Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab Dua: Cattleya

Waktu dhuha, dua hari setelah meninggalkan akademi...

Saito dkk telah mencapai daerah La Vallière. Namun, sewaktu mereka mencapai mansion La Vallière, malam sudah larut. Mendengar kata “Malam sudah larut”...Saito menjadi pucat. Dia menyadari bahwa “daerah” ini tak lebih dari halaman. Namun, setelah setengah hari habis untuk perjalanan, dia tak bisa mengerti bagaimana sesuatu yang begitu besar adalah halaman sebuah kediaman.

Berdasarkan standar Jepang, daerah Louise dapat dibilang suatu kota berukurang menengah. Sebuah kota...sebelumnya, Saito tak pernah mendengar tentang seseorang yang bisa memiliki begitu banyak tanah sebelumnya. Para bangsawan tingkat atas ini begitu menyeramkan.

Status Louise sebagai ningrat benar-benar dipertunjukkan begitu mereka memasuki daerahnya.

Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebangun penginapan...

Begitu kendaraan mereka berhenti, Siesta, yang tiba sedikit lebih awal, cepat-cepat keluar dari kendaraannya. Dia telah dilatih sebagai seorang pelayan, sehingga dia pergi untuk membuka pintu kendaraan bagi Louise.

“Uwaa, aku tak percaya Siesta baru saja melakukan itu...tanpa protes,” pikir Saito sambil berjalan menuju kendaraan Louise. Tapi sebelum dia bisa samapi disana, dia ditumbangkan oleh segerombolan penduduk desa yang berlarian dari penginapan.

Para penduduk melepas topi mereka di hadapan Louise, yang baru saja melangkah turun.

“Nona Eléonore! Nona Louise!” teriak mereka sambil membungkuk dalam-dalam.

Para penduduk mengira bahwa bahkan Saito, yang kini terbaring dalam lumpur, seorang ningrat. Mereka dengan cepat membantunya berdiri dan meminta maaf atas kelakuan tak pantas mereka.

Tidak, aku bukan seorang ningrat...” Saito mencoba menjelaskan sembari tegang.

“Meski begitu, kau pasti pengiring Nona Eléonore atau Nona Louise. Dan kami tak bisa tak menghormati itu.”

kata para petani yang terlihat lugu sambilo mengangguk.

Mereka bahkan mengatakan hal-hal seperti “Bisakah aku membawakan pedangmu untukmu,” dan “Pasti merupakan perjalanan melelahkan untuk sampai kesini, kan?” sembari memperlakukan Saito dengan kebaikan yang paling dalam.

“kami akan beristirahat disini untuk sesaat. Tolong beritahukan keluarga mengenai kedatangan kami,” perintah Eléonore.

Seorang anak lelaki dengan sigap melompat ke atas kuda dan mengendarainya untuk melapor.

Mereka berjalan masuk penginapan. Begitu Eléonore dan Louise menghampiri meja. kursi-kursi langsung ditarik keluar untuk diduduki mereka. Keduanya merebah duduk seakan itu alami. Saito mencoba duduk di sebelah mereka, namun di dilemparkan tatapan menusuk oleh Eléonore.

“Saito-san! Saito-san!”

Saito berbalik saat mendengar panggilan Siesta.

“Jelata tak boleh duduk di meja yang sama dengan para ningrat.”

Itu mengingatkan Saito. Akhir-akhir ini, dia duduk di sebelah Louise tanpa mengkhawatirkan itu. Namun, itu adalah hal aneh untuk dilakukan di dunia ini. Kalau dipikir-pikir. awalnya Louise menyuruh saito duduk di lantai.

Louise membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi dipotong oleh tatapan dari Eléonore. Louise tak bisa apa-apa dan duduk di kursinya seperti ana gadis yang baik. Saito terbelabak-ini kali pertama dia melihat Louise dalam keadaan begini. Dia terlihat sangat patuhs ecara alami di hadapan kakak perempuannya. Dia pasti seorang kakak perempuan yang menakutkan sehingga membuat Louise tampak begitu lemah.

“Oh, Louise sudah besar!”

“Dia tumbuh menjadis emakin dan makin cantik!”

Para penduduk tengah ngobrol di sekitar mereka.

“Sepertinya Nona Eléonore telah ditunangkan, ya kan?” tukas seseorang.

“SHHHH! Jangan berbicara soal itu!” sergah yang lain.

Alis Eléonore mulai mengernyit dan wajahnya menghitam. Suasana penginapan langsung menegang. Disini, jelas sudah bahwa topik pertunangan Eléonore adalah sesuatu yang harus dihindari.

Para jelata yang merasakan keinginan membunuh dari Eléonore tak berani berucap sepatah kata pun. Saito dan Siesta bertukar pandangan. Lalu Siesta dengan sunyi mendekati Saito lalu menggenggam tangannya. Dia ketakutan.

Louise tak menyadari perubahan kakak perempuannya, dan berbicara.

“Eléonore, Eléonore nee-sama...”

“Apa...”

“Selamat atas pertunanganmu!”

Wajah tiap orang jelata terjatuh, dan sebuah desahan dalam dikeluarkan mereka.

Sekali lagi, Louise telah salah membaca suasana dengan sempurna. Tiba-tiba, alis Eléonore naik bersamaan dengan dicubitnya pipi Louise olehnya.

“Ini syyyyaaaakiiit!! Waaahhhhh! Nee-shammaaa!! Meeengapaaa?! Ini syyaakiit Ini syyaakiit Ini syyaakiit!!!”

