Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume3 Bab4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Cinta Segitiga


Louise duduk di halaman timur Akademi Sihir, biasa dikenal sebagai Austri, dan dengan panik merajut. Cuaca musim semi mulai berubah saat musim panas mendekat, tapi Louise masih bisa terlihat dengan pakaian musim seminya. Bahkan saat musim panas, lumayan kering bukannya lembab.

Sepuluh hari berlalu semenjak mereka kembali dari Albion. Hari itu hari libur. Bahkan tanpa memakan pencuci mulut, Louise datang ke halaman setelah makan untuk merajut. Terkadang, ia mengistirahatkan tangannya dan menatap halaman-halaman putih buku Doa Sang Founder sambil berpikir maklumat yang pas untuk resepsi Putri.

Di sekelilingnya, para murid sedang bersenang-senang. Ada kelompok yang bermain dengan bola. Memakai sihir, mereka melempar bolanya ke keranjang tanpa menggunakan kedua tangan mereka dan berusaha mencetak angka paling banyak. Menatap sekelompok orang tersebut, Louise mendesah berat dan melihat apa yang dia mulai rajut.

Melihat pemandangan dari samping, lebih seperti lukisan. Duduk di sana dengan tenang, Louise terlihat seperti gadis cantik. Hobi Louise itu merajut. Waktu dia masih kecil, ibunya bilang bahwa kalau dia tak punya bakat sihir, dia seharusnya paling tidak ahli akan sesuatu, dan jadinya ibunya mengajarkannya bagaimana untuk merajut.

Tapi kelihatannya surga tak memberi Louise bakat apapun dalam hal merajut. Rencananya Louise merajut sweater. Tapi, mau bagaimanapun cara dia melihatnya dengan baik, terlihat seperti syal rusak. Sebenarnya lebih seperti sebuah benda yang dengan rumit dikusutkan dengan wol. Louise melihat getir pada benda itu dan mengeluarkan desahan lain.

Wajah maid yang bekerja di dapur melapisi lagi di pikirannya. Louise tahu bahwa dia sedang membuat makanan untuk Saito. Saito pikir Louise tak tahu, tapi dia tak benar-benar lupa.

Cewek itu bisa masak enak. Kirche punya wajah cantik. Aku punya apa? Menyembunyikan pemikiran ini, dia memutuskan untuk mencoba hobinya, merajut, tapi kelihatannya bukan pilihan yang baik.

Tepat saat dia mulai sedikit murung dari menatap benda yang ia rajut, seseorang menepuk pundaknya. Itu adalah Kirche. Panik, Louise buru-buru menyembunyikan apa yang ia rajut dengan Buku Doa Sang Founder.

"Lagi ngapain Louise?"

Kirche memberi senyuman biasanya yang tampaknya dia merendahkannya, dan duduk di sebelah Louise.

"G-ga bisa liat? Lagi baca."

"Tapi, buku itu kosong, kan?"

"Buku ini harta nasional yang disebut Buku Doa Sang Founder, tau?", kata Louise.

"Kenapa kau punya harta nasional?"

Louise menjelaskan ke Kirche bahwa di resepsi pernikahan Henrietta, dia mau membacakan maklumat dan dia mau memakai Buku Doa Sang Founder, dan seterusnya.

"Oh gitu. Kutebak resepsi pernikahan Putri ada hubungannya sama perjalanan ke Albion?"

Louise menimbang-nimbang apakah menjawab Kirche dengan jujur atau tidak, tapi karena Kirche sudah bertindak sebagai umpan sehingga mereka bisa terus jalan, ia mengangguk.

"Kita mempertaruhkan nyawa kita sehingga pernikahan Putri bisa berjalan lancar? Bukan tugas bergensi banget... Jadi, pada dasarnya itu ada hubungannya dengan aliansi antara Tristain dan Germania yang diumumkan kemarin-kemarin?"

Kirche lumayan tajam.

"Jangan bilang siapa-siapa," kata Louise dengan ekspresi sedikit kecil hati.

"Tentu aja engga. Aku kan bukan Guiche lho. Kedua negara asli kita udah jadi sekutu. Kita seharusnya berusaha rukun-rukun dari sekarang. Ya kan, La Vallière?"

Kirche menempatkan kedua tangannya pada pundak Louise dan tersenyum, hampir dengan sengaja.

"Dengar ga? Pemerintahan baru Albion ngajuin pakta non-agresi. Bersulang pada kedamaian yang kita bawa."

Louise menanggapi setengah hati. Demi perdamaian ini, Henrietta harus menikah dengan pangeran yang bahkan tak ia cintai. Kau bisa bilang bahwa dia tak punya pilihan, tapi itu bukan sesuatu yang digembirakan.

"Ngomong-ngomong, lagi ngerajut apa?"

Louise merona merah.

"A-aku ga ngerajut apa-apa kok."

"Iya kok. Ada di sini, kan?"

Kirche merebutnya dari bawah Buku Doa Sang Founder.

"Hei, balikin!"

Louise berusaha merebut kembali, tapi dengan mudah Kirche menahannya.

"Apa ini?" tanya Kirche, terheran-heran saat melihat benda itu.

"I-itu sweater."

