Difference between revisions of "Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Diri"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(26 %)
(37 %)
Line 378: Line 378:
 
"Ya, ide bagus. Gue yakin akan mimpi indah malam ini."
 
"Ya, ide bagus. Gue yakin akan mimpi indah malam ini."
 
</div>
 
</div>
  +
  +
  +
  +
<div style="text-align: center;">◆</div>
  +
  +
  +
  +
Aku tidak suka hari Senin.
  +
  +
Memikirkan bahwa satu minggu yang baru baru saja dimulai membuatku sedih, dan aku hanya bisa menghitung hari sampai akhir pekan.
  +
  +
Aku memasuki kelas tepat ketika bel berbunyi dan mendengar suatu keributan.
  +
  +
Bangku Shinjou berada di depan bangkuku, jadi ketika aku duduk, aku menanyainya "Ada apa ini?"
  +
  +
"Maksudmu itu?" katanya sambil menunjuk ke segerombolan cewek. Keributan di kelas ini terlihat berpusat dari sana. "Kishitani mencetak satu gol dan membuat dua <i>assist</i> di pertandingan tim utama kemarin, tahu. Karena manajer timnya barusan memberi tahu mereka, sekarang para cewek jadi tergila-gila dengannya."
  +
  +
Seperti yang Shinjou katakan, Kishitani berdiri di tengah-tengah mereka, mendapat pujian dari seluruh penjuru dan tersipu-sipu sambil merendah.
  +
  +
Aku tidak pernah melihatnya bertingkah seperti itu sebelumnya. Meski Kishitani tidak dijauhi para cewek, dia juga jauh dari kata populer karena sifatnya yang kasar dan terlalu pede.
  +
  +
Aku memandangnya.
  +
  +
Tentu saja ia terlihat seperti biasanya, benar-benar seperti manusia normal. Dia sama sekali tidak terlihat seperti sebuah kopian yang diciptakan oleh ''Masquerade''. Tapi, mungkin saja yang ada di depanku sekarang adalah Kishitani yang asli.
  +
  +
"Sialan," gumam Shinjou dengan nada kesal. Dia juga anggota klub sepak bola.
  +
  +
"Terus? Kau bagaimana?"
  +
  +
"Satu gol dan satu <i>assist</i>."
  +
  +
"Hei, itu lumayan!"
  +
  +
"Itu pertandingan antara tim-tim kampung."
  +
  +
''Oh, gitu. Hidup ini memang kejam, ya.''
  +
  +
"Maaf, semuanya—! Tolong beri aku waktu sebentar!" seru ketua kelas dari podium guru. The chattering subsided dan perhatian para siswa tertuju padanya. "Jam pertama hari ini kita belajar sendiri. Gurunya absen karena sakit."
  +
  +
Setelah hening sejenak, suara sorakan menyebar di dalam ruang kelas.
  +
  +
"Jadi kupikir kita bisa mengganti tempat duduk sekarang, bukan sebelum pulang sekolah seperti yang dijadwalkan biasanya. Apa semuanya setuju dengan ini?"
  +
  +
''Oke, Paaaak!'' beberapa murid menanggapi seperti murid SD. Siswa-siswa yang tidak menjawab juga bukannya menentang rencana itu. Tentu saja, aku juga senang karena bisa langsung pulang setelah pelajaran berakhir.
  +
  +
"Baiklah, kalau begitu duduk di bangku kalian masing-masing."
  +
  +
Siswa-siswa duduk di bangkunya masing-masing.
  +
  +
"Kita akan menarik undian untuk menentukan tempat duduk yang baru. Seperti yang kuberitahu sebelumnya, siswa-siswa yang absen akan mendapat bangku yang tersisa. Tidak apa-apa?"
  +
  +
Ketua kelas jelas tidak sedang berpura-pura bodoh atau benar-benar mengharapkan jawaban dari seseorang yang tidak berada di sini; itu hanya a judgment by default.
  +
  +
Saat melihat bangku-bangku di sekitarku, aku menyadari satu bangku yang kosong. Sepertinya ada satu orang yang absen, tapi aku tidak bisa langsung ingat siapa orangnya.
  +
  +
"Hei, siapa yang tidak masuk?" tanyaku pada Shinjou.
  +
  +
"Hah? Daftar hadirnya lengkap, 'kan? Ah, maksudmu bangku itu?" dia mengangguk saat melihat bangku yang kutunjuk.
  +
  +
Kelihatannya, aku bukan satu-satunya yang penasaran tentang bangku kosong itu. Di sana sini, aku mendengar siswa-siswa lain menanyakan hal yang sama.
  +
  +
"Bangku itu milik anak bernama Sagara. Dia tidak pernah kelihatan, sih."
  +
  +
Kalau dipikir-pikir, aku ingat pernah mendengar nama itu saat awal semester. Aku lupa karena guru kami berhenti memanggil namanya saat mengecek daftar hadir siswa.
  +
  +
"Cuma aku saja atau meja itu memang kurang perlu?"
  +
  +
"Singkirkan sebelum kita menarik undian, dong!"
  +
  +
"Kenapa tidak kita taruh saja boneka di sana?"
  +
  +
Beberapa siswa mulai membuat lelucon, causing a bout of laughter.
  +
  +
Namun tawa mereka terpotong oleh sebuah raungan.
  +
  +
"Jaga mulut kalian!"
  +
  +
Seketika itu juga, suasana hening, dan semua pandangan tertuju pada orang yang baru saja berteriak.
  +
  +
Teriakan itu berasal dari Kishitani. Dia berdiri ketika berteriak, namun setelah menerima pandangan terkejut dari teman-teman sekelasnya, ia kembali duduk tanpa mengatakan apa-apa.
  +
  +
"Seharusnya kau tidak berhak bicara begitu!" <!--EEE is this the intended meaning?-grr--> desis Shinjou diam-diam sambil melotot pada Kishitani.
  +
  +
"Apa maksudmu?"
  +
  +
"Sagara berhenti datang ke sekolah gara-gara Kishitani, tahu?"
  +
  +
"Serius?"
  +
  +
"Ya. Ini cerita yang cukup terkenal di klub sepak bola kita! Kishitani memaksanya melakukan macam-macam kerjaan, seperti membelikannya minuman, dengan dalih itu akan membantu Sagara melatih tubuhnya. Dia juga digosipkan sudah melakukan hal-hal yang lebih kejam pada Sagara. Tapi kelihatannya pem-<i> bully </i> bisa melupakan korban mereka dalam waktu singkat, ya? Atau apa kesuksesannya membuatnya menjadi orang yang berbeda? Tetap saja dia menyebalkan."
  +
  +
''Orang yang berbeda, ya?''
  +
  +
Memang, aku memikirkan hal yang sama.
  +
  +
Tapi aku masih belum yakin apakah perubahan sifat Kishitani disebabkan oleh ''Masquerade''.
  +
  +
  +
"Kepribadian?"
  +
  +
Aku menanyai Towako-san lagi tentang ciri-ciri ''Masquerade'' saat sampai di Toko Barang Antik Tsukumodo.
  +
  +
Khususnya, aku bertanya apakah mungkin bagi kopiannya untuk memiliki sifat yang berbeda dengan aslinya.
  +
  +
Akhir-akhir ini, banyak yang mengatakan bahwa Kishitani seperti orang yang berbeda, dank arena ia berubah menjadi lebih baik, perubahan ini diterima dengan baik. Aku, di sisi lain, mencium sesuatu yang mencurigakan.
  +
  +
"Secara sederhana, kepribadiannya sama dengan aslinya."
  +
  +
"...Begitu..."
  +
  +
"Kelihatannya kau tidak yakin, ya?"
  +
  +
"Ah, iya."
  +
  +
"Tapi, itu tergantung apa yang kau maksud dengan 'kepribadian yang berubah' ."
  +
  +
"Apa maksudmu?"
  +
  +
"Kau tahu, kesanmu mengenai sifat orang lain bisa berubah-ubah dengan mudah," kata Towako-san, sambil mengganti posisi duduknya sebelum menjelaskan. "Kishitani, ya? Kita pakai dia sebagai contoh. Anggaplah dia mengabaikanmu when you try to talk to him karena dia sedang bete; apa yang akan kau pikirkan? Kau akan berpikir dia adalah orang yang antisosial?"
  +
  +
"Kemungkinan besar."
  +
  +
"Sekarang, bayangkan orang lain mencoba bicara padnya. Tetapi, kali ini Kishitani kebetulan sedang senang dan menanggapi orang tersebut sambil tersenyum. Setelah itu, apakah orang itu juga akan menganggap Kishitani antisosial?"
  +
  +
"Tidak, rasanya tidak."
  +
  +
"Pada akhirnya, kemampuan kita untuk menilai diri orang lain tidak terlalu baik : penilaian kita bisa naik turun tergantung waktu dan situasi—atau yang sudah kau pikirkan tentang pihak yang bersangkutan."
  +
  +
"Mungkin kau benar..."
  +
  +
"Nah, sekarang kita kembali ke ''Masquerade''. Seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, kepribadian kopian sama persis dengan aslinya. Meskipun orang lain bingung dengan tindak-tanduk si kopian, penggunanya pasti akan bersikap sama apabila ditempatkan pada keadaan dan kondisi mental yang sama. Mereka juga identik dalam hal kemampuan, jadi kopian tidak bisa melakukan apapun yang Kishitani tidak bisa lakukan, dan bisa melakukan apapun yang Kishitani bisa lakukan."
  +
  +
Peningkatan kemampuan sepak bolanya yang drastis tidak menggangguku. Kishitani mungkin bisa meningkatkan kemampuannya dengan sedikit usaha.
  +
  +
Yang membuatku heran adalah, Kishitani hampir pasti akan gagal untuk membuat usaha peningkatan.
  +
  +
Contohnya, saat aku mengerjakan tes remidi dengan dia.
  +
  +
Alasan mengapa sebagian orang lulus dalam ujian dan ada yang gagal, meskipun mengikuti pelajaran yang sama dan mengerjakan tes yang sama hanyalah karena perbedaan usaha. Setiap siswa telah dihadapkan pada soal yang sama ketika mengerjakan tes masuk SMA. Semua yang terjadi setelah itu adalah masalah usaha.
  +
  +
Orang-orang yang melakukan usaha akan naik peringkat, sementara yang malas akan turun peringkat.
  +
  +
Kishitani biasanya tetap berada di golongan kedua, dan jelas menghindari usaha ekstra.
  +
  +
"Kau pikir Kishitani sudah menjadi orang yang berubah, tapi apa kau benar-benar sudah cukup mengenalnya untuk bisa menilai dirinya ?"
  +
  +
"Tidak. Harus kuakui, aku tidak begitu mengenalnya."
  +
  +
"Kau bilang dia dipromosikan ke tim utama dan menjadi lebih pandai, tapi mungkin sesuatu membuatnya mengintrospeksi cara hidupnya dan mulai melakukan usaha? Siapa tahu, dia sedang jatuh cinta dan ingin pamer ke seorang cewek? Kadang-kadang, orang berubah karena alasan yang sederhana."
  +
  +
Yang Towako-san katakan masuk akal. Aku bisa setuju dengannya.
  +
  +
Aku tidak tahu apa yang membuatku menaruh kecurigaan yang besar terhadapnya—mungkin sebenarnya ada alasan mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
  +
  +
"Biar kukonfirmasi sekali lagi: ''Masquerade'' didesain untuk menciptakan kopian penggunanya yang bersifat dan berkemampuan sama?" tanyaku.
  +
  +
"Tepat."
  +
  +
"Semuanya sama persis, ya?"
  +
  +
"Benar. Kalau tidak, namanya bukan kopian."
  +
  +
Ya. Akan menjadi titik fatal jika kopian tidak identik.
  +
  +
Mungkin aku terlalu memikirkan Kishitani sikap aneh, sementara kegelisahanku terbukti tidak beralasan.
  +
  +
"Tetapi," Towako-san mendadak berkata dengan nada serius, " pengalaman kita memberikan pengaruh besar pada kepribadian kita. Jika penggunanya membiarkan kopian merasakan banyak pengalaman dan ceroboh saat menghubungkan ingatan, kepribadian mereka akan semakin berbeda, dan suatu saat mereka akan menjadi dua individu yang berbeda."
  +
  +
"—Kopian bukanlah sekedar boneka yang bisa kau kendalikan."
  +
  +
  +
<div style="text-align: center;">◆</div>
   
   

Revision as of 09:05, 12 October 2013

Pernahkah kalian berharap bisa hidup sebagai dua orang yang berbeda?

Aku tidak membicarakan tentang kembaran atau semacamnya. Aku bicara tentang "dirimu" yang kedua yang bisa menggantikanmu

Kalau dipikir-pikir, dulu pernah ada robot-kopian dalam sebuah acara anime yang terkenal[1] yang biasa kutonton waktu kecil.

Supaya dapat beraksi sebagai superhero misterius, sang tokoh utama menyuruh robot itu menggantikannya pergi ke SD. Robot itu memiliki beberapa kemampuan yang hebat : ia mempunyai keinginan sendiri, dapat bertindak dengan mandiri, dan dapat membagi memorinya dengan tokoh utama.

Kalau kalian punya akses untuk melakukan hal seperti itu, kalian bisa menyuruhnya mengerjakan PR kalian ketika kalian lelah, pergi ke sekolah saat kalian sedang tidak ingin, atau mendapatkan uang untukmu untuk kau hambur-hamburkan untuk apapun yang kau mau.

Aah, itu pasti praktis sekali.

Memang kedengarannya seperti kalian akan bertingkah seperti tukang suruh-suruh budak yag kejam, tapi bukan itu masalahnya. Lagipula, kalian berdua berbagi segalanya, dari yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan - pada akhir hari.

Mh? Simpan saja bagian yang tidak menyenangkan untuk dirimu sendiri, kata kalian?

...Itu lain masalahnya.

Yah, tidak ada gunanya berkhayal. Memiliki benda seperti itu terlalu bagus untuk jadi kenyataan, dan meski itu mungkin pun, pasti ada kelemahannya.


"Aku pulang."

"Yaa," jawab gue sambil mem-pause game yang sedang gue mainin. Gue menengok orang yang baru saja masuk kamar.

Seorang siswa SMA. Baru saja pulang sekolah, jadi masih memakai seragam dan menenteng ransel resmi dari sekolah. Potongan rambutnya yang pendek, kulitnya yang terbakar matahari, dan postur tubuhnya yang kuat menunjukkan kalau dia sering berolahraga.

Kalau ada orang ketiga di kamar ini, orang itu pasti akan kaget sekali.

Wajah siswa itu terlihat identik denganku. Bukan mirip, tapi sama persis.

Dan wajah kami bukan satu-satunya hal yang identik—ukuran-ukuran tubuh kami, potongan rambut, lebar bahu, berat badan, warna kulit, panjang kaki, ukuran sepatu—semuanya sama.

Kami bukan kembar identik. Bahkan yang disebut kembar “identik” pun bisa saja terlihat sangat mirip, dan sebenarnya tidak identik.

Tetapi, penampilan kami, sama persis dari berbagai sudut.

Dia seperti bayangan cermin gue, itu sebabnya gue menyebutnya "kopian."

"Sini tasnya."

Setelah menerima tas dari si kopian, gue menggeledahnya untuk mencari sebuah manga yang baru keluar hari ini. Gue sudah menyuruh dia membelikannya di perjalanan pulang. Saat mengeluarkan manga itu, tanpa sengaja gue merobek selembar kertas, yang kemudian jatuh ke lantai.

"Itu apa?"

"Hasil kuis yang kuceritakan kemarin."

"Lo cerita ke gue?"

Gue melihatnya. Di sebelah nama gue, Jirou Kishitani, tertera angka 100. Nilai yang sempurna.

"Sama sekali tidak buruk."

"Tes itu mencakup hal-hal yang kita pelajari kemarin. Terbayar, 'kan?"

"Lo yang belajar, sih."

Tapi gue yang terima hasilnya. Heh, kayaknya bisa, nih, gue berharap pada rapot tahun ini.

Gue melemparkan lembaran itu dan melemparkan diri ke kasur bersama manga baru gue. Kopian gue memungut lembaran itu dan duduk di tempat gue duduk tadi.

"Oh? Lo sudah main sampai jauh, ya?" katanya tiba-tiba saar melihat layar TV.

Gue bermain game seharian sementara kopian gue ke sekolah. Tentu saja perkembangan gamenya sudah lumayan jauh.

Karena kedua orang tua gue bekerja dari pagi-pagi buta sampai gelap malam, tidak ada yang bakal ngomelin gue lantaran bolos sekolah. Nggak, gue sekolah, kok, kayaknya. Atau mungkin, kopian gue yang berangkat. Tapi intinya sih, itu sama saja.

"Latih karakter game gue selama gue membaca manga ini, dong!"

Tsukumodo V2 93.jpg

"Aku tidak keberatan, tapi bagi dulu memori kita sebelum kau mulai membaca manga."

Kopian gue merujuk dirinya dengan "boku," tapi hanya saat dia bersama gue, tentunya. Gue juga sudah membuatnya mengubah gaya bicaranya sedikit. Bakalan terasa sangat canggung jika kami berbicara dengan cara yang persis sama. Setelah pengaturan-pengaturan kecil itu, aku tidak lagi merasa seperti berbicara sendiri dan bisa rileks.

Kopian gue naik ke atas kasur, menempatkan dirinya di atas tubuh gue dan menyentuhkan dahinya pada dahi gue.

Ini pemandangan yang bisa membuat orang salah paham. Tetapi kami tidak melakukan apapun yang perlu dipertanyakan; inilah cara untuk memasukkan ingatan si kopian ke dalam ingatan gue.

Sementara gue menenangkan diri, gue merasakan sesuatu mengalir ke dalam kepala gue. Itu adalah ingatan-ingatan yang dialami kopian pada hari itu.

Gue melihatnya berangkat ke sekolah dan mengikuti pelajaran. Dia mengejutkan semua orang dengan nilai sempurna yang diperolehnya pada ulangan singkat itu. Tebak saja—gue belum pernah mendapat satu pun nilai sempurna selama hidupku. Itu tidak mengherankan, karena gue tidak pernah mengerjakan PR-ku dengan benar, apalagi mempersiapkan diri dengan benar untuk berangkat sekolah. Lucu rasanya melihat reaksi-reaksi dari guru dan murid-murid lain.

Ada juga adegan yang mencolok dari aktivitas klub tempat gue bermain sepak bola. Gue melihatnya mencetak sebuah gol yang mengagumkan pada permainan latihan. Kipernya anak dari tim utama yang menyebalkan. Dia menggertakkan giginya. Menang. Setelah itu, si kopian pergi ke swalayan, membelikanku manga, dan akhirnya pulang.

"Hei, lo hebat juga." Gue harus memujinya setelah melihat nilai tes dan permainan sepak bolanya.

Si kopian bangkit dari tubuh gue sambil tersenyum kecut.

"Kamu memuji dirimu sendiri?"

"Oh, kayaknya iya. Lagian, lo itu gue, 'kan?"

Gue tidak bisa menjelaskan siapa gerangan dirinya.

Gue cuma bisa bilang, dia adalah kopian gue.

Kopian yang mempunyai penampilan dan kemampuan yang sama dengan gue. Yang melakukan hal-hal seperti berangkat ke sekolah, belajar, dan melatih karakter game untuk gue.

Diri gue jadi seperti ada dua orang.

Tapi meskipun dia adalah gue, dia juga agak bukan gue.

Dia adalah versi diri gue yang harus mematuhi setiap perintah yang gue ucapkan.

Betapa praktisnya alat yang gue dapatkan.

Gue bisa melakukan apa saja yang gue mau. Gue tidak pernah harus melakukan apapun yang membosankan atau menyebalkan lagi.

Semenjak gue mendapatkan alat ini, hidup gue sudah terpenuhi.

Adegan manga yang gue baca tidak terlalu lucu, tapi gue tidak bisa berhenti tertawa.

Oh, ya. Harus menyuruh dia mengerjakan PR hari ini.



"Nhaaa," aku menguap saat menonton pertandingan.

Skor satu sama dengan sisa waktu lima menit. Kutebak ini akan berakhir seri.

Pemain-pemain yang bersemangat berjuang keras untuk menguasai bola, sementara pemain-pemain yang tidak bersemangat sepertiku hanya menonton dari kejauhan.

Alasan singkat : Penjaskes hari ini adalah pertandingan sepak bola.

"Kurusu, bolanya!"

"Oke!"

Bola ditendang ke arahku. Aku hanya ingin mengopernya kepada seorang teman timku dan tidak mengurusinya lagi. Tetapi Kishitani, seorang pemain lawan, mencuri bola dariku dan menggiringnya memutariku ke arah gawang.

"Kurusu, lakukan yang benar, dong!"

Meski teman-teman setimku mengomplainku, aku tidak mengejarnya. Lawanku anggota klub sepak bola; walaupun aku berhasil menyusulnya, aku tidak akan bisa merebut kembali bola. Seperti mendukung keputusanku, Kishitani dengan mudah menghindari para pemain bertahan, satu demi satu.

"Wah, kekanak-kanakan sekali, sih, dia? Orang itu masuk klub sepak bola dan masih bermain 110% melawan kita..."

"Orang-orang yang dia kalahkan juga klub sepak bola," kata teman setimku Shinjou sambil mendekatiku.

Dia benar – para pemain yang melawan Kishitani juga anggota klub sepak bola yang sama, tetapi sama sekali gagal merebut bola.

"Hei, percaya nggak, dia itu sebenarnya memaksakan diri!"

"Beneran, tuh? Maksudku, lihat, mereka sudah tidak ada apa-apanya dibandingkan dia!"

"Dia dulunya seorang pemain tidak berguna yang cuma berlarian ke sisi lapangan lawan seperti orang bodoh, tapi akhir-akhir ini dia jadi hebat, lho! Dia berlatih seperti orang yang berbeda, dan terus melakukannya sendirian, bahkan setelah semuanya pulang. Mungkin sesuatu membuatnya mengubah dirinya? Aku dengar sekarang para senior dari tim jaringan pertama pun sulit mencuri bola darinya."

Saat pemain bertahan nampak hendak mengunggulinya dengan mengepungnya, ia dengan cekatan mengoper bola ke seorang teman timnya.

"Dia bahkan mulai melakukan beberapa permainan tim yang bagus – seperti yang barusan itu."

"Apa dia baru meningkat akhir-akhir ini?"

"Ya. Dia seperti orang yang benar-benar berbeda."

"Seperti orang yang berbeda, ya?" ucapku sembari memandang Kishitani, yang sedang berlari menuju gawang kami.

Tepat sebelum peluit berbunyi, Kishitani menerima sebuah operan dan menyarangkan bola ke gawang.

"Tim yang kalah bertugas beres-beres!" guru mengumumkan tepat setelah meniup peluit tanda pertandingan berakhir.


Sekembalinya di Toko Barang Antik Tsukumodo, Saki menyiapkan the hitam pada kami. Ia bertanya, "Jadi, apa kau menemukan sesuatu?"

"Ya, aku sudah lumayan menyempitkan daftar tersangkaku."

"Begitu, ya."

Setelah aku duduk di sebelah Saki, Towako-san masuk ke ruang tamu dan duduk di belakang konter, menungguku untuk bercerita.

Sekitar seminggu yang lalu, Towako-san mengatakan bahwa seseorang di sekolahku memiliki sebuah Relik.

Rupanya, ketika ia mampir di toko kolega kami, ia kebetulan melihat seorang pelanggan yang memakai seragam sekolahku. Pemilik toko kolega kami mengatakan pada Towako-san bahwa pelanggan itu baru saja membeli sebuah Relik.

Nama Relik itu adalah 'Masquerade'[2], dan seperti namanya, ia terlihat seperti sebuah topeng. Ketika topeng putih tanpa ekspresi itu dipasang di sebuah boneka atau manekin, topeng itu akan berubah menjadi kopian sempurna dari penggunanya. Tidak hanya akan memiliki penampilan yang sama, tetapi juga kemampuan dan sifat yang sama dengan penggunanya.

Penggunanya berisiko menjadi sangat malas sampai kemampuannya berinteraksi dengan masyarakat akan menghilang. Jika ia terus menggunakan Masquerade, dia mungkin akan membebankan sampai tugas-tugasnya yang paling kecil kepada kopiannya, yang akan mengantarkannya pada kehancuran.

Meski demikian, awalnya aku ingin mengabaikan insiden ini karena kupikir seseorang yang cuma menjadi malas bukanlah masalah yang serius, dan cukup setimpal kalau dirinya hancur akibat kemalasannya sendiri.

Tapi aku tidak bisa melepaskannya dari pikiranku, jadi akhirnya aku diam-diam menyelidiki teman-teman sekelasku.

Selain lencana sekolah, seragam kami juga memiliki lencana kelas yang menunjukkan tahun angkatan siswa dengan warna dan juga angka kelas. Towako-san belum sempat melihat dengan jelas wajah si pelanggan, tetapi ia melihat badge kelasnya. Kebetulan sama denganku.

Kalau mempertimbangkan kekuatan Masquerade, hampir tidak mungkin aku bisa membedakan kopian dengan aslinya – lagipula itu adalah kopian yang sempurna. Meskipun demikian, aku masih mengawasi sekecil apapun tindak-tanduk yang aneh.

Dan setelah menyelidiki kelasku selama satu minggu, aku menarik kesimpulan sebagai berikut:

Kishitani sangat mencurigakan.



"Aku pulang."

Gue dibangunkan oleh salam si kopian.

"Ah, sori. Apa aku membangunkanmu?"

"Nggak, ini keren. Lagian gue bisa tidur seharian."

Kelihatannya tidur siang gue jadi agak kelamaan.

Jelas saja. Akhir-akhir ini, gue pada dasarnya tidur di siang hari dan aktif di malam hari.

"Hari ini aku punya berita bagus untukmu!" kata kopianku sambil berjalan mendekatiku dengan senyuman di wajahnya.

"Apa? Beri tahu gue."

"Lebih baik kau lihat saja sendiri!"

Si Kopian menekankan keningnya ke kening gue dan memulai proses pembagian memori.

Hanya pemandangan sekolah yang biasa. Sekarang, gue sudah tidak menganggap menjawab setiap pertanyaan yang diajukan guru tanpa cela ataupun mendapat nilai tinggi dari kuis sebagai berita yang menarik lagi.

Apa sebenarnya yang membuat dia segitu senangnya? pikir gue tepat sebelum ingatan dari kegiatan klub memasuki pikiranku. Gue tetap tidak terkesan : baik tendangannya yang gesit, atau fakta bahwa dia berlatih dengan pemain-pemain jaringan pertama sudah tidak membuat gue kagum lagi.

Tiba-tiba, ia dipanggil pelatih kami.

"Kau main di barisan depan untuk pertandingan besok. Jangan buat gue kecewa!"

Meskipun kami masih di tengah-tengah proses pembagian ingatan, gue mendadak menarik kepala gue. Kopian gue menyunggingkan senyum kemenangan.

"Di barisan depan buat pertandingan besok?"

"Betul!"

Itu pertama kalinya gue dipilih untuk tim utama. Apalagi, karena sampai sekarang gue belum pernah masuk pertandingan sungguhan, mendadak ditambahkan ke starting lineup adalah loncatan yang sangat besar. Semua usaha gue rasanya jadi lunas terbayar.

"Oke, besok gue akan berangkat sekolah."

"Eh?" gumam kopian gue dengan mata melebar.

"Apa? Punya masalah?"

"T-Tidak, aku tidak... tapi apa kau tidak apa-apa?"

"Kalau lo baik-baik saja, kenapa gue nggak? Lagian kita sama, 'kan?"

"Ya, kita sama."

"Oke, karena sudah diputuskan, sekarang waktunya tidur." Gue kembali naik ke kasur dan menambahkan "Persiapkan diri lo untuk besok! Jangan sampai lo lupa tentang persiapanmu sehari-hari lo!”


"Hah...hah...hah..."

Nafas gue terengah-engah, dan hampir pingsan karena kekurangan oksigen. Tubuh gue gemetaran sampai tidak bisa berdiri tanpa mendukung lutut dengan kedua tangan.

"Ini dia!"

Gue menerima operan dari seorang pemain senior, tapi gue sudah tidak bisa melangkah lagi. Tepat ketika bola melewati garis gawang, peluit final ditiup. Entah bagaimana gue berhasil berjalan sempoyongan ke bangku.

"A-Air...," erangku sembari terduduk di tanah, mengulurkan tangan ke manajer tim kami.

Tetapi, si manajer sama sekali tidak melihat ke arah gue dan mengulurkan handuk kepada pemain-pemain lain.

"Hei, ngapain lo? Ambilin gue air!" suruhku pada seorang anggota tim cadangan angkatan gue yang berdiri di dekat gue. Dengan enggan dia memberikan sebotol air, yang kemudian gue rebut dari tangannya dan gue minum dengan rakus.

Ah, tadi itu sial sekali. Gue tidak mengira bermain di tim utama begitu sulit; haah, gue hampir saja mati! Aku sudah lama tidak olah raga. Yaah, gue akhir-akhir ini tidak sering, karena gue menyerahkan hal-hal semacam itu ke si Kopian.

Meski kopian gue bisa berbagi ingatannya dengan gue, ternyata dia tidak bisa melakukan hal yang sama dengan kemampuan fisik.

Gue sudah menunggu-nunggu pertandingan Sabtu ini…tapi babak pertama berakhir dengan nyaris tanpa pencapaian pada bagian gue.

"Ada apa, Kishitani?" tanya pelatih kami sambil berjalan mendekati gue. "Mana komitmenmu hari ni?"

"M-Maaf. Saya kurang tidur..."

Itu bukan bohong. Meski sudah berniat tidur setelah mendengar soal pertandingan dari si kopian, gue tidak bisa tidur karena sudah tidur terlalu lama di siang hari.

"Jadi begitu. Yah, mungkin kamu jadi sedikit terlalu gelisah dengan permainan ini karena ini pertandingan pertamamu yang sebenarnya."

"Maaf."

"Baiklah. Saya akan masukkan orang lain di babak kedua."

Gue lega: gue sudah tidak bisa melangkah lagi. Bermain di babak kedua bakalan terasa seperti neraka.

"Saya beri satu kesempatan lagi selama pertandingan besok. Pastikan kau cukup tidur malam ini, oke? Yah, mungkin kau akan tidur seperti mayat karena kau kelihatannya capek sekali."

Besok? Lu mau membuat gue melewati neraka itu lagi di hari Minggu...?

Gue merosot, dan tidak bisa membayangkan untuk bangkit.


"Gimana?" si kopian tiba-tiba bertanya setelah gue kembali.

"Parah banget! Sialan..."

Setelah melemparkan tas dengan susah payah, I slumped onto my bed.

"Kelihatannya tidak berjalan lancar, ya?"

"Ah, diam lu. Udah lu latih karakter gamenya?"

"Sudah! Sepanjang hari."

Gue melihat layar TV dan melihat mereka sudah naik kurang lebih tiga puluh level. Enak banget karakter-karakter PC itu. Mereka nggak kelelahan selama apapun mereka bertarung.

"...Si pelatih bilang besok dia juga mau menempatkan gue sebagai pemain lagi!"

"Oh, ya? Tapi itu berita yang bagus, 'kan?"

"Lo aja yang pergi."

"Hah? Aku boleh, nih?"

"Iya. Gue muak—sakit sekali. Lagian, rasanya besok otot-otot gue bakalan ngebunuh gue. Pokoknya, pastikan lo habisi mereka, oke? Sebaiknya lo tidak bermain payah!"

"Kemampuanku itu kemampuanmu."

Gue ingin bertanya apa dia bermasud menyindir, tapi gue sudah terlalu lelah.

Gue jatuh tertidur sambil mendengkur.

Sesaat gue berpikir untuk menyatukan ingatan kami, tetapi rasa kantuk yang kuat langsung membunuh ide itu.

"Hei, gimana?" gue segera bertanya setelah kopian gue pulang dari pertandingan.

Gue nggak bermaksud menirunya—gue cuma penasaran. Sepanjang hari ini gue belum bisa fokus memainkan video game.

"Tidak buruk, rasanya."

Si kopian membawa keningnya ke arah gue. Gue menyentuhkan kening gue dan mulai menerima ingatan-ingatan tentang pertandingan.

Sama seperti gue kemarin, dia ditempatkan di barisan depan sebagai penyerang. Pelatih menepuk punggungnya, mengingatkannya untuk bermain lebih baik kali ini. Meskipun itu hanyalah kenangan tentang sesuatu yang telah terjadi, gue merasa agak tegang.

Pertandingan dimulai.

Gue tidak ingin mengakui ini, namun tidak seperti gue, si kopian berlarian di lapangan secepat kilat. Tentu saja, itu membuat gue yakin kalau gue bisa melakukan sebaik itu seandainya tidak kelelahan.

Dia berlari dengan timing yang sempurna untuk menerima operan dari seorang senior. Sebelum bola mengenai garis offside, dia mengambil kendali bola dan berlari menuju gawang, melewati para pemain bertahan.

Tembak! teriak gue dalam hati.

Pikiran kami seperti tersambung; kopian gue menyarangkan bola ke gawang tepat ketika gue berujar. Bola itu menyerempet ujung-ujung jari kiper dan melayang lurus ke dalam gawang.

Senior-senior berlari menuju kopianku untuk memberi ‘gue’ selamat dan menepuk pundak ‘gue’. Sementara itu, pelatih mengangguk setuju.

Ini terasa hebat.

Akhirnya, kami memenangkan pertandingan dengan skor tiga-satu. Kopian gue benar-benar keren – dia mencetak satu gol dan membuat dua assist.

"Bagus!" puji gue setelah menyaksikan seluruh ingatannya. "'Tidak buruk? Ayolah! Itu tadi keren!"

"Seperti yang kubilang, itu pujian untuk diri sendiri!"

"Mungkin lu benar. Waah, kemarin gue mestinya bisa melakukan sama seperti itu kalau saja gue tidak kecapekan..."

"Tidak masalah — prestasiku itu prestasimu!"

Dia benar. Mungkin gue yang bermain kemarin dan kopian gue yang bermain hari ini. Tapi dari sudut pandang orang lain, dua-duanya adalah gue.

Karena kemampuan kami identik, gue pasti mampu membuat keberhasilan yang sama andaikan gue yang pergi hari ini. Yah, kalau gue benar-benar berangkat hari ini, gue pasti sudah sulit bergerak karena otot yang kaku, tapi itu tidak penting.

Lagipula, gue dan kopian gue berbagi ingatan kami; gue bisa dengan sempurna mengenang pertandingan hari itu. Gue bisa dengan mudah mengingat rasa bola itu saat gue mencetak gol.

Gue tiba-tiba merasa seperti baru saja menendang bola ke dalam gawang dan mengangkat kedua lenganku seperti kopianku waktu itu.

"Aduh-aaarghh!"

Otot-otot tubuh gue yang kaku seperti ditarik kembali menuju kenyataan. Mereka sebenