak, figura tadi jatuh ke lantai dengan suara gedebuk, dan jeritan kaget muncul tiba-tiba di kamar ini.

"Hm?" gumamku sebelum menengok untuk mencari dari mana suara barusan berasal. Namun, aku tak melihat seorangpun disini.

Tidak, kalau tidak salah…

Aku segera tengkurap di lantai dan melihat ke bawah tempat tidur.

Ada beberapa ekor kucing yang berkerumun.

Kenapa mereka bersembunyi di situ? pikirku, karena sejauh yang aku tahu, kucing-kucing di rumah ini tidak takut dengan manusia.

Kukembalikan figura itu ke posisi semula dan kurentangkan tanganku ke kucing-kucing yang bersembunyi di bawah tempat tidur. Tepat ketika tanganku nyaris mencapai mereka, kucing-kucing itu melompat kabur dari tempat persembunyiannya.

Namun, salah satu dari mereka terpeleset dan terguling di lantai.

Yang satu ini agak kikuk, kataku pada diri sendiri, namun si kucing kembali berdiri, dan jatuh sekali lagi. Ia kesulitan berjalan karena sepertinya ia sendiri kesulitan menggerakkan kakinya.

Nafasku berhenti sesaat ketika aku melihat kucing itu lebih teliti: kaki kanan kucing itu tak bergerak sama sekali.

Aku berbalik melihat kucing-kucing lainnya yang berhasil kabur ke pojok kamar—ada yang aneh dari masing-masing kucing. Salah satu kehilangan kaki depan, yang lainnya satu matanya tak ada, dan lain seterusnya.

Mengapa ia menyembunyikan kucing-kucing seperti ini di sini…?

"!" Badanku langsung tegang ketika aku mendengar suara langkah kaki dari tangga. Saki dan nenek itu sedang turun ke lantai bawah.

Kucing-kucing di sana masih mengganggu pikiranku, tapi aku tak punya pilihan lain selain buru-buru keluar dari kamar ini. Aku berhasil keluar tepat waktu: Si nenek itu baru saja menapak anak tangga yang terakhir.

Pada akhirnya, tak ada tanda-tanda Mii di kamar yang manapun, di lantai atas ataupun yang bawah. Namun tepat ketika kami akan meninggalkan pondok itu, seseorang mengetuk pintu.

Nenek itu mendesah dan membuka pintu itu, ternyata ibu Asami-chan yang mengetuknya barusan.

"Apakah anda melihat Asami?" tanyanya dengan nada mendesak, yang membuatku curiga.

"Apakah terjadi sesuatu padanya?" tanyaku.

"Ia menghilang sejak kemarin malam!"

Sekarang jelas kenapa ia tak muncul di tempat yang telah kami sepakati.

Aku melihat ke Saki. Mukanya masih sedatar biasanya, tapi bisa kulihat sekilas ada kegelisahan di matanya. Ia jelas sekali khawatir mengenai Asami-chan.

"Tapi sudah kubilang padamu, kau takkan menemukannya di sini. Benar, kan?" nenek itu bertanya pada kami, meminta persetujuan.

Memang benar, ia tak ada di sini. Tapi bukan itu masalahnya sekarang.

"Asami-chan telah menghilang?" tanyaku pada nenek tua itu.

"Ya, dia tak terlihat sejak kemarin malam."

"Kenapa anda tidak memberitahu kami?"

"Hei, kupikir kalian berdua sudah tahu! Lagipula, kalian tak bertanya."

Kuputuskan untuk bertanya kepada ibu Asami-chan mengenai apa yang terjadi malam kemarin. Ia menjelaskan pada kami bahwa putrinya tak ada di kamarnya ketika ia berniat membangunkannya pagi ini. Ia lalu pergi mencari sang putri, namun Asami-chan tak ada di sekolah, tak ada di rumah teman-temannya, dan tak ada di pondok ini. Sepertinya, ia kabur dari rumah.

"Ah!" aku teringat jepit rambut yang kutemukan di kamar tadi, dan kuambil dari kantongku.

"Itu punya Asami!" jerit sang ibu.

Pantas saja aku seperti pernah melihatnya.

"Di mana kamu menemukannya?" tanya wanita itu.

"Aku barusan menemukannya ketika aku mencari M…"

"Ia pasti menjatuhkannya ketika kalian mencari kucing itu kemarin," potong nenek tua itu sembari merebut jepit rambut itu dari tanganku dan mengembalikannya pada ibu Asami-chan.

Memang benar kalau tak ada yang aneh ketika jepit rambut itu ditemukan di rumah ini, karena kemarin memang Asami-chan ada di sini. Namun, akan menjadi tak wajar kalau jepit itu aku temukan di kamar pribadi nenek itu.

"Asami-chan belum pergi kemari lagi sejak kemarin, kan?"

"Ya, aku belum melihatnya sejak ia pergi bersamamu."

Kalau begitu kenapa jepit rambut ini ada di kamar nenek itu? Kami tak masuk ke sana kemarin.

"Jangan-jangan ia menyelinap ke pondok ini tanpa anda sadari?" tanyaku.

"Aku cukup yakin aku akan tahu kalau ada yang masuk kemari."

"Mungkin ia bersembunyi di dalam?"

"Tak ada tempat bersembunyi di sini, kecuali di dalam kamar-kamar. Dan kamar-kamar itu, kalian sendiri sudah mengecek isinya, kan?"

Tepat, kami sudah mencari Mii ke dalam setiap kamar, dan jelas kami tak menemukan Asami-chan.

"Kalau ia tak bersembunyi di dalam kamar…mungkin anda punya semacam peti yang cukup besar untuk diisi anak kecil?" tanpa sadar, aku menanyakan apa yang kulihat kemarin.

Dalam sekejap, air muka nenek itu berubah.

"Hei. Dari mana kau…"

"Eh, maksudku, bukankah tempat seperti itu ADALAH tempat untuk kucing dan anak-anak bersembunyi? Karena aku pernah melihat yang semacam itu, sih." aku berusaha untuk mencari alasan yang tepat, tapi gagal.

Nenek itu jelas-jelas curiga padaku.

"…Di mana kau melihat peti itu?"

"Ah, tidak, sepertinya aku tidak…"

"…Jadi kau berbohong? Iya? Kau meragukan aku, nak? Begus sekali, menusukku dari belakang ketika aku sudah mengijinkan kalian mengobrak-abrik rumahku! Dasar anak tak tahu diuntung! Pergi dari sini!"

"Tapi…"

"Pergi!" teriaknya saat mengusir kami dari rumahnya tanpa memberi kami kesempatan untuk menjelaskan.

Aku membuat kesalahan; aku hanya melihat peti itu sekali, ketika aku mengintip kemarin. Mudah sekali membaca mukanya bahwa ia penasaran bagaimana aku bisa mengetahuinya.

Di sisi lain, ini berarti ia tak mengira aku akan bisa melihat peti itu. Dengan kata lain, mungkin ia menyembunyikannya di suatu tempat.

Tapi kenapa ia marah ketika aku berbicara mengenai peti itu? Tidak, sepertinya dia tidak marah. Lebih tepatnya, ia terlihat gelisah luar biasa.

Ibu Asami-chan, yang juga diusir bersama kami, melihat pondok kucing itu dengan lemas.

"Kenapa anda berpikir bahwa ia ada di sini?" tanyaku penasaran. Meskipun rumah ini adalah salah satu kemungkinan dimana Asami berada, namun nenek itu sudah menyangkal kemungkinan itu. Meski begitu, sang ibu tetap curiga.

"…Ia meninggalkan surat," kata wanita itu sembari menunjukkan sepucuk surat padaku. Isinya, "Aku bersama Mii dan aku takkan kembali sampai Ibu mengijinkan aku memeliharanya."

Sepertinya alasan seperti itu agak lemah; kalau ia percaya pesan Asami-chan, maka ia takkan curiga pada pondok kucing ini, kecuali ia tahu sesuatu.

"Anda berpikir kalau Mii ada di sini, kan? Mengapa?"

"Aku, ehm…"

"Kemarin anda mengatakan pada kami bahwa Mii tak ada di sini, kan?" desakku.

Akhirnya, ibu Asami-chan menyerah dan mengakuinya: "…Sebenarnya, aku membayar wanita tua itu untuk memelihara Mii."

"Karena anda tak boleh memelihara Mii di rumah yang baru?"

"Ya. Kami terpaksa berbohong karena kalau tidak begitu, Asami takkan menyerah. Mungkin ia mendengar semuanya ketika aku membicarakan masalah ini dengan suamiku."

"Dan itu kenapa anda datang kemari kemarin malam?" tanyaku.

"Aku mengingatkan wanita itu untuk tetap diam mengenai masalah ini."

Jelas saja, nenek itu takkan diam saja kemarin kalau memang ia berniat untuk mengatakannya pada kami, jadi itu adalah alasan yang benar-benar egois.

Aku tak berniat untuk mencampuri urusan mereka; namun yang penting sekarang adalah Asami-chan.

Kalau Asami-chan benar-benar tahu bahwa Mii ada di pondok kucing, maka tentu saja ia akan pergi untuk mengambilnya. Nenek itu mengatakan bahwa ia tak datang lagi, tapi jepit rambut itu membuktikan sebaliknya.

