Zero no Tsukaima ~ Indonesian Version:Volume8 Bab1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1 : Akhir Perang tiap Pihak

“Bagaimana? Ini adalah penghargaan dari jiwa-jiwa bulu yang gugur.”

Guiche, yang sebangga merak, menunjukkan Medali Jiwa Rambut Putihnya pada teman-teman sekelasnya.

“Waah,” teman –teman sekelasnya mendesah

“Apa itu bukan rambut putih melainkan bulu-bulu?”

Komen seseorang, wajah Guiche memerah.

“Aah! Jangan bilang begitu! Itu Penghargaan Rambut putih!”

Guiche melnyapu sekilas sudut kelas. Ada Montmorency disana. Meski seluruh teman sekelasknya berkumpul disekitar Guiche, Montmorency malah menyenderkan sikutnya ke meja dan memandang keluar jendela, terlihat tak tertarik. Hey, lihat kesini, aku inigin kau mendengar ceritanya...Guiche merasa sakit sesaat.

“Baguslah...Guiche, kau menepalai pasukan yang menyerbu pertama kali ke kota Saxe-Gotha?”

“Jangan sebut itu,”

Guiche mengangguk bangga. Semua orang memuji teman sekelas mereka yang memiliki sukses militer yang hebat.

“Tak mungkin itu, Guiche. Jujur saja, sebelum ini kami menyangka kau hanya bajingan bermulut besar, tapi kini kami mengakui kesalahn kami sedalam-dalamnya!”

“Hebat!Guiche! Kau luar biasa!”

Guiche menyender ke belakang saat mendengarkannya. Lalu dia menyilangkan kakinya dan mengangkat satu jari, masih sebangga merak.

“Sekarang saya akan menceritakan tentang pertarungan tentara yang gagah berani melawan para orc.”

Aaah, terjadilah geger.

Guiche melirik Montmorency lagi. Dan mendesah sakit. Alasannya karena Montmorency masih membuang muka...mengapa dia melakukan itu...Guiche makin sedih. Dia lalu mengeraskan suaranya lebih keras dari yang diperlukan. ”Saat tembok runtuh, orc-orc datang dari dalam, susul-menyusul! Saat itu, aku dengan tenang mengomandoi bawahanku dari korps senpi. Platuon pertama! Isi! Arah! Tembak!”

Saat mengatakan “Tembak” Guiche mengankat dan menurunkan tongkatnya.

“Namun Musuh tak bergeming! Sihir diperlukan! Saya bangkit dan mulai memantra – Tangan Bumi!”

Karena kau tak disini, seorang guru menyelamatkan kami, dengan bayaran nyawanya. Jika saja aku lebih ahli dalam sihir air…” Montmorency mengejapkan mata, menginat waktu itu. Dia mulai menyembuhkan Colbert yangterluka oleh panah sihir, tapi meski sihir air digunakan…dia mencapai batas kekuatan hatinya dan pingsan.

Guiche perlahan menundukkan kepala.

Aku, aku akan belajar lebih banyak. Sebagai anggota keluarga Montmorency yang berdiskusi dengan roh air selama beberapa generasi…aku akan meminta tolong untuk berlatih lebih banyak. Jika penyembuhan airku lebih baik…aku mungkin saja menolong guru. Karena Colbert tak memiliki keluarga, Kirche yang memperhatikan mayatnya.

Karena Kirche pulang hingga kini, dia tak disini. Tak jelas apakah dia akan mengubut pengguna unsur api yang mirip di tanah Germania. Si gadis mungil dengan rambut biru pendek juga menghilang. “Terlebih lagi, bahkan anak itupun kehilangan orang pentingnya. Jadi tolonglah lebih perhatian. Aakah ini benar-benar waktunya bergembira? Bahkan kau seharusnya tak senang. Guiche teringat. Ada isu bahwa familiar Louise, Saito, bertarung sendirian melawan tentara Albion sehingga mereka bisa mundur dari Rosais .

Terguncang, Louise bertemu berkali-kali dengan para Jenderal, tapi meski dia membuat keributan, armada yang kabur takkan berbalik untuk si familiar. Terlebih lagi, para komandan kapal perang menertawakan saja isu tersebut. Mereka piker mustahil satu orangbisa menghentikan satu tentara. Kau takbisa menghentikan 70.000 prajurit sendirian. Seluruh orang di sekitar Louise terus mengatakan itu.

Dan bahkan bila kau berasumsi dia menghadang tentara 70.000 orang itu – taka da jalan dia masih hidup. Meski menyedihkan, dia harus menyerah… Namun Louise tak puas dengan pendapat seperti itu dan terus menolaknya. Begitu armada kembali, berita tentara Albion yang menyerah pada Gallia meningkatkan kebingungan ke titik tertinggi. Mereka berhenti khawatir soal isu pemuda yang mengehentikan tentara Albion, mengira itu hanya gigauan orang gila. Lagipula, selain Saito, ada banyak orang hilang dan tewas. Hasilnya setelah kembali ke Akademi Shir, Louise menjadi sangat depresi dan belm berbicara dengan siapapun.

Seakan-akan pikirannya entah dimana, dia menutup diri di kamar asrama dan tak kemana-mana. Takdir Saito juga bagian dari isu-isu dalam akademi. Bagaimanapun, kini Saito terkenal dalam akademi untuk dua hal: sebagai “familiar legendaris” dan yang “seharusnya diakui untuk segalanya”. Montmorency, yang juga mendengar isu-su tersebut, khawatir akan Louise yang menutup diri dan belum pernah meninggalkan kamar. “Setidaknya, aku ingin melipur laranya. Aku akan melakukan kunjungan pelipur untuk saat ini.”

“Kini kau mengatakannya. Montmorency, kau sangat perhatian.” “Aku tak benar-benar perhatian. Kau tahu, hingga kini, meski kita dalam perang…Meski ini adalah perang, Aku tak pernah bertarung dalam perang hingga kini…” “Ya.” “Aaku seperti ‘air’ dalam berbagai bentuk. Aku akan bertarung dengan caraku…aku hanya berharap aku lebih kuat.” Melalui jendela, Montmorency menegadah ke langit dan berucap.”

“Aku tak bisa membiarkan kesediahan ini ada. Aku takbisa menyembuhkan bila aku meratapi diri sendiri.”

Dan begitulah, perang antara Republik Suci Albion dan persekutuan Tristain-Germania berakhir dengan dentang lonceng Festival Advent.

Berkat pengorbanan Saito, seluruh kekuatan sekutu mundur dengan selamat, sementara armada Gallia meninggalkan persekutuan dan memasuki perang, meledakkan markas komando di Rosais bersama Cromwell, dan menyebabkan tentara Albion disana untuk menyerah.

Dengan perbedaan mencolok dalam jumlah dan Kaisar yang ditembaki, tentara Albion kehilangan hati untuk bertarung. Terlebih pemberontak Kekuatan Sekutu tersadar, seakan bangun dari meimpi panjang, dan melawan tentara Albion lagi. Karena seluruh kebingungan ini, tentara Albion menyerah tanpa perlawanan.

Tentara Gallia berdian di Rosais, menghentikan sebuah perang untuk saat ini demi bersih-bersih…

Karenanya, perang yang berlangsung delapan bulan berakhir dengan intervensi aktif Kerajaan Gallia.

Dua minggu telah berlalu sejak kejatuhan Republik Suci Albion.

Pada minggu ketiga tahun baru, bulan Yara, minggu Eolo, Kekuatan sekutu resmi dibubarkan dan petugas sementara dari siswa Akademi Sihir kembali ke sekolah, satu setelah satu.

Mereka yang memiliki pencapaian militer dan mereka yang tak kembali dengan bangga. Mereka bertarung dalam pertarungan yang keras, dan menyelesaikan tugas mereka meski tiada hasil militer yang hebat.

Meski siswa Akademi sihir, dengan beberapa erkecualian, diguanakan sebagai cadangan pasukan, Hampir tiada korban maupun pencapaian militer.

Karena itulah, siswa yang suskses secara militer menyeruak diantara yang lain dan keterkenalan mereka membumbung tinggi.

Jadi Guiche membanggakan pencapaian militernya juga…

Sore…

Diusir dari kamar Montmorency, Guiche yang muram, berjalan. Tak banyak orang yang berjalan disini, di Lapangan Dalam Vestri.

Bila kau memikirkannya...Disinilah Saito dan aku bertemu dan bertarung, pikirnya. Saat itu, Saito terus berdiri tak peduli betapa banyak luka dideritanya.

Hal berikutnya yang menangkap matanya adalah tempat mandi buatan Saito dan sebuah tenda dekat menara artileri, Saat dia diusir Louise, dia mendirikan tenda dan trus berdiam dan tidur disana untuk beberapa waktu. Guiche juga teringat bagaimana dia dan Saito minum-minum semalaman disana.

Itu Saito yang dibakar kedalam ingatannya…

Entah mengaoa, matanya berkaca-kaca. Guiche merasa sedih. Karena dia sedih, dia membuat begitu banyak suara di ruang kelas.

Saito, kecuali Louise, tiada yang percaya…bahwa dia bertarung melawan tentara Albion yang 70.000 dan menghentikannya. Tapi untuk seseorang yang berdiri meski dihajar Valkyrieku…ini mungkin tak mustahil sih.

Guiche menggosok bawah matanya.

“Meski hanya seorang jelata, kau adalah temanku.”

Menghapus airmatanya, dia menyadari seseorang bergerak dalam tenda.

“Saito…?” Namun, yang keluar adalah…

“Verdandi!”

Ia tikus tanah raksasa, familiar Guiche.

“Kemana saja kau…?”

Guiche membungkuk dan mulai menepuk familiar tersayangnya.

“Bagaimanapun jua, kau juga kehilangan?”Verdandi mengangguk dan mulai mengumpulkan tanah den

Tikus tanah raksasa itu menggosok hidungnya ke Guiche. Entah mengapa, mata bulatnya Nampak sedih.

“Begitu, jadi kau juga sedih…”

Guiche memeluk Verdandi sebentar,…lalu perlahan bangkit berdiri.

“Saito, kupikir kau seorang pahlawan. Karenanya, ada sesuatu yang harus kulakukan. Verdandi! Buat satu gundukan tanah yang besar!”

Verdandi mengangguk dan mulai membajak tanah dengan tenaga raksasa. Di hadapan Guiche segunung tanah muncul.

“Aku seorang pengguna unsur tanah. Karenanya aku akan mengirimkan salam untukmu dengan tanah ini. Aku akan membuat sebuah patung besar, sehingga kau akan dikenang.”

Guiche mengucapkan mantra pada tumpukan tanah tersebut. Lalu tanah tersebut menjadi liat. Memunculkan kedua tangannya Guiche mulai membuat sebuah patung.

“Saito orang yang hebat. Jadi dia berhak atas patung nan hebat setidaknya setinggi lima meter.

Karena kau tak bias menggunakan sihir…aku akan membuat patung ini dengan tangan telanjang juga. Itu hormatku pada Saito. Cara Bangsawan untuk menghormat. Bahagialah!”

Meski Guiche dan Montmorency berduka hati… yang paling berkabung adalah Louise.

Dalam kamarnya, Louise duduk di tempat tidur sambil memeluk lutut. Berpakaian seragam sekolah yang biasa, dia mengenakan topi aneh di kepala.

Itu adalah sweater yang dia berikan sebagai hadiah pada Saito. Ia terlihat mirip kepingan seni yang luar biasa. Meski tak peduli seberapa keras dia menarik, dia tak bias melalukan kepalanya dari lubang. Dia tetap merasa nyaman saat memakainya.

Di sebelah Louise adalah laptop Saito, satu-satu miliknya sendiri. Karena tiada asupan daya, layarnya kosong sempurna.

Louise menatap layar hitam computer. Dia teringat bagaimana, pada hari pertama Saito dating, dia menunjukkan layar itu padanya.

Ia indah.

Saat berpikir begitu, bagian belakang kelopak matanya memanas lagi.

Saito …menunjukkan beberapa pemandangan padaku. Meski aku tak mengerti, ia tetap indah dan pemandangan misterius itu memuatku merasa entah bagaimana, bergairah.

Satu demi satu, pikiran, tindakan, pemandangan…diputar uland dalam hatinya.

Louise melihat ke bawah ke liontin di lehernya. Airmata yang tertahan bergulir menuruni pipinya.

Saito…dia selalu melindungiku. Seperti liontin ini yang menggantung di leherku, dia selalu dekat, dia menjadi perisaiku.

