Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 3 Putri Tidur

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Pada akhirnya, aku ini hanyalah seorang murid SMA biasa.

Mungkin kelihatannya aku selalu berurusan dengan masalah yang terkait dengan Relik, tapi itu tak selalu benar.

Aku juga membaca manga dan aku juga main game seperti anak lainnya, meskipun aku jarang membelinya karena aku tak punya uang. Dan tentu saja, aku juga jalan-jalan dengan temanku sepulang sekolah ketika bukan giliranku untuk menjaga toko, dan aku juga suka mengobrol ketika sedang istirahat. Aku senang ketika aku mendapat nilai yang bagus, dan aku kecewa ketika aku mendapat nilai jelek. Bahkan terkadang aku juga ikut pergi ke karaoke dengan temanku, dan aku juga main biliar dengan mereka. Lalu, meskipun aku belum pernah mencobanya, aku juga tertarik untuk bermain ski dan snowboarding.

Aku bisa melanjutkan ceritaku barusan, tapi, pokoknya, aku juga melakukan hal-hal tertentu dan tertarik dengan hal-hal lainnya, sama seperti anak SMA manapun.

Sebenarnya, yang ingin kukatakan adalah... yah, aku juga bukannya tidak tertarik dengan, ehm, percintaan.

Jadi sepertinya bukan hal aneh jika aku juga sedikit sensitif dengan hal-hal seperti itu, bukan?



Ketika aku terbangun, aku baru sadar bahwa Tokiya menjatuhkan tubuhku.

Tidak, "menjatuhkan" sepertinya bukan kata-kata yang tepat, karena aku pasti telah tertidur dan terbaring ketika hal itu terjadi.

Kalau begitu, apa yang sebenarnya terjadi sekarang?

Pipi kanannya menyentuh pipi kananku, tangan kirinya berada di atas tangan kananku, kaki kanannya ada di antara kedua kakiku, dan badannya ada di atasku.

Apakah kata 'dia sedang menindihku' dapat berlaku disini? Mari kita lihat sekali lagi...

Pipi kanannya menempel di pipi kananku, tangan kirinya di atas tangan kananku, kaki kanannya di antara kakiku, dan badannya di atas badanku.

Ya, "menindih" sepertinya tepat. Tapi tunggu, pikirku. Ia tak bergerak.

"Tokiya?" kupanggil namanya, tapi tak ada balasan. Sepertinya ia tertidur dan masih bernafas dengan tenang.

Seseorang yang tertidur sepertinya tak akan menindihmu, jadi istilah ini sepertinya juga kurang tepat. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Badan kami saling menyatu?

Sepertinya ada sesuatu yang salah. Apakah tak ada kalimat yang tepat untuk keadaan seperti ini? Misalnya—

Kami sedang bercumbu.

"Bercum...!" jeritku tanpa sengaja, terkejut dengan pikiranku sendiri.

Tokiya dan aku sedang bercum... tidak, badan kami saling menya... tidak, dia sedang menin... pokoknya, kami sedang dalam posisi seperti itu.

Tsukumodo V3 252.jpg

Jam 8 malam, di ruang tengah, berdua saja.

Jam 8 malam...?

Kulihat jam sekali lagi, tapi layarnya memang menunjukkan "PM".

Keadaannya sekarang, dimana Tokiya dan aku sedang bercum... tidak, badan kami saling menya... tidak, dia sedang menin... pololnya, posisi kami sekarang sudah cukup membuatku bingung, tapi waktunya juga tak kalah membingungkan.

Aku tak ingat ingin tidur siang.

Mungkin tadi aku sempat pingsan, tapi aku sendiri tak bisa memastikannya; ada celah yang cukup lebar di ingatanku. Sembari berusaha menenangkan diriku sendiri, aku kembali mengingat-ingat apa yang terjadi hari ini.

Pagi-pagi aku sudah bangun, berganti pakaian dan menyiapkan sarapan. Setelahnya, aku membangunkan Towako-san, tapi ia bilang ingin tidur lagi karena penyelidikan yang sedang ia kerjakan sekarang telah memutar balik jam tidurnya, sehingga aku sarapan sendirian setelahnya. Lalu...

Ya. Aku ingat tempat sampahnya sudah penuh. Karena itu, kumasukkan sampahnya ke kantong plastik.

Disanalah ingatanku berakhir.

Aku sedang sarapan, jadi sepertinya tadi sekitar jam 8 pagi aku masih sadar.

Kulihat jam sekali lagi. Sekarang jam 8 malam. Kugeser kepalaku—dan tanpa sengaja menggesekkan pipiku ke pipi Tokiya, tapi aku berusaha untuk tidak memikirkannya—lalu kulihat ke luar jendela. Tentu saja, di luar sudah gelap, dan ini berarti jamnya tidak rusak.

Apakah aku tertidur ketika aku sedang membereskan sampah? Selama dua belas jam?

Aneh sekali. Apa yang sebenarnya terjadi...?

Aku tak percaya aku tertidur ketika aku sedang membersihkan tempat sampah. Pasti sesuatu telah terjadi—

"Mmh!" desahan aneh keluar dari mulutku ketika nafas Tokiya mengenai telingaku. Buru-buru kututup mulutku.

Kuharap ia tak mendengarnya.

Kalau dipikir-pikir lagi, Tokiya dan aku sedang bercum... tidak, badan kami saling menya... tidak, dia sedang menin... pokoknya, kami sedang dalam posisi seperti itu. Lagipula, Tokiya telah tertidur lelap ketika aku terbangun.

Dengan kata lain, kami telah tertidur bersama dengan posisi seperti ini.

...Tapi bagaimana bisa kami berakhir dalam posisi seperti ini?

Tiba-tiba, kesadaranku akan situasi kami sekarang mulai muncul. Tidak dengan kata-kata, tapi dengan merasakan sentuhannya dan kehangatannya, aku mulai merasakan bahwa mukanya, tangannya, dan badannya menekan badanku.

"P-Pokoknya, aku harus membangunkannya."

Aku mencoba mendorongnya dari bawah, tapi ternyata dia lebih berat dari yang kuduga. Aku jadi teringat, aku pernah membaca di suatu tempat bahwa orang yang tidur memang lebih berat.

Karena posisinya mulai berubah, Tokiya ikut menggeser badannya, dan, lebih parah lagi, mengaitkan jari-jemari di tangan kanannya dengan tangan kiriku.

Seakan-akan kami sedang berpegangan tangan.

"T-Tokiya."

Aku tak peduli lagi mengapa aku tertidur selama dua belas jam; keadaan ini menjadi lebih penting.

Pokoknya, aku harus bisa mendorongnya.

Tapi, Tokiya sama sekali tak bergerak, dan aku juga tak dapat menggesernya.

Tolong, Towako-san, datanglah kemari. Penolongku datang ketika ia sedang ada di pikiranku.

"Saki-chaaan, aku lapar! Apakah makan malam sudah siap?"

"Ah, Towako-san, kau datang di waktu yang tepat..." kataku, mencoba untuk minta tolong—

"Maaf mengganggu!"

Tapi permintaanku ditolak mentah-mentah; Towako-san segera berbalik dan meninggalkan ruangan.

Eh? Kenapa dia pergi? Hah? Mengganggu? Apa yang ia maksud dengan "mengganggu"?

Untuk pertama kalinya, aku berteriak sekencang-kencangnya: "K-Kau salah paham!"

Setelah berhasil menghentikan Towako-san, kujelaskan situasi ini padanya dan ia membantu menggeser Tokiya.

"Aku harus bilang apa—yang tadi benar-benar mengejutkan! Tak pernah terpikirkan olehku kalau kalian berdua bercinta!"

"Yang tadi itu hanya salah paham."

Dia jelas-jelas memasang ekspresi palsu di mukanya.

Kulihat lagi Tokiya. Ia masih nyenyak terlelap, dan tak bisa bangun meskipun kami sudah berusaha mengguncangkan badannya, bahkan memukulnya. Apakah ia selelah itu sampai tak bisa bangun?

"Omong-omong, apakah kau ingat apa yang kulakukan seharian ini? Aku tak ingat apa-apa antara jam 8 pagi tadi sampai sekarang. Sepertinya aku tertidur, sih..."

"Jam 8 pagi? Setelah kau membangunkan aku?" Towako-san balik bertanya.

"Ya. Hal terakhir yang kuingat adalah aku sedang membersihkan tempat sampah setelah selesai sarapan."

"Hm... Aku juga baru bangun tidur, sih. Jadi aku juga tak tahu."

"Kau tidur lebih dari dua belas jam?"

"Ya, beginilah kalau kau begadang. Hari sudah gelap ketika aku terbangun," kata Towako-san sembari meregangkan bahunya. Sepertinya ia masih kelelahan. Mungkin memang tidak aneh jika kita tidur selama itu.

Sepertinya bukan tidak mungkin tertidur setengah hari karena kelelahan...?

"Omong-omong, apa yang sedang kau selidiki?" tanyaku.

"Ah, beberapa hal tentang mangkok dupa yang kemarin."

Ia menyebutkan Relik yang dibawa Tokiya, yang membuat siapapun yang tertidur dengan dupa terbakar di dalamnya bisa mengendalikan mimpinya. Ia mendapatkan benda itu dari seorang gadis di sekolahnya yang menjadi korban Relik itu dan Tokiya memutuskan untuk mempercayakan Relik itu kepada Towako-san.

"Yang lebih penting, aku lapar."

"Ah, ya. Aku akan segera menyiapkan makan malam. Aku bereskan tempat sampah dulu sebelumnya..."

Karena tiba-tiba aku tertidur, tempat sampahnya terbalik dan semua isinya berserakan di lantai. Aku taj sempat membuangnya ke tempat sampah di luar, jadi kumasukkan lagi ke kantongnya.

"Oh, aku akan mengurus tempat sampahnya. Kau langsung ke dapur saja!" Di luar dugaanku, Towako-san mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Kupikir itu karena ia kelaparan, tak makan apapun selama seharian.

"Baiklah, kau bisa memasukkan sampahnya ke kantong, kan?"

"Siap!" balasnya sembari berjalan ke tempat sampah—

Tiba-tiba wajahnya menjadi kaku.

"Towako-san?"

Ia menyapukan tangannya di atas lantai dan mukanya langsung merengut.

"Ada apa?" tanyaku, dan setelah melihat lebih dekat, aku baru sadar kalau tangannya telah tertutup debu. "Apakah aku perlu menyapu debu-debu itu dari lantai sekarang juga?"

"Ini abu."

"Abu?"

"Aku baru ingat. Kemarin, Tokiya membuang abu yang tersisa di dalam mangkok dupa itu ke tempat sampah." Towako-san mengelap tangannya. "Kau tertidur ketika sedang mengosongkan isi tempat sampah ini, bukan?"

"Ehm, ya."

"Bukankah itu akan membuat abu-abu ini beterbangan?"

"Kalau kau bilang begitu..."

Aku ingat sempat memperhatikan debu yang beterbangan ketika aku memindahkan isi tempat sampah ke kantong plastik. Tepat setelahnya, aku merasa sangat mengantuk—

"Tokiya! Bangun!" teriak Towako-san sembari menggoyangkan badannya. Namun, Tokiya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Lalu ia memeriksa tangannya; jari-jarinya juga tertutup debu. "Mungkin ada semacam efek samping dari debu yang ada di mangkok dupa itu. Awasi Tokiya; aku akan mencoba mencari tahu mengenai hal ini," katanya sebelum ia kembali naik ke atas.

Aku melihat punggungnya menjauh. Mau tak mau, aku harus mempercayakan masalah ini kepadanya.

Sembari menyelimuti Tokiya, aku memikirkan apa yang harus kulakukan setelah ini, karena badanku sudah segar setelah tidur cukup lama. Aku juga merasa tak enak karena aku membiarkan toko tutup hari itu.

Apakah ini menandai dibukanya Toko Barang Antik Tsukumodo selama malam hari?

Tiba-tiba, Tokiya berbalik, menggeser selimutnya. Ketika aku meraih selimutnya untuk membetulkan posisinya, dia juga melakukan hal yang sama dalam tidurnya, dan tanpa sengaja memegang tanganku.

Aku nyaris saja menarik lagi tanganku, tapi aku berhenti sejenak.

Tangannya lebih besar daripada yang kukira; kulitnya yang kasar dan jemarinya yang besar membuat tangannya terasa begitu maskulin.

Aku kembali mengingat sensasi dari jari-jemari kami yang bertautan, tubuhnya yang menindihku, kehangatannya.

Sadar bahwa wajahku terasa memanas, kuletakkan tanganku di pipi untuk mendinginkannya. Namun, karena tangan Tokiya baru saja menyentuh tanganku, rasanya seolah-olah "tangannya"-lah yang menyentuh pipiku.

Aku buru-buru menyingkirkan pikiran-pikiran aneh semacam itu dengan menggelengkan kepala.

Aku telah merasa agak aneh sejak hari itu—maksudku hari dimana Tokiya pergi untuk mencoba menyelamatkan gadis yang menjadi korban mangkok dupa itu—semenjak Tokiya melakukan sesuatu padaku.

Namun, sebagian dariku juga merasa tak ada yang aneh dengan hal itu.

Mungkin kelihatannya aku selalu berurusan dengan masalah yang terkait dengan Relik atau selalu mengurus toko, tapi itu tak selalu benar.

Pada akhirnya, aku ini hanyalah seorang gadis remaja biasa.

Aku juga merasakannya—ketika kau tergoda dengan lawan jenismu.



Badanku sedang berbaring ketika aku terbangun.

Yah, aku memang selalu tidur sendiri, jadi hal seperti ini sudah menjadi bagian dari hidupku. Yang tak biasa adalah bahwa aku terbangun di ruang tengah dari Toko Barang Antik Tsukumodo.

"Kenapa aku tidak tidur di apartemenku?" Pikirku, lalu berusaha untuk mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sehari kemarin.

Oh, ya! Ketika aku datang di sore hari, aku melihat sesuatu yang mengejutkan.

Tokonya tutup.

Meskipun kau tak akan menemukan pembeli di hari apapun, kau tak perlu ragu, Toko Barang Antik Tsukumodo akan selalu buka, kecuali ada kondisi tertentu. Dan aku tak mendengar kabar apapun yang membuat toko tutup sore ini.

Aku masuk ke toko lewat pintu belakang dan kutemukan Saki tergeletak di lantai di ruang tengah. Kondisinya yang tak sadarkan diri dan toko yang tutup segera menjadi masuk akal di pikiranku.

Apakah ia sudah terbaring disana sejak sebelum toko dibuka?

Berusaha untuk tetap berpikir jernih, aku buru-buru masuk ke ruang tengah dan mengangkat tubuhnya di bagian atas—

Saki benar-benar tertidur lelap; dengan tanpa ekspresi seperti biasa, dan tanpa tanda-tanda rasa sakit.

Tiba-tiba, satu ide terlintas di pikiranku: Towako-san sedang meneliti mangkok dupa yang kubawa tempo hari; mungkin Saki membantunya hingga larut malam.

Mendesah, kuselimuti Saki dan dengan enggan kubuka toko.

Tak lama kemudian, sudah waktunya untuk menutup toko. Tak sabar ingin segera pulang, kucoba untuk membangunkan Saki, tapi meski tubuhnya kuguncang begitu keras, ia tak membuka matanya.

Mulai merasa ada sesuatu yang aneh, aku melihat ke sekeliling, karena aku khawatir semua ini ada hubungannya dengan Relik. Namun, tak ada yang terlihat mencurigakan, selain tempat sampah yang terbalik.

Setelah kuangkat tempat sampah, aku melihat tangaku menjadi kotor. Dari penampakan dan baunya, bisa kusimpulkan bahwa yang mengotori tanganku adalah abu—abu yang kubuang kesana ketika membersihkan mangkok dupa yang kubawa kemari tempo hari.

Mangkok dupa itu membuat penggunanya dapat mengendalikan mimpinya, dan yang lebih penting, dupa yang dibakar di dalamnya benar-benar menimbulkan rasa kantuk yang luar biasa—

Aku tersadar, pasti Saki tertidur karena mangkok dupa itu atau abu ini.

Tapi aku terlambat.

Sepertinya aku menghirup sebagian abu itu ketika aku mencoba mencium baunya; tiba-tiba saja aku diserang rasa kantuk yang sangat sulit ditahan.

Di detik-detik terakhir kesadaranku, aku masih berusaha untuk membangunkan Saki—

Tapi kesadaranku sudah lenyap sebelum aku berhasil.