Namun, tak diketahui lagi kemana ia pergi setelahnya. Kalau si ibu tidak menemukannya di tempat yang lain, maka kemungkinan terbesar adalah Asami-chan ada di pondok ini.

Meski begitu, sepertinya tak mungkin dia bersembunyi—betapa besarnya pondok ini, nenek tua itu pasti akan mengenali adanya penyusup.

Dengan kata lain, ia tahu Asami-chan ada di pondok ini, dan ia entah berpura-pura tidak tahu atau sengaja menyembunyikan dia.

Tapi untuk apa nenek itu melakukannya?

Mungkin hal ini akan bisa dipahami ketika melihat kembali ke sehari kemarin: Nenek itu mungkin berubah pikiran dan memutuskan untuk membantu Asami-chan meyakinkan ibunya.

Menurutku, nenek itu tahu di mana Asami-chan berada.

Yang menjadi alasan utamanya adalah karena ia sama sekali tak menunjukkan kekhawatiran ketika mendengar hilangnya Asami-chan, meskipun ia khawatir ketika Asami-chan pulang malam sehari sebelumnya.

Seolah-olah ia tahu Asami-chan ada di tempat yang aman.

Kemungkinan besar, baik Asami-chan maupun Mii ada di pondok ini.

Namun, kami tak menemukan Mii kemarin. Saki dan aku juga tak menemukannya hari ini, juga.

Meskipun pondok ini besar, tentunya tempat persembunyian di dalamnya juga terbatas.

Dan tetap saja kami tak menemukan keduanya.

Seolah-olah mereka lenyap begitu saja. Ya, seolah-olah mereka lenyap.

…Dan itulah jawabannya.



Aku merasa ada seseorang yang telah masuk kemari ketika aku kembali ke kamarku.

Kucing-kucing, yang biasanya bersembunyi di bawah kasur ketika aku tak ada, kini telah duduk berkerumun di pojok ruangan, membuktikan ketakutanku.

Entah ia berusaha untuk mengambil kucing-kucing ini, atau hanya berniat melihatnya. Meskipun aku sudah melarang anak-anak itu untuk masuk kesini…

Apa yang anak itu pikir ketika ia menemukan kucing-kucing ini? pikirku. Mungkin ia juga melihat foto-foto di figura itu, tapi itu tak jadi masalah buatku.

Ah, mungkin ia menemukan jepit rambut itu di sini. Pantas saja ia begitu curiga denganku—gadis kecil itu tak masuk ke kamar ini ketika mereka mencari kucing itu di rumah ini kemarin.

Tapi dari mana ia tahu tentang Peti itu?

Mungkin ia benar-benar berpikir tentang peti pada umumnya? Kalau memang benar begitu, berarti reaksiku terlalu berlebihan.

Sepertinya aku memang terlalu tegang tadi. Tak masalah. Ia bisa mencurigaiku sesukanya, tapi ia takkan bisa menemukan Peti itu.

Tak ada seorangpun yang bisa menemukannya. Kecuali aku.

Karena itu, tak akan ada yang bisa menemukan dosa yang kusembunyikan di dalamnya!



Malam harinya, aku kembali ke pondok nenek itu, dan sang pemilik tak menyambutku dengan baik.

"Kau sudah membuatku jengkel, tahu?"

"Saya mohon maaf, saya sudah mencoba mencarinya di tempat-tempat lain, dan kesimpulan saya ia tak mungkin pergi ke tempat lain selain pondok ini," jelasku.

"Datang lagi besok. Aku mau tidur."

Jam menunjukkan pukul 6:45, berarti aku masih punya 15 menit sebelum ia tidur jam 7 malam. Lima belas menit sudah lebih dari cukup.

"Saya takkan lama. Saya hanya ingin menanyakan beberapa hal. Apakah anda benar-benar tak tahu kemana Asami-chan pergi?"

"Aku tak tahu," jawabnya singkat.

"Saya tak bermaksud mengulang kata-kata saya, tapi apakah benar-benar tak ada tempat bersembunyi di rumah ini?"

"Tak ada," jawabnya yakin.

"Sama sekali? Tak ada loteng? Gudang? Sumur tua? Atau kamar yang tak terpakai lagi, mungkin?"

"Disini tak ada gudang atau sumur. Dan nyaris semua kamar juga tak terpakai, kalau kau tak memperhatikannya."

"…kalau begitu apakah ada peti besar yang bisa dipakai anak kecil untuk bersembunyi?"

"Tak ada benda semacam itu di sini. Paham?" jawabnya dengan nada yang sedikit kasar—tidak, khawatir, tepatnya.

Tampaknya ia masih tak mau mengatakan yang sebenarnya.

Kalau begitu, aku sendiri yang akan memaksanya.

Dalam permainan petak umpet, ada aturannya, dan aturan itu harus diikuti—lebih-lebih kalau melanggar aturannya berarti bahaya.

"Apakah anda yakin?" tanyaku sekali lagi.

"Dengar ya, nak…"

"Yang saya maksud adalah peti yang seperti itu," kataku sembari menunjuk ke halaman.

Mata nenek itu mengikuti arah telunjukku, dan segera terbuka lebar: Sebuah peti besar tiba-tiba muncul di halaman, disinari matahari sore yang berwarna jingga.

Sebuah peti yang indah dengan penutup di bagian atas yang tersambung dengan engsel supaya dapat dibuka ke belakang. Dan ukurannya cukup besar untuk dimasuki beberapa ekor kucing, atau seorang anak kecil.

"Saya mengerti. Jadi hanya satu ini saja yang anda punya, kan? Baiklah, kalau begitu izinkan saya untuk melihat isinya."

Aku berbalik dan berjalan menuju peti itu.

"Maukah anda ikut melihatnya?" tanyaku.



Ini tidak mungkin terjadi! pikirku yang terkejut setengah mati.

Mengapa Peti itu bisa ada disini…? Sekarang bukan waktunya ia muncul!

Apa yang dilakukan bocah itu…? Bagaimana ia bisa tahu peti itu?

Tunggu. Mungkin dia tahu segalanya. Mungkin semua ribut-ribut tentang kucing itu adalah omong kosong belaka, dan sebenarnya dia mengejar isi Peti!

Tidak, itu tidak mungkin. Ia tak mungkin tahu isi dari Peti itu.

Tapi mengapa…?

Mungkin ia melihatku. Aku ingat merasa diawasi seseorang tadi malam, jadi mungkin sebenarnya ia yang mengintipku.

Aku terlalu gegabah. Kupikir aku takkan bisa dilihat orang lain, hanya karena aku tak pernah dilihat sebelumnya. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah bahwa aku harus ada di kamar saat jam 7 malam.

Tapi, sekarang tak ada gunanya menyesal. Pertanyaannya adalah bagaimana ia bisa memanggil Peti itu lebih awal dari seharusnya.

Tidak, itu mungkin tak lagi penting sekarang.

Kalau aku tak melakukan sesuatu, bocah itu akan membuka Petinya. Ia akan melihat apa yang ada di dalamnya!

Aku harus menghentikannya, atau segalanya akan berakhir.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku…?



Aku berbalik memunggungi nenek itu dan berjalan menuju peti, kudengar langkah kaki yang penuh ketidakyakinan di belakangku.

Reaksinya setelah melihat peti ini membuktikan bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Mari kita perjelas semuanya.

Peti yang dia miliki, tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah Relik. Berarti aku tidak salah lihat ketika semalam peti miliknya hilang begitu saja di depan mataku.

Alasan sesungguhnya kenapa nenek itu tidak memberitahukan kami dimana Asami-chan dan kenapa reaksinya begitu keras ketika kami menanyakan tentang peti bukanlah karena isi peti itu, melainkan peti itu sendiri. Karena jika peti itu adalah Relik, maka tentu saja ia tak ingin seorangpun tahu tentangnya.

Aku bisa mengerti perasaannya. Keinginan untuk memiliki benda yang spesial adalah suatu hal yang normal.

Aku telah melihat banyak orang seperti itu, maka dari itu aku tahu bagaimana berurusan dengan orang-orang seperti nenek ini.

Mereka selalu berbicara berputar-putar kalau kautanya secara langsung. Mereka berusaha untuk kabur. Karena itu, kau harus memotong jalan keluar mereka.

Aku berjalan menuju peti itu dan berdiri di depannya, menutup-nutupi nenek itu dari peti ini.

"Besar sekali peti milik anda ini. Saya berani bertaruh anak kecil dapat bersembunyi dengan mudah di dalamnya."

"M-Masa?" katanya tergugup.

Kucoba mengetuk peti itu. "Hm? Sepertinya aku mendengar sesuatu yang bergerak di dalamnya."

"Y-Yang benar saja?" kata sang nenek, yang berdiri di belakangku.

"Bolehkah saya melihat isinya? Tidak, ya? Baiklah, satu-dua—!" kataku tanpa menunggu balasannya, melepaskan pengunci tutup peti dan kuangkat penutup peti itu.


Saat itu suara yang memekikkan telinga berdengung di kepalaku—


Yang kulihat saat kubalikkan badanku adalah, si nenek tua yang mengangkat batu besar dengan kedua tangannya. Batu itu seukuran kepala anak kecil, namun cukup ringan untuk ia angkat sendiri, meski begitu, tetap saja batu itu adalah senjata yang lebih dari cukup untuk membunuh seseorang.