Saat aku hampir diremukkan golem Fouquet. Saat aku hampir dibunuh Wardes. Saat aku menghadapi kapal perang raksasa. Saat Henrietta, yang dikelabui musuh dan melupakan dirinya, memantra Topan Air. Dan…saat aku diperintah menahan musuh hingga aku tewas… Saito, dengan pedang yang terhunus, berdiri di depanku. Gandalfr nan legendaris, tepat seperti namanya, menjadi perisaiku. Tapi apakah aku memperlakukan Saito dengan baik? Tidak, aku selalu seorang tolol yang mementingkan diri sendiri, keras kepala dan tak mudah dibahagiakan.

“Bodoh.”

Airmata menyala.

“Aku hanya memperhatikan diriku sendiri. Aku yang tak tahu terima kasih, egois dan tak luxu seharusnya ditinggal dan diabaikan.”

Louise tak berusaha menghapus airmata yang berjatuhan dan perlahan berbisik pada dirinya sendiri.

“Meski kau mengatakan mati tewas terhormat itu tak masuk akal…kau tak kembali puland bersamaku.”

Kalimat menyalahkan Saito kini berbalik kepadanya. Kata-katanya sendiri menjadi tombak yang mengorek luka dalam Hati Louise lebih dalam.

“Meski kau bilang kau mencintaiku...Kau meninggalkanku sendirian.”

Ucap Louise sambil menatap layar hitam itu.

Tanpamu, aku bahkan tak bisa tidur.”

Sambil memeluk lututnya, Louise terus menangis.

Fi ibukota Tristain, di ruang kerja Istana Kerajaan Tristainia, Henrietta dududk di sebuah kursi dengan wajah muram.

Sebagian tentara memberontak di Albion; kematian Jenderal De Poiters dan Marquis Handenburg, komandan tentara Germania; kekacauan sempurna tentara...dan permintaan mundur. Saat laporan datang dari Wimpffen, ketua staf umum, seluruhnya yang berada di istana kerajaan, termasuk Henrietta danMazarin bingung, Apa itu laporan palsu dari musuh? Mereka ragu. Mundur atau terus bertarung? Adalah Kardinal Mazarin yang memufakatkan konferensi.

“Ini adalha istana kerajaan dan bukan medan perang,” kata-katanya menutup mulut para menteri yang tak ingin mundur.

Namun...paa kahirnya, Mundur itu menjadi tak penting.

Armada Gallia yang muncul tiba-tiba dan memaksa tentara Albion menyerah. Setelah itu, tak lama tadi, Gallia mengirimkan utusan khusus ke Tristain, yang memberitahu mereka untuk menghadiri konferensi untuk memutuskan masa depan Albion.

Meski istana kerajaa Tristain senang dengan sikap Gallia, tiada perjanjian damai dengan Gallia.

Hari ini adalah hari dimana dua minggu telah berlalu sejak undangan kepada Henrietta untuk menhadiri konferensi yang dijadwalkan di Rosais.

Henrietta mengambil surat yang dikirimkan utusan Gallia ke tangannya.

“Pembelotan Halkegenia pada republikisme yang mengganngu telah dihentikan; Pemerintahan kerajaan Gallia merasa seluruh negara Halkeginia harus membangun hubungan yang lebih erat diantara kita mula sekarang...”

Dan pembukaan berlanjut.

Namun, meski kata-kata tertangkap mata, mereka kehilangan arti dalam kepalanya.

Hati Henrietta bagai gua. Lubang gelap, dingin nan dalam yang bisa membuat orang terjatuh. Bahkan bila kau melihat kedalam, kau tak bisa melihat ujungnya – lubang nan dalam.

Cromwell yang sangat dibencinya, tewas. Faksi ningrat Albion tertumpas.

Karenanya, mengapa tiada kepuasan?

“Mengapa?

Ucapnya kepada entah siapa.

“Faksi ningrat yang membunuh Wales sama tak ada lagi. Orang yang mencurangiku tewas...dan?”

Apa ada yang berubah?

Tiada yang berubah.

Henrietta mengubur wajah dalam tangannya. Dia tak bisa berbuat apa-apa soal perasaan yang berkecamuk dan meneggelamkannya bagai banjir.

Meski seseorang mengetuk pintu...Henrietta tak mampu menjawab. Pintu terbuka dan Karinal Mazarin masuk, Henrietta tetap duduk dibawah meja dengan wajah terkubur.

“Apa anda lelah?”

Ucap Mazarin.

Seakan melihat dia untuk pertama kali, Henrietta menengadah perlahan dan mengangguk.

Ya. Tapi tak apa-apa.”