Sepertinya, aku tertidur lelap setelahnya, pikirku, setelah mengakhiri flashback.

Jam di ruangan menunjukkan bahwa sekarang sudah jam 8 lebih di pagi hari, yang berarti bahwa aku telah tertidur sekitar dua belas jam.

"Dimana Saki?" gumamku, belum melihat Saki, yang sebelumnya tertidur di sini juga.

Ingin mencarinya ke kamarnya, aku menaiki tangga, lalu justru bertemu Towako-san yang akan turun ke bawah dengan menenteng sebotol minuman berenergi di satu tangan.

"Oh, sudah bangun?"

"Towako-san, aku..." ia menyetopku sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.

"Kau terkena pengaruh mangkok dupa itu, kan?"

Sepertinya Towako-san bisa membaca diriku dengan mudah.

"Apakah Saki baik-baik saja?" tanyaku.

"Aku baru saja melihat ke dalam kamarnya. Ia tertidur lelap."

"Sehari semalam?"

"Tidak, ia terbangun di malam hari."

"Begitu..." Saki terbangun ketika aku tertidur. "Karena mangkok dupa itu, ya?"

"Lebih tepatnya, karena dupa yang dibakar di dalamnya. Mungkin semacam efek samping. Berikan aku waktu untuk mempelajarinya lebih dalam."

"Baiklah."

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Towako-san.

"Baik. Justru, aku merasa benar-benar segar."

"Tak heran, kau sudah tidur selama dua belas jam. Jadi, apa yang akan kau lakukan berikutnya?"

"Hm?"

"Jam pelajaran pertama sebentar lagi dimulai."

"Sial, aku terlambat!"

Rasanya aku seperti masih setengah sadar; namun kenyataan pahit segera menyadarkanku.

"Kirim SMS padaku setiap kau istirahat. Siapa tahu kau akan tertidur di sekolah juga."

"Oke, aku pergi dulu!" balasku sambil mulai mengambil langkah seribu. Lagi-lagi aku mendapat masalah, pikirku ketika aku berlari menuju sekolah.

Ya, aku masih belum tahu betapa gawatnya masalah ini.



Keadaannya menjadi semakin jelas setelah beberapa hari.

Kami menyimpulkan bahwa mangkok dupa ini membawa efek samping berupa kantuk yang tidak dapat diganggu gugat. Selain itu, tidur yang ditimbulkan akan selalu terjadi pada waktu yang sama dan berlangsung selama tepat 12 jam.

Dengan kata lain, aku akan tertidur dari jam 8 pagi hingga 8 malam, dan terbangun dari jam 8 malam hingga 8 pagi. Tokiya, di sisi lain, akan tertidur dari jam 8 malam hingga 8 pagi, yang berarti ia akan tertidur ketika aku baru saja terbangun, dan begitu juga sebaliknya.

Tokiya masih lebih beruntung: ia masih sadar ketika ia harus pergi ke sekolah dan menjaga toko. Satu-satunya masalah yang harus ia hadapi adalah tidur yang sedikit lebih lama.

Tapi, berbeda denganku. Aku tak bisa bekerja.

Aku akan terbangun ketika toko sudah tutup dan aku akan tertidur ketika toko baru saja buka. Aku benar-benar kecewa; aku sudah minta Towako-san untuk memperpanjang jam buka toko, tapi pada akhirnya, tak ada pembeli di waktu selarut ini.

Tentu saja, aku tak hanya duduk manis dan bermalas-malasan: aku mencoba berbagai hal yang kubisa untuk menarik pembeli, mulai dengan membaca "EDISI KHUSUS: Dibalik Layar - Klub Malam" serta "Menjadi Kupu-Kupu Malam dengan Mudah." Namun, buku-buku semacam itu tak ada gunanya untuk Toko Barang Antik Tsukumodo.

Karena aku masih belum boleh minum alkohol, dan lagipula, aku juga bukan kupu-kupu malam.

Suatu kali, aku mencoba saran yang ada di artikel "Bagaimana Menarik Pelanggan dari Jalan di Malam Hari" dan mencoba mendekati seseorang di jalan besar dengan berkata "Hei bos, tertarik melihat-lihat barang antik kami?" tapi orang itu bukanlah seorang bos. Sayangnya, aku tak punya kemampuan untuk mengenali orang yang punya jabatan dengan sekejap mata, dan lebih buruk lagi, orang-orang yang berkeliaran di tengah malam tak ada yang terlihat seperti orang-orang yang akan memimpin suatu tim.

Tentu saja.

Tak bisa melayani pelanggan sama sekali telah membuatku stres dan aku kembali tersadar bahwa aku memang terlahir untuk melayani pelanggan. Aku tak mengira tak bisa bekerja akan terasa sangat menyiksa.

Apalagi—

Aku tak bisa bertemu Tokiya selama berhari-hari. Tidak dalam keadaan tersadar, setidaknya...

Entah kenapa aku tak suka dengan keadaan seperti ini.

Kulihat Tokiya yang terbaring di sebelahku, tertidur lelap.

Tsukumodo V3 269.jpg

Kami memutuskan bahwa Tokiya harus tinggal disini untuk sementara waktu karena akan sangat berbahaya jika ia tiba-tiba tertidur ketika ia sedang sendirian. Kami masih belum benar-benar yakin akan siklus tidur ini.

Kuatkan dirimu, Saki, kataku pada diri sendiri, Towako-san sedang mencari jawabannya.

"Hah..." desahku, sembari mencolek hidungnya dengan jariku.

Seharusnya sekali-sekali kau berusaha untuk tetap terbangun!



Keadaannya menjadi lebih jelas setelah beberapa hari.

Kami menyimpulkan bahwa mangkok dupa ini membawa efek samping berupa kantuk yang tidak dapat diganggu gugat. Selain itu, tidur yang ditimbulkan akan selalu terjadi pada waktu yang sama dan berlangsung selama tepat 12 jam.

Dengan kata lain, aku akan tertidur dari jam 8 malam hingga jam 8 pagi dan akan terbangun dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam. Saki, di sisi lain, akan tertidur dari jam 8 malam hingga 8 pagi, yang berarti bahwa ia akan tertidur ketika aku baru saja terbangun, dan begitu juga sebaliknya.

Saki masih lebih beruntung: ia bisa punya alasan jelas untuk tidur di gilirannya bekerja dan bebas melakukan apapun yang ia inginkan di malam hari. Yah, aku tak tahu apa ia ingin melakukan sesuatu, sih.

Tapi, berbeda denganku. Aku harus pergi ke sekolah dan bekerja.

Meskipun sebenarnya aku bisa saja minta izin sakit kalau siklus tidurku melewati waktu sekolah, tapi aku akan terbangun jam 8 tepat, yang, lebih parahnya, nyaris cukup untuk sampai ke sekolah tepat waktu. Setiap pagi aku harus bangun, lalu buru-buru berlari ke sekolah. Selain itu, aku juga tak bisa mengobrol dengan teman-temanku tentang acara TV yang mereka tonton semalam karena alasan yang sudah jelas.

Tentu saja.

Tak punya waktu luang membuatku stres dan aku kembali tersadar betapa aku mencintai kebebasanku. Aku tak mengira menghabiskan waktu untuk sekolah, bekerja, dan sekolah akan terasa sangat menyiksa.

Apalagi—

Aku tak bisa bertemu Saki selama berhari-hari. Tidak dalam keadaan tersadar, setidaknya...

Entah kenapa aku tak suka dengan keadaan seperti ini.

Kulihat Saki yang terbaring di sebelahku, tertidur lelap.

Kami memutuskan bahwa Saki harus tidur di ruang tengah untuk sementara waktu karena akan sangat berbahaya jika ia tiba-tiba tertidur ketika ia sedang menaiki tangga. Kami masih belum benar-benar yakin akan siklus tidur ini.

Kau tak perlu mengalami semua ini terlalu lama,, kataku pada diri sendiri, Towako-san sedang mencari jawabannya.

"Hah..." desahku, sambil mencolok pipi Saki dengan jariku.

Dasar, cobalah untuk tetap bangun sekali-kali!



Setelah sekian lama, Towako-san akhirnya menemukan cara untuk menghentikan kutukan tidur yang kami alami:


"Sebuah ciuman akan bisa menghentikannya."


Itu yang ia katakan.