Dengan mata yang memerah, ia melempar batu itu ke arahku. Tak menyangkanya sama sekali, aku tak sempat menghindar dan tiba-tiba segalanya menjadi gelap bersamaan dengan suara sesuatu yang pecah.


—Namun, itu bukanlah kenyataan.


Itu tadi adalah masa depan yang ditunjukkan Relik padaku.

Mata kananku adalah mata palsu. Sebuah Relik yang bernama "Vision" telah ditanamkan di tempat di mana mata kananku sebelumnya berada.

"Vision" akan menunjukkan padaku tentang masa yang akan datang. Namun, ia tak bisa menunjukkan segala hal. Aku tak bisa melihat nomor lotere yang akan menang, atau pemenang dari suatu pertandingan olahraga. Bahkan cuacapun tak bisa dilihatnya. Selain itu, aku juga tak bisa melihat masa depan sesukaku.

Tapi ada satu jenis masa depan yang selalu bisa ditunjukkannya.

Yaitu, masa depan di mana aku atau seseorang yang kukenal berada dalam bahaya. Pada saat-saat seperti itu, Relik milikku akan menunjukkan saat-saat menjelang kematian mereka.

Ketika itu terjadi, rasa sakit akan muncul di kepalaku, diiringi dengan suara seperti TV yang kehilangan sinyalnya, lalu dilanjutkan dengan potongan adegan dari masa depan. Setelahnya, aku akan mengambil tindakan untuk mencegah kematian yang sudah diprediksi sebelumnya.

"……"

Apa yang terjadi?

Aku sadar ada sesuatu yang salah. Menurut tebakanku sebelumnya, kasus ini sebenarnya berlangsung seperti ini:

Setelah menerima Mii dari ibu Asami-chan, nenek itu menyembunyikan kucing itu di dalam Peti hingga Asami-chan berhenti merengek. Namun, nenek itu kasihan kepadanya dan membantu Asami-chan mendapat persetujuan ibunya dengan membuat sang Ibu percaya bahwa Asami-chan kabur dari rumah, padahal sebenarnya ia bersembunyi di dalam Peti bersama Mii.

Tak ada tempat yang lebih baik untuk bersembunyi selain sebuah peti yang dapat lenyap dengan sendirinya.

Namun, Vision yang baru saja kulihat sepertinya terlalu serius untuk kasus seperti ini.

Kenapa ia ingin membunuhku hanya karena aku ingin melihat isi peti itu...? Kalau memang benar hanya ada Asami-chan dan Mii di dalam, maka tak ada alasan untuk membunuhku.

Relik dan kemampuan yang mereka miliki, mungkin memang berguna pada awalnya, namun sudah terlalu banyak orang yang bergantung pada kemampuan Relik dan akhirnya menghancurkan hidup mereka sendiri. Towako-san tak pernah berhenti untuk mengingatkan hal itu padaku.

Saki dan aku, kami berdua juga pernah nyaris mati karena Relik.

Nenek itu mungkin hanya ingin membantu Asami-chan dan Mii dengan menyembunyikan keduanya di dalam Peti, tapi mungkin saja Peti itu memiliki efek samping yang dapat mengancam nyawa Asami-chan atau nenek itu sendiri.

Itu mengapa aku harus membongkar rahasianya sebelum terlambat.

Apakah keadaannya jauh lebih pelik daripada yang kupikirkan…? tanyaku pada diri sendiri.

"Nyonya, apa yang sebenarnya ingin anda sembunyikan?" tanyaku tanpa berbalik, dan bisa kudengar ia menahan nafas. "Saya belum melihat apa yang akan anda lakukan, jadi saya mohon hentikan sebelum saya melihatnya. Kalau tidak, saya harus mengambil tindakan."

"……"

Suara berdentum menjadi pertanda sesuatu telah jatuh ke tanah.

Aku berbalik dan kulihat sang nenek jatuh berlutut di tanah dengan batu besar tergeletak di sisinya.

"Nyonya, kumohon beritahukan padaku apa yang anda sembunyikan. Apa yang ada di dalam peti itu?"

"Kenapa tidak kau buka saja…" balasnya lemah.

"Saya ingin mendengarnya dari anda sendiri. Peti itu adalah Relik, bukan?"

Nenek itu mengangkat kepalanya ketika mendengar pertanyaanku. "Ya, kalau tidak salah itu sebutannya. Sudah terlalu lama sampai aku tak mengingatnya lagi."

Ia sudah memiliki Peti ini begitu lama…? kutahan komentarku di dalam hati.

"Tapi, aku masih tak mengerti kenapa ia bisa tiba-tiba muncul…" gumamnya.

"Maksudnya?"

"Aku sudah mengaturnya agar muncul jam 7 malam…"

"Kau 'mengatur' peti itu?"