"Sweater? Kelihatannya lebih kayak bintang laut. Dan spesies baru pula."

"Sweater? Kelihatannya lebih kayak bintang laut."

"Kayak aku bakalan ngerajut begituan aja!"

Louise akhirnya merampas kembali rajutannya, dan menunduk, malu.

"Kenapa kamu ngerajut sweater?"

"Bukan urusan kamu."

"Ya udah. Lagian aku tahu kok."

Kirche menempatkan kedua tangannya pada pundak Louise lagi dan mendekatkan wajahnya.

"Kamu ngerajut itu buat familiar kamu, bukan?"

"Eng-Engga! Aku ga bakalan pernah ngelakuin begituan!" jerit Louise, dengan muka merah terang.

"Kamu ini gampang banget dimengerti lho. Kamu suka dia, kan? Kenapa?", tanya Kirche sambil melihat mata Louise.

"A-Aku ga suka dia. Kamu yang suka dia. Si idiot itu ga punya kualitas bagus apapun."

"Tahu ga Louise, pas kamu bohong, cuping telinga kamu bergetar. Kamu tahu itu?"

Louise cepat-cepat memegang cuping telinganya. Sadar kalau itu bohong, dia mengembalikan kedua tangannya ke lututnya dengan sikap gugup.

"Gi-Gimanapun juga, aku ga bakalan ngasih dia ke kamu. Dia kan familiarku."

Kirche tertawa dan berkata, "Baguslah kau pengen dia buat dirimu sendiri. Tapi aku bukan orang yang kamu kuatirin, kayaknya."

"Maksudnya apa?"

"Mm... mungkin maid dapur itu?"

Mata Louise bergeser.

"He, jadi aku benar toh?"

"Eng-engga juga..."

"Kalau kamu pergi ke kamarmu sekarang, kamu mungkin ngeliat sesuatu yang menarik"

Louise berdiri cepat.

"Kupikir kamu ga suka dia?" kata Kirche dengan nada mempermainkan.

"Aku cuman lupa sesuatu!" teriak Louise sambil lari berlalu.



Saito sedang bersih-bersih kamar. Dia harus menyapu lantai dengan sapu, dan mengelap meja dengan lap. Karena Louise akhir-akhir ini mencuci pakaiannya sendiri dan juga hal lainnya yang berhubungan dengan penampilannya, kerja Saito berkurang jadi membersihkan.

Bersih-bersih beres cepat sekali. Kamar Louise tak punya banyak barang awalnya juga, bangku kecil dengan laci di sebelah lemari, sebuah meja dengan vas kecil berisi tanaman kecil, dua kursi di meja, tempat tidur dan lemari bukunya. Karena Louise orang yang suka belajar, lemari bukunya dibariskan dengan buku-buku tebal.

Dia mengambil satu buku. Ada huruf yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Yah tentu ajalah, pikir Saito saat dia menempatkannya kembali. Tapi, kenapa dia dapat berkomunikasi dengan Louise kalau begitu? Bahasa mereka berbeda, namun mereka dapat mengerti satu sama lain.

"Ada apa rekan?" tanya Derflinger yang bersandar pada dinding kamar.

"Derf! Kok aku bisa ngerti apa yang kamu omongin sih?" tanya Saito saat dia berlari ke Derflinger.

"Yah, kalau kamu ga ngerti, kita bakalan sedikit repot."

"Aku datang dari dunia berbeda. Dan walau gitu aku masih bisa ngerti bahasa kamu. Aku ga ngerti kenapa!"

Saito ingat orang yang diselamatkan oleh Si Osman Tua sekitar tiga puluh tahun lalu. Dia itu orang dari dunianya. Sepertinya dia dan Osman telah bicara satu sama lain.

"Lagian gimana caranya kamu datang ke Halkeginia, rekan?"

"Aku juga ga yakin... ada gerbang aneh yang ngeluarin sinar..."

"Kalau gitu aku pikir jawabannya ada hubungannya sama gerbang itu." kata Derflinger, seolah-olah bukan hal yang penting.

"Itu tuh gerbang apa kalau gitu?"

"Tauk."

Saito sedikit terkejut.

"Kamu itu pedang legendaris dan tapinya kamu ga tahu apa-apa. Kamu seharusnya tahu sedikit abisnya kamu kan legendaris. Kayak, gimana caranya mulangin aku ke rumah..." kata Saito getir.

"Aku ini pelupa dan ga beneran tertarik juga. Ga bisa ngandelin legenda terlalu banyak."

Seseorang mengetuk pintu. Siapakan itu? Bila Louise, dia takkan mengetuk. Barangkali Guiche atau Kirche? "Ga kekunci." kata Saito.

Pintu terbuka dan Siesta menjulurkan kepalanya masuk.

"S-Siesta."

"Anu..."

Dia dalam seragam maid biasanya tapi terlihat sedikit berbeda. Rambut hitam sehalus sutra yang rapinya berjuntai pada keningnya dan bintik-bintik wajahnya memancarkan semacam pesona. Dia sedang memegang nampan perak besar, penuh dengan makanan.

"Anu, kamu ga datang ke dapur akhir-akhir ini..."

Saito mengangguk. Karena Louise membiarkannya makan apapun yang ia inginkan, dia jarang mengunjungi dapur.