"......"

"......"

"Kau ingin memukulku hingga pingsan lalu menungguku...apa itu, istilahnya?" kataku.

"Itu siuman."

"Kau minta kami berdua saling menghembuskan nafas dari mulut."

"Yang kau maksud tiupan."

"Kau ingin aku membuatkan secangkir teh."

"Itu namanya minuman."

"Hidung. Indera pen—"

"—ciuman."

"Kedengarannya pas, bukan?"

"Tidak, sama sekali tidak. Yang kumaksud adalah sebuah kecupan, bibir ke bibir," ulang Towako-san.

"Sejenis alat musik petik dari Jawa Barat, Indonesia, dan cara pemberian nafas buatan."

"Kecapi dan mulut ke mulut. Pengetahuanmu cukup luas juga, ya? ...Aku tahu kau malu, tapi tolong berhenti membuat guyonan garing seperti itu. Karaktermu biasanya tidak seperti itu."

Ya, tak biasanya aku merasa semalu ini.

Tapi, tak mungkin juga aku tetap tenang setelah mendengar kata-kata seperti itu. Mungkin orang bilang aku tak punya perasaan atau aku tak menunjukkannya, tapi memang saat ini aku benar-benar terlihat kebingungan.

"Yah, lagipula yang bisa membangunkan Putri Salju dari tidurnya hanya ciuman dari sang Pangeran, kan?" kata Towako-san.

"Bagian itu ditambah-tambahkan di filmnya, dan tidak ada di kisah aslinya dari Grimm Bersaudara."

"Aku tak peduli. Pokoknya, hal yang sama terjadi di masa lalu dan diselesaikan dengan cara seperti itu. Jadi, ayolah, lakukan saja!"

"N-Ngomong sih gampang..."

"Hei, ini kan cuma ciuman—kalian sudah melewati tahap itu, kan?"

"Mana mungkin!"

"Meskipun kalian berdua berpelukan di tokoku tempo hari?"

"Tapi, itu karena Tokiya...!" Karena ia tiba-tiba memelukku...

Towako-san menggodaku dengan hal yang sama selama beberapa hari terakhir.

"Sepertinya agak memalukan kalau aku lihat, ya? Saat itu aku menunggumu, lho."

"Tidak, tapi..."

Aku melirik ke arah Tokiya—bibirnya, tepatnya. Mataku tertuju ke satu titik itu.

Aku merasa seluruh bagian pipiku merah dan hangat.

Ini sama sekali tak seperti aku yang biasanya.

Kembali tersadar, kuangkat kepala, dan bisa kulihat Towako-san menyeringai.

"A-Aku takkan melakukannya," kataku.

"Tapi kutukannya tak akan berhenti kalau kau tak melakukannya."

"Tapi..."

Towako-san menutup mulutku dengan tangannya, dan dengan senyuman gembira seperti anak kecil yang dapat mainan baru, ia berkata: "Kalau begitu, kau tunggu saja Tokiya yang melakukannya padamu."




Setelah sekian lama, Towako-san akhirnya menemukan cara untuk menghentikan kutukan tidur yang kami alami:


"Sebuah ciuman akan bisa menghentikannya."


Itu yang ia katakan.

"......"

"......"

"Kau ingin memukulku hingga pingsan lalu menungguku...apa itu, istilahnya?" kataku.

"Itu siuman."

"Kau minta kami berdua saling menghembuskan nafas dari mulut."

"Yang kau maksud tiupan."

"Kau ingin aku membuatkan secangkir teh."

"Itu namanya minuman."

"Hidung. Indera pen—"

"—ciuman."

"Kedengarannya pas, bukan?"

"Tidak, sama sekali tidak. Yang kumaksud adalah sebuah kecupan, bibir ke bibir," ulang Towako-san.

"Sejenis alat musik..."

"Aku sudah tahu!"

Ia memaksaku berhenti, tapi tetap saja aku tak bisa tenang. Mana mungkin aku mencerna perintah seperti itu tanpa merasa malu, meskipun aku ini orang yang berpikir tenang dan logis.

"Siapa yang kau bilang selalu berpikir tenang dan logis?"

"Tolong, jangan mengomentari monolog," pintaku.

"Tapi kau mengatakannya keras-keras."

Oh, begitu? Tuh kan, aku begitu tegang sampai-sampai aku tak bisa melakukan monolog dengan benar!

"Yah, lagipula yang bisa membangunkan Putri Salju dari tidurnya hanya ciuman dari sang Pangeran, kan?" kata Towako-san.

"Bagian itu ditambah-tambahkan di filmnya,dan..."

"Aku sudah tahu juga. Saki-chan mengatakannya padaku."

Aha! Dia pasti merasa terkejut kalau dia tahu jawaban yang dia berikan sama denganku!

"Pokoknya, hal yang sama terjadi di masa lalu dan diselesaikan dengan cara seperti itu. Jadi, ayolah, lakukan saja! Tak ada salahnya mencoba, kan? Ayo, segera selesaikan saja!"

"N-Ngomong sih gampang..."

"Tapi kalian berdua sudah pernah berciuman, kan? Saki-chan tak mau mengakuinya, sih."

"Mana mungkin!"

"Meskipun kalian berdua berpelukan di tokoku tempo hari?"

"Tapi, itu karena Tokiya...!" Karena aku bermimpi dimana ia mati, jadi reaksiku sedikit berlebihan ketika aku tahu bahwa sebenarnya dia sehat walafiat...

Tapi Towako-san menggodaku dengan hal yang sama selama beberapa hari terakhir.

"Sepertinya agak memalukan kalau aku lihat, ya? Saat itu aku menunggumu, lho."

"Tidak, tapi..."

Aku melirik ke arah Saki—bibirnya, tepatnya. Mataku tertuju ke satu titik itu.

Aku merasa seluruh bagian pipiku merah dan hangat.

Ini sama sekali tak seperti aku yang biasanya.

Kembali tersadar, kuangkat kepala, dan bisa kulihat Towako-san menyeringai.

"A-Aku takkan melakukannya," kataku.

"Tapi kutukannya tak akan berhenti kalau kau tak melakukannya."

"Tapi..."

Towako-san menutup mulutku dengan tangannya, dan dengan senyuman gembira seperti anak kecil yang dapat mainan baru, ia berkata: "Hadapilah, sebagai laki-laki sejati."



Tepat jam 8 malam ketika aku terbangun.

Di sampingku terbaring Tokiya, yang pasti sudah tertidur sekarang.

Itu berarti kutukannya belum berakhir—atau dengan kata lain, ia belum menciumku.

Aku jadi merasa setengah lega dan setengah kecewa... L-Lega karena ternyata Tokiya bukanlah laki-laki kurang ajar yang mau saja melakukannya tanpa pikir panjang, dan k-kecewa, tentu saja bukan karena ia tak menciumku, tapi karena kutukannya belum berakhir...!

P-Pokoknya, sepertinya masalah ini tidak mudah juga buat Tokiya. Ia butuh waktu untuk mempersiapkan dirinya sendiri, pikirku. Lagipula, aku sendiri juga merasa tidak tenang, meskipun tidak biasanya aku begitu.

Mungkin ia akan siap esok hari.

Lalu apa yang perlu kupersiapkan? Yah...Aku akan tertidur juga sih, jadi aku hanya bisa tidur seperti biasa.

Aku mencoba berbaring telentang.

Ya, berbaring seperti ini seharusnya sudah cukup...

Tunggu! Bukannya aku terlihat seperti menunggunya kalau aku tidur dengan posisi seperti ini?

Baiklah. Kita coba tengkurap.

Aku berbalik.

Tunggu! Tokiya tak akan bisa melakukan apa-apa kalau posisiku begini.

Bagaimana kalau kita ambil jalan tengah, dengan tidur menyamping?

Aku berputar 90 derajat.

Wajah Tokiya ada tepat di depan mataku.

Aku melompat berdiri saking terkejutnya.

Wow, benar-benar mengejutkan. Tak baik buat jantungku. Aku harus lebih tenang dan memikirkannya lagi masak-masak.

Tiba-tiba merasa lelah, desahan panjang keluar dari mulutku. Dan aku menyadari sesuatu.

Oh, aku belum menggosok gigiku. Sebaiknya aku menggosoknya sekarang juga!