"Kau tak tahu cara kerjanya? Yah, Peti itu menjaga isinya dalam kondisi yang tepat sama dan ia dapat diatur untuk menghilang dan muncul lagi di depan pemiliknya pada waktu tertentu."

Sekarang aku akhirnya tahu kenapa Peti itu sepertinya lenyap begitu saja ketika aku sedang mengintipnya. Dan pantas saja kami tak bisa menemukannya meskipun kami begitu teliti mencarinya.

"Peti itu benar-benar berguna! Alat yang sempurna untuk menyembunyikan dosa-dosa lama."

Dosa—bulu kudukku bergidik mendengarnya.

Sepertinya memang keadaannya jauh lebih buruk dari yang kuperkirakan.

Apakah telah terjadi sesuatu? Apakah aku terlambat? Berbagai kemungkinan terburuk membuatku tegang.

Sekarang jam 7 malam. Tepat ketika jarum jam tanganku menunjukkan angka tujuh, aku merasakan sesuatu muncul dan mata nenek itu kembali terbelalak.

Sebuah peti muncul begitu saja di depan matanya.

Sebuah peti yang indah dengan penutup di bagian atas yang tersambung dengan engsel supaya dapat dibuka ke belakang. Dan ukurannya cukup besar untuk dimasuki beberapa ekor kucing, atau seorang anak kecil.

"Saya mohon maaf: Saya telah menipu anda."

Peti yang muncul sebelum jam 7 adalah tipuan—peti palsu yang baru dibeli Towako-san. Bahkan, mungkin peti ini adalah benar-benar versi palsu dari peti milik nenek itu, karena tidak hanya bentuknya saja yang sama, tapi Towako-san juga diberitahukan tentang kekuatan yang sama seperti peti nenek itu ketika ia membelinya.

Akhirnya, barang palsu yang ia beli ada gunanya juga.

"Saya akan buka peti anda."

Nenek itu tak berdaya untuk menolaknya.

Kulepas pengunci peti itu dan kumasukkan jemariku di bawah penutupnya.

Aku merasakan kehangatan.

Tidak seperti peti kosong yang kubawa ke sini, ada sesuatu yang hangat di dalam pet ini. Suatu makhluk hidup.

Meskipun aku tahu aku harus segera membukanya, tiba-tiba aku menjadi ragu-ragu.

Dosa nenek itu ada di dalam peti ini.

Berharap yang terburuk—dan berdoa bahwa bukan yang terburuklah yang terjadi—kubuka peti itu. Ada gadis kecil tertidur lelap di dalamnya.


"Siapa gadis ini…?"


Gadis itu bukan Asami-chan. Di dalam peti itu ada gadis kecil lain yang tak kukenal.

Apa maksudnya ini?

Rupanya, perkiraanku salah sasaran, jauh sekali.

Dengan senyum mengejek, nenek itu mengatakan padaku: "Ia anakku!"

Aku tak bisa memahami maksud perkataannya.

Dilihat dari manapun, nenek itu terlalu tua untuk punya anak yang berumur dua atau tiga tahun. Apalagi, di foto keluarga di kamarnya, setidaknya sang anak sudah masuk SD.

"!"

Tunggu. Ada foto kedua.

Ada satu foto lagi di kamar itu. Satu foto yang menampilkan gadis seusia dengan yang ada di dalam peti ini.

Sebelumnya, kupikir foto itu adalah foto masa kecil dari si anak SD. Namun, dengan ini, akhirnya aku tahu apa yang aneh dari foto balita itu:

Fotonya terlalu tua.

Foto hitam putih dari anak balita itu jauh terlalu tua jika dibandingkan dengan foto keluarga tiga orang yang ada. Setidaknya foto balita itu diambil belasan tahun sebelumnya. Ketidaksesuaian antara umur anaknya dan kedua foto itu segera membuatku curiga.

Dengan kata lain, kedua anak di foto itu adalah anak yang berbeda…?

"Aku sudah hamil ketika umurku baru 15. Semua orang memaksaku untuk mengaborsi anak ini, tapi aku tetap tak mau. Aku lari dengan pacarku dan berusaha untuk membesarkan anak kami sendiri. Namun kami tak bertahan lama, ia masih belum dewasa dan suatu hari kabur begitu saja. Yah, kupikir ia tak begitu buruk, setidaknya ia sudah berusaha selama 2 tahun.

"Aku masih berusaha untuk membesarkan gadis itu, tapi apakah menurutmu seorang gadis remaja bisa melakukannya? Tak mungkin. Aku tak bisa apa-apa. Tapi aku juga tak ingin meninggalkan anakku di panti asuhan, apalagi mengabaikannya begitu saja. Makanya kumasukkan ia ke dalam Peti! Aku berjanji akan merawatnya dengan benar ketika aku sudah dewasa."