"Jadi saya kuatir kamu mungkin lapar..." kata Siesta gugup.

Melihat gerak-gerik imutnya, hati Saito mulai berdebar-debar.

"M-Makasih. Tapi, Louise udah ngijinin aku makan di meja sekarang, jadi aku belum sebegitu laparnya."

"Iya ya? Saya melayani meja para guru akhir-akhir ini jadi saya ga sadar. Kalau saya cuman ngeganggu jadi..."

Siesta menggantungkan kepalanya sedikit.

"Eng-engga, sama sekali ga gitu kok! Aku senang banget kamu bawain makanan buatku! Sebenarnya aku laper banget sekarang!" kata Saito, walaupun dia kenyang makan di aula makan Alviss hanya beberapa saat yang lalu.

"Beneran?"

Paras Siesta jadi cerah.

"Kalau begitu, makanlah sepenuh hatimu."

Meja kecil terjejal penuh dengan makanan. Siesta duduk di sebelah Saito, tersenyum. Saito mulai membenci dirinya sendiri karena makan begitu banyak sebelumnya tapi dia tak begitu saja bisa membiarkan niat baik Siesta jadi sia-sia. Bertekad, dia mulai memakan makanannya.

"Enak?" tanya Siesta.

"Ho oh, enak banget."

Dia tak bohong, tapi akan lebih baik bila ia lapar.

"Hehe, makan sepuasnya kalau begitu."

Siesta menatap Saito yang sedang makan dalam gaya lapar.

"Oh maaf, kesopanan makanku..."

"B-bukan, bukan itu! Malah sebaliknya. Saya senang kamu suka banget makanannya! Makanan dan kokinya pasti senang banget!"

Tersipu, dia menyeka kedua matanya dengan tangannya. Siesta manis seperti itu. Saito tak dapat merasakan rasa makanannya lagi.

"Saya bikin yang itu," kata Siesta dengan suara malu-malu.

"Masa?"


"Iya. Sulit bikin itu di dapur, tapi karena kamu makan, saya senang udah bikin."

Saito merasakan jantungnya menegang. Siesta mikirin aku. Aku dari semua orang. Ia tenggelam dalam pikirannya. Hawa antara mereka amat tegang. Tiba-tiba Siesta berkata dengan nada bingung, "S-Saito!"

"Y-ya?"

"Anu..."

Siesta berhenti sebentar, seakan-akan berusaha memilih kata-kata yang tepat.

"Ngobrol itu, yang sebelumnya, asik banget! Terutama soal itu! Mm, apa ya namanya? Oh, pesawat terbang!"

Saito mengangguk. Saito telah berbicara pada Siesta soal dunianya dan Jepang di pemandian. Siesta, datang dari desa, tak tahu banyak soal dunianya dan dapat menangkap apa yang Saito katakan seolah-olah semua itu sesuatu dari negara lain.

"Ah, pesawat terbang."

"Ya! Bisa terbang ga pake sihir pastinya hebat banget! Jadi bahkan orang biasa kayak kita, bisa terbang bebas di langit kayak burung?"

"Bukannya ada kapal udara?"

"Cuman ngambang aja."

"Desaku sebenarnya tempat yang nyenengin banget. Namanya Tarbes. Kira-kira tiga hari dari sini dengan kuda, ke arah La Rochelle."

Saito bersungguh-sungguh mendengarkan sambil makan makanannya.

"Desa yang terpencil banget dan ga ada yang beneran spesial disana tapi... ada padang yang luas dan cantik banget. Waktu musim semi, bunga musim semi mekar dan waktu musim panas, bunga musim panasnya mekar. Kayak lautan bunga, sepanjang mata memandang, melebihi garis cakrawala. Seharusnya sih cantik banget sekarang..." kata Siesta, mata tertutup seakan-akan dia sedang tenggelam dalam kenangan.

"Saya pengen lihat lautan bunganya sekali aja di pesawat terbang."

"Kedengarannya asik..."

"Oh, kenapa ga kepikiran ya sebelumnya!" sahut Siesta yang tiba-tiba menggenggam tangan Saito.

Terkejut, Saito hampir jatuh ke belakang.

"A-apa?"

"Mau main ke desaku Saito?"

"Huh?"

"Putri mau nikah kan? Ada liburan spesial buat kita. Udah lama banget sejak saya mudik ke desa... Kalau bisa, datang yuk. Saya pengen ngeliatin kamu padang bunga cantik itu. Desaku juga punya cara bagus buat masak rebusan. Namanya 'Yosenabe'. Terbuat dari sayuran yang orang ga biasa gunakan. Saya beneran pengen kamu nyicipin itu!"

"Ke-Kenapa kamu pengen aku datang?"

"...Kau ngeliatin saya kalau ada kemungkinan," kata Siesta, dengan gugup menunduk.

"Kemungkinan?"

"Iya. Kemungkinan bahwa bahkan orang biasa bisa menang lawan bangsawan. Kami hidup ketakutan pada bangsawan. Tahu kalau ada orang yang engga hidup kayak gitu bikin saya senang, seakan-akan kebahagiaan mereka adalah kebahagiaanku. Semua orang di dapur yakin akan hal itu juga."