Aku pergi ke kamar mandi dan mulai menggosok gigi; suara "srek-srek-srek" menggema di seisi kamar mandi.

"Bau nafasku tak begitu buruk. Toh makan malam kemarin kebanyakan sayur, kok."

Srek-srek-srek.

"Ah, tapi aku menambah bawang ke telur dadarnya. Seharusnya tak apa-apa sih, toh aku tidak memakannya mentah-mentah..."

Srek-srek-srek.

"K-kalau kuingat lagi, aku minum teh hitam sebelum tidur. Teh yang jenisnya khusus, jadi mungkin masih ada baunya yang tersisa di mulutku..."

Srek-srek-srek.

"T-tapi, aku juga minum teh lagi setelah menggosok gigiku karena tiba-tiba rasanya haus sekali..."

Srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek-srek.

"Hm? Kenapa kau menggosok gigi?" tanya Towako-san yang tiba-tiba muncul di belakangku.

"Uh..."

Oh, nyaris saja kutelan pasta giginya.

Selesai menggosok gigi, aku berbalik menghadapnya.

"Kita bahkan belum makan malam..." gumam Towako-san penuh curiga, namun segera diikuti dengan senyuman licik. "Tak sabaran sekali kau, Saki-chan? Kau masih punya 11 jam lebih lho. Haha, tetap semangat! Pastikan kau menggosoknya hingga benar-benar bersih!"

"B-Bukan begitu..."

"Apa yang bukan begitu?"

D-Dia menikmatinya. Dia benar-benar menikmati situasi seperti ini.

Berusaha tetap tenang, kutanyakan padanya, "Betulkan aku kalau aku salah, tapi apakah penting siapa yang menjalankan cara yang kau sebutkan untuk menghilangkan kutukan ini?"

"Hm? Ya, kurasa tidak juga."

"Kenapa tidak kau saja yang melakukannya, Towako-san?"

Kupikir itu adalah ide bagus. Tak harus aku dan Tokiya yang berciuman.

Towako-san menyangga dagu dengan tangannya, dan setelah berpikir sesaat, ia berkata "Oh, begitu" dan menepukkan tangannya. "Sepertinya memang bisa diterjemahkan seperti itu juga!"

Dia berjalan ke arahku, dan pelan-pelan mengangkat daguku, mukaku tepat ada di depan mukanya, tapi aku berusaha untuk melawan dan menundukkan kepalaku.

"Aku tak keberatan, kalau kau memaksa," katanya.

"Eh? Eh? Eh?" Meskipun idenya sendiri dariku, tapi aku tak mengira ia akan menerimanya begitu saja.

Bibir ranum Towako-san semakin mendekat; warnanya merah merona, terlihat basah dan indah karena ia selalu menggunakan lipstik tipis-tipis.

Lalu bagaimana denganku? Aku menjadi khawatir bibirku kering. Akan sangat memalukan kalau ia melihat bibirku dalam kondisi yang pecah-pecah.

Ah, bukankah Koumoto-sam pernah memberiku sebuah lipstik? Aku kembali teringat akan seorang penata rambut yang kukunjungi baru-baru ini. Tapi bukankah aneh, mengenakan lipstik sebelum tidur? Tidak kan, ya?

Ah! Aku tak boleh memikirkannya sekarang!

"Oh, tunggu!" kata Towako-san tiba-tiba, sembari menarik kepalanya.

"Ada apa?" tanyaku, berusaha menyembunyikan kelegaan yang sebenarnya kurasakan. Pada saat-saat seperti inilah aku bersyukur tak bisa banyak berekspresi.

"Kupikir lebih baik kau menyimpan bibirmu untuk Tokiya, karena ia mungkin sudah akan berubah pikiran sebentar lagi. Sepertinya untuk sekarang, aku yang akan mengurusnya."

Mengurusnya...? Jangan-jangan Towako-san akan...

"Yah, lebih baik lakukan sekarang, selagi ada kesempatan, kan?"

Dengan kata-kata itu, ia berjalan ke arah Tokiya, tapi tiba-tiba ia berhenti dan berpaling kepadaku.

"Ada apa?" tanyaku.

"Jadi?" ia menunjuk ke bawah.

Mataku mengikuti arah yang ditunjukkan jarinya, dan aku tersadar bahwa aku sudah menggenggam erat lengan bajunya. Tanpa sengaja.

"Eh, em, aku..." aku buru-buru menarik tanganku sambil berusaha mengatakan sesuatu.

Aku benar-benar tak berniat melakukannya. Tanganku bergerak dengan sendirinya.

Towako-san tertawa dan berkata, "Kalian berdua benar-benar harus melakukannya sendiri."

"Ah, tidak, aku tak bermaksud..."

"Bukankah akan lebih mudah buat kita semua kalau ciumannya hanya antara kau dan Tokiya, Saki-chan?" ia menepuk kepalaku dan pergi ke kamar mandi.

Lebih mudah? Benar juga. Kami berdua sama-sama terkena kutukan yang sama, jadi dengan begini akan lebih efektif. Lagipula, kita tak boleh semakin merepotkan Towako-san setelah semua yang ia lakukan dengan penelitiannya.

Aku pasti tanpa sadar sudah tahu apa yang akan kulakukan, dan itu kenapa aku memegang tangan Towako-san barusan.

Ya, aku yakin itu.



Tepat jam 8 malam ketika aku terbangun.

Di sampingku terbaring Saki, yang pasti sudah tertidur sekarang.

Itu berarti kutukannya belum berakhir—atau dengan kata lain, ia belum menciumku.

Aku jadi merasa setengah lega dan setengah kecewa... L-Lega karena Saki tak melakukannya terlebih dulu, karena, 'kan aku cowok, jadi aku yang harus melakukannya, dan k-kecewa karena aku sempat berharap kutukannya akan hilang dengan sendirinya...

P-Pokoknya, aku harus segera mengambil inisiatif. Pertama, sepertinya tak mungkin juga Saki akan melakukannya, dan kedua, kurasa ini adalah sesuatu yang harus dilakukan laki-laki. Seharusnya memang begitu...tapi ngomong memang lebih mudah, sih.

Namun, yang jadi masalah disini bukan kekhawatiranku. Aku sebenarnya tak begitu peduli pada diriku sendiri.

Aku sendiri tak pernah berharap akan mendapat ciuman pertama yang seperti apa, dan aku juga tak berniat untuk mengingat-ingatnya untuk seumur hidupku. Yes, pertama kalinya! Hebat, 'kan?!

Pokoknya, secara mental, aku sudah siap.

Masalahnya adalah bagaimana perasaan Saki.

Aku tak yakin ia akan senang, tapi aku juga ragu apakah ia akan mau menelan pil pahitnya; kalau ia mau tentu semua akan jadi lebih mudah. Apa yang kukhawatirkan, kalau ternyata ia sedang mencari cara lain yang tidak melibatkan hal itu.

Atau mungkin, jangan-jangan ia lebih suka membiarkan kutukannya daripada harus melakukan itu untuk menghapus kutukannya.

"Ah, sial! Tak bisakah kami sama-sama terbangun selama beberapa menit saja?!"

Kenapa siklus tidur kami harus 12 jam tepat...?

Aku mulai mengunyah permen karet untuk menenangkan diri, dan tiba-tiba suatu ide yang hebat—biasa saja, sih—muncul di kepalaku.

"Aku akan menulis pesan untuknya."

Mungkin itu cara yang terbaik jika kita tak bisa saling berbicara.

Kuambil buku catatan dan pensil, lalu mulai mencari kata-kata untuk dituliskan. Aku tak peduli akan terlambat sampai di sekolah.

Oke, jadi apa yang mau ditulis.

"Aku tak tahu bagaimana memulai hal seperti ini. Ehm... Kepada Saki, namaku Tokiya Kurusu. Baiklah, sepertinya aku memang bodoh. Apa gunanya menulis surat resmi seperti itu, nak?"

Nyam-nyam-nyam, permen masih kukunyah di dalam mulutku.

"Langsung saja ke intinya. Hmm, hei, bolehkah aku menciummu? Waduh, kalau ini benar-benar memalukan!"

Nyam-nyam-nyam.

"Kau kehilangan tujuanmu, nak. Ia tahu persis apa yang ingin kau lakukan."

Nyam-nyam-nyam.

"Masalah utamanya adalah...ehm, apakah kau keberatan kalau ciuman pertamamu denganku? Bro, kau banci. Kau benar-benar banci, bro!"

