Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume2 Bab8
Pesta di Newcastle Sebelum Pertarungan Terakhir
Kapal perang Elang membawa Saito ke garis pantai Albion yang berantakan. Mereka telah bergerak selama tiga jam dan sudah dapat melihat tebing, sebuah benteng besar yang berdiri di ujungnya. wales menjelaskan pada Saito yang tengah berdiri di dek depan, bahwa itu adalah Benteng Newcastle. Namun, Sang Elang tak langsung menuju kota, tapi malah melayari pantai.
"Mengapa kita ke bawah?"
Wales menunjuk langit di belakang Benteng dimana sebuah kapal besar tengah melayang. Namun, mereka tak bisa melihat kapal ini yang bersmbunyi di sisi lain dari awan.
"Kapal perang pemberontak."
Ia hanya bisa dijelaskan sebagai kapal besar - panjangnya 2 kali sang elang dengan jumlah layar yang luar binasa, dan sepertinya ia tengah membidik pelabuhan Newcastle. Tanpa peringatan, ia melepas tembakan yang menyasar benteng. Bola meriam pertama menabrak tembok dan sebuah api kecil dapat terlihat. Getaran dari kenaan dapat dirasakan di dek Sang Elang. "kapal ini yang bernama "Royal Sovereign" dulu dimiliki angkatan udara negeri kami. lalu, saat pemberontak mengambil alih, mereka mengubah namanya jadi "Lexington". Ia dinamakan untuk mengenang medan dinama orang-orang itu merebut kemenangan pertama dari kami." Kata Wales sambil tersenyum.
"Kapal perang ini terus memblokade Newcastle dari udara. Ia menembak pada benteng sewaktu-waktu, bukan untuk merusak, tapi hanya untuk mengganggu."
Saito melihat menembus awan pada kapal perang itu. Ada banyak meriam di tiap sisinya, dan seekor naga dilukis di permukaan kapal.
"Ia memiliki 108 meriam dan benar-benar terliaht seperti naga bernapas api sewaktu-waktu. Seluruh pemberontakan dimulai dari kapal itu. Kami tak bisa mengimbanginya, jadi lebih baik berlayar melalui awan ini dan tetap tak terlihat mereka. Kita bisa mencapai Newcastle dari sisi lain, ada gerbang rahasia yang hanay diketahui kami."
---
Tiba-tiba kegelapan menyeruak saat kapal menuju bagian bawah benua, karena tanah menghalangi cahaya. Tambahan lagi, mereka masih dikelilingi awan. Mereka tak bisa melihat apa-apa. Wales menjelaskan pemberontak tak pernah bergerak ke bawah benua karena berbahaya bermanuver seperti itu. udara dingin, lembab dan menusuk menabrak pipi Saito.
"Untuk navigator angkatan udara kerajaan, adalah sangat mudah bernavigasi menggunakan peta topografikal, dengan sihir cahaya dan pengukuran."
Wales tertawa, sang ningrat tak tahu langit bukanlah orang pintar.
Mereka berlayar sebentar hingga mencapai tempat yang membuka dengan sebuah lubang hitam di depan. Diterangi sihir cahaya dari mast, ini benar-benar luar biasa, mereka bisa melihat lubang berdiameter 300 mail.
"Berhenti sekarang."
"Ok-Ok pak, Hentikan disini!" Perintah Wales diberikan pada kru yang tetap hidup dan ceria. Layar dicopot dan sang Elang mulai bergerak tepat di bawah lubang.
"Percepat perlahan."
"Ok-Ok pak, perlahan mempercepat!"
Sang Elang melayang perlahan memasuki lubang. Dibelakangnya ada Maria Galante dimana navigatior Sang Elang telah naik.
Wardes mengangguk,"Kalian benar-benar bukan pembajak udara, Paduka."
"Kami benar-benar pembajak udara, Viscount."
--- Cahaya dapat dilihat didalam lubang dan disana Sang Elang menuju.
Kapal perang itu telah sampai ke gerbang rahasia Newcastle. Dalam gua limestone itu diliputi moss putih. Banyak orang menunggu di quay. Tali dilemparkan pada para pelayar untuk mengikat Sang Elang dan akhirnya gangway kayu dipasangkan. Wales mengarahkan Louise dkk menyusuri gangway. Seorang penyihir tua dan tinggi menghampiri mereka.
"Ha ha, hasil militer yang bagus sekali kan, Paduka?"
