Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume6 Bab6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Akhir tahun, minggu pertama dari bulan Wynn, hari Man dalam minggu itu menjadi hari yang tercetak dalam sejarah Halkeginia. Hari itu adalah hari setelah Hari Void, ketika dua bulan yang tergantung di langit saling tumpang tindih. Di siang hari ini, ketika benua Albion berada pada titik terdekat dengan Halkeginia, armada raksasa kapal Tristain dan Germania membawa tentara persatuan yang terdiri dari 60.000 tentara untuk berlayar dari La Rochelle demi invasi Albion.

Tristain bersama-sama Germania memiliki 500 kapal. Hanya enam puluh dari mereka yang merupakan kapal perang sedangkan sisanya adalah pengangkut tentara dan persediaan. Ratu Henrietta dan Kardinal Mazarini tengah berada di pelabuhan La Rochelle, berdiri di atas dermaga Pohon Dunia, menonton armada berlayar. Semua kapal yang naik ke langit pada saat yang bersamaan pasti merupakan pemandangan yang menakjubkan untuk dilihat. "Seolah-olah mereka adalah biji terbawa oleh angin," kata Kardinal Mazarini, membagi pikirannya. "Benih yang akan mengecat ulang benua."

"Tidak ada benih yang dapat mengecat negara putih, biru." Bendera keluarga kerajaan Tristain adalah lily putih pada latar belakang biru. "Ada kemungkinan bahwa kita akan kalah," gumam Mazarini. "Saya tidak berniat dikalahkan." "Jenderal De Poitiers adalah komandan hebat yang berani dan penuh kewaspadaan. Kemungkinan besar dia berhasil. " Henrietta tahu bahwa menyebutnya seorang komandan besar adalah sedikit pemaksaan, tapi tidak ada jenderal lain dengan bakat lebih darinya. Jenderal yang melampauinya hanya ada di buku-buku sejarah.

"Aku berfikir-fikir, mengapa sih kita harus berperang?" Gumam Mazarini, dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Mengapa Anda menanyakan hal semacam itu?" "Kita bisa saja memblokade Albion untuk membuat mereka kelaparan. Dengan perencanaan yang matang, ini bisa jadi ide yang sangat sukses. " "Kita akan menyerbu." Gumam Henrietta tanpa mengubah ekspresi wajahnya. "Jangan bilang begitu. Keberanian tak selalu diperlukan untuk menyelesaikannya sekali jalan dan selamanya. Yah, mungkin aku hanya bertambah tua. " Mazarini menepuk jenggotnya yang memutih . " Yang Mulia, jika kita akan kalah, apakah Anda akan menggunakan" Void "dalam perang ini?" Ini adalah masalah yang sangat rahasia untuk dibahas. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa Louise adalah pengguna Void. Henrietta, Kardinal ... dan beberapa jenderal kerajaan.

"Aku harusnya dibakar ... dengan senang hati, Aku akan dibakar sebagai bayaran untuk dosa-dosaku. " Gumam Henrietta dalam hati, sambil menatap kedalam kehampaan. "Tenang. Paduka tidak akan ke sana sendirian. Semoga tulang tua saya cukup baik untuk itu. " Henrietta mempercayakan pengetahuan tentang Void pada jenderal-jenderal hanya sebagai kartu truf. Setelah mendengar tentang Void Louise, pada awalnya Jenderal De Poitiers bahkan tidak mencoba untuk mempercayainya. Tapi hal itu tidak mustahil. Karena Void dianggap sebagai legenda, ia tidak bisa mempercayai keberadaannya.

Namun, setelah diingatkan tentang hasil perang di Tarbes, setelah melalui usaha nan gigij, sang jenderal mempercayainya.. Adanya elemen legendaris Void melipatgandakan keberaniannya dan ia menjanjikan Henrietta sebuah kemenangan cepat. Henrietta, untuk memastikan kemenangan dalam pertempuran pertama, memberinya izin untuk mengendalikan Void. Henrietta mendesah atas dosanya sendiri. Perang ... terhadap negara, rakyat. Ia tidak lebih dari melepaskan kesedihan pribadi pada mereka. Perang ini hanya sarana untuk menenangkan kemurkaan kekasih. Berapa banyak manusia yang saya kirim pergi untuk mati karena ini? Bahkan sahabat masa kecil dan terbaiknya pun ikut.

Dalam perang seperti ini, tiada menang atau kalah, ia tak bisa menghilangkan kejahatan seseorang, pikir Henrietta. Meskipun tahu hal ini, saya masih mengumbar patriotisme untuk pasukan yang dilepas berlayar, saya akan terbakar di neraka untuk ini. Setetes darah mengalir di pinggir bibirnya saat Henrietta menggigit mereka, sambil berteriak,

"Viva Tristain!"

Suara teriakan ratu bergema di angkasa. Para petugas berbaris di dek atas, menghormat Henrietta yang memandangi kepergian mereka, dan berteriak setelah ratu, "Viva Tristain! Viva Henrietta! " Teriakan ini, yang disertai dengan suara dari sisa 60.000 orang yang bergabung, meraung di angkasa. "Viva Tristain! Viva Henrietta! " Sorakan yang membelah dada hanya memekatkan kesadaran Henrietta akan dosanya...

Pada saat yang sama, di Akademi Sihir ... Untuk menggunakan Api demi tujuan damai, Colbert akhirnya mencapai "Kekuatan" itu. Kekuatan panas ... Artinya, kekuatan untuk mengubah panas, entah bagaimana, menjadi gerakan. Meskipun mekanisme berbasis uap telah dibuat untuk itu dan cukup memadai, itu tidak cukup bagi Colbert yang ingin meningkatkannya setara dengan "kekuatan" mesin Zero Fighter. Colbert terkonsentrasi pada analisis mesin ini.

Meski ia ingin merakit sesuatu yang menyerupainya dengan coba-coba ...Tak mungkin mempelajari bagaimana untuk merakit sebuah pembakaran internal mesin dnegan tingkat akurasi yang sama. Pertama-tama, teknologi metalurgi masih primitif di Halkeginia. Besi yang menyusun mesin itu tidak dapat diproduksi. Bahkan dengan mantra "Alkimia" kelas persegi pun masih akan sulit untuk membuat besi yang diproduksi secara canggih tersebut. Teknik sihir seseorang pasti akan bercampur dengan pengotor. Kedua, teknologi pengolahan. Untuk merakit sebuah mesin berkualitas tinggi, diperlukan pembuatan banyak bagian nan identik. Mengingat teknologi Halkeginia yang masih terbelakang, itu hampir mustahil.

Di Halkeginia, konsep barang yang sama sekali identik tak ada. Misalnya, di antara senjata sekalipun, yang kebanyakan terbuat dari barang kerajinan maju, tiada dua yang sepenuhnya sama. Peluru dan bentuk sebatang pistol tampak identik, namun secara rinci berbeda. Bahkan bagian-bagiannya tidak benar-benar cocok. Jikapun Colbert mencoba untuk membuat peluru senapan mesin Fighter Zero, ia tahu bahwa itu mustahil. Meskipun seseorang dapat membuat bingkai kuningan, ia memiliki rincian nan identik yang terlalu banyak untuk ditangani Alkimia. Meskipun sulit untuk membuat bingkai kuningan, produksi "bensin" cair adalah hal yang sama sekali berbeda.

Makanya Colbert bisa menyelesaikan "Kontainer Cairan Baru", mengerahkan teknologi untuk digunakan. Di depan laboratorium di Akademi Sihir, Colbert yang dengan susah payah selesai mendapatkan seluruh peralatan untuk Zero Fighter, dengan menghembuskan napas panjang, memandangi karya yang dikerjakannya sendirian. Selama setengah tahun, meskipun senjata baru telah selesai, dia masih ingin menemukan teknologi yang lebih indah, namun hasil penelitiannya terhenti di sana.

Saat melihat Saito yang muncul di depan laboratorium, Colbert merentangkan tangannya. "Ooh, Saito-kun, apa kau akanpergi?" Saito baru saja selesai bersiap untuk perjalanan nanti. Dia membawa kacamata, yang merupakan kenang-kenangan kakek Siesta di lehernya. Derflinger diikat di punggungnya dan sebuah kantong kulit menempel ke pinggang. Berbagai item disimpan di sana. "Ya," Saito mengangguk. "Baiklah. Apakah kau akan langsung ke kapal? Bisakah kau mendaratkan ini di kapal dengan aman? " Pagi ini, armada telah berlayar menuju Albion. Kapal yang seharusnya mengangkut Zero Fighter sudah berlayar dengan kapal-kapal lain dan tengah menunggu mereka di depan. Kapal itu adalah kapal perang khusus yang dibangun untuk membawa naga-naga angin, kini dia akan membawa Zero Fighter juga.

Kapal baru nan kuat, yang dimiliki Kelas Pengangkut Naga yang baru dibentuk, dinamakan Varsenda. Tidak hanya itu, Colbert, dengan menggunakan sihir Bumi, menempatkan bensin yang cukup untuk lima penerbangan dalam kapal. Jadi Saito hanya perlu membawa Louise dengannya di Zero Fighter dan mendarat di kapal itu. "Nah, dengan bawaan segini banyak ... tak mungkin semua benar-benar aman, kan? Kata Saito sambil berbalik. Louise belum muncul. "Karena buru-buru, saya tidak punya waktu untuk menjelaskan kepadamu bagaimana senjata baru bekerja." "Begitukah ..." Saito menemukan selonjong pipa besi tergantung di bawah sayap Zero Fighter. Untuk Apa sih bahwa tabung itu? Tapi, tiada waktu untuk penjelasan yang rinci sekarang.

Tapi sebelum kau pergi, terimalah ini, manual yang kutulis untukmu.” Colbert menyerahkan sebuah buku catatan kecil pada Saito. Walau Saito tidak bisa membacanya, Louise bisa. Aku akan membacanya nanti, pikirnya. "Terima kasih." Kemudian Colbert, mencari ragu-ragu apakah akan katakan atau tidak, membuka mulutnya. "Terus terang saja ..." "Eh?" "Sejujurnya, saya tidak ingin murid saya menaiki kendaraan yang digunakan untuk perang." Katanya getir. "Murid?" "Aah, bagaimana saya harus meletakkannya? Nah, meskipun kau bukan seorang bangsawan, saya masih menganggapmu sebagai salah satu muridku. Kau tidak keberatan, kan? " "Tidak, saya tidak keberatan soal..." Saito merasa malu.

"Bapak tidak ingin menggunakan api untuk membunuh. Bapak ... " Ucap Colbert dengan jelas. "Kenapa? Setiap orang mengatakan bahwa elemen Api adalah yang paling cocok untuk perang. OK, Aku tak terlalu tahu soal sihir. " "Itu benar ... Api adalah elemen penghancuran. Pengguna Api bernilai besar ... Namun, Bapak berpikir sebaliknya. Bapak berpikir bahwa menggunakan api hanya untuk penghancuran itu keterlaluan. " Mengingat kata-kata itu, Saito menunduk malu. "Oh ya, Ini mesin terbang yang disebut 'Phoenix' oleh tentara kerajaan, kan?" "Ya, ketika aku menyerang kapal-kapal perang dengannya di Tarbes, seseorang berkata, 'Ini adalah Phoenix legendaris!' ..." "Begitu ya! Phoenix Itu! " Teriak Colbert, senang. "Guru?" "Phoenix adalah makhluk legendaris. Phoenix ... Dewa Burung Api, simbol kehancuran ... dan simbol 'Kelahiran Kembali'. " "Kelahiran Kembali?" "Ini reinkarnasi." Saito bertanya-tanya mengapa Colbert tampak begitu senang. Colbert Kemudian memasuki dunianya sendiri. "Itu benar ... Kelahiran kembali ... memang ... itu sebuah simbol, kan? Benarkah? " Colbert lalu menyadari Saito yang mengamatinya dengan takjub. "Ah, aah! Maaf !" Dia membungkukkankepalanya. "Tidak, tak apa-apa. Aku sudah terbiasa. " Colbert memasang tampang serius. "Hei, Saito-kun ... ngomong-ngomong, itu ..." "Apa?" Pada saat itu, Louise muncul. "Akhirnya," gumam Saito. "Mau bagaimana lagi! Seorang gadis memiliki banyak hal untuk diurus! " "Kita akan pergi berperang. Persiapan seorang gadis macam apa yang harus diurus? " "Hmph!" Louise memalingkan muka, mengabaikan Saito, memanjat menaiki sayap dan masuk kokpit. Satu bulan telah berlalu sejak mereka melarikan diri dari keluarga Louise. Sejak itu, keadaannya seperti ini. Setelah Mengangkat kaca belakang pesawat yang tahan peluru, Louise duduk di kursi. "Yah, errr, guru, apa yang tadi baru saja kau katakan?" "Ti-tidak ... itu bukan apa-apa. Ya. " Saito menaiki Zero Fighter. Sihir Colbert lalu menghidupkan baling-baling, memulai jalannya mesin. Mungkin karena ini yang kedua kali, pengerjaannya dilakukan dengan tenang. Colbert membantu lagi, ia menciptakan sehembus angin yang kuat. Saito mengenakan kacamata dan melilitkan syal di lehernya. Colbert berteriak di sela-sela suara deru mesin. "Saito-kun! Nona Vallière! " Saito melambai. "Jangan mati! Jangan mati! Bahkan jika sudah tiada harapan! Bahkan jika kau akan disebut pengecut, jangan mati! Jangan pernah mati! Kembalilah dengan aman dan sehat! " Karena diredam deru mesin, suara itu tidak terdengar. Namun, kata-kata Colbert, entah bagaimana, tersampaikan. Meskipun ia tidak bisa mendengarkannya, kata-kata itu mencapai hatinya. "Ok!" Teriak Saito membuka throttle. Zero Fighter mulai bergeser dan sedikit demi sedikit mulai terangkat. Secara bertahap, penampakannya menyusut, sampai menghilang di langit. Meskipun Zero Fighter telah menghilang di langit, Colbert terus memandang dalam diam.

Setelah terbang selama dua jam, ada titik-titik kecil di awan. Ia tumbuh semakin besar saat didekati, sampai menjadi armada yang terkubur jauh di langit. Saito teringat lomba balon yang pernah dia tonton di televisi.

Dengan panjang bervariasi dari 50 hingga 100 meter, ratusan kapal telah mengantri, membuatnya tampak pemandangan megah dan indah untuk dilihat. "Luar biasa ..."

Seru Saito dengan suara penuh kekaguman. "Hei, Louise, lihat. Armadanya luar biasa besar! " "..."

Namun, Louise membuang muka, dan menggembungkan pipinya. Suasana hati Louise tidak membaik. Akhir-akhir ini, setelah kembali ke rumah, apakah dia selalu seperti ini.

Saito mencoba mencari tahu alasan di balik suasana hati buruk Louise. Setelah mengakui cintaku padanya, Louise tampak seakan dia menerimanya untuk sesaat.

Biasanya, pasangan diharapkan untuk lebih dekat setelah itu.

Tapi aku mengartikan hadiah Louise yang berupa "Sentuh satu tempat yang kau sukai," sebagai izin untuk menyentuhnya dimanapun,itulah yang membuat Louise marah. Dan setelah perkataan "buka kancing" Siesta, amarah Tuanku yang memiliki keinginan memonopoli yang sangat kuat semakin menyala-nyala.

Dari pandangan Louise, bermain mata dengan gadis lain sama dengan melayani dua tuan sekaligus - Saito salah paham besar disini. Sebenarnya, Louise hanya cemburu. Bermain-main dengan gadis lainnya setelah menyatakan cinta dan menciumnya adalah sesuatu yang tak bisadimaafkannya.

Dan, meskipun untuk sesaat, dia siap untuk menyerahkan kesuciannya untuk familiar ini, yang bahkan dalam pikirannya pun hal ini tak bisa dibenarkan. Hingga menikah, hal itu terlarang. Bahkan tiga bulan setelah menikah,hal itu terlarang. Termakan oleh tindakannya - itulah yang membuatnya sangat marah.

Karena Louise terus diam seperti itu, Saito akhirnya menyerah. Saat itu, mereka harus menemukan kapal perang untuk mendarat. Beberapa ksatria naga terbang mengangkasa dan mengitari Zero Fighter Saito.

Mereka melambaikan tangan; Saito balas melambai. Sepertinya mereka akan membimbing dia ke kapal yang dimaksud. Setelah Mengikuti jalannya para ksatria naga sambil menahan-nahan laju pesawat, Varsenda muncul di pandangan.