“Bukankah kau seharusnya senang? Pertama-tama, perang berakhir. Meski seluruh tentara ambruk, meski kita menang berkat pertolongan tak terduga – kemenangan tetap kemenangan, Tak peduli berapa kali kita berterima kasih pada Gallia, itu takkan cukup.”

“Begitukah?” ucap Henrietta, menatap ruang kosong.

Mazarin yang mengkhawatirkan Henrietta, terus berbicara.

“Namun kita tak bisa lengah, Paduka. Kita tetap harus bersiap untuk perang, walau ada selaan tiba-tiba Gallia. Motif mereka belum jelas.”

“Begitukan?” jawab Henrietta dengan kosong.

Mazarin menempatkan setumpuk kertas di sebelah sikut Henrietta.

“...Dokumen?”

“Ya. Dengan sekuat tenaga, ini adalah dokumen-dokumen yang harus dilihat Paduka.”

“Apa ia bisa menunggu? Sekarang...”

Tidak, sekarang. Kau tak bisa tidak melihat seksama dokuemn-dokumen itu.”

“Aku meninggalkan semuanya padamu. Kardinal, kau lebih tahu. Aku tak harus mengkhawatirkan...”

“Lihat seksama mereka.:

Henrietta menggelengkan kepala.

“Aku minta maaf. Jujur saja, Aku sangat lelah.”

“Lihat seksama itu!”

Mazarin mengulangi kata-katanya dengan nada lebih kuat. Tak terbiasa dengan nyala dari lelaki kurus setngah baya itu, Henrietta mengambil satu dengan tangannya.

Dari atas ke bawah nama-nama ditulis.

Ap makna nama-nama ini?

“...Ini?”

Mazarin berkata dngan nada batu.

“itu daftar nama-nama yang tewas dalam misi selama perang.”

Henrietta tak bisa bicara.

“Ningrat, jelata, petugas, prajurit...tak peduli jabatan, seluruh nama terdaftar.”

“Oj...” ucap Henrietta, menutup wajahnya.

“Paduka, apa kau tahu mengapa mereka tewas?”

Henrietta, apa anda tahu mengapa mereka tewas?”

Henrietta menggelengkan kepala.

“...Aku tak tahu.”

“Kau tak tahu? Tidak, anda tahu. Mereka tewas demi nama Paduka dan Tanah Air.”

Henrietta menggantungkan kepalanya dalam-dalam.

Mazarin berbicara dengan nada sedingin es.

“Bagi beberapa menteri, ini hanyalah ‘diplomasi perang’, petugas dan para prajurit hanya angka dari untung dan rugi. Itu mungkin bukan sebuah kesalahan, tapi angka-angka itu memiliki keluarga, nyawa dan yang tercinta. Namun mereka semua memercayai sesuatu.”

Mazarin meletakkan jarinya di kertas.

“Sang Raja adalah yang memutuskan untuk memulai sebuah perang. Anda bisa mengirim petugas dan bawahan mereka untuk mati, tapi anda tak bisa melupakan mereka. Ini daftar nama yang harus kau hormati. Ini daftar nama yang harus anda lindungi.”

Henrietta mulai terisak.

Menangus bagaikan anak kecil, dia mengubur wajahnya ke kaki Mazarin.

“Berapa kali aku akan terbakar api neraka? Bilang padaku, Ratu yang berlumuran dosa di kaki ini, jubir Tuhan, Kardinal. Oh, aku jujur. Selama perang ini, hatiku disetir oleh dendam. Aku begitu terobsesi dan tak peduli aku harus menjual jiwaku pada setan demi dendam. Namun, meski kau menjual jkiwamu...tiada yang tersisa setelahnya. Bahkan sesal sekalipun. Hanya kekosongan. Kekosongan nan dalam tak berujung.

“...”

“A-aku tak menyadari betapa bodohnya aku. Aku dibutakan cinta, dan membawa kematian pada para penyihir, bahkan melepas mantra menakutkan pada seorang teman. Aku tak menyadarinya. Bahkan saat memulai perang yang meragukan, aku tak menyadarinya. Dan hanya saat balas dendam berakhir...aku menyadarinya. Aku sadari tiada yang berubah sama sekali.”

Ucap Henrietta, memohon ampun.

“Mohon bilang padaku. Apa..yang harus kulakukan. Jika kau memotong leherku, apakah kejahatanku menghilang?”