Sang penyihir tua muncul tiba-tiba di depan Sang Elang.
"Bergembiralah Paris. Belereng, kita dapat belerang."
Saat Wales berteriak, disekelilingnya para prajurit yang bergembira berkumpul.
"Oooh! belerang! Ini adalah untuk kapal penjaga kita!" Sang penyihir tua mulai menangis begitu selesai berbicara.
'Aku melayani raja sebelumnya selama 60 tahun...Takkan ada hari-hari bahagia seperti itu lagi, Paduka. Setelah pemberontakan, semuanya menjadi muram...Bahkan dengan belerang sekaipun, kita takkan bisa..."
Wales tertawa sambil tersenyum.
"Bahkan jika kita kalah, kita akan tunjukkan para pemberontak keberanian dan kehormatan keluarga kerajaan."
"Sebuah kematian yang mulia. Tulangku yang menua bergetar karena senangnya. Dilaporkan para pemberontak akan menyerang benteng besok. Sekarang saatnya semua atau tidak sama sekali, Paduka."
"dengan napas terakhir kita, kita akan membuat prajurit mereka hina!"
Wales dan yang lainnya tertawa lepas dari dasar hati mereka. Louise menjadi khawatir setelah mendengar kata kalah. Dengan kata lain, mereka akan mati. Tidakkah orang-orang ini takut mati?
"dan siapa orang-orang ini?" seorang penyihir tua bernama Paris menanyai Wales setelah melihat Louise.
"Ini duta dari Tristain. Dia datang karena sebuah urusan penting terkait kerajaan."
Untuk sesaat, Paris terkejut apa yang dicari seorang duta dari kerajaan lain di reruntuhan ini? tapi tak lama kemudian senyum muncul lagi di wajahnya.
"Jadi, kau seorang duta. Paris Chamberlain siap melayanimu, nona. Baik sekali kau susah payah datang ke Albion. Meski tak terlalu besar, kami ada pesta kecil nanti malam. Dengan sangat - mohon datang."
Louise dan yang lainnya mengikuti Wales ke kamarnya. Kamar pangeran terletak dibelkang ruangan dapar dan terlihat agak biasa.
Sebuah tempat tidur, meja dan sepasang kursi kayu, juga lukisan di dinding yang menggambarkan sebuah adegan perang.
Sang pangeran duduk di kursi dan membuka lemari di mejanya, yang didalamnya ada kotak perhiasan kecil. Sang pangeran lalu melepas kalung dari lehernya.
Sebuah kunci mungil dimasukkan ke lubang kunci kotak kecil itu dan Wales membukanya. Potret Henrietta tersimpan disana.
Wales, yang menyadari Louise memandangi kotak, berbicara sambil tersipu.
"Kotak kuat."
Ada sebuah surat di dalamnya. Sepertinya dari putri juga, Wales mengambilnya dengan penuh kasih dan membacanya. Surat itu tampak lebih tua dari seharusnya karena berulangkali dibaca.
Setelah membacanya, Wales dengan lembut melipatnya dan menaruhnya kedalam sebuah amplop, lalu menyerahkannya pada Louise.
"Ini surat yang kuterima dari putri. Kini aku mengembalikannya."
"Terima kasih."
Louise menerima surat itu sambil membungkuk hormat.
"Sang Elang akan membawa kalian kembali ke Tristain besok, karena kami takkan menggunakannya dalam perang."
Louise memutuskan buka mulut setelah memandangi surat agak lama.
"Tapi, Yang mulia...Apa yang ada di pikiranmu saat kau mengatakan kekalahan yang mulia?"
Louise bertanya dengan agak enggan. Wales menjawabnya dengan lepas.
"Ya begitulah. Armadaku ada 300 sementara musuh ada 50.000. Tiada Kesempatan menang. Jadi setidaknya, biarkanlah kami mati dalam kemuliaan."
Louise tertunduk.
"Yang Mulia, apa kau juga mengatakan kau sendiri saat berbicara mengenai mati dalam pertempuran?"
"Tentu saja. Aku juga ikut mati."
Saito yang menonton percakapan dari sisi, mendesah. Pangeran yang tak terlalu khawatir mengenai kematiannya besok membuat semuanya membingungkan. Sepertinya ia bukan kenyataan tapi adegan dari drama.
Bahu Louise tertunduk saat dia membungkuk hormat pada Wales. Tentu saja, lebih banyak lagi yang ingin dikatakannya.
"Yang Mulia...Maafkan kelancanganku, tapi ada beberapa hal lagi yang ingin kuutarakan."
"Apa yang ingin kau utararakan?"
"Apa isi suratnya?"
"Louise."
Saito protes. Tentu isi surat tersebut adalah hal pribadi. Tapi Louise, setelah menanyai Wales, memandang ke atas penuh tekad.
"Saat Putri-sama memberiku tugas ini, dia tampak seperti mengkhawatirkan cintanya. Dan di dalam kotak itu ada potret putri-sama, dan melihat wajah sedihmu saat kau mencium dan membaca surat...apa kau dan putri-sama..."
Wales tersenyum. Dia telah menebak apa yang ingin dikatakan Louise.
"Apa kau mau bilang sepupuku Henrietta dan aku saling mencintai?"
Louise mengangguk
"Sepertinya begitu. Maafkan atas kelancangan yang mengejutkan ini. Jika ya, maka isi surat ini adalah..."
Setelah menaruh tangannya di dahi dan sesaat bersikap bagai tengah mengkhawatirkan apa dia harus atau harus tidak mengatakan, Wales berbicara.
"Sebuah surat cinta. Tepat seperti tebakanmu. Sangat tolol memang jika surat cinta ini diserahkan pada Keluarga kerajaan Germania sebagaimana disebutkan Henrietta dalam suratnya, ia mungkin jadi ancaman besar. Dalam suratnya ia bersumpah untuk cinta abadi untukku atas nama Brimir sang pendiri. Ini bagai sumpah saat menikah, cintah yang disumpah di atas nama Sang Pendiri. Jika surat ini ditemukan, dia akan dituduh melakukan pelanggaran Bigami. Raja Germania pasti memur=tus pertunangan dengan putri yang melanggar kesepakatan. Lalu, akan tiada aliansi. Tristain mungkin diacuhkan oleh keluarga ningrat negara lain."
"Jadi putri-sama dan Yang Mulia saling mencintai satu sama lain?"
"Itu cerita lama."
Louise berbicara pada Wales dengan nada bergetar."Yang Mulia, Kembalilah! Kembalilah ke Tristain!"
Wardes langsung menempatkan tangannya di bahu Lousie. Namun, ini tak menghentikan Louise.
"Kumohon! Mohon kembalilah ke Tristain dengan kami!"
"Itu tak bisa." Kata Wales sambil tertawa.
"Yang Mulia, aku tak setuju. Putri-sama pasti memikirkan hal yang sama! Bukankah itu ada dalam suratnya? Aku telah mengenal putri-sama sejak kecil, aku tahu pasti bagaimana cara pikirnya. Putri-sama tak meninggalkan orang yang dicintainya! Tang Mulia, anda tak mengatakannya, tapi aku yakin putri-sama juga mengatakan padamu untuk melarikan diri!"
Wales menggelengkan kepalanya,"Tiada kalimat seperti itu."
"Yang Mulia!" Louise terus menekan Wales.
"Aku berasal dari Keluarga Kerajaan. Aku tak berbohong. Tiada kalimat yang menyuruhku melarikan diri dalam surat, aku bersumpah demi kehormatanku."
Wales berkata bagaikan menanggung sakit. Sepertinya perkataan Louise mengena.
"Henrietta adalah seorang putri. Dia harus memprioritaskan negarinya dibandingkan aku."
Louise mengerti apa maksudnya. Meski Wales mencintai Henrietta, itu takkan pernah didukung ningrat lainnya dalam keadaan begini.
Wales menepuk bahu Louise.
"Kau gadis yang jujur, Vallière. Kau memiliki mata yang jujur, cerah dan penyayang."
Louise tertunduk.
"Tapi biarkan aku memberimu beberapa saran. Tidak terlalu baik untuk seorang duta jujur seperti itu."
Wales tersenyum dengan sebuah senyum yang menarik.
"Namun, kau seorang duta yang sempurna bagi negara yang remuk seperti kami, karena pemerintahan yang akan dihancurkan besok lebih jujur dari siapapun, karena dia tak mempunyai apalagi untuk dibelanya selain kehormatannya."
Setelahnya, ia meraih sesuatu dari sakunya. Dari bentuk dan jarumnya yang bergerak, sepertinya sebuah jam.
"Ahhaha, waktunya pesta kecil kita. Karena kau tamu terakhir kerajaan kami, aku ingin kau menghadirinya juga."
Saito dan Louise keluar ruangan. Wardes tinggal dan membungkuk pada Wales.
"Oh, apa kau masih ada urusan, Viscount?"
"Ada satu permintaan yang ingin kuajukan, Tuan."
"Sampaikanlah."
Wardes berbisik ke telinga Wales, yang tersenyum.
"Ah, permintaan yang penuh kasih, itu akan jadi kesenanganku."
Pesta diadakan di aula Benteng, Raja Albion, James I, duduk di tahta, dan menonton para ningrat dan tuan tanah yang berkumpul dengan mata menyipit.
Meski hari berikutnya semua bakal mati, ia masih jadi pesta yang besar dan meja diisi berbagai macam hidangan.
Saito dkk tengah menonton pesta warna-warni ini sambil berdiri di sudut aula.
"Mereka mengesampingkan seluruh masalah besok dan mencoba menikmati saat ini."
Wardes mengangguk dalam merespon perkataan Saito.
"Ya, mereka bersenang-senang."
Saat Pangeran Wales menunjukkan diri, ada desahan penuh gairah diantara para wanita. Sepertinya dia tak hanya terkenal sebagai seorang pangeran tapi juga sebagai seorang yang tampan. Saat dia menghampiri tahta, orang-orang mulai berbisik.
James I mencoba berdiri tega dan menyambutnya, tapi karena usia tuanya dia terhuung-huyung dan hampir jatuh.
Suara tawa dapat didengar dari aula.
"Paduka, terlalu dini untuk jatuh!"
"Benar! Simpan untuk besok!"
James I tak merasa dihina kata-kata tersebut, dan tersenyum.
"Jangan khawatir, ini hanya kakiku yang kesemutan karena duduk terlalu lama."
Wales mendekat dan mendukung tubuh sang Raja dengan tubuhnya, Ada beberapa bisik-bisik lagi.
"Kalian. Akan kukatakan pada kalian semua, para ningrat yang berani dan setia, bahwa besok, 'Reconquista' berencana menyerang Newcastle kita dengan kekuatan penuh. Kalian mengikuti dan bertarung dengan berani untuk raja tua yang tak berdaya ini, namun besok takkan jadi pertempuran. Ia malah akan jadi pembantaian tak berimbang. Ayo kita tahan itu dan tunjukkan keberanian kita sekali lagi untuk terakhir kalinya."
Sang raja batuk keras, lalu melanjutkan ceramahnya.
"Tapi pasti akan sangat berat untuk meminta kalian semua untuk mati. Karenanya, besok pagi, kapal perang Elang akan membawa seluruh anak-anak dan wanita dan mereka yang memilih untuk pergi ke tempat yang lebih aman yang jauh dari benua runtuh ini."
Namun, tiada yang menjawab. Seorang ningrat dengan keras berteriak pada raja.
"Paduka! Kami menunggu perintah itu! Seluruh Tentara maju! Seluruh Tentara Maju! Seluruh Tentara Maju! Karena pendengaran kami begitu buruk malam ini, aku ragu kami bisa mendengar perintah lainnya!"
Semuanya mengangguk.
'Ya! Apa yang bakal dikatakan yang lain bila kami melarikan diri?"
"Sudah terlalu terlambat untuk mundur, paduka."
"Tak apa-apa! Kami akan terus melayani raja seperti yang kami lakukan tahun-tahuns ebelumnya! malam ini adalah malam yang baik! Sang Pendiri telah memberkati kami dengan bulan nan indah dan malam yang hangat! Ayo nikmati minum dan dansa malam ini."
"Duta! Coba anggur ini! Katakan pada akmi, anggur negara manakah yang lebih baik!@"
"Ini! Coba ini! Ini adalah ayam spesial Albion dengan madu, yang pasti akan membuatmu sehat dan kuat!"
Albion tetap menikmati hidup! Bahkan di akhir.
Saito menjadi sedih. Mereka yang bersikap menikmati di tepi kematian terlihat sedih daripada berani. Lousie sepertinya lebih merasakaknnya. Dia tak bsia menahan suasananya, menggelengkan kepanya dan lari dari aula.
Untuk sesaat Saito ingin mengejarnya, tapi lalu meminta Wardes yang pergi.
Wardes mengangguk dan mengikutinya. Saito berjongkok di lantai dan mendesah.
Wales melihat perbuatan Saito ini dan mendatanginya dari tengah aula.