Relik sepertinya muncul tepat ketika ia membutuhkannya—satu Relik dengan kekuatan yang sesuai dengan kondisinya.

"Aku kembali ke rumah orang tuaku dan berpura-pura seseorang telah mengadopsi anak itu… hidupku jadi lebih mudah lagi. Tak ada perut lapar, tak ada dingin yang menusuk hingga ke tulang, dan yang paling penting, aku bisa menikmati masa mudaku. Aku juga jatuh cinta sekali lagi, dan menikah—tapi kali ini keluarga dan teman-teman merestuiku. Kami berdua juga punya anak… yang tentu saja membuatku tak bisa mengeluarkan anakku yang lain dari peti. Aku tak pernah memberitahu suamiku tentang masa laluku, dan tentu saja aku tak mungkin menjelaskan bagaimana anakku yang seharusnya sudah remaja ternyata masih berumur dua tahun. Akhirnya, aku tetap menutup rapat rahasia itu, dan, yah, begini jadinya. Aku sudah menjadi nenek-nenek tua. Suami dan anakku sudah meninggal—aku terlalu tua untuk membesarkannya."

Ia berbicara seolah-olah mengejek dirinya sendiri, tapi aku yakin ia tak pernah sekalipun melupakan anak ini. Tentu saja, ia memastikan bahwa anak itu masih aman dan selalu mengecek Peti itu secara teratur.

"Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan padanya…" desahnya begitu lelah. "Kau tentu saja tak akan merawatnya, kan?" tanyanya.

Namun, aku tak menjawab pertanyaannya.

"Bisakah anda benar-benar meninggalkannya begitu saja? Bisakah anda, yang jijik dengan pemilik kucing yang mengabaikan piaraannya, mengabaikan anak anda sendiri? Merawat kucing yang ditinggalkan pemiliknya tak akan membebaskan anda dari rasa bersalah. Selama anda masih hidup, sudah menjadi kewajiban anda untuk merawat anak ini."

Manusia dan kucing, dalam hal ini adalah sama; tak satupun pantas diabaikan.

"Kejam sekali kata-katamu…"

Kudekap gadis kecil yang masih terlelap itu di pelukanku.

Ia begitu hangat. Ia begitu hidup.

Siapa yang tega meninggalkan anak yang begitu cantik ini?

Kuberikan anak itu ke ibunya.

"…Tahukah kau, kalau aku selalu memeluknya?" katanya. "Karena dengan begitu aku takkan tega meninggalkannya…"

Kuambil Peti itu dan aku pamit untuk pulang—supaya ia tak akan tergoda untuk menggunakannya lagi untuk menyembunyikan dosanya.

Aku telah begitu buta; aku terlalu terobsesi dengan Peti itu setelah melihatnya lenyap, dan aku sudah begitu yakin bahwa Asami-chan bersembunyi di dalamnya.

Aku tak sadar bahwa ada tempat lain di mana ia bisa bersembunyi; bahwa ada orang lain yang bisa ia harapkan.

Aku begitu bodoh.

"Keluar, Asami-chan," kataku.

Seorang gadis kecil muncul membawa Mii… dari kamar Saki.

Jadi cerita yang sebenarnya adalah seperti ini:

Ibu Asami-chan membayar nenek itu untuk merawat Mii karena hewan peliharaan tak diperbolehkan di rumah mereka yang baru. Namun, ia juga telah mencukur bulu hitam dari telinga Mii dan mengambil kalungnya, jadi kucing itu tak dapat dikenali lagi.

Kupikir nenek itu memang tak ingin mengembalikan Mii, tapi ternyata itu juga adalah suatu kesalahpahaman: Ia tak tahu mana kucing yang bernama Mii.

Kucing yang ia pelihara di kamarnya adalah kucing yang ketakutan dengan manusia dan kucing-kucing yang cidera atau mengalami penyiksaan sebelumnya. Itu kenapa ia tak memperbolehkan kami masuk. Mii juga salah satu dari mereka karena telinganya yang terluka.

Namun, ketika ibu Asami-chan muncul, nenek itu baru tahu kucing mana yang bernama Mii dan karena kasihan, ia memberikannya kepada Asami-chan pada malam hari ketika ia kembali ke pondok itu.

Kesal karena keputusan orang tuanya, Asami-chan kabur dari rumah untuk memaksa orang tuanya untuk mengijinkan ia memelihara Mii. Asumsiku sejauh ini masih benar, tapi aku salah menduga siapa yang akan bekerja sama dengan Asami-chan.

Saki adalah orang yang bekerja sama dengan Asami-chan, dan kamar Saki adalah tempatnya bersembunyi. Asami-chan mungkin meminta Saki untuk tidak mengatakan pada siapapun—bahkan kepadaku.