"Saya pengen nunjukin orang kayak gitu di kampung halamanku..." kata Siesta.

"O-oh gitu..."

Saito merasa malu. Aku ga hebat atau apapun. Kadang-kadang aku ini familiar legendaris, tapi itu aja. Itu bukan sesuatu yang bisa dipuji-puji.

"Tentu aja, bukan itu aja. Saya juga pengen nunjukin Saito desanya... Tapi, kalau saya bawa cowo tiba-tiba, keluargaku bakalan kaget. Gimana dong..."

Tiba-tiba Siesta merona hebat dan berbisik, "Saya bisa tinggal bilang kamu itu suamiku."

"A-apa?"

"Kalau saya bilang karena kita mau nikah, mereka bakalan senang. Ibuku, ayah, kakak, dan adik bakalan semuanya senang."

"Siesta?"

Waktu Siesta melirik Saito, yang menatapnya tercengang, dia menggelengkan kepalanya.

"Sori! Itu bakalan ngerepotin! Saya ga yakin kamu bakalan datang juga! Haha!"

Malu, Saito menanggapi, "S-Siesta, kamu benar-benar berani ya kadang-kadang. Kayak pas kita mandi."

Siesta tersipu sekali lagi.

"Saya ga lagi berani atau apapun."

"Eh?"

"Pas saya ninggalin rumah, ibuku bilang jangan nunjukin tubuhku ke siapapun kecuali lelaki yang kupilih."

Dan dengan itu, Siesta mengulurkan dan menggenggam tangan Saito. Jantung Saito berdegup kencang sekali.

"Saya bakalan nunjukin ke kamu kalau kamu tinggal minta."

"K-kamu bercanda...kan?" kata Saito, rahang mengendur.

"Bukan bercanda kok. Bahkan sekarang..."

"S-S-Sekarang apa?"

Siesta melihat langsung pada wajah Saito.

"Saya ga menarik?"

"Bukan, bukan itu sama sekali."

Dia menarik. Terlalu menarik.

"Benar?"

Siesta terus melihat Saito. Stop, pikir Saito, merasa seolah-olah dia sedang ditarik ke dalam mata hitam tersebut.

"Terus, kenapa kamu ga ngapa-ngapain pas kita mandi bareng?"

Siesta menyembunyikan matanya sedih.

Ah, jangan keliatan kayak gitu, aku jadi ngerasa kayak aku ngelakuin sesuatu yang sangat buruk aja.

"...Oh gitu, saya ga menarik ya. Kamu juga punya cewe manis sama kamu juga... La Vallière itu bangsawan pula. Toh saya cuman gadis desa." kata Siesta sedih, mendesah.

"Bukan, bukan kayak gitu kok!"

"Saito."

"Kamu menarik banget. Aku bisa jamin itu. Kau kelihatan memukau ga pake baju."

Biasanya kata-kata tersebut akan membuatnya dihajar, tapi Siesta senang.

Dia menimbang-nimbang apa membawa pencuci mulut atau tidak. Sementara Saito terus mengoceh, dia menutup matanya dan berdiri. Dengan nafas dalam, dia membiarkan celemeknya jatuh ke tanah.

"Siesta!" kata Saito, kaget.

Siesta melihatnya tenang. Dia itu tipe orang yang akan melakukan sesuatu dengan baik sekalinya ia telah memutuskan untuk melakukannya. Dia mulai membuka kancing blusnya satu demi satu.

"Siesta! Kayaknya ini bukan hal baik deh!" pekik Saito, menggelengkan kepalanya.

"Jangan kuatir."

Blusnya setengah terlepas. Belahan dada berukuran bagusnya menangkap pandangan Saito. Saito melompat ke Siesta, tapi tiba-tiba mendapati dirinya menggelengkan kepalanya, berteriak, "Tu-Tunggu! Tunggu bentar! Aku harus mikirin sesuatu kayak gini!"

"Kya!"

Siesta, yang Saito genggam di pundak, kehilangan keseimbangan dan jatuh ke atas kasur Louise di belakang mereka, seakan-akan Saito telah mendorongnya jatuh.

"Maaf..."

Tepat di bawah Saito, Siesta berbaring dengan blusnya hampir terlepas. Siesta menempatkan kedua tangannya pada dadanya dan menutup matanya.

Dengan timing super tepat, Louise membuka pintu.

Dalam sepuluh detik, banyak hal terjadi.

Satu: Louise melihat bahwa Siesta didorong ke kasur oleh Saito. Dua: Louise melihat bahwa blus Siesta hampir terlepas. Tiga: Saito dan Siesta berdiri bingung. Enam: Siesta mengancingkan blusnya. Tujuh: Siesta lari keluar kamar, menjauhi Louise. Delapan: Saito menyahut, "Tunggu Siesta!" Sembilan: Louise sadar kembali akan dirinya. Sepuluh: Tepat saat Saito mau menjelaskan apa yang terjadi, dia merasakan sakit yang amat sangat saat Louise menendang tinggi dia.

Dan dengan itu, Saito terkapar di lantai sepuluh detik setelah Louise membuka pintu.

Louise melangkahi kepala Saito. Suara dan tubuhnya bergetar.

"Kamu ini sebenarnya ngapain?"

"Bukan kayak kelihatannya, Louise."

"Ngapain kamu di kasurku?"

"Ceritanya panjang, Siesta ngebawain makanan dan..."

"Familiar melakukan sesuatu kayak gitu di kasur masternya. Aku ga bisa maafin kamu."

"Bukan kayak keliatannya. Aku ga ngerencanain sesuatu kayak-"

"Ga bisa ditolerir lagi."

Airmata mulai jatuh dari mata Louise. Saito berdiri dan menggenggam pundak Louise.

"Dengerin aku, ini salah paham!"

"Udah cukup."

"Louise melotot pada Saito."

"Apa?"

Saito tak bisa mengerti kenapa Louise begitu marah. Dia bahkan tak menyukainya. Pastinya bukan sesuatu untuk ditangisi.

"Keluar."

"Anu, barusan itu, aku ga bermaksud itu terjadi..."

"Keluar! Kamu dipecat!"

Saito juga mulai merasa marah. Pertama kamu manggil aku, terus kamu mecat aku? Aku musti gimana?

"Aku dipecat?"

"Ya, kamu dipecat! Pergi sana mati di selokan entah dimana!"

Itu kata-kata kasar, tak peduli apapun yang telah ia lakukan. Semua itu, hanya karena dia dan Siesta berada di kasurnya. Kami bahkan ga berbuat apa-apa. Dan tadinya kupikir dia mulai lebih baik.

"Ok, baiklah."

"Aku ga mau ngeliat muka kamu lagi!"

Saito menyambar Derflinger dan meninggalkan kamar tanpa berkata-kata lagi.

Sendirian di kamar, Louise berbaring di kasurnya. Dia memakaikan selimut menutupi kepalanya.

Jahatnya, pikir Louise.

Bukan cuman hari ini. Pas aku lagi ada pelajaran, dia bawa masuk cewe itu dan begituan dan aku ga tau. Aku ga bakalan maafin dia.

Louise menggigit bibirnya. Jadi perasaan dia padanya semuanya bohong. Airmata menuruni pipinya.

"Benci kamu... terus kamu nyium aku lagi."

Dia membisikkan kata-katanya berulang-ulang, seakan-akan kata-kata tersebut ditujukan untuk dirinya sendiri.

"...terus kamu nyium aku lagi."



Ketika sedang mencari Verdandi, Guiche menemukan sebuah tenda di pojokan halaman Vestri. Entah kenapa ketel besar ditempatkan di sebelahnya. Guiche penasaran buat apa ketel dan tendanya.

Sebuah tenda sederhana terbuat dari tongkat dan kain lap tua. Ada sisa-sisa makanan, tulang, dan kulit buah, tersebar di sekelilingnya. Tampaknya seseorang tinggal di sini. Familiar terkasihnya keluar dari tenda sementada dia sedang melihat tenda dengan kepala miring berpikir.

"Verdandi, jadi kau di sini toh!"

Guiche berlutut dan mengelus-ngelus pipi si tikus mondok. Si tikus mondok dengan senang mengedutkan hidungnya.

"Verdandi, kamu ngapain di sini?"

Seseorang merangkak keluar tenda dan memanggil si tikus mondok.

"Sini, tikus mondok. Kau dan aku, kita teman, kan?"

Dia Saito. Kusut masai dan dengan botol anggur di tangan, dia jelas mabuk.

"Ngapain kamu?" tanya Guiche, terkejut.

Saito menyesap dari botol dan terus memanggil si tikus mondok, mengabaikan Guiche.

"Woi, sini. Kamu itu satu-satunya teman yang aku bisa percaya."

Si tikus mondok besar, seakan-akan kesulitan, melihat pada Guiche dan Saito.

"Verdandi, jangan ke sana. Lagian kenapa juga Verdandi temen kamu?"

Ketika Guiche menanyakan itu, Saito menjawab dengan suara mati, tergeletak di tanah.

"Abisnya aku tikus mondok. Tikus mondok yang ga guna, yang malang, yang sengsara."

"Aku ga tau ada apaan, tapi jangan berpikir Verdandi itu sama dengan kamu."

"Guiche mengintip ke dalam tenda. Derflinger dan entah kenapa, salamander Kirche ada di dalam."

"Kyuru kyuru."

"Kamu mau ngapain?" kata masing-masing dari mereka.

Ada setumpuk sedotan di tanah, dan cangkir terbalik. Hanya itu saja yang ada di tenda.

Guiche berpaling pada Saito.

"Jadi, kamu diusir keluar kamar Louise?"

Tergeletak di tanah, Saito mengangguk.

"Dan jadinya kamu bikin tenda ini?"

Saito mengangguk lagi.

"Kesepian, kamu ngumpulin familiar orang dan mabuk-mabukkan?"

Saito dengan semangat mengangguk. Guiche menutup matanya dan mengangguk sendiri.

"Hmm. Jadi kamu ini ga guna sama sekali."

"Aku harus ngapain lagi? Aku ga punya tempat buat pergi. Aku bahkan ga punya petunjuk gimana cara pulang. Aku cuman bisa minum."

Saito meneguk anggurnya. Seseorang bergegas datang menuju mereka. Dia Siesta.

"Oh, maaf saya telat. Ini makan siang kamu."

Tampaknya maid dapur ini mengurus Saito.

"Kamu udah semabuk ini? Saya kan dah bilang sebotol sehari!" Siesta menggenggam tangannya sambil memarahinya.

"Sori..."

Dengan sedih Saito menggantungkan kepalanya.

"Kalian! Saya udah bilang awasin segimana banyak dia minum!"

"Kyuru kyuru."

"Maafkan," sahut si salamander dan Derflinger dengan nada menyesal.

Siesta buru-buru membersihkan berantakan di sekitar tenda dan membuat Saito berdiri.

"Saya datang lagi malamnya! Jangan minum terlalu banyak!"

Kemudian Siesta buru-buru pergi dengan cara yang sama saat dia datang.

Melihatnya pergi, Guiche bilang dengan mawar palsu di mulutnya, "Yah, Louise bakalan marah bila kau mendua."

"Aku ga mendua! Aku bahkan ga berhubungan sama siapa-siapa, Louise engga Siesta juga engga!"

Dia telah mencium Louise saat dia tidur, tapi dia tak bilang. Dia lebih suka melupakannya.

"Yah, terserahlah, tapi kamu rencana tinggal di sini?"

"Ada masalah?"

"Kamu ngerusak pemandangan indah sekolah."

"Cerewet."

"Kamu bakalan diusir keluar kalau guru-guru ngeliat kamu, lho?"

Saito menegak anggurnya tanpa berkata-kata lagi, kembali ke tenda sambil memeluk tikus mondok Guiche. Si tikus mondok terlihat putus asa pada Guiche.

"Woi, balikin Verdandiku!"



Sementara itu, Louise bolos pelajaran dan diam di kasur, tak henti-hentinya khawatir. Tiga hari berlalu semenjak ia mengusir Saito keluar. Dia sedang berpikir soal familiar yang dia usir keluar.

Dia bahkan nyium aku, dia bahkan nyium aku, dia bahkan nyium aku, pikirnya tak henti-hentinya. Terlukanya harga dirimu itu memang hal yang amat buruk. Dengan sedih dia melirik jerami yang Saito dulu gunakan. Dia ingin membuangnya keluar, tapi dia tak sanggup melakukannya.

Tiba-tiba ketukan terdengar dari pintu. Pikiran pertama yang ia punya adalah Saito akhirnya kembali. Kesedihannya berbalik jadi kegembiraan, dan dalam kegembiraan itu dia merasakan amarah. Kenapa aku senang dia balik? Seharusnya aku ga ngijinin dia kembali karena balik begitu telat.

Pintu terbuka. Louise melompat dan menjerit marah.

"Idiot! Kemana aja kamu...eh?"

Kirchelah yang masuk. Menyisir-nyisir rambut menyalanya, dia tersenyum pada Louise.

"Cuman aku, sori."

"Ngapain kamu di sini?"

Louise kembali ke kasurnya. Kirche berjalan cepat ke kasur dan duduk. Dia langsung menyingkirkan selimut, memperlihatkan Louise meringkuk, merajuk, dalam dasternya.

"Kamu itu udah absen tiga hari sekarang, jadi aku datang buat ngeliat kamu."

Kirche mendesah berat. Punya nurani yang baik memang betul-betul punya kerepotan tersendiri. Tak kepikiran olehnya Louise akan mengusirnya keluar kamar. Dia pikir akan bagus untuk duaan ini berantem dan masing-masing terpisah sedikit, tapi tak terpikir Louise akan sejauh ini.

"Jadi, kamu mau ngapain, sekarang kamu udah ngusir familiar kamu keluar kamar?"

"Bukan urusan kamu."

Kirche melihat dingin pada Louise. Pada pipi merahnya, ada bekas airmata. Dia mungkin menangis sudah agak lama sekarang.

"Aku tau kamu itu dengan tololnya arogan dan angkuh tapi aku pikir kamu ga dingin hati begini. Mereka cuman makan bareng."

"Bukan cuman itu doang, dari segala hal mereka di kasur..." gumam Louise.

"Mereka pelukan?"

Louise mengangguk. Kirche lumayan kaget. Begituan pada gadis yang datang membawakan makanan... Saito lumayan juga.

"Yah, ngeliat cowo yang kamu suka dengan cewe di kasurmu sendiri pastinya lumayan ngagetin sih."

"Aku ga suka dia! Itu cuman mereka itu di kasurku..."

"Alasan doang. Kamu ngusir dia keluar karena kamu suka dia, dan kamu marah sama dia."

Kata-kata Kirche mengenai sasaran, namun Louise tak setuju dan Louise mencibir. "Aku ga bisa bilang aku ga menduganya. Abisnya kamu ga ngasih dia apa-apa sih. Wajar lah dia ngegoda cewe lain."

Louise tetap bungkam.

"La Vallière, kamu ini cewe aneh, tau ga sih. Kamu itu marah dan nangisin cowo yang ga bakalan kamu cium. Kamu ga bisa menang kayak gitu..." kata Kirche dengan nada bosan sambil berdiri.

"Bakalan kuurus si Saito. Tadinya aku nanti-nanti ngambil Saito dari kamu... tapi kamu mukul dia, dan nendang dia, dan ngusir dia, aku sebenarnya ngerasa agak kasihan sama dia. Dia itu bukan mainan tauk."

Louise menggigit bibirnya.

"Familiar itu rekan mage. Kamu gagal sebagai mage karena kamu ga memperlakukannya dengan pantas. Yah... lagian kamu kan zero."

Dan dengan begitu, Kirche pergi. Louise tak membalas. Dia merangkak balik ke kasurnya, penuh pilu dan penyesalan, dan menangis seperti yang ia biasa lakukan sewaktu masih kecil.



Di saat Kirche datang ke tenda Saito, sudah larut malam. Suara mabuk Saito dapat terdengar dalam tenda bersahaja. "Kyuru kyuru"nya Flame dapat terdengar pula dalam tenda. Pastinya dia datang ke sini untuk bermain ketika ia pergi ke jalan-jalan.

Kirche membuka penutup tenda. Pemandangan di dalam menjijikan. Guiche mendekamkan wajahnya dalam tikus mondoknya, menangis. Saito memeluk Flame, sambil menggerutu dengan botol anggur di tangan satunya.

"Emang kayak kamu bilang! Kamu idiot!" teriak Saito. Kelihatannya dia amat begitu mabuk sampai-sampai dia tak bisa berbicara dengan jelas.

"Bahkan aku ga ngapa-ngapain dengan si Katie itu. Dia megang tanganku, dan aku cuman nyium ringan Mortmerncy! Walau gitu, ak-!"

Guiche meledak menangis. Dia itu tipe orang yang menangis waktu mabuk. Kirche mendesah. Kenapa cowo itu sebegitu idiotnya? Derflinger menyadari ada Kirche dan memberitahu Saito.

"Tuan-tuan, ada tamu."

"Tamu?"

Saito melihat puyeng pada Kirche.

"Kirche?"

"Kayaknya asik, bisa gabung?" kata Kirche, dengan senyum di wajahnya.

Saito, yang tak bisa lebih mabuk lagi, marah oleh pemandangan seorang wanita. Dia menghadapi Kirche.

"Susu gede itu, kalau kamu ngeliatin itu ke aku, kamu bisa gabung."

Guiche mulai tepuk tangan.

"Aku sepenuhnya setuju! Atas nama bangsawan Tristain! Aku benar-benar setuju!"

Bukannya menjawab, Kirche mengeluarkan tongkat sihirnya dan mulai merapalkan mantra.

"Mabuknya ngurang sekarang?"

Saito dan Guiche, yang duduk tegak sekarang, mengangguk.

Segala di sekitar mereka gosong. Bahkan mereka pun gosong. Sihir apia Kirche membuat rambut Saito dan kemeja bagus Guiche compang-camping. Mereka pernah dengar air itu trik bagus untuk digunakan, tapi mereka tak kepikiran kalau api pun bisa juga.

"Yah kalau gitu, siap-siap buat pergi."

"Siap-siap buat pergi?"

Guiche dan Saito saling memandang satu sama lain.

"Ya. Hei Saito." Kirche memanggilnya dengan namanya alih-alih sayang.

"Apa?"

"Kamu rencana hidup di tenda sampe akhir hayat?"

"Engga sih, tapi... aku diusir, dan aku belum nemu jalan pulang juga..."

Jalan pulang? Kirche dan Guiche saling memandang satu sama lain. Saito tiba-tiba menggelengkan kepalanya.

"Bukan, maksudku, itu, Rub' di timur!"

"Ah, kamu lahir disana, ya?"

Kirche mengangguk mengerti. Saito mendesah lega.

Sementara Kirche mengelus-ngelus pipi Saito, dia berkata, "Bukannya kamu pengen jadi bangsawan?"

"Bangsawan?"

Guiche sedikit kaget.

"Tapi Kirche, dia orang biasa. Dia ga bisa jadi bangsawan karena dia bukan mage."

"Di Tristain tapinya. Dengan hukum, orang biasa dilarang ketat beli tanah atau jadi bangsawan."

"Tepat."

"Tapi, di Germania berbeda. Kalau kamu punya uang, kalaupun kamu orang biasa, kamu bisa beli tanah dan jadi bangsawan, atau beli hak untuk posisi jadi pemungut pajak atau komandan."

"Dan makanya mereka bilang Germania itu ga beradab." kata Guiche seolah-olah dia merasa mual.

"Ga beradab? Orang yang masalahin tradisi istiadat kayak 'kalau kamu bukan mage kamu ga bisa jadi bangsawan', bikin negara mereka lemah, ga punya hak buat bicara. Makanya Tristain harus beraliansi sama Germania biar bisa ngelawan Albion."

Saito, yang diam-diam mendengarkan, akhirnya membuka mulutnya.

"Um, jadi Kirche. Apa yang kamu bilang itu aku seharusnya jadi bangsawan dengan duit, di negara kamu?"

"Tepat kayak gitu."

"Aku ga punya duit. Aku miskin."

"Kalau gitu cari lah."

Kirche menepuk ringan wajah Saito dengan sebundel perkamen.

"Apa itu?"

Guiche dan Saito melihat bundelan itu. Kelihatannya semacam peta-peta.

"Itu peta-peta harta karun."

"Harta karun?!" kata Guiche dan Saito, terkejut.

"Ya, kita bakal pergi berburu harta karun dan ngejual harta karun yang kita temuin. Saito... kamu bisa ngapain aja sesuka kamu sehabis itu."

Saito menelan ludah. Kirche merangkul Saito, dengan dadanya menekan dia. Saito bergetar seolah-olah dia sesak nafas.

"Pas kamu udah jadi bangsawan... kamu bisa melamarku, ok? Aku suka cowo kayak kamu. Aku ga peduli kalau kamu itu orang biasa atau bangsawan. Orang yang bisa ngatasin kesulitan mereka dan ngedapatin sesuatu di luar imajinasi orang-orang... aku suka orang kayak gitu." kata Kirche, yang tersenyum menggoda.

Guiche, yang melihat peta, berbisik ragu, "Mau gimana aku ngeliatnya, peta ini kelihatannya sedikit mencurigakan..."

"Aku dapat itu dari banyak tempat kayak toko sihir, kedai-kedai, toko kelontong..."

"Pastinya ada sesuatu yang ga jujur. Aku tahu sedikit orang yang cuman ngejual peta biasa, bilangnya peta harta karun. Bahkan ada bangsawan yang jadi bangkrut gara-gara hoax-hoax ini."

"Dengan sikap kayak gitu ga bakalan bisa!" kata Kirche, dengan kedua tinjunya terkepal erat.

"Kebanyakan mungkin carikan kertas doang, tapi mungkin ada yang beneran tersembunyi di dalamnya."

Gah... Guiche mengerang sambil menampar jidatnya.

"Saito, yuk pergi. Yuk pergi cari harta karun dan tinggalin Louise... terus kamu bakalan ngelamar aku, ok?"

Ninggalin Louise... kedengarannya kok tidak bagus. Bangsawan... mereka selalu begitu sombong, dan mereka bahkan lupa dengan orang yang pernah menyelamatkan mereka sebelumnya. Saito telah memutuskan.

"Baiklah, aku ikut. Kita pergi!"

Kirche memeluk Saito erat-erat. Tiba-tiba seseorang menyerbu masuk.

"Engga engga engga engga engga, kamu ga bisa begitu!"

"Siesta?"

Di depan mereka ada Siesta memakai pakaian maidnya.

"Kamu jangan nikah, Saito!"

Siesta menarik Saito.

"Bukannya kamu pengen pria yang kamu cintai itu bahagia?"

Siesta kaget oleh kata-kata Kirche dan melihat Saito. Dia tiba-tiba menggelengkan kepalanya.

"Cuman karena kamu bangsawan bukan berarti kamu bahagia. Kamu bisa tinggal di desaku, dan beli ladang anggur dengan uang itu!"

"Ladang anggur?"

"Di desaku, ada banyak ladang anggur yang bagus! Kita bisa bikin anggur enak sama-sama! Nama mereknya bisa Saito Siesta!"

Kirche dan Siesta sama-sama menarik Saito. Ini pertama kali dalam hidupnya dia diperebutkan gadis-gadis. Dia merona hebat. Ini mungkin takkan pernah terjadi lagi.

"Kayak kamu bakalan nemu harta karun aja." kata Guiche dengan nada bosan.

"Guiche. Kalau kita nemu harta karun kamu bisa kasih itu ke Putri sebagai hadiah dan barangkali dia bakalan ngeliat kamu dari sisi lain."

Guiche berdiri.

"Tuan-tuan dan nona-nona, kita pergi."

"Bawa saya juga plis!" panggil Siesta. Kalau dia tidak ikut, tak diragukan lagi Kirche akan menggoda Saito.

"Engga, ga bisa. Orang biasa itu cuman beban aja."

"Jangan anggap saya kayak idiot! Walaupun saya kelihatan begini, saya..."

Siesta gemetar. Kedua tangannya terkepal erat bebarengan.

"Ya? Terusin."

"Saya bisa masak!"

"Kayak kita ga tau aja," kata semuanya.

"Tapi, tapi, makanan itu penting, kan? Selama kita nyari harta karun, kita bakalan kemping, kan? Kita ga bisa ngandelin makanan yang kita bawa. Saya bisa bikin makanan yang baik untuk semua."

Yah dia benar juga sih di hal itu. Guiche dan Kirche keduanya bangsawan dan tak tahan makan makanan tak enak.

"Tapi kamu punya kerjaan, kan? Apa kamu bakalan cuti aja?"

"Kokinya selalu ngebiarin saya pergi kalau saya bilang saya berbuat sesuatu buat Saito."

Koki utamanya betulan suka Saito; dia barangkali akan melakukan apa yang Siesta telah katakan.

"Okelah, lakukan apa maumu. Tapi biar kukatakan sebelumnya, reruntuhan, hutan dan gua-gua yang kita tuju itu tempat-tempat berbahaya. Ada banyak monster di sana."

"Bakalan ga papa, Saito akan melindungiku!"

Dan dengan itu, Siesta menggaet lengan Saito, mengarahkannya berfantasi akan dada telanjang Siesta yang menekannya.

Kirche mengangguk dan berputar ke semuanya.

"Setelah persiapan selesai kita pergi!"