“kau tak tahu? Kau ngomong meski kau tahu seharusnya kau tidak!”

“Aku tak au pa eng au icalakeng!!”

“Pertunangannya dibatalkan!! B-A-T-A-L!”

“M-mengapa?”

“Siapa tahu> Mengapa kau tak tanya Earl Burgandi? Dia mengatakan soal mencapai batasnya...aku tak dapat mengerti mengapa.”

saito bersimpati penuh terhadap Earl Burgandi ini. Ya. Dapat dimengerti bahwa siapapun yang mendengarkan Eléonore akan segera mencapa “batas” mereka. Eléonore lebih galak dan kasar dibanding Louise. Earl pasti berpikir dia tak punya stamina yang cukup.

Pada akhirnya, karena kecewa dengan batalnya pernikahan, Eléonore lalu meledakkan seluruh amarahnya pada Louise...

Dan dengan itu, ceramah dimulai. Dia menghardik Louise karena menerbangkan atap kendaraan,. Pipi Louise yang ditarik menjadi sangat merah dan bengkak. Secara alami, Saito merasa kasihan pada Louise.

Namun, penghakiman tak berlangsung begitu lama, karena tiba-tiba pintu terbuka dan sealiran pink terbang masuk.

Seorang gadis yang mengenakan baju elegan di sekitar pinggangnya yang kurus dan sebuah topi lebar dengan bulu diatasnya masuk. Dibawah topi adalah sebungkus rambut pink blonde nan halus – persis sama dengan Louise.

Yang mengejutkan, sebentuk wajah manis menyembul dari bawah topi.

Meski dari pandangan pertama sudah jelas dia lebih dewasa, dia terlihat sangat manis. Bentuk wajah cantik itu tak dapat diuraikan. Warna dan cara matanya berbinar pun sama denagn Louise. Menyadari Eléonore, gadis itu menatapnya dengan mata terbelabak.

“Ah! Aku sangat senang bahwa aku menyadari kendaraan asing di luar dan datang kesini untuk menengok, Aku tak menyangka bakal bertemu denganmu! Eléonore nee-sama! Kau kembali?”

“Cattle...ya...” tukas Eléonore

Menyadari kehadiran tamu yang tiba-tiba, Louise menengadah. Melihat Louise, wajah Cattleya memancarkan kebahagiaan yang tercermin juga oleh wajah Louise.

“Kakak!” (sebenarnya lebih suka make bahasa daerah yang nunjuk kakak perempuan langsung, seperti teteh (sunda), uni(minang), dll. ganti aja klo ngerasa ga cocok)

“Louise! Tak mungkin! Kau bukan Louise kecilku lagi! Kau juga kembali!”

Louise bangkit dan melemparkan dirinya ke pelukan Cattleya.

“Sudah lama sekali, kakak!”

Saking tak bisa menahan keharuan, mereka berdua saling memeluk sambil menjerit.

Sepertinya Cattleya adalah kakak Lousie. Dia memiliki warna rambut dan mata yang sama – rasanya bagai melihat Louise yang lebih dewasa. namun wajah Cattleya tampak memiliki penampilan lebih tenang dan damai daripada milik Louise. Aura ketenangan dan kelembutan sempurna dari Cattleya membuat jantung Saito berdegup.

Dia bagai Louise dewasa dengan tambahan kelembutan. Lagipula, sosok cantik dan dadanya juga cocok dengan selera Saito.

Mulut Cattleya setengah menganga saat akhirnya dia menyadari kehadiran Saito.

“Ah, ah, ah , ahah!”

Selama saito berpikir-pikir soal apa maksud “Ah” ini, Cattleya menghampirinya dan menerawangi wajahnya.

“A-A-Apa yang salah?” tanya Saito dengan tegang.

cattleya mulai mengelus wajah Saito dengan lembut. Saito hampir pingsan karena rasanya.

“Kau adalah...kekasih Louise, kan?”

“Huh?!”

Siesta yang berdiri di sebelah saito tiba-tiba membeku. Dia menginjak keras kaki saito. Sekuat tenaga. Saito loncat.

Louise memerah seketika.

“Dia hanya familiarku! Bukan kekasih!”

“Ah...begitu, ya?”

Cattleya tertawa kecil dan membengkokkan kepalanya sambil tersenyum manis.

“Maaf, aku salah. Jangan khawatir soal itu.”

Semuanya menaiki kendaraan Cattleya untuk sisa perjalanan ke kediaman La Vallière. Tentu saja Eléonore tidak mau duduk dengan seorang jelata dan familiar. Tapi saat Cattleya sambil bercanda bilang,” Lebih banyak lebih meriah, kan?” Eléonore dengan enggan setuju meski tetap tak mau mengeluarkan sepatah kata pun.

Namun...bukan hanya Saito dkk yang menumpang di kendaraan besar tersebut.

Raasanyas eperti kebun binatang didalamnya.

Di depan kursi ada harimau yang berbaring telungkup di lantai dan menguap. Louise duduk di bawah di sebelah seekor beruang. Berbagai macam anjing dan kucing betebaran disini dan disana. Seekor ular besar yang terjuntai dari atap muncul tepat di hadapan wajah Siesta dan membuatnya pingsan. Saito berucap ”Kendaraan yang luar biasa...” sambil merawat Siesta yang pingsan.

“Kakak mencintai binatang,” kata Louise.

Meski dia pikir bahwa cinta sejenis ini keterlaluan, Saito tak berucap sepatah kata pun.

“Aku baru saja mendapatkan seekor thrush.”

kata Catteya dengan nada gembira.

“Tunjukkan padaku! Tunjukkan padaku!” Louise melompat-lompat seperti anak kecil.

Eléonore dan yang lainnya bersama-sama mendesah dalam-dalam.

Inilah kehidupan dari 3 kakak beradik perempuan La Vallière yang cantik. Saito membungkuk dalam-dalam penuh simpati pada kakak-kakak Louise.

Louise dan Cattleya terus mengobrol.

Sepertinya Kakak kedua, yang mengenakan pakaian nan manis itu, berteman baik dengan Louise. saat kau melihat dua orang berhubungan baik seperti ini, bahkan perjalanan membosankan seperti ini tak terasa tawar. Siesta sudah tidur lelap di pangkuannya. Di sebelah kiri kendaraan, bukit-bukit membentang. Di kanan – ladang-ladang pertanian terhampar. Karena panen raya tengah berakhir, jerami menggunung disini dan disana. Saat dia menerawangi pemandangan indah ini, mustahil baginya untuk percaya sebuah perang tengah berlangsung. Sambil bersandar di rangka jendela, dia menyesuaikan posisi Derflinger di punggungnya, dan menguap lebar-lebar.

Di Malam nan pekat.

Eléonore mengeluarkan jam saku dari kantongnya dan memastikan waktu.

Sebangun Banteng memasuki sudut pandang, tepat di belakang bukit. Karena tidak ada apa-apa di sekitarnya, ia terlihat lebih besar dari Istana Kerajaan Tristain.

“Apa itu-“ bisik Saito. Louise mengangguk.

Ia terlihat seperti Benteng lainnya. Dikelilingi tembok-tembok nan tinggi dan kali yang dalam. Menara-menara menjulang tinggi di atas tembok. Ini benar-ebnar benteng yang besar dan bagus yang sebenarnya.

Siesta yang terlelap hingga sekarang, terbangun, dan saat menyadari kehadiran benteng, menatapnya dengan mata terbelabak.

“Wow! Luar biasa!”

Pada saat itu, seekor burung hantu raksasa masuk melalui jendela dan mendarat di kepala Saito.

“Selamat datang, Eleonore-sama, Cattleya-sama, Louise-sama.” Burung hantu itu membungkuk untuk menyambut mereka.

“B-B-Bu-burung hantunya ngomong dan membungkuk! M-membungkuk!”. Siesta pingsan lagi. Meski datang dari dunia yang berbeda, Saito tampaknya tak terkejut oleh burung hantu yang berbicara dan tak bergerak. Saito tak terkejut oleh hal-hal semacam ini lagi.

Cattleya tersenyum.

“Dan dimana Ibu?”

“Nyonya tengah menunggu kalian semua di ruang makan.”

“Bagaimana dengan Ayah?”

tanya Louise, tegang.

“Tuan belum kembali.”

Karena anggota paling penting tak ada, Louise bermuka masam tanda tak senang. datang kesini untuk mendapatkan izin ayahnya untuk bergabung dalam perang tiada gunanya tanpa dia.

Disini dapat terlihat pintu gerbang dibelakang kali.

Saat kereta berhenti, suara-suara dari rantai pemegang jembatan gantung dilepaskan dapat terdengar dari kedua patung raksasa berbentuk pos gerbang.

Tiap patung batu paling tidak setinggi 20 kaki. Meski golem-golem ini diciptakan hanya sebagai hiasan gerbang, mereka membuat keseluruhan jembatan gantung terlihat spektakuler.

Begitu jembatan gantungs elesai diturunkan, kereta mulai bergerak lagi, kini menyebrangi jembatan gantung dan menuju bagian dalam.

Keterkejutan Saito soal kemegahan keluarga Louise diperbaharui lagi. Ini benteng raksasa bangsawan.

Saito dkk tiba di ruang makan yang dihiasi begitu mewah dengan mebel-mebel mewah. Meski Siesta langsung menuju tempat para pelayan. Saito diperbolehkan menemani mereka selama makan malam sebagai familiar Louise.

Namun, dia dipaksa menunggu dibelakang kursi Louise. Jadi Saito berdiri sigap di belakang Louise, melihat-lihat meja yang panjangnya 30 kaki.

Meski hanya ada 4 orang yang duduk di kursi selama jamuan, 20 pelayan mengelilingi meja.

dan, meski kini tengah malam, ibu Louise, Duchess de La Vallière, menunggu putri-putrinya untuk tiba di meja makan.

Sang Duchess, yang duduk di meja teratas, memandangi putri-putrinya yang hadir.

Saito bergidik dari tekanan itu. Meski Eléonore memiliki aura kasar dan tinggi yang membuat bulu kuduknya berdiri, ibu Louise ternyata sama juga.

Dan ini hanya kehangatan Ibu terhadap putri-putrinya.

Dia tampak berumur 50-an. Namun, perkiraan ini dibuat dengan menghitung umur kakak tertua. Sebenarnya, dia tak terlihat lebih dari 40. Dia memiliki penampilan nan tajam. warna rambut pink Louise dan Cattleya sepertinya diturunkan dari ibu mereka. Sang duchess mengikat rambut pinknya yang menarik di atas kepa. Dia mengenakan aura memerintah disekitarnya, Saito merasa tertekan.

Louise, meski bertemu lagi dengan ibunya setelah sekian lama, berlaku tegang. Sepertinya Louise hanya mempercayai Cattleya.

“Ibu, kami baru saja kembali.” kata Eléonore; Duchess de La Vallière mengangguk.

Saat ketiga putrinya duduk. Para pelayan membawa hidangan dan makan malam pun dimulai.

Bagi Saito yang berdiri di belakang, waktu berjalan sangat lamban. Tiada kata terucap. Hidangan yang disajikan disini jauh lebih mewah dari bahkan makan malam resmi di akademi. Suara dari ruang makan hanyalah suara dari pisau dan garpu perak.

Louise berucap untuk memecah keheningan ini.

“M-Mama-sama.”

Sang Duchess tak menjawab. Eléonore yang melakukannya.

“Mama-sama! Bilang pada Louise! Anak bodoh ini mengatakan dia hendak pergi ke medan perang!”

Bam! – Louise bangkit sambil memukul meja.

“AKu tidak bodoh! Apa aku terlihat bodoh ketika melamar menjadi kekuatan militer Paduka?”

“Bukankah kau seorang gadis?! Perang adalah urusan lelaki!”

“Itu cara berpikir yang sangat kuno! Kini adalah era dimana lelaki dan wanita diberikan kedudukan yang sama! Jika kedudukan hanya diberikan pada para lelaki di Akademi, bahkan kau, kakak, takkan bisa menjadi ketua peneliti di Akademi!”

Eléonore menggelengkan kepalanya keheranan.

“Apa kau tahu tempat maca apa medan perang itu? Itu bukan tempat dimana wanita dan anak-anak sepertimu bisa pergi.”

“Tapi Yang Mulia mempercayaiku...”

“Kau dipercaya? Kau – Si ‘Zero’?!”

Louise menggigit bibirnya. Henrietta membawaku ke medan perang karena aku dibutuhkan. Aku seorang pengguna “Void”. Namun aku tak bisa mengatakan itu pada keluargaku. Pada akhirnya, Louise tak bisa mengatakan apapun dan terdiam.

Eléonore mencoba untuk terus menceramahi, tapi dipotong oleh duchess yang selama ini diam. Dia memerintah dengan suara tegas,

“Makanlah, Eléonore.”

“T-tapi, Mama-sama...”

“Kita akan bicarakan soal Louise besok, saat bapak kembali.”

Dengan begitu diskusi pun berakhir


Saito tengah berbaring di kasur di ruangan yang dipersiapkan untuknya dan tengah memandangi langit-langit.

Di gudang ini, sebatang sapu bersender pada tembok dan selembar lap berada di kasur. Saito baru saja belajar lagi soal perbedaan antara statusnya dengan Louise. Akhir-akhir ini, mereka tidur di kasur yang sama, hidup di loteng yang sama dan makan dari meja yang sama, namun dia tak dapat merasakan perbedaaan status apapun...

Tapi saat dia bertemu keluarganya, semuanya terasa bagaikan impian tak berdasar.

Louise cantik, kaya. Seorang ningrat, itulah dia.

Saito juga teringat bahwa mereka tak berbicara dengan Louise begitu mereka meninggalkan sekolah. Louise kehilangan keberaniannya karena Eléonore dan tak berbicara terlalu banyak.

Bahkan, dia menerima seluruh ceramah dari keluarganya, seperti seorang pelayan dari tuannya, tanpa mengeluh. Entah mengapa, dia menyembunyikan dirnya yang sebenarnya. Saito merasa kasihan padanya.

Dia bukan siapa-siapa, dia tak punya apapun dengan sistem sosial dunia ini.

Tapi setelah melihat makan malam semacam itu di benteng ini – kau tak bisa tidak membayangkan soal ini, kan? Pikirnya.

Dia merasa dia mempelajari jurang lebar antara dia dan kedudukan Louise.

Dia merasa sedikit galau karenanya...

Tiba-tiba ada ketukan di pintu.

Siapa yang bakal datang ke gudang ini? Pikirnya sambil membuka pintu, hanya untuk disambut senyum malu Siesta yang berdisi di sana.

“Siesta?”

“Y-Yah...Aku tak bisa tidur, jadi aku datang kesini.”

“Eh? Eeeh?”

Saat Saito tengah panik, Siesta memasuki ruangan.

“Meski begitu...bagaimana kau tahu tempatku?”

“Aku menanyai para pelayan soal itu.”

“Begitu ya...”

Siesta duduk di kasur, dan leyeh-leyeh mengayunkan kaki. Entah mengapa wajahnya merah. Saat Saito mencoba berlalu darinya, Siesta mencengkram lengannya menariknya kebawah untuk duduk disampingnya. Lalu dia menyenderkan kepalanya pada bahu Saito, tepat seperti di dalam kereta beberapa waktu yang lalu.

“Siesta?”

Mendengar Saito bertanya, Siesta memandangnya dengan wajah tak berdosa.

“Ini adalah kali pertama aku datang ke Benteng yang begitu megah. Benteng ini benar-benar berliku-liku.”

“Itu hebat.”

“Seorang teman di akademi terus menceritakan soal keluarga La Vallière sebagai salah satu dari lima keluarga paling terpandang di Tristain. Hidup dalamIstana semacam ini, kekayaan, da wajah rupawan...Nona Vallière hanya bisa diiri.”

“Apakah begitu?”

“Ya. Hidupnya sangat nyaman. Dia bisa mendapatkan apapun yang diinginkan orang, seperti...”

LaluSiesta menatap dalam-dalam wajah Saito.

“...Saito-san.”

“A-Aku bukan miliknya. Aku familiarnya...”

“Aku mengerti.”

Siesta mengatakannya perlahan.

“Eh?”

“Cara Saito-san memandanginya, aku mengerti. Aku tak punya kesempatan. Dia kaya, ningrat dan cantik...dan punya istana sebesar ini sebagai rumahnya. *Hic*”

Siesta menunduk, dia terlihat kesepian. Saito mencoba memahami apa yang baru saja dia katakan, dan terdiam jugha.

“Ik ik, ik ik.” Siesta terdengar seakan dia terisak-isak. Apa dia menangis?

Sementara Saito tak tahu harus bagaimana, Siesta tiba-tiba berdiri.

“Siesta...”

“tapi...”

“Eh?”

“Aku juga punya sesuatu.”

“Siesta?”

Sepertinya keadaan berubah. Dengan semangat baru yang mengudarakan “Aku takkan menyerahkan Saito-san!” Siesta berbalik.

“D-d-d-dadaku jelas-jelas mengalhkan Nona Vallière! Ik ik!”

“Siesta?”

Gemetaran karena marah, Siesta melanjutkan pembicaraan.

“K-k-keluarga bangsawan? Terus kenapa? Aku seorang pelayan. PELAYAN! Ik ik!”

“Y-ya, aku tahu itu.”

Saito menyadari Siesta terus ber-hik-hik, terus menerus.

“Siesta, apa kau...mabuk?”

“AKu membuat makan malam sendirian. Dan mereka bahkan tak mengatakan ‘ Kau dari perjalanan jauh, terima kasih, beristirahatlah dulu.’ Ik ik!”

Wajahnya merah terang dan mulutnya pun beraroma alkohol. Saito terpaku. Ini kali pertama dia melihat Siesta mabuk.

Memang sih, dia juga harus melakukan tugasnya sebagai pelayan disini, jadi dia harus menghibur dan menuangkan alkohol di Istana ini. Saat mabuk begini, Siesta mengeluarkan sebotol anggur dari celah kemejanya.

“D-darimana kau dapat botol itu?”

Siesta mendekatkan wajahnya pada Saito.

“Mencurinya.”

“O-oh, begitu.”

Siesta melepas sumbatan dan minum langsung dari botol. Sambil terbelabak, Saito menatapnya yang menenggaknya.

“Phua!” Siesta memisahkan mulutnya dari botol. Wajahnya menjadi lebih merah.

“Hey, Saito!”

Akhirnya dia memanggil Saito secara tak resmi.

“Y-ya?”

“Kau juga harus minum.”

“B-bersulang.”

Dia tahu bahwa bila dia tak menurut, perasaannya bakal tak karuan. Saito mengambil anggur yang disajikan. Dia mencoba menenggaknya sekali telan, tapi dengan satu “Buaagh,”, dengan cepat dia memuntahkannya. A-apa yang salah dengan anggur ini? Ini benar-benar keras.

“S-siesta. Anggur ini...”

“Ia dari meja dapur.”

Sepertinya Siesta jenis orang yang perasaannya mencerah setelah segelas anggur, dan satu tenggakan dari botol di meja cukup untuk membuat kehilangan tidak apa-apa. Siesta ternyata peminum yang sangat buruk.

“S-seharusnya kau tak mengambilnya tanpa izin...”

“Hey! Saito!”

“Y-ya?”

“Apapun. Minum!”

“B-bersulang.”


Mengingat perasaan dapat berubah menjadi amarah bila dia menolak, Saito dengan enggan meminum lagi anggur itu.

Sementara...

Dalam kamar Cattleya, rambut Louise disisiri kakaknya.

Kamar Cattleya merupakan perpaduan elegan dari kebun binatang dan botani. Tanaman-tanaman pot ditempatkan dimana-mana, banyak keranjang anyaman tergantung dari langit-langit, dan anjing-anjing kecil berlarian kesana kemari.

Cattleya dengan lembut menyisiri rambut Louise.

“Louise, Louise kecil. Rambutmu begitu memesona, warnanya sangat menawan.”

“Kakak, kau punya rambut yang sama.”

Cattleya tertawa senang.

“Memang, Rambutmu – Aku menyukainya.”

Louise merajuk dan bergumam,

“Rasanya, Warna Rambut blonde Kak Eléonore sama dengan milik ayah.”

“Yah, aku menanyai kak Eléonore soal itu. Dia tersinggung.”

“Benar. Aku pikir Kak Eléonore tak sesuai dengan rambut indahnya.”

“Huh, mengapa?”

“Dia galak. Dia seorang kakak yang berbeda. Meski sudah lama sekali, dia tetap mempermainkanku.”

“Itu karena kau, Louise, sangat manis. Begitu manisnya sehingga membuat semua khawatir. Itu caranya menyayangimu.”

“Itu tak benar.”

Cattleya dengan perlahan memelik Louise erat dari belakang.

“itu benar. Semua orang di rumah ini menyayangimu, Louise Kecil.”

“Aduh, kok kakak mengatakan hal seperti itu...”

Cattleya mengubur wajahnya dalam rambut Louise dan mengejapkan mata.

“tapi aku sangat senang, Louise. Kupikir kau akan depresi nan mendalam...”

“Mengapa?”

“Viscount wardes. Dia seorang pengkhianat, kan? Setengah tahun lalu, dia seorang pemimpin Garda sihir. Mansion Wardes berada di daerah kita. Saat dia mengkhianatimu, bukankah kau terluka?”

Louise menggelengkan kepala.

“Tidak juga. Aku bukan anak kecil lagi. Jangan campurkan antara kasih kekanak-kanakan dan cinta.”

Cattleya tersneyum saat Louise mengatakan itu dengan teguh.

“Kau bisa diperhitungkan sekarnag. Kau sudah dewasa, Louise.”

“Itu beanr,” Louise bergumam pada dirinya sendiri.

“Aku bukan anak kecil lagi, karenanya, aku ingin memutuskan untuk diri sendiri.”

“Lalu, jika ayah akan menentangnya, apakah kau akan ke medan perang tanpa izinnya?”

“Jika memungkinkan, aku ingin dia setuju. Aku ingin semuanya mengerti.”

“Namun, aku juga tak menyukai perang.”

“Ibu pertiwi kita dalam krisis. Dan Putri....tidak, Paduka, membutuhkan kekuatanku. Makanya...”

“Tiada gunanya mengatakan itu padaku. Sulit bagiku untuk mengerti, karena kakakmu ini selalu mengurung diri di istana.”

Cattleya dengan lembut menepuk kepala Louise. Lalu, dia tiba-tiba terbatuk.

“Kakak! Apa kau baik-baik saja?”

Louise memandangi Cattleya dengan wajah khawatir. Tubuh Kakak kedua Louise sangat lemah. Dia tak pernah keluar dari daerah La Vallière lebih dari satu langkah.

“Apa kau sudah memanggil dokter?”

Cattleya mengangguk.

“Dokter setempat sudah dipanggil, dan meski dia mencoba melantunkan mantra “Air’ yang kuat berulangkali, sihir tak berguna melawan penyakit ini. Tiada yang berguna untuk tubuh semacam ini. Sentuhan aliran air tiada gunanya.”

Penyebab penyakit Cattleya tak diketahui. Meski kau menyembuhkan sebagian tubuhnya dengan obat atau sihir, bagian lain akan mulai melemah. Pada akhirnya, semua dokter menyerah pada siklus ini. Gejalanya kini diperingan dengan berbagai obat dan sihir. Meskipun begitu, Cattleya tetap tersenyum. Louise merasa kasihan pada kakaknya. Karena kondisinya, Cattleya tak bisa masuk akademi sihir, meski dia bisa melantunkan mantra. Dia juga tak bisa menikah, meski snagat cantik.

“Hmm, mengapa wajahmu begitu? Aku hidup bahagia tiap hari. Lihat!”

Cattleya menunjuk pada kandang burung.

Ada seekor burung terkurung didalam. Selembar perban terlilit di sayapnya.

“Lihat, ini burung muda yang kuceritakan saat di kereta tadi. Aku baru saja mendapatkannya.”

“M-manisnya.”

“Burung kecil ini terluka parah. Sayapnya terluka. Aku tengah lewat ketika aku mendengar kesakitan dari suara burung kecil ini. Aku menghentikan kereta dan membawanya.”

Sepertinya Cattleya mendengar jeritan burung ini saat dia di hutan, jadi dai menghentikan kereta dan membawanya.

“kakak! Ini hanya seekor burung!”

“Bukankah kau merasakan hal yang sama dengan familiarmu?”

Cattleya tersenyum seolah-olah sudah tahu. Pipi Louise langsung terbakar. Aku tak mengerti apa yang kurasakan bersama Saito. Apa karena dia manusia?

“Jadi kau mengerti. Burung kecil ini sama dengan itu.”

Kata Cattleya sambil merajuk.

“Benarkah?”

“YA. Aku senang kau bahagia karena kau sudah mencapai usia yang tepat untuk jatuh cinta.”

Bahkan telinga Louise memerah.

“Apa yang kakak bicarakan?! Aku tak sedang jatuh cinta!”

“Tiada gunanya menyembunyikannya dariku. Aku mengerti semuanya.”

“Aku benar-benar tak sedang jatuh cinta!”

Saking malunya, Louise menggelengkan kepalanya, dan airmatanya hendak jatuh.

“Jangan begitu. Aku mengerti semuanya. Lalu, bisakah kita tidur bersama setelah sekian lama?”

Dengan muka yang masih merah, Louise mengangguk sambil menggigit bibir.

Di kasur nan empuk, Louise, dengan baju yang ditanggalkan dan hanya berpakaian dalam, mendekat pada kakaknya. Cattleya, yang juga memakai pakaian malamnya, memeluk Louise erat-erat seperti anak kucing.

Louise menempatkan kepalanya di samping dada cattleya dan mendesah dalam-dalam.

“Ada apa, Louise?”

“Bukan apa-apa.”

“Ceritakan padaku.”

Setelah kata-kata Cattleya, Louise berucap dengan enggan.

“Aku memikirkan apakah punyaku akan tumbuh sebesar kakak.”

“Pffft.” Cattleya tertawa kecil. Lalu dia mulai meremas-remas dada Louise.

“Hyaah!”

Louise berteriak. Cattleya mengabaikan jeritannya dan terus menyentuhnya.

“Baiklah. Tak apa-apa. Ia akan menjadi besar sebentar lagi.”

“Benarkah?”

“Yep. Aku juga dulunya sepertimu.”

Louise mencoba mengingatnya. Cattleya sekarnag 24....jadi saat dia 16, 8 tahun lalu, dan aku masih 8. Apakah Cattleya terlihat sama sepertiku saat itu? Dia tak bisa mengingatnya dengan jelas, mungkin karena dia masih terlalu muda saat itu.

Kalau dipikir-pikir, Cattleya selalu memeluknya saat mereka tidur saat masa-masa dulu. Aku tak bisa terlelap sendiri dan tak bisa tidur sendiri. Sambil membawa bantalnya dan pergi ke kasur Cattleya, dengan mendengarkan cerita-cerita kakaknya dan menghirup aroma tubuhnya...dia selalu menjadi tenang dan terlelap.

Dalam pelukan Cattleya, matanya tertutup sendiri...

Berbagai pikiran mulai mengalir kedalam kepalanya.

Henrietta.

Perang melawan Albion.

Kemungkinan tewas.

Pulang untuk meminta izin bagi apa yang mungkin menewaskannya. Sebuah beban berat di bahunya.

Pelajaran-pelajaran kejam dan berharga yang dia pelajari hari demi hari.

Dan, saat dia memikirkan familirnya, entah mengapa pipi Louise mulai terbakar. Mereka hampir tak ngobrol hari ini. Karena dia sedang dihardik Eléonore, mereka tak bisa ngobrol. Tapi saat dia mulai memikirkan mengenai hal-hal ini, dia tak bisa tidur sama-sekali.

Dia mulai bergerak-gerak tak tentu...

“Ada apa? Tak bisa tidur?”

“Y-ya...” dia bergumam malu.

“fufufu. Kau sudah tak bisa lagi terlelap disampingku. Siapa yang ada dalam fikiranmu, nak?”

“B-bukan siapa-siapa! Sumpah!”

“Apa ia yang kau bawa denganmu beberapa saat tadi?”

“Salah! Dia hanya seorang familiar! Aku tak mencintainya!”

“Hmmm. Aku tak mengatakan soal cinta.”

Louise bersembunyi di balik futon yang besar.

“Aku membencimu, Kakak.”

Ya ampunm kini aku dibenci.”

Cattleya tertawa senang.

“Tapi tak apa-apa. Jika seorang anak tak bisa tidur di samping kakaknya, maka itu bukan pujian bagi sang kakak. Malah, dia seharusnya malu.”

“Uuuuh...” Louise mengerang.

“Sampai nanti. Hari ini, tempatmu berubah.”

Louise yang dibungkus selimut berjalan melalui koridor. Di jalan, dia menanyai para pelayan dimana Saito berada. Ia berada di akhir sambungan koridor di belakang ruang tamu, sebidang tempat dimana alat-alat kebersihan disimpan.

Dia mengambil napas dalam-dalam begitu dia menemukan gudang. Ini bukan karena aku ingin menemuinya, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Aku seorang penyihir. Jika si familiar tak disisiku, aku menjadi tak tenang. Itu, hanya itu. Kami belum berbicara apa-apa hari ini. Dan jika kau tidak ngobrol dengnnya barang sebentar, si familiar akan merasa tak enak, pikirnya.

“Itu saja, tak ada yang lain.” Gumam Louise sambil membuka pintu gudang, wajahnya merah merona.

Namun, adalah Siesta yang duduk di kasur.

“Huh? Nona Vallière.”

Pipinya merah darah. Dan di tangannya, dia memegang sebotol anggur.

“A-a-apa yang kau lakukan disini?”

Louise bertanya sambil kebingungan.

“Aku datang kesini untuk bersenang-senang” Jwab Siesta.

Lalu dia melihat Saito di belakang meja. Dia mengeluarkan suara “Guah.” Keras-keras. Sepertinya dia mabuk, terkapar, dan terlelap.

“Keluar dari kamarku.”

Kata Louise, menyalakan seluruh harga dirinya.

“Ini bukan Kamar Nona Vallière.”

Jawab Siesta balik.

“Ini rumahku.”

Louiuse menatap Siesta dengan mata mengancam. Mereka saling menatap, tak ada yang hendak mundur. Keduanya siap meletuskan amarah yang terpendam.

Saat mabuk, Siesta sangat pemberani dan teguh. Dia bisa menyerang balik bahkan pada Louise. Terancam dan tersinggung, dia mengatakan pada Louise,

“Aku pelayan rumah yang dipekerjakan sekolah. Aku tak dipekerjakan Nona Vallière. Lagipula, kita sedang liburan. Jadi terserah pada kami untuk menggunakan waktu lenggang kami. Jadi mohon, jangan ganggu kami.”

Ini tak masuk akal. Louise dengan kasar mendekati kasur, dan mencoba menyeret Saito yang tidur dari pergelangannya. Lalu Siesta mencengkram kakinya yang lain...

“Lepaskan!”

“Kau yang lepas!”

“Ya...maafkan aku, tapi dia adalah familiarku. Dengan kata lain, dia milikku.”

Siesta menatap Louise dengan mata penuh ancaman. Dia sama sekali tak mendenagr kata-kata Louise.

“...Apa kau tak menuruti seorang ningrat?”

Tiba-tiba, suasana kamar jadi tegang.

Siesta, sambil menegakkan diri, meminum lebih banyak anggur.

Dan bergumam dalam suara pelan.

“ningratningratningrat, tutup mulutlah.”

“Haaa?kau l-l-out....”

Saat Louise hendak berteriak...Siesta mendekatkan wajahnya di samping bangsawan muda itu.

“Cinta kan? Dengan kata lain, kau hanya iri. Meski kau seorang ningrat...Betapa aneh!”

“A-Ap...”

Dalam sekejap, keteguhannya tercuci habis dan Louise panik.

“Apa kau sudah mengatakannya? Apa kau iri dengan cintaku?”

Siesta terus menekan Louise masuk sudut.

“Ah, auuuh...uuh...”

Gumam Louise yang memerah.

“Apa? Kau belum mengatakannya? Pengecut.”

“uuh...”

Siesta yang tiba-tiba saja jadi kuat membuat Louise mundur teratur.

“Tapi yang paling penting adalah Saito-san...”

“A-apa?! Apa maksudmu?!”

“Dia menyukai gadis dengan payudara besar.”

Ini langsung membuat Louise terhenti kehabisan kata-kata.

“Dan kalau kau pikir-pikir, kau tak punya begitu banyak.”

Siesta dengan pelan mencolek dada Louise.

“D-dada.”

Mari memanggil ini dengan sebenarnya – kau serata papapn, papan!”

“uuh,” Louise mengeluarkan isakan tertahan.

Dia mengingat-ingat lirikan Saito. Bukankah lirikan familiar bodoh ini selalu terarah pada lembah buah dada?

“Saito-san mengatakannya sendiri. Ukuran dada Nona Vallière sama dnegan anak-anak.”

Dengan keberanian mabuk, Siesta mengumumkan hal yang tak terduga.

Sambil erat-erat menggigit bibir, Louise lari keluar ruangan.

Setelah meyakinkan diri dia pergi, Siesta berbaring di samping Saito dan terlelap.

Cattleya terkejut saat melihat Louise kembali ke kamar dalam tangisan.

“Oh, ada apa, Louise? Apa yang terjadi?”

“Fueh...” Louise melemparkan diri kedalam dada Cattleya.

“Tak apa-apa...mengapa kau menangis?”

Namun, Louise terus terisak-isak, tak mengatakan sepatah kata pun.

“Fuuh,” Cattleya mendesah dalam-dalam.

Seperti dulu, Cattleya terus menepuk kepala Louise hingga dia tertidur.

Saito bangun dan langsung kaget. Ini karena Siesta tidur di sebelahnya.

“Uuhn, uuhn,” Sepertinya dia kesakitan dalam tidurnya. Siesta, mengapa dia disampingku...pikirnya, tapi, setelah melihat sebotol anggur tergeletak di lantai. Dia ingat.

“Ya ampun, aku mabuk, dan setelahnya...”

Aku dipaksa minum miras kuat dan terdistilasi oleh Siesta dan ambruk.

“Siesta, Siesta,” Dia menepuk ringan pipinya.

Namun, dia tak bangun.

“Uuh, uguu, mguu.”

Ini membuat Saito was-was karena ida memegangi dadanya seakan tersedak. Dia memakai kemeja yang terlalu kecil baginya. Apa dia meminjam pakaian dalam dari seseorang di Istana ini? Benar-benar deh, saat kau memakai kemeja yang tak sesuai ukuran tubuhmu dan masih dapat efek terusan, kau pasti merasa sangat tak enak.

Saito melepaskan satu kancing kemeja Siesta.

Di saat itulah Siesta perlahan membuka matanya. Saito dengan enggan menyingkirkan tangannya dari kemejanya.

“Se-ahhh-lamat pagi...”

Gumam Siesta dengan wajah mengantuk, tapi langsung memerah begitu menyadari keadaan sekitar.

“S-Saito-san, mengapa? Itu! Aku!”

Hey hey, pertama-tama, bukankah kau yang menerobos kamarku sambil mabuk? Saito tersenyum pahit.

“Siesta, tadi malam, kau mabuk dan...”

Kata Saito, meningkatkan kemerahan pada Siesta lebih jauh lagi.

“Eh? Aku mabuk?” “Ya. Lihat!”

Saito menunjuk botol anggur yang tergeletak di lantai.

“Kau membawa itu bersamamu.”

“Aku minum angguuuur?!”

“Y-ya...”

“Itu mengingatkanku, saat makan malam, aku minum segelas. Tapi sepertinya aku minum lebih dari satu teguk. Ahh, bagaimana ini...”

Saito terkejut dengan kekhawatiran Siesta.

“Siesta?”

“A-Aku benar-benar melakukannya, kan?”

“Y-ya.”

“Kupikir aku minum terlalu banyak. Aku tak begitu jago meminum anggur.”

Siesta bergumam tertahan sambil membuang muka. <!> memang, ‘Kau juga minum’ ya, pikir Saito. Sepertinya pelayan ini masuk jajaran pemabuk gila. <!>

“Setelah meminum seluruh anggur itu, aku tak ingat apa-apa soal tadi malam. Saito-san, Apakah aku tak sopan?”

“Ti-Tidak, tak begitu...”

Tepat saat itu...suara seseorang yang berlari dengan ribut melalui koridor terdengar. *bam* Pintu terbuka dan salah seorang pelayan istana meloncat masuk.

“W-w-wha-! Jerit saito.

“Tiada waktu! Tuan telah tiba! Kita perlu menjaga Istana agar terus berkilau...” teriaknya, dan dengan sepanggul alat-alat kebersihan, dia berlari keluar. Tak lama kemudian pekerja lain datang dan berlari keluar dengan pel dan ember. Ini memang merupakan gudang. Meski ada banyak alat kebersihan, mereka hampir tak pernah digunakan. Namun, sepertinya hari ini adalah pengecualian.

Tuan? Siesta dan Saito saling bertatapan.

Pendeknya.Ayah Louise telah kembali.