Mazarin mendorong Henrietta menjauh. Henrietta terlihat bagai anak kecil yang ketakutan.

“aku tak bisa menghakimi, Paduka. Anda juga tidak, Paduka. Itu hak istimewa Tuhan, dengan nama Pendiri. Bebannya mungkin berat, mungkin sulit, tapi jangan coba melemparnya. Tak peduli seberaa panjang malam tanpa tidur berlanjut, jangan lupakan mereka. Karena mereka tewas demi Paduka dan Negeri ini. Mungkin saja ia cuma Hiasan Kerajaan, tapi mereka mati demi Hiasan ini. Kematian dan kejahatan takkan menghilang. Kesedihan takkan sembuh. Ia akan diam duduk di belakang dan menawasi Paduka.

Hati Henrietta membatu nan dingin, mengabaikan gangguan apapun begitu dia membaca melalui daftar nama...dan mengucap. “Aku tak pernah...jadi seorang penguasa.” “Tiada Raja yang tak diduga.” Lalu Mazarin membungkuk dalam dan meninggalkan ruanga. Terhujam, Henrietta terdiam sesaat. Saat dia tak bergerak. Utusan malam, kedua bulan mulai bersinar dan menerangi ruangan...dengan susah-payah, Henrietta menegadah.

Melalui jendela Henrietta...dua bulan bersaudara menonton. Airmata mengering di pipi “Ya...tiada yang tersisa. Bahkan airmata pun tak keluar.” Setelah itu, Henrietta memanggil pelayan dan meminta kehadiaran Menteri Keuangan. Begitu Menkeu hadir, Henrietta dengan datar melapor. “kamar tidur ini....tidak, Istana kerajaan dari keluarga kerajaan, jual semua yang disini untuk uang.” “...hah?” “Semuanya, ya? Tinggalkan sejumlah kecil pakaian. Seluruh mebel, tempat tidur, meja dann meja dandan juga...” Kebingungan, Menkeu berkata, “Tempat tidur? Tapi dimana Paduka akan tidur?”

“Bawa setumpuk jerami. Itu bisa.” Mulut Menkeu terkunci. Seorang ratu yang tidur di lantai tak pernah terdengar. “Mohon berikan uang yang anda terima dari penjualan ke keluarga korban. Ningrat, jelata - tak peduli. Bagikan merata.”

“T-tapi...” Keuangan sedang dalam keadaan sulit? Aku tahu.” Henrietta melepaskan semua permatanya.

Mata Menkeu terbelabak saking terkejutnya begitu dia diserahkan permata satu demi satu. Saat meraih jari manisnya, Henrietta menyadari Ruby Angin, pemberian Wales. Dia memejamkan mata seasaat lalu melepas dan menyerahkannya ke Menkeu.

“Jual ini juga.” “Apa iya?” “Ya, ini juga...”

Dia menunjuk poteret Pendiri, yang dia mendoa padanya selama perang. Selama ratusan bahkan ribuan tahun, potret ini mengawasi keluarga Kerajaan.

‘Tapi, itu...” “Apa yang dibutuhkan sekarang oleh tanah air bukanlah doa pada Tuhan namun emas. Tak setuju?”

Menteri Keuangan menggelengkan kepalanya keras-keras. Tapi sebelum dia pergi, Henrietta memanggilnya untuk berhenti.

“Aku minta maaf. Kembalilah sebebntar.” “Puji Tuhan! Kau tersadar dari ini!”

Henrietta meraih sesuatu dari keranjang Menkeu. Itu adalah mahkota. Karena terburu-buru, mereka berdua tak menyadarinya.

“Tanpanya, tiada yang akan mengakui orang sebodoh aku ini sebagai seorang penguasa.”

Setelah Menkeu, yang lega dia tak dibutuhkan lagi, pergi, Henrietta mulai membaca melalui daftar nama. Tentu saja dia tak bisa mengingat semuanya.

Tapi dia ingin mengukir mereka dalam-dalam di pikirannya. Hidup dan mimpi mereka yang tersembunyi di balik nama-nama ini. Dia berpikir soal memohon pengampunan, namun berhenti.

Saat dia selesai membaca daftar tersebut, subuh mulai naik. Henrietta mengambil lembar terakhir di tangannya.

Dan dia menahan napas begitumelihat nama yang paling ujung. Nama yang terdengar tak biasa, yang dia dengar sebelumnya, tertulis disana.