Asami-chan masih tidak percaya denganku ataupun dengan nenek itu, karena kami baru bertemu sehari sebelumnya. Satu-satunya orang yang ia percaya adalah Saki.

Alasan mengapa nenek itu sama sekali tidak khawatir terhadap hilangnya Asami-chan, mungkin karena ia sudah bisa mengira-ngira dimana anak itu bersembunyi. Apa lagi, ia juga selalu bersama Saki di lantai atas ketika kami mencari Mii kedua kalinya. Aku tak yakin Saki memberitahu nenek itu tentang Asami-chan, tapi mungkin ia bisa menebak-nebaknya dari perangai Saki.

Kesimpulannya, semua ini adalah kesalahpahaman belaka.

"Jangan marah pada Saki-chan! Ia hanya membantuku saja! Maaf kalau aku membuat masalah! Aku akan berusaha untuk berbicara dengan Mama, dan kalau ia masih melarang, aku akan meminta tolong pada nenek," kata Asami-chan sambil mengelus-elus kepala Mii.

Tentu saja tak paham sepatah katapun yang kami bicarakan, Mii mengeong.


Pada akhirnya, keluarga Asami tidak jadi pindah dari rumah yang sekarang mereka sewa dan tidak jadi menyewa apartemen baru. Sepertinya, sang ibu menyadari kesalahannya dan berubah pikiran.

Sedangkan untuk sang nenek tua: Ia memutuskan untuk bertanggung jawab dan membesarkan anaknya sendiri, berpura-pura mengadopsinya dari saudara jauh. Untuk menebus kesalahannya, ia tidak akan menjadi seorang "ibu", namun menjadi seorang "nenek" dari anak itu.

Di sisi lain, Saki, ia menyesal sudah merahasiakan sesuatu dariku.

Bahkan, sebenarnya ia sudah gatal untuk mengatakan yang sebenarnya padaku, setelah melihatku benar-benar berusaha mencari Mii, tapi ia sendiri tak berani untuk mengingkari janji yang telah ia buat dengan Asami-chan.

Pita hitam itu, juga, sebenarnya untuk Asami-chan, karena ia kehilangan jepit rambutnya.

Jujur saja, aku juga agak kesal dengannya karena tidak mengatakan yang sebenarnya padaku tentang Asami-chan.

"Aku minta maaf."

…Tapi kuputuskan untuk memaafkannya setelah melihat ekspresinya yang terlihat benar-benar menyesal.

"Sebagai hukumannya, kau harus membawa tas belanjaannya."

Sembari berjalan pulang setelah berbelanja—kebiasaan yang telah berlangsung sejak beberapa hari lalu, meskipun kali ini dengan posisi yang terbalik—aku mengingat-ingat lagi kejadian-kejadian yang baru saja berlalu.

Semua orang merahasiakan sesuatu dari orang lain.

Ibu Asami-chan menutup-nutupi fakta bahwa ia telah 'menjual' Mii demi tempat tinggal baru.

Asami-chan menutup-nutupi fakta bahwa ia telah mengambil balik Mii demi mendapatkan izin untuk memeliharanya.

Saki menutup-nutupi fakta bahwa ia menyembunyikan Asami-chan demi anak itu sendiri.

Si nenek tua menutup-nutupi fakta tentang keberadaan Asami-chan, juga demi Asami-chan sendiri.

Namun, nenek itu juga punya satu rahasia lagi yang tak berhubungan dengan semuanya—rahasia yang ditutup-tutupi dengans sebuah Relik.

Aku salah menghubungkan rahasia itu dengan kasus ini dan justru mengacaukan segalanya. Terbutakan dengan Peti itu, aku tak melihat adanya rahasia yang lain.

Masing-masing dari kita mempunyai peti dengan berbagai ukuran, warna, dan bentuk.

Sebuah peti rahasia dimana kita menyembunyikan hal-hal yang tak boleh dilihat siapapun, yang tak boleh diambil oleh siapapun juga.

Aku, juga, punya hal semacam itu yang ingin kusembunyikan di "peti" semacam itu: kebenaran yang memalukan bahwa pemikiranku tentang kasus ini ternyata salah besar.

Yah, setidaknya kesalahanku juga berhasil menyelamatkan seorang anak, jadi akhirnya tak begitu buruk, pikirku, berusaha menyenangkan diri sendiri.

Tiba-tiba, aku teringat satu hal yang dikatakan nenek itu padaku ketika ia menjelaskan padaku tentang rencananya untuk membesarkan anaknya.

"Kau benar-benar seorang detektif yang buruk."

…diam.


Balik ke Prolog Kembali ke Halaman Utama Maju ke Boneka