Nyam-nyam-nyam.

"Sial! Rasanya tak ada yang pas... ya, tentu saja! Tak ada yang salah atau benar untuk hal semacam ini!"

Nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam-nyam.

"Oh, Tokiya? Masih disini?" kata Towako-san ketika ia masuk ke ruang tengah, masih setengah mengantuk.

"Uh..."

Oh, nyaris saja kutelan permen karetnya.

Dengan terburu-buru—tapi sambil tetap berusaha tenang, setenang air di kolam—kubuang remasan kertas ke tempat sampah.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya, "Hm? Kau membeli permen karet? Jarang-jarang. Coba lihat. 'Menyegarkan Nafas', 'Untuk Nafas yang Lebih Wangi', 'Menghilangkan Bau Mulut Setelah Makan', 'Mint Jeruk'." ucapnya membaca tulisan di bungkus permennya, lalu tersenyum nakal. "Licik."

"H-Hei, aku tak membeli permen itu untuk menyegarkan nafas! Cuma untuk membuatku lebih tenang saja."

"Kenapa kau perlu lebih tenang?"

"Eh..."

"Dengar, persetan dengan segala urusan ketenangan itu, lebih baik lakukan sekarang selagi ada kesempatan. Saki-chan menunggumu, tahu?"

"Urus masalahmu sendiri! Aku mau berangkat ke sekolah!"



Tepat jam 8 malam ketika aku terbangun.

Di sampingku terbaring Tokiya, yang pasti sudah tertidur sekarang.

Itu berarti kutukannya belum berakhir—atau dengan kata lain, ia belum menciumku.

...jadi sia-sia saja aku mempersiapkan diri. Eh, tapi aku tak melakukan apa-apa juga kok; aku tidur telentang seperti biasa, dan meskipun aku menggosok gigiku dua kali lebih banyak dan lebih lama, itu hanya untuk melindungi gigiku dari karies!

Lipstiknya juga hanya untuk melembapkan bibirku. Akhir-akhir ini bibirku pecah-pecah.

P-Pokoknya.

Kulihat Tokiya dengan pandangan merendahkan.

Banci...

Siklus 12 jam ini akan terus berlanjut kalau ia tak melakukan apapun; kami tak akan bisa mengobrol lagi!

Atau kalau memang ia tak keberatan...?

"!" Aku terkejut dengan pikiranku sendiri, tentang kemungkinan yang lain.

Ya... mungkin memang benar begitu.

Tokiya bisa pergi ke sekolah dan bekerja tanpa masalah. Yang berubah hanyalah bahwa ia bisa tidur lebih lama dan ia tak bisa menemuiku ketika sedang terbangun.

Mungkin, ia tak menganggapnya suatu masalah. Mungkin, ia tak keberatan dengan sedikit perubahan seperti itu. Mungkin—

Ia lebih memilih membiarkan keadaan apa adanya daripada harus memenuhi syarat untuk menghentikan kutukannya.

Aku tak pernah memikirkannya sebelumnya; aku tak pernah berpikiran bahwa Tokiya mungkin benar-benar tak ingin melakukannya.

"Hei, Tokiya... apakah kau benar-benar tak mau melakukannya?"

Tak ada jawaban.

Hatiku dipenuhi dengan kegelisahan—aku ingin pergi dari sini.

Pada akhirnya, aku ini hanyalah seorang gadis remaja biasa.

Aku juga merasakannya — saat-saat ketika kau merasa tak tenang karena kau merasa tidak disukai.



Tepat jam 8 malam ketika aku terbangun.

Di sampingku terbaring Tokiya, yang pasti sudah tertidur sekarang.

Sudah waktunya untuk menyelesaikan masalah ini.

Sebelum tidur, kuputuskan bahwa aku takkan ragu-ragu lagi ketika aku sudah bangun.

Aku juga minta nasihat dari Shinjou, teman sekelasku, karena—diluar dugaanku—dia sudah mendapatkan ciuman pertamanya, bersama gadis manajer klub itu. Terkejut, ia bertanya, "Apa? Jadi kamu belum pernah berciuman? Meskipun kau punya pacar yang imut?" Saki dan aku tidak dalam hubungan seperti itu, tapi aku tak mundur lagi.

Pokoknya, kebanggaan sebagai laki-laki telah membulatkan tekadku. Meskipun rasanya akan sedikit kasar untuk pihak satunya, tapi aku tak peduli.

Seperti yang Towako-san katakan: Aku harus melakukannya sekarang selagi ada kesempatan.

Aku melihat sekeliling dengan perasaan was-was.

Kalau ada Towako-san di dekat sini, nyaliku pasti akan menciut, tapi aku harus segera memanfaatkan momentum ini. Kalau tidak, aku tak akan bisa mengulangnya dengan segera.

"Baiklah, mari kita lakukan!" kataku, berusaha menguatkan diriku sendiri, dan menghadap ke muka Saki.

Mukanya yang sedang tertidur—mukanya yang tenang, dan tak berdaya—ada di depan mataku. Bahkan mukanya yang tanpa ekspresi terlihat lumayan imut ketika ia sedang tertidur.

Ketika aku sedang mengamati wajahnya, otakku diserang dengan beberapa pikiran yang melenceng dari tujuan semula. Aku baru tahu alisnya begitu panjang. Kulitnya halus sekali.

Tidak tidak, aku harus berkonsentrasi.

Kulihat bibirnya yang halus, sedikit lembab dan berwarna.

Apa dia memakai lipstik? Karena bibirnya pecah-pecah, atau karena ia juga mempersiapkan dirinya sendiri?

Mau tak mau, aku menjadi terfokus kepada bibirnya yang begitu indah.

"Uh..." tanpa sengaja aku menelan ludah, dengan suara yang kurang enak didengar.

Hei, aku, aku tak bermaksud jelek!

Ini untuk kebaikan kita berdua.

Ayo, majulah! Tokiya Kurusu, kalau kau memang laki-laki, kau takkan mundur! Lakukan sekarang dan rasakan sendiri! Eh, tidak. Tapi, ehm, ya.

Pokoknya, lakukan sekarang, Tokiya, ambil nafas dalam-dalam dan segera selesaikan semua ini!

Kukuatkan lengan yang menyangga tubuhku—lalu aku tersadar kalau aku menyentuh sesuatu.

Sebuah memo.

Karena terlihat seperti pesan dari Saki, kuambil memo itu dan kubaca isinya.


Berapa lama lagi waktu yang kau butuhkan untuk melakukan sesuatu yang tak jauh beda dengan pernafasan buatan dari mulut-ke-mulut?


Dasar...

Dasar gadis yang tak berperasaan...

Meskipun aku sudah bertarung dengan segala keraguanku selama berhari-hari seperti orang bodoh, berpikir apakah ia akan keberatan melakukannya denganku, tapi ternyata ia sendiri sama sekali tak peduli.

Tidak, dia bahkan menyamakan apa yang kukhawatirkan dengan pernafasan buatan dari mulut-ke-mulut. Dia mengabaikan waktu yang kuhabiskan untuk memikirkan hal ini begitu saja, dengan berkata bahwa aku harus segera melakukannya, seakan-akan ia tak peduli sama sekali dengan perasaanku.

Aku bergeser menjauh dari Saki.

Aku telah kehilangan momentum.

Tidak, momentum itu telah lenyap.

Hilang tak berbekas.

Tak meninggalkan apapun.



Tepat jam 8 malam ketika aku terbangun.

Di sampingku... tak ada siapapun.

"Eh?"

Apakah ini berarti kita telah...?

Tepat ketika aku akan menyentuh bibirku, kulihat Tokiya sedang tertidur di pojok. Tanpa selimut dan menghadap tembok.

Kenapa dia...?

Tokiya seharusnya terbangun kalau kutukan itu sudah berakhir. Di sisi lain, kalau kutukan itu masih ada, aku tak mengerti mengapa ia tidur begitu jauh dariku. Tentu saja, tak ada alasan bagi kami untuk tidur di futon yang sama, tapi kami hanya punya satu disini dan lagipula kami tak akan tidur di atasnya dalam waktu yang bersamaan. Hingga kini, Tokiya selalu ada di sisiku ketika aku terbangun.