"Lelaki ini adalah familiar Nona Vallière. Namun, adalah sangat tak biasa seorang manusia menjadi familiar. Tristain benar-benar sebuah negara yang tak biasa."
wales tertawa saat emngatakannya.
"Ini juga tak biasa di Tristain." kata Saito, lelah.
"Merasa terpuruk?"
Dengan tegang, Wales memandangi wajah Saito. Dia masih merasa sakit di tangannya dan meliaht orang-orang bersiap untuk kematian mereka juga meremukkan hatnya. Saito bangkit dan menanyai Wales. "Maafkan untuk kelancangan ini...Tapi tidakkah kau takut?"
"Takut?" Wales meandang hampa pada Saito.
"Apa kau tak takut mati?"
Wales tertawa setelah mendengar kata-kata saito.
"Kau mengkhawatirkan kami! kami! Kau lelaki yang baik!"
"Tidak, hanya saja itu menakutkan bagiku. Aku tak bisa tertawa sebagaimana kau jika aku tahu bakal mati besok."
"Aku takut, tiada yang tak takut mati. Tak peduli kau ningrat maupun jelata."
"Lalu mengapa?"
"Itu karena kupunya sesuatu untuk kupertahankan. Sesuatu yang membuatku lupa dinginnya liang kubur."
"Apa yang kau pertahankan? Kehormatan? Nama? Itu adalah hal-hal bodoh yang tak pantas dihargai kematian." kata Saito dengan suara lebih keras.
Wales menjawab dengan mata yang menerawang.
"Faksi aristrokat 'Reconquista' adalah musuh kami yang mencoba menyatukan Halkeginia. Ia bergantung pada 'Tanah Suci' impiannya. Adalah baik mereka memiliki impian begitu, tapi tak sharusnya ia diusung dengan darah dan kekerasan. Seluruh negara bakal hancur."
"Namun, apakah kesempatan menang sudah habis? Apa artinya mati disini? Mungkin kau bisa mengalahkan mereka lain kali..."
"Tidak, kami setidaknya harus menunjukkan seberkas keberanian dan kehormatan kepada ningrat lain bahkan meski mustahil untuk menang, kami tunjukkan bahwa keluarga kerajaan Halkeginia bukanlah musuh yang lemah. Meski mereka tampak takkan membuang ambisi 'Penyatuan' dan 'Pemulihan Tanah Suci' dengan segera."
"Mengapa?" tanya Saito.
Saito yang tumbuh dalam Jepang yang modern tak bisa mengerti mengapa seseorang menunjukkan keberanian dengan cara begini.
Wales mengatakan dengan tegas "Mengapa? Gampang saja, ini adalah tugas kami. Tugas bagi mereka yang terlahir dalam keluarga kerajaan. Tugas yang dititahkan pada keluarga kerajaan untuk mempertahankan kerajaan hingga titik penghabisan."
Saito tak mengerti. Namun, karena Wales memiliki orang yang dicintainya, yang juga mencintai Wales, bukankah selamat demi orang itu juga sebuah tugas? Dia pikir itu yang tepat.
"Putri Tristain mencintaimu. Apa kau lupa suratnya?"
Setelah perkataan Saito, Wales tersenyum saat mengingatnya. "Karena cinta, terkadang perlu untuk berpura-pura tak tahu. Karena cinta, terkadang perlu untuk melepasnya. Ia hanya akan memberikan yang lain alasan untuk menyerang Tristain."
"Tapi,Tapi." Saito terus menekan. Keputusan Wales takkan berubah. Wales mencengkram bahu Saito dan menatap lurus pada matanya. "Karena sudah jelas, jangan bilang ini pada Henrietta. Tak perlu mengkhawatirkan wajah cantiknya dengan kekhawatiran yang tak perlu. Dia bagai sebuah bunga cantik. Bukankah kau juga berpikir begitu?"
Saito mengangguk. Tentu saja, dia adalah putri yang cantik. Aku juga tak ingin melihat wajahnya sedih atau khawatir.
Tapi, Wales takkan mengubah keputusannya karena itu. Itu yang dikatakan mata Wales. "Bilang saja bahwa Wales bertarung dan mati dengan gagah berani. Itu sudah cukup."
Wales kembali ke pusat aula setelah mengatakan itu.
Saito meninggalkan pesta, tapi karena dia merasa hilang, dia menanyai pelayan dimana kamarnya. Setelah diberitahu, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Saito melihat Wardes saat dia menoleh.
"Aku harus mengatakan sesuatu padamu." kata Wardes dengan suara mantap.
"Dan apa itu?"
"Aku dan Louise akan menikah disini besok."
Tubuh Saito membeku. Dia tak bisa mengerti arti kalimat itu untuk sesaat.
"Sa-saat ini? Mengapa?"
"Karena kami ingin meminta Putra Mahkot Wales yang berani untuk bertindak sebagai penghulu perkawinan kami. Sang Putra Mahkota denagn senang hati setuju. Kami akan menyelenggarakan upacaranya sebelum pertempuran pemutus."
Saito terdiam, lalu mengangguk.
"Apa kau bakal datang?" tanya Wardes. Saito menggelengkan kepalanya.
"Maka kau bisa pergi dengan sebuah kapal besok. Aku dan Louise bakal balik dengan griffonku."
"Tapi bukankah jaraknya terlalu jauh untuk ini?" Saito yang kebingungan, menanyakan hal yang temeh.
"Hanya jika kau terbang cepat tanpa istirahat." Jawab Wardes.
"Baiklah, aku akan pergi sekarang."
"Ba-Baiklah."
Bahu Saito tertunduk. Meski dia tahu ini bakal datang, cepat atau lambat, dia masih ditempeli rasa terasingkan ini.
Saito tengah berjalan melalui jalur yang hitam pekat dengan sebatang lilin. Rembulan menyinari melalui jendela yang terbuka di jalur itu. Ada seorang gadis yang berjalan sendirian ditengah cahaya rembulan. Dia punya rambut pink-blonde...Air mata bagai mutiara tengah mengaliri pipi putihnya. Saito sesaat menonton dengan diam, mengagumi wajah yang cantik namun sedih.
Louise menoleh dan menyadri Saito, yang tengah berdiri dengan sebatnag lilin disana. Matanya basah meski dia mengelapnya. Wajahnya menjadi sedih sekali lagi. Saito Saito berjalan menuju dia, dia bersandar pada tubuh Saito, seakan kehilangan seluruh tenaganya.
"Kau menangis, mengapa..."
Louise tak menjawab, malah menekan wajahnya pada dada Saito.
Saito memeluknya erat.
Awalnya, Saito bingung dengan Louise yang berpegangan padanya. Dia tak biasa dengan hal-hal seperti ini. Namun, dia menangis bagai seorang gadis, dan sepertinya Louise memegangnya dengan kasih. Dia tengah terluka dan Saito merasa kasihan padanya. Namun, apa artinya ini? Mungkin Louise berpegangan padaku karena aku kebetulan ada disini. Seperti Gadis yang memeluk boneka binatangnya. Adalah Wardes dan bukan aku yang benar-benar penting baginya.
Louise bicara sambil menangis."Tidak...Mereka...Mengapa, Mengapa mereka memilih untuk mati? Meski disana ada Putri...Meski wales mencintainya...Mengapa Putra Mahkota Wales memilih kematian?"
"Menurutnya, untuk mempertahankan seseorang yang penting baginya."
"Apa yang lebih penting di dunia ini daripada orang yang kau cintai?"
"Aku juga tak mengerti cara berpikir pangeran."
"Aku akan berbicara dengannya! Aku akan berbicara dengannya lagi!"
"Jangan."
"Mengapa?"
"Karena, kau disini untuk mengantarkan surat putri-sama. Misimu hanyalah ini."
Louise bergumam sementara air mata terus mengaliri pipinya."...Aku ingin balik cepat. Aku ingin kembali ke Tristain. Aku tak suka negeri ini. Orang-orang tolol dan pangeran tak berakal yang meninggalkan segalanya."
Meski terkadang Louise bersikap tangguh, dia tetap seorang gadis. Louise tak bisa mengerti dunia Wales. Tapi Saito mengerti itu karena dia juga berpikir dengan cara yang sama.
Louisem yang sepertinya teringat sesuatu, meraih sesuatu dari kantongnya.
"Berikan tangan kirimu," kata Louise.
"Apa??"
"Lakukan saja."
Saito mengulurkan tangan kirinya seperti yang diminta. Adalah kaleng yang dikeluarkan Louise. Dioleskan jarinya kedalamnya sehingga obat lengket yang berbau aneh terambil.
"Aku mendapatkannya dari seseorang di benteng tadi. Obat sihir air ini sangat mangkus terhadap luka bakar. Aku hanya bisa mendapatkan obat ini, tapi seharusnya semua baik-baik saja." Louise bergumam sambil mengolesi lengan Saito dengannya.
Tak pernah kupikir dia bisa sangat lembut. Tapi aku harus tidak menjadi tergantung pada kelembutan ini sering-sering, karena sebentar lagi ia akan hilang.
Saito menggelengkan kepalanya dan mendorong Louise menjauh. Louise menatap wajahnya,terkejut. Wajah Saito mengekspresikan sakit. Setelah melihat ekspresi semacam itu, Louise menggigit bibirnya. "...Ada apa dengan wajahmu? Apa sesuatu terjadi?"
"Bukan apa-apa."
"Aku mengerti. Begitu kita kembali, aku akan mencari jalan untuk mengirimmu kembali ke duniamu."
Louise berkata dengan enggan. Sebenarnya, dia slah tangkap. Namun, Saito pikir lebih baik begini.
"...Tak apa-apa bahkan jika kau tak membantu."
"Apa?"
"Maksudku kau sebentar lagi menikah, jadi kau seharusnya tak bersusah-payah mencari jalan untuk mengirimku kembali."
"Apa? Jangan bilang kau mengkhawatirkan itu? Kau masih memikirkan kata-kataku di hotel La Rochelle? Memang, aku mengatakan 'menikah' saat itu...tapi aku tak serius soal ini."
Louise membuang muka. "Tak mungkin menikah saat ini. Aku belum menjadi seorang penyihir hebat..Dan aku juga belum menemukan cara untuk mengirimmu kembali..."
Saito berpikir. Memang, Louise mungkin tak menikah karena dia merasa bertanggung jawab padaku. Dan karena itu dia takkan bisa menikah hingga aku menemukan jalan pulang. Saito pikir ini berakibat buruk bagi Louise. Aku tak berpikir ini adil untuk Louise yang lembut, cantik, cerah dan indah ini.
"Tak apa-apa. Aku akan mencari jalan pulang sendiri, jadi kau seharusnya menikah."
"Betapa egois yang kau katakan itu, kau familiarku! Jaga aku hingga kita bisa menemukan jalan untuk mengirimmu kembali!" kata Louise sambil menatap keras Saito.
"Aku tak bisa menjagamu." Bahu Saito tertunduk, terasing, saat dia mengatakan itu.
"Ingatlah apa yang terjadi." Halangan di perjalanan muncul di kepala saito. Saat mereka mulai menembakkan panah, dia diselamatkan Wardes. Dia kalah saat berduel dengan Wardes. Saat mereka diserang si topeng putih, dia tak bisa menyelamatkan Lousie. Adalah Wardes yang menyelamatkanmu. Aku tak bisa melakukan apapun, hanya berdiri dan menonton.
"Aku bukan seorang penyihir kuat seperti sang Viscount. Aku hanya orang biasa, bahkan jika mereka mengatakan aku Gandalfr sang familiar legendaris. Aku tak tahu caranya bertarung. Yang bisa kulakukan hanyalah mengayunkan sebuah pedang kemana saja. Aku tak bisa menjagamu."
Telapak Louise menghantam pipi Saito.
"Pengecut!"
Saito berbicara tan mengubah raut mukanya."Mari berpisah disini Louise. Kau kembali dengan Viscount diatas griffon sementara aku kembali dengan Sang Elang. Saat aku kembali, aku akan mencari jalan untuk kembali ke duniaku. Dalam hal ini, aku sudah berutang padamu."
"Apa kau serius?"
"Ya."
"Tolol!" teriak Louise. Air mata mulai mengalir lagi dari matanya. Tapi, Saito masih tak menjawab. Dia hanya menonton Louise gemetaran sendiri.
"Aku membencimu! Aku membencimu!"
Saito bergumam sambil menutup matanya."Aku tahu."
Louise berbalik, dan kakinya cepat-cepat berlari melewati jalur gelap itu. Saito menepuk pipinya. Tempat dimana ia terpukul masih nyeri dan membuatnya sangat sedih.
"Selamat tinggal Louise."kata Saito perlahan. Meski dia berpikir dia takkan menangis, air matanya terus menetes dan tak berhenti.
"Selamat tinggal, tuanku tercinta nan lembut."
Mundur ke Bab 7 | Kembali ke Halaman Utama | Maju ke Bab 9 |