Dek kapal itu datar dan besar karena harus membawa ksatria naga. Tiang layar sekitar 6 meter, semuanya pasti terlihat seperti semut dari atas sana. Kapal ini tidak dilengkapi dengan meriam karena kapal ini memang dikhususukan untuk membawa para ksatria naga.

Ia adalah tempat yang sempurna untuk membawa Fighter Zero, atau mungkin harus dikatakan bahwa tidak mungkin bagi kapal lain untuk melakukan itu. Tapi meskipun dek Varsenda panjang dan lebar, panjang geladak masih terlalu pendek untuk pendaratan Zero Fighter . Bagaimana dia bisa mendarat di sana?

Derflinger bertanya dari belakang.. "Rekan, arahkan pesawat lebih dekat ke kapal. Sepertinya mereka akan menangkap kita. " Ada banyak penyihir yang terlihat di atas dek. Tali dibentangkan di atas dek. Para Tentara meraih pangkal setiap tali dan membuatnya tegak lurus dengan panjang dek. Dengan bantuan mantra elemen Angin dan tali di geladak, Zero Fighter diharapkan bisa mendarat. Agak kasar, pikirnya, tapi tiada cara lain. Tangan kanan Saito bergerak untuk melempar kait ke kapal.

Kait itu menyambungkan Zero Fighter dengan pembawanya, dan ikatannya dikencangkan. Colbert yang menyadari keberadaan kait itu kemungkinan besar telah menceritakannya pada awak Varsenda untuk membentangkan tali di atas geladak untuk membantu Zero Fighter mendarat.

Mereka mendekati Varsenda. Kait berikutnya dari kapal perang dilempar, mengikat sayap dan ekor. Flap diturunkan. Saito dengan hati-hati mendekati dari belakang ke arah kapal. Sementara itu, Louise tak sekalipun mengedipkan mata saat melihat adegan itu, dan berpikir dalam diam.

Tentu saja, memikirkan waktu di atas perahu saat itu. Ketika dia ditekan oleh Saito ... Bagaimana akhirnya, jika keluarganya maupun atau para pelayan tak menemukan mereka, pikir Louise.

"..." Hal ini membuat pipinya memerah merah tua. Dia tiba-tiba merasa marah pada Saito yang, terguncang dalam keamanan, sedang menangani pendaratan, dan mulai memukulinya. "A-apa yang kau lakukan?" "Mengapa kau memilih tempat itu?! Tempat itu! " Teriak Louise. "Tidak ada tempat lain untuk mendarat!" Dengan itu , mereka berdua benar-benar salah paham satu sama lain.


Begitu Saito dan Louise mendarat di Varsenda dan turun dari Zero Fighter, mereka disambut oleh petugas yang didampingi oleh pengawal. "Petugas geladak, Kuryuuzurei." "Kemana kita sekarang?" Meskipun ditanyai, petugas tersebut menuntun keduanya tanpa menjawab. Kemana dia membimbing mereka? Menurut instruksi Henrietta, hanya nama kapal perang dimana mereka harus mendarat yang ditulis, tidak ada yang lain. Dan petunjuk dari para petinggi selalu seperti ini. Memmerintah bawahan, mereka berpikir bahwa mereka sudah mengatakan semuanya. Bawahan para bangsawan pasti hidup panjang dan sulit, pikir Saito. Henrietta tampaknya bukan pengecualian.

Mereka begitu percaya diri, karena memang harus begitu. Melalui lorong geladak utama yang sempit inilah mereka diarahkan ke kabin pribadi dua orang. Meskipun sangat kecil, ia masih merupakan kamar pribadi. Dalam kabin ini, ada tempat tidur yang sangat kecil dan meja. Setelah Saito dan Louise ditempatkan barang bawaan mereka, mereka didesak oleh petugas untuk mengikutinya lagi.

Setelah berputar-putar melalui lorong-lorong sempit kapal, mereka akhirnya berhenti di depan sebuah pintu. Ketika petugas mengetuk, ada jawaban dari dalam. Petugas itu membuka pintu dan mempersilahkan Saito dan Louise masuk Mereka berdua disambut oleh jenderal-jenderal yang duduk dalam barisan. Pangkat Emas bersinar di bahu mereka. Mereka pasti merupakan komandan-komandan nan penting.

Sambil tercengang, Louise dan Saito duduk di kursi yang ditawarkan oleh para prajurit. Louise duduk di kursi, dan Saito duduk setelahnya. Jenderal di kursi paling atas membuka mulutnya.

"Selamat datang di Markas Komando Invasi Albion, Nona Void." Louise merasa gugup. Jenderal dengan jenggot ini terlihat berumur sekitar 40 tahun ... "Panglima Tertinggi De Poitiers." Dengan cepat,Sang jenderal mengenalkan rekan-rekannya. "Ini adalah Kepala Staf Wimpffen."

Seorang pria kecil dengan kerutan yang dalam yang duduk di sebelah kiri Jenderal tersebut mengangguk. "Ini adalah panglima tentara Germania, Marquis Handenburg." Jenderal berkumis stang dan berhelm baja mengangguk khidmat pada Louise. Ternyata, Kapal induk naga ini juga merupakan markas umum. Setelah itu, Louise diperkenalkan oleh Jenderal kepada staf dan jenderal-jenderal yang berkumpul di ruang konferensi. "Nah, Tuan-tuan. Ini adalah kartu truf Yang Mulia simpan, saya memperkenalkan kepada Anda, Sang pengguna 'Void'. "

Namun, tidak ada seorangpun di ruang konferensi mengangkat alis setelah kata-kata itu. Mereka hanya menatap curiga pada Louise dan familiarnya. "Dalam pertempuran Tarbes, dialah yang memukul mundur armada Albion." Hanya setelah De Poiters mengeluarkan kata-kata itu, barulah jenderal-jenderal menunjukkan minat mereka. Saito menowel Louise. "Apa?"

"... Apa tidak apa-apa dibukakan seperti itu?" "Jika tidak, mana mungkin kita bisa bekerja sama dengan tentara." Ini mungkin benar, namun ... meskipun Louise diperintahkan Henrietta untuk tetap diam, dia sendiri mengungkapkan hal itu dengan mudah, pikirnya. Meskipun Henrietta terus berkata bahwa Louise penting, entah bagaimana, tindakannya bertentangan. Pikiran soal ratu membuat Saito sedih.

Lalu ia teringat gemetar Henrietta waktu itu. Mustahil, pikirnya. Pokoknya, ia benar-benar yakin tentang dia. Para jenderal tersenyum Louise. Senyuman palsu. "Anda mungkin berpikir ini adalah markas yang buru-buru dipilih. Maaf , tapi itu salah. Kapal ini menjamin keamanan secara mutlak. Anda lihat, kapal perang khusus mengangkut naga ksatria dan tidak dilengkapi meriam. Adalah merepotkan jika musuh menyasar kami. "

"Ha, haah ... lalu mengapa kau membuat kapal perang semacam ini menjadi markas utama?" Seisi ruangan meledak tertawa saat Louise mempertanyakan dengan suara yang sangat lucu nan bingung. "Di kapal biasa tidak ada ruang untuk ruang peretemuan. Semuanya diisi dengan meriam. "

Memang. Untuk kapal yang mengendalikan tentara dalam jumlah besar, kemampuan untuk memproses informasi dengan cepat adalah lebih penting daripada kekuatan penyerangan. "Cukup obrolannya. Mari kita lanjutkan dengan dewan perang, "ucap seorang jenderal dari Germania. Senyum-senyum pun menghilang dari wajah jenderal.


Pertemuan Dewan perang itu berlangsung seru. Mendaratkan 60.000 tentara di Albion adalah masalah sekunder. Masalah utama adalah bagaimana menghadapi armada udara musuh yang kuat. Meskipun 10 kapal Albion dan Lexington hancur di pertempuran Tarbes, masih ada 40 kapal bersiaga. Meskipun Tristain dan Germania memiliki 60 kapal karena penyatuan armada dari kedua negara, kebingungan sudah diduga akan terjadi. Ketika memperhitungkan bahwa katanya armada Albion unggul dari armada yang kekuatannya 1,5 kali mereka, perbedaan potensial antara mereka terhapus.

Kedua, pemilihan titik pendaratan. Di benua Albion hanya ada dua tempat di mana tentara besar 60.000 tentara bisa mendarat sekaligus. Pangkalan udara Rosais Selatan di Ibukota Londinium, atau pelabuhan utara - Dartanes. Karena ukurannya, Rosais lebih baik, namun ... langsung mengarah kesana akan membuat armada besar langsung ditemukan dan akan memberikan musuh waktu untuk mempersiapkan pertahanan. "Mnyia-nyiakan tentara dalam serangan itu akan membuat penaklukan Londinium beresiko." Kepala Staf dengan tenang menganalisis kekuatan dan menginformasikan semua orang. Ini harus dirahasiakan. Jenis serangan apa yang cocok untuk membobol pertahanan musuh.

Pasukan sekutu membutuhkan serangan mendadak. 60.000 tentara ingin mendarat di Rosais tanpa menghadapi perlawanan musuh. Jadi mereka perlu menipu tentara musuh besar dan menarik perhatian mereka dari titik pendaratan di Rosais. Sederhananya, Persatuan tentara Tristain dan Germania yang 60.000 itu ... memerlukan strategi licik yang menipu sehingga musuh berpikir bahwa mereka akan mendarat di Dartanes. Itulah masalah kedua. "Bisakah kita mengharapkan kerjasama Nona Void di salah satu dari dua ini?" Tanya seorang Ningrat berlencana staf sambil memandangi Louise. "Bisakah kau menghancurkan armada Albion, seperti saat kita meledakkan Lexington di Tarbes?"

Saito memandangi Louise. Louise berbalik dan menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin ... Saya tidak memiliki simpanan kekuatan hati yang cukup untuk melantunkan ‘Explosion’ nan kuat . Saya tidak tahu berapa bulan atau tahun yang dibutuhkan. " Sang petugas staf menggelengkan kepala. "'Senjata'yang tidak bisa diandalkan tidak bisa disebut kartu truf kita." Kata-kata itu membuat Saito merespon. "Hei, Louise bukan senjata." "Apa? Ini bukan saatnya familiar berbicara. " Sebelum berubah menjadi keributan ... Jenderal De Poitiers menyela. "Kami akan mengambil alih armada. Mari kita serahkan tipuan itupada Nona Void. Dapatkah Anda melakukannya? " "Tipuan?"

"Kami mendiskusikan hal itu sebelumnya. Kami hanya harus meyakinkan musuh bahwa kami akan mendarat tidak di Rosais tetapi di Dartanes. Ini seharusnya hal sederhana bagi 'pengguna Void,' legendaris bukan? " Louise berpikir. Apakah mantra semacam itu ada.. Saito bergumam pelan dari belakang. "... Bukankah Derf mengatakan bahwa ia dapat dibaca saat waktu yang tepat datang?" Louise mengangguk. "Besok, aku akan mencari mantra yang dapat digunakan." Jenderal De Poitiers tersenyum penuh harapan. Dia kemudian mempersilahkan Louise dan Saito meninggalkan ruangan.


"Bagus," angguk Saito. "Orang-orang itu, kupikir mereka hanya melihatku hanya sebagai pembawa hadiah." Saito menepuk bahu Louise. "Apa itu para jenderal besar? Kalau begini sih, kita takkan memenangkan perang tahun ini. " Tapi, itu mungkin ide yang benar selama perang ini. Zeri Fighter ini lebih dari sekedar alat untuk naik kapal, Ia juga tak tergantikan.

 Saat tengah melamun dan berpikir, bahunya ditepuk  dari belakang.

Ketika ia berbalik, lima-enam ningrat tengah menatap tajam Saito. Mereka semua tampak masih remaja, belum dewasa. Mereka tampak seusia Saito. Mereka mengenakan topi kulit dibalut tunik biru. Seperti tentara, mereka mengenakan tongkat sihir mirip Rapier di pinggang mereka ... namun tampak jauh lebih pendek. "Hei, kau." Dipanggil seperti itu, Saito berbalik. "Apa?"

"Hentikan," gumam Louise pelan sambil menarik lengan bajunya. Anak laki-laki di tengah dengan garis rahang panjang sepertinya adalah pemimpin mereka. "Ayo." Hah? Dengan fikiran yang tiba-tiba memanas, Saito berjalan ke arah mereka sambil memegang Derflinger. Mereka memasuki dek atas tempat Zero Fighter ditempatkan. Semua bagian Zero Fighter diikat tali yang tersambung ke dek. Saito tak mengerti ini dan masih mencoba mencari tahu maksud mereka, Sehingga dia tersinggung dan menghunus Derflinger.

"Apa ini bernyawa?" Seorang laki-laki ningrat malu-malu bertanya sambil menunjuk Fighter Zero. "Jika tidak, maka apa itu sebenarnya. Jelaskan dong. " Satu lagi meminta penjelasan dengan tatapan serius. Saito terbelabak. "Tidak, itu tak bernyawa, namun ..." gumamnya. "Hore! Bukankah sudah kubilang? Aku menang! Semuanya serahkan satu Ecu! " Anak laki-laki paling gemuk berteriak riang. Semuanya cemberut dan dengan enggan mengeluarkan koin emas dari kantong mereka dan menyerahkannya pada anak itu. Melihat Louise dan Saito yang bermulut menganga , mereka lalu tersenyum canggung. "Apakah kalian terkejut? Maaf. "

"Ya." "Tidak, kami sedang taruhan. Soal itu. " Seorang anak ningrat menunjuk Zero Fighter. "Kami pikir itu hidup. Kami pikir itu seekor naga. " "Tidak ada tempat di mana naga semacam itu hidup!" "Mungkin ada! Dunia ini luas sekali! " Mereka mulai bertengkar lagi.

Melihat itu, Saito teringat kelas di kotanya. Selama istirahat, mereka juga melakukan obrolan-obrolan tak jelas yang sama untuk mengisi waktu ... "Ini adalah mesin terbang." Katanya, dan para anak laki-laki ningrat langsung tertarik dan mendengarkan Saito dengan seksama. Namun, mereka sepertinya tidak dapat memahami; obyek yang terbang di atas langit menggunakan tenaga selain sihir.

"Kami para ksatria naga." Ketika penjelasan Fighter Nol berakhir, anak-anak memandu Saito dan Louise ke tempat naga-naga di dalam dek. KorpsKsatria Naga telah menderita banyak kerugian dan hampir sepenuhnya musnah saat pertempuran di Tarbes, itu sebabnya ksatria naga yang magang dimasukkan ke dalam tentara sebagai ksatria beneran. "Tapi dalam keadaan normal, perlu satu tahun lebih pelatihan." Jelas anak gemuk sambil malu-malu tersenyum, dia yang memenangkan taruhan tadi. Dia mengatakan bahwa dia adalah seorang komandan dari Skuad kedua Ksatria Naga. Dia yang membimbing Zero Fighter Saito ke kapal perang. Semua naga di dalam adalah naga dewasa. Mereka terlihat dua kali lebih besar dari Sylphid milik Tabitha. Sayap besar mereka tampaknya akan diciptakan untuk kecepatan. "Pasti sangat sulit untuk menjadi seorang ksatria naga." "Benarkah?"

"Ya. Memiliki naga sebagai familiar tidak sesederhana itu. Tidak semua orang bisa melakukannya. Familiar naga sulit untuk disenangkan, mereka menyusahkan, mereka hanya akan membolehkan pengendara yang mereka akui untuk menaiki mereka. " "Apakah menjadi pengendara naga tidak hanya membutuhkan keterampilan tetapi juga kekuatan sihir? kepintaran juga? Untuk melihat lebih dalam, hal semacam itu, dan tidak pernah membiarkan kwaspadaannya turun? " Sepertinya anak-anak ksatria naga adalah para elit, dan memiliki kebanggaan sebagai pemilik yang cukup besar. "Bisakah saya menaikinya?" Tanya Saito, mereka mengangguk.

Saito mencoba mengangkanginya, tapi terlempar dengan cepat. Anak-anak tertawa, memegangi pinggang mereka. Karena semangat bertanding Saito yang kuat, ia mengambil tantangan itu lagi. Hasilnya sama. Bahkan seorang gadis kecil seperti Tabitha bisa naik naga dengan wajah dingin ... ini memalukan bagi Saito, jadi dia mengambil tantangan itu berkali-kali. Louise menyaksikan dari jauh. Saito dan Para ksatria naga bergaul dengan baik, dia membuat keributan dan berteriak seakan dia salah satu dari mereka. Anak-anak tampak senang, dan ia iri pada mereka untuk sesaat. Mengapa mereka bergaul dengan baik dan begitu cepat? Pikir Louise sambil merajuk. Maksudku, apa para naga memiliki apa yang tak dimiliki tuanmu? Ia melakukan itu denganku di perahu tempo hari. Namun sekarang dia bermain, berteriak dengan para ksatria naga?

Bukankah kita memiliki pertempuran di langit besok? Apakah tidak ada kemungkinan kita akan mati besok? Apakah ini caramu memutuskan bagaimana kau menghabiskan waktu? Pikir Louise sambil melototi Saito. Aku merasa tak aman dan takut, Aku ingin kau memelukku erat-erat Tapi aku takkan pernah mengatakannya keras-keras.

Dan ... dia mendesah. Operasi muslihat. Ini perlu dilakukan untuk meyakinkan musuh bahwa tentara gabungan yang 60.000 itu akan mendarat tidak di Rosais, tetapi di Dartanes ... Apa mantra yang sesuai? Dia tidak tahu sedikit pun. "Hei, kau. Kau. " Para ksatria Naga yang melihat Louise yang terlihat sedang menatap tajam ke arah mereka sambil iseng-iseng mengayunkan kakinya dan bersandar ke dinding, bertanya kepada Saito.

"Apakah dia tuanmu? Apakah tak apa-apa meninggalkannya sendirian? " "Uuh! Bahaya! Saito menjadi pucat. Louise ditinggal sendirian. Dia pasti akan memukul, menghajarnya dan mengeluh nanti. Namun, ia tak ingin terlihat begitu lemah di depan teman-teman barunya. Anak laki-laki adalah makhluk tak berpengalaman, dan seorang teman baru tak boleh menunjukkan kelemahan. Saito menunjukkan dirinya kuat. " Tidak apa-apa jika itu dia. Biarkan saja. " "Oooh,"

Tepuk tangan meledak. "Itu baru kamu. Anda menentang tuan Anda sedemikian beraninya! Kau bukan orang biasa. " Louise, yang marah pada sikap Saito, mendekat. "Apa katamu?" "Tidak, tidak ada ..." ketika ia menutup mulutnya, Louise menendangnya di antara 2 kaki. Dan begitu ia berbalik untuk kembali ke kamar mereka sambil menyeret Saito, komandan memanggil mereka berdua. "Apa rencana kalian malam ini?"

Karena alasan tertentu, pipi Louise memerah. "Tidak ada..." jawab Saito, Louise menendang perutnya. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita minum-minum malam ini sebagai perkenalan?" Tawarnya sambil berhati-hati. "Tak mungkin, jika kita menyelinap keluar dari kamar kami saat tengah malam, kami akan langsung ditemukan oleh petugas kapal yang berpatroli." Semuanya mulai khawatir. Mereka ingin melarikan diri dari kemarahan petugas kapal karena mabuk. Lagipula, Itu akan ketahuan besok.

Saito, tiba-tiba punya ide, dan menunjukkan jarinya dan berkata, "Bagaimana dengan membuat boneka jerami? Buat bundel jerami dan tempatkan mereka di tempat tidur. " "Ayo kita lakukan!" tawa para ksatria naga. Namun, Louise sendiri tidak tertawa. Dia menggigit kukunya, seolah-olah memikirkan sesuatu. "Ada yang salah?" Mereka bertanya.

"... Kau. Apa katamu tadi? " "Eh? erm ... Membuat boneka jerami? " "Itu benar. boneka jerami. Kita hanya perlu membuat 60.000 boneka jerami. "

"Hah? 60.000? Jumlah kita di sini tak sampai segitu. " "Pertama-tama, membuat gulungan jerami dalam jumlah besar adalah sulit, kan?" seorang ksatria naga bertanya dengan wajah serius. "Bundelan jerami? Gunakan sihir saja! " Dengan itu, Louise berlari keluar. "Apa, dia?"

Saito yang tercengang hanya bisa menyaksikan Louise pergi. Sekali lagi mereka tak memahami satu sama lain. Louise menerjang masuk ke dalam kamar pribadi yang diberikan kepada mereka, lalu membuka Buku Doa Sang Pendiri. Ia sejenak memejamkan mata dan menarik napas panjang sebelum membukanya lagi. Dengan pikiran yang terfokus penuh pada Buku Doa Sang Pendiri, ia dengan hati-hati meraihnya.

Satu halaman mulai bersinar ... Louise tersenyum. Di Akademi Sihir, di mana kelas baru saja berakhir, sekelompok pengendara muncul. Hari itu adalah sama dengan hari ketika Colbert memandangi kepergian Saito dan Louise. Para Musketeer Agnes masuk melalui pintu gerbang.

Gadis-gadis yang tinggal di sekolah dikejutkan dengan kemunculan pasukan yang menunggang kuda. Apa yang terjadi? mereka bertanya-tanya. Osman tua, Sang kepala sekolah, keluar untuk bertemu Agnes. "Selamat datang, Komandan Musketeer Agnes. Apa keperluanmu disini? " "Hanya melakukan pekerjaanku, terima kasih untuk dukungannya."

Osman tua bergumam dalam jenggotnya. Dalam hatinya, ia memiliki pikiran halus. Dia mungkin datang ke sini demi  mengambil murid perempuan yang tersisa untuk latihan militer?

Tadi malam, dia telah menerima sebuah laporan. Tampaknya, pemerintahan kerajaan Henrietta merekrut sebagian besar bangsawan untuk perang. Cara itu ternyata adalah - siswi juga direkrut sebagai petugas cadangan, jika para petugas termakan dalam perang Albion. Osman tua meragukan metode pemerintahan kerajaan. Itulah mengapa Osman tua tidak ambil bagian dalam upacara di La Rochelle, untuk berpamitan dengan pasukan.

Kehadiran siswi sekolah juga ia larang. Akibatnya, pemerintah Kerajaan memutuskan untuk melakukannya dengan caranya sendiri. "Meskipun perang ini tidak manusiawi?"

"Saat ini, kerajaan menyatakan perang ini sebagai “Perang habis-habisan." "Perang habis-habisan. Tiada nama yang masuk akal untuk menyebutnya. Perang yang mengambil perempuan dan gadis, hak seperti apa yang dimilikinya? " Agnes menatap Osman dengan mata dingin. "Lalu apa hak yang dimiliki perang di mana hanya ningrat dan tentara yang tewas?"

Osman tua kehilangan kata-kata. "Kematian adalah sama. Ia tak membedakan antara perempuan atau anak-anak. Tidak ada. " Agnes dengan penuh tekad menuju menara.

Pada saat itu, kelas telah berakhir kelas yang ditempati Kirche dan itu Montmorency. Karena guru pria pergi berperang, jumlah kelas menurun tajam ... "Namun, ada pengecualian." Gumam Kirche sambil memandangi seorang pria yang fokus penuh dalam mengajar. Itu Colbert.

Dia terus mengajar seperti biasa. Entah bagaimana wajah seorang murid gadis tidak tenang sama sekali. "Ehm, lihat. Karena suhu tinggi dari nyala api, warnanya jadi cerah. " Dia memanggang sebatang tongkat logam di api terbuka. Tongkat yang dipanaskan membengkok, dia terus menjelaskan, "Memang ada banyak logam yang tidak dapat dikerjakan jika api tidak cukup panas. Karena itu, ketika menggunakan 'Api', mengendalikan suhu api adalah hal dasar. "

Montmorency tiba-tiba mengangkat tangannya. "Apakah Anda memiliki pertanyaan, Nona Montmorency?" Montmorency berdiri. "Negara ini di tengah perang. Bagaimana ... Anda bisa mengajar kelas dengan seperti sikap riang semacam itu? " "Tinggalkan kekhawatiran Anda di sekolah ... Saya guru Anda, dan Anda adalah murid saya."

Colbert duduk, dan menjawab tanpa mengubah nada bicara. "Tapi ... semua teman sekelas ... bahkan guru, menghadapi perang." "Dan maksud Anda? Kita harus belajar lebih banyak, karena kini waktu perang. Untuk menggunakannya dalam perang, adalah perlu untuk belajar menggunakan 'Api' untuk menghancurkan. Belajar sekarang, niscaya Anda akan memiliki sesuatu untuk berbagi dengan anak-anak yang kembali dari perang. " Kata Colbert sambil melihat sekeliling kelas. "Anda hanya takut akan perang,"

Ucap Kirche dengan suara sedikit terulur. "Memang." Angguk Colbert. "Aku takut perang. Aku seorang pengecut. "

Dari leher para siswi keluar “hah” saking takjubnya. "Namun, saya tidak merasa bersalah." Ketika Colbert dengan jelas menegaskan hal itu, sekelompok orang dengan kasar menerobos masuk ke dalam kelas. Mereka adalah Agnes dkk.

Mereka mengenakan hemp rantai dan pedang panjang dengan pistol di pinggang mereka. Para siswi menjadi sedikit ribut ketika melihat para wanita yang masuk dengan pakaian semacam itu. "K-k-Kau.....A-Apa.... " Agnes, dengan sepenuhnya mengabaikan Colbert, memerintahkan para siswi. "Aku adalah musketeer Ratu. Aku Memerintahkan kalian semua atas nama Ratu untukvmenghentikan seluruh kelas mulai saat ini. Ganti pakaian dan berbarislah di lapangan. "

"Apa? MengHentikan kelas? Jangan bercanda. " mendengar kata-kata Colbert, Agnes berbalik, "Sudah cukup jaga anaknya ... Ini adalah perintah." Para Siswi mulai berdiri sambil menggerutu. Colbert memblokir jalanAgnes sambil panik. "Hei! hey!. Kelas belum selesai! " "Ini perintah langsung dari Ratu. Apa kau tidak dengar? " Ucap Agnes dengan suara yang tidak senang.

"Berdasarkan perintah Yang Mulia, saya mengajar sekarang. 15 menit lagi, waktu yang diberikan kepada saya oleh Yang Mulia untuk membuat siswa belajar. Ini tidak dapat dirubah oleh Anda. Kalian semua! Kembali ke kelas! Aku akan mengajar selama 15 menit lagi! Kalian dapat pergi bermain perang setelahnya! "

Agnes menghunus pedangnya dan mengarahkannya ke tenggorokan Colbert. "Perang permainan katamu. Apakah Kau akan melawan kami? Pak, ini bukan untuk diputuskan penyihir, jangan keterlaluan. " "T-tidak sama sekali ..."

Melihat pedang terarah ke leher, Colbert berkeringat dingin. "Apa Kau pengguna Api? Dari Mereka selalu tercium bau terbakar, bau busuk yang menyebar dari balik jubah. Guru, aku benci penyihir, khususnya orang-orang yang menggunakan Api ". "Huu ..." Kaki Colbert mulai gemetaran. Dia harus menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Dengar, Jangan menghalangi tugasku." Agnes melihat Colbert yang gemetaran seolah-olah sedang melihat sampah, dan berjalan menjauh, sambil menyarungkan pedangnya kembali. Para siswi, dengan cemoohan yang sama di wajah mereka, melewati Colbert. Ditinggal sendirian, Colbert membenamkan wajah di telapak tangannya ... dan melepas desahan nan dalam.