Hanya dengan tidur terpisah begitu jauh dan dipunggungi, entah kenapa aku merasa aku ditolak—

Tiba-tiba, tanganku menyentuh sesuatu. Ternyata kertas yang kupakai untuk menuliskan pesan kepada Tokiya ketika aku merasa gelisah.

Kertas itu sudah tak karuan bentuknya, sepertinya ia telah diremas-remas. Mungkin aku tak sengaja menindihnya ketika tidur.

Setelah sedikit berkutat, aku berhasil membuka remasan kertas itu, dan kutemukan pesan yang kutulis serta satu baris pesan yang terlihat seperti tulisan tangan Tokiya.


Kalau memang hal itu tak berarti bagimu, lakukan saja sendiri!


...Jadi memang ia tak sudi melakukannya.

Memunggungi diriku adalah tanda penolakan yang benar-benar jelas.

Satu-satunya alasan ia masih mau tidur seruangan denganku, mungkin adalah untuk menyelesaikan semua masalah ini. Ia masih membuat alasan jika yang sebenarnya melakukannya adalah aku.

Yang pasti, ia benar-benar tak mau melakukannya. Sebegitu ogahnya sampai ia masih tak mau melakukannya meskipun dengan memikirkannya seolah-olah seperti pernafasan buatan dari mulut-ke-mulut.

Kenapa aku menambahkan mungkin dan pasti?

Dia benar-benar tak mau melakukannya.

Aku sedikit merasa bahwa Tokiya tertarik padaku, tapi ternyata aku salah. Mungkin, sudah ada gadis lain yang ia pikirkan.

Dan, aku yakin kalau gadis itu bukanlah aku.

Mungkin aku salah memikirkannya, karena kami tak sedang berpacaran atau semacamnya, tapi aku hanya ingin ia, tak perlu menunjukkan kasih sayang, tapi setidaknya aku ingin ia tak membenciku. Sekarang setelah harapanku meninggi; aku hanya ingin ia sedikit tertarik padaku.

Tapi, Tokiya tidak ingin melakukannya. Sebegitu ogahnya sampai ia tak bisa melakukannya meskipun dianggap seperti pernafasan buatan. Sebegitu ogahnya sampai ia menyuruhku untuk melakukannya.

Ia benar-benar tak tahan bersama denganku.

Tapi, kalau begitu—


Kenapa kau memelukku seperti itu?!


Karena peristiwa itu, aku menjadi semakin memperhatikan Tokiya beberapa hari ini. Ia bahkan belum memberikan penjelasan apa-apa terkait peristiwa hari itu.

Saat itu yang terjadi bukanlah ketidaksengajaan. Ia tidak terjatuh.

Ia mendekap tubuhku dengan begitu dekat dan begitu kuat, sampai-sampai aku sulit bernafas.

Tapi mungkin itu semua tak ada hubungannya dengan perasaannya. Mungkin hanya aku sendiri yang memikirkan dirinya selama ini.

Mungkin, hal itu juga bukanlah sesuatu yang spesial buat Tokiya.

Aku merasa seperti orang bodoh.

Kulempar memo yang telah kuremas ke tempat sampah. Bukannya masuk ke dalam tempat sampah, namun justru tempat sampahnya yang terguling dan menumpahkan isinya ke lantai.

Bahkan membuang sampahpun jadi sulit.

Ingin membuang sampah itu keluar, aku berdiri dan mengumpulkan isi tempat sampah seolah-olah seperti aku mengumpulkan sisa-sisa hatiku yang runtuh. Di dalam tempat sampah banyak sekali bungkus permen karet dan lembaran kertas. Aku baru sadar kalau aku tak lagi membersihkan isi tempat sampah secara teratur sejak kutukan ini muncul.

Ayo kita selesaikan semuanya sekarang juga.

Apakah Towako-san masih belum tidur? Setelah aku selesai membuang sampah ini, aku akan menanyakan padanya apa yang harus dilakukan supaya semua ini segera selesai.

Apakah mungkin sebaiknya kupakai saja mangkok dupa itu?

Dengan otak yang memikirkan hal bodoh seperti itu, kuambil lembaran kertas lain. Salah satu dari beberapa yang kutulis dan lalu kubuang begitu saja, pikirku. Aku sudah menulisi berlembar-lembar kertas sembari memutar otak mencari tahu harus menulis apa.

Tokiya akan kesal jika ia melihatnya; sebaiknya kubuang dan kubakar kertas-kertas ini sekarang.


Kepada Saki, namaku Tokiya Kurusu—


"Eh?"

Aku tak mengenal tulisan yang ada di kertas memo itu.

Ini bukan yang kutulis...?

Hati-hati kubuka kertas yang sudah diremas itu. Meski cukup sulit dibaca, jelas-jelas itu adalah tulisan tangan Tokiya; ialah yang menulis di memo ini.

Kulihat remasan kertas yang lain.


Hei, bolehkah aku menciummu?


Apakah kau keberatan kalau ciuman pertamamu denganku?


Apakah kau takkan menyesalinya?


Kalau kau tak ingin melakukannya, maka aku takkan memaksa!


Aku menemukan banyak sekali pesan-pesan itu. Ditulis, diremas, lalu dibuang. Ditulis, diremas, lalu dibuang.

Aku dapat membayangkan dengan jelas betapa ia merasa begitu ragu-ragu.

Aku dapat membayangkan bagaimana ia memikirkan tentangku, betapa khawatirnya ia padaku, dan begitu gelisahnya ia memikirkan semua ini.

Aku dapat mengerti mengapa ia tidak dapat memikirkannya sebagai sebuah pernafasan buatan dari mulut-ke-mulut—karena aku.

Aku nyaris tertawa. Bukan orang lain, tapi Saki Maino nyaris tertawa.

"Kau benar-benar bodoh."

Aku menghampiri Tokiya yang sedang tertidur, menghadap dinding tanpa mengenakan selimut.

Sebelumnya, ia membuatku takut karena ia seperti menolakku, tapi sekarang dia terlihat lucu, seperti bocah yang merajuk.

Kututup tubuhnya dengan selimut dan kuletakkan memo yang baru di tangannya.

"Hei, Tokiya..." kubisikkan pelan-pelan di telinganya, tak peduli ia takkan mendengarnya.



Jam 5 sore, aku baru pulang dari sekolah, dan kulihat Saki yang sedang tertidur.

Pagi itu, Saki tak ada di sisiku ketika aku terbangun. Untuk sesaat, aku sempat berharap itu karena kutukannya memang sudah berakhir, tapi tak lama aku menyadari bahwa ia tidur tepat di tengah ruangan, telentang; akulah yang tidur di tempat yang tak biasanya dan memakai selimut.

Kutukannya masih belum berakhir.

Sepertinya, Saki memang benar-benar bersikeras untuk menyerahkan semuanya padaku, tapi aku masih tak paham apa yang sebenarnya ia inginkan.

Aku berpikiran untuk menyerahkan segalanya pada Towako-san, yang kali ini tak ada di rumah. Ia tak muncul sejak pagi hari. Sial, sebaiknya dia tidak meninggalkan kami dengan sengaja.

Pokoknya, aku tak ada pilihan lain selain menunggu Towako-san kembali sembari berharap bahwa ia akan pulang sebelum jam 8 malam. Aku tak ingin terus-terusan seperti ini.

Kuamati wajah Saki.

Wajah yang tenang, tanpa ekspresi, seperti biasa.

Aku tentu saja tak menolak untuk membagi kekhawatiranku dengannya. Toh, mungkin ia akan menjawabnya dengan muka datar, dan mengatakan, "Apa? Kau memikirkan tentang hal itu?"

"Kalau memang hal seperti itu tak penting buatmu, kenapa tidak kau..." aku mulai mengeluh, keluhan yang takkan ia dengar, ketika tiba-tiba aku menemukan selembar kertas memo di tempatku tidur tadi malam.

Kertas yang kutinggalkan di sebelah bantalnya tempo hari...?

Aku telah menuliskan sesuatu yang kurang lebih berarti "Kalau memang hal seperti itu tidak ada apa-apanya buatmu, lakukan saja sendiri!"

Apakah itu berarti ia tak membacanya? Atau dia membacanya, lalu membuangnya begitu saja?

Kuambil kertas yang—di luar dugaanku—terlipat rapi.

Bukankah aku sudah meremasnya ketika kutinggalkan di sebelah Saki...?

Kubuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.

"Apa..."

Isinya adalah pesan dari Saki.




Aku terbangun.

Di sebelahku—tak ada orang.

Tokiya sudah ada di depanku ketika aku terbangun.

"Sudah bangun? Aku benar-benar khawatir karena kau masih belum terbangun selama dua jam!" katanya, mendesah panjang. "Tapi, sepertinya kutukannya sudah berakhir sekarang."

Tsukumodo V3 304.jpg

Dia menunjukkan jam; sekarang jam 7 malam. Satu jam sebelum waktu biasanya aku terbangun.

"Kalau aku sejam lagi tidak tertidur, berarti semua kutukan ini sudah berhenti, kan?" ia tersnyum padaku.

Fakta bahwa aku sudah bangun sebelum waktunya berarti bahwa kutukan itu sendiri sudah lenyap, yang berarti bahwa sesuatu telah terjadi, dan fakta bahwa Tokiya berdiri di sana sepertinya menjawab semuanya...

Juga fakta bahwa aku merasakan suatu sensasi yang aneh di bibirku...

"Saki." Tokiya melihatku dengan mimik muka serius.

"T-Tak apa. Jangan khawatir. Memang sebenarnya tak jauh berbeda dengan pernafasan buatan. Ah, tidak, aku tak berpikir seperti itu. Hanya saja, bagaimana mengatakannya... ehm, aku, ya, aku senang kau..."

"Meong~"

"Bahwa kau yang... eh? Meong?"

Suara yang tak biasa melemparkan diriku kembali ke kenyataan. Seekor kucing menyembulkan kepalanya dari lengan Tokiya. Mii, kucing peliharaan Asami-chan ada disitu.

Tapi apa yang dilakukan Mii disini?

"Ah, ehm, dengar. Banyak hal yang terjadi, tapi singkatnya..."

"Ya?"

"Bocah kecil ini telah menghapuskan kutukan itu dari kita."

"Apa?"

"Yah... sepertinya bahkan kucing juga bisa menghilangkan kutukan itu, ya?"

Kulihat Mii yang ada di lengannya. Kucing itu dengan santai menjilat bibirnya, seolah-olah berterima kasih atas jamuan yang diberikan.


Esok harinya, aku bangun jam 8 pagi dan segera membuang sampah. Cukup banyak juga sampahnya, karena sudah menumpuk di tempat sampah beberapa hari ini, tapi aku senang bisa kembali bangun di pagi hari dan bekerja seperti biasa.

Singkatnya, aku berhasil kembali melayani pelanggan.

Aku benar-benar gembira. Ya, aku gembira! Benar-benar gembira! Serius.

Kemarin, Tokiya juga membuat Mii menghilangkan kutukannya dan pulang setelah memastikan bahwa ia tak lagi tertidur jam 8 malam. Kami telah membersihkan abu dan membungkusnya dengan rapi supaya ketika dibuang ke tempat sampah, tak ada abu yang beterbangan.

Benar-benar abu yang menyusahkan. Serius, aku masih merasa tak cukup mengatakannya berkali-kali.

"Ah, Saki-chaan!" seseorang memanggil namaku.

Asami-chan datang, salah satu dari beberapa temanku, sekaligus pemilik Mii.

"Mii tidak nakal, kan?" tanyanya.

"...Begitulah."

"S-Saki-chan? Kau marah?"

Oh tidak, aku sedikit kelepasan.

"Tidak, kok. Tapi omong-omong: pagi-pagi sekali kau kesini, ada apa?"

"Aku kemari untuk mengambil Mii."

"Oh, aku baru saja akan mengembalikannya padamu..."

Tokiya mengatakan padaku untuk mengembalikan Mii ke Asami-chan pagi ini. Aku sudah berencana akan pergi setelah membuang sampah dan menyiapkan sarapan.

"Tapi aku sudah kangen dengan Mii."

"Kalau begitu, mari kembali ke toko." kataku.

"Mm," ia mengangguk.

Kami bergandengan tangan dan berjalan kembali ke toko. Di tengah jalan, Asami-chan mengeluh, "Onii-chan benar-benar jahat kemarin!"

Ia memanggil Tokiya dengan sebutan Onii-chan.

"Tiba-tiba sore-sore ia datang dan bilang ingin meminjam Mii. Ia bahkan tak bilang mengapa ia ingin meminjamnya!"

Sepertinya, Asami-chan tak ikhlas ketika menyerahkan Mii, yang cukup masuk akal, karena binatang piaraan bukanlah sesuatu yang bisa dipinjam-pinjamkan begitu saja. Tokiya juga pasti bersikeras untuk meminjam Mii, karena ia sendiri juga tak bisa menjelaskan alasannya pada Asami-chan.

"Kau harus selalu menyebutkan alasanmu ketika kau meminjam sesuatu dari orang lain!" seru Asami-chan.

"Benar. Aku akan mengatakannya pada Tokiya."

Aku senang sekali ia bersikap begitu dewasa.

"Dan aku harus kembali memberikan nilai minus padanya karena datang di tengah makan malam," tambahnya.

"Oh, kau sedang makan malam? Bukannya itu terlalu cepat untuk makan malam?"

Tokiya pasti datang untuk meminjam Mii sekitar jam 5 sore.

"Hm? Kupikir biasa saja. Kami selalu makan malam sekitar jam segitu."

"Tepat setelah kau pulang sekolah?" tanyaku.

"Tidak, tidak! Sekolah berakhir jam 5 sore."

"Ya, tapi bukannya kau makan malam sekitar jam itu?"

"Kalau makan malam secepat itu, aku akan kelaparan malam-malam! Kami selalu makan malam jam 6."

"Jam 6? Saat itu juga Tokiya datang untuk meminjam Mii?"

"Ya."

Apa maksudnya ini?

Maksudku, aku terbangun jam 7 malam. Itu berarti Tokiya tidak mungkin Tokiya meminjam Mii jam 6.

Lagipula...

Lagipula...

Tokiya bilang:


Aku benar-benar khawatir karena kau masih belum terbangun selama dua jam!


Kecuali ia berbohong, itu berarti kutukannya berakhir pukul 5. Tapi Tokiya meminjam Mii sekitar jam 6 ketika Asami-chan sedang makan malam dengan keluarganya.

Kalau itu benar, Mii belum ada di jam 5, kan?

Apa maksudnya ini?

Apakah ia salah bicara? Atau Asami-chan salah ingat?

Atau—

"SSaki-chan, sekarang kau tiba-tiba terlihat senang!"

"Bukan apa-apa."

Tanpa sadar, aku menyentuh bibirku.



Fiuh, sepertinya masalah ini sudah selesai. Benar-benar kutukan yang menyusahkan. Aku serius.

Aku sudah melihat banyak sekali Relik, tapi baru ini yang membuatku begitu lelah. Yang pasti aku tak ingin merasakannya lagi.

Akhirnya, aku kembali ke apartemenku tercinta. Apartemenku yang murah. Istanaku.

Berbaring di lantai, kumasukkan tanganku ke kantung celana dan mengambil secarik kertas memo bersama dengan selembar kertas lain.

Pesan yang ditulis Saki padaku.

Aku benar-benar malu ketika membacanya.

Gadis itu telah membaca pesan-pesan yang sudah kubuang!

Sial! Aku pasti terlihat goblok sekali!

Yang ia tulis adalah jawaban-jawaban atas keraguanku sendiri. Meskipun jawaban itu menyelesaikan masalah ini, kekhawatiran lain segera muncul.

Aku menjadi merasa lebih buruk karena melakukannya saat keadaannya benar-benar meragukan dan sembunyi-sembunyi, ketika ia tertidur!

Setelah pusing memikirkannya sampai, entah, rasanya seperti bertahun-tahun, akhirnya aku mendapat ide untuk memanfaatkan Mii.

Terlepas dari masalah Mii—aku berpikiran untuk meminta maaf ke Asami-chan di lain waktu—sepertinya ia benar-benar percaya. Itu berarti satu masalah lain sudah lepas dari pundakku.

Kulihat lagi kertas memo itu. Isinya pesan dari Saki.



Siapa lagi yang lebih baik?



Kau terlalu lucu...

Ketika diberitahu seperti itu, bahkan seseorang sepertiku juga akan...

Lepas kendali untuk beberapa saat.





Mundur ke Mimpi Kembali ke Halaman Utama Maju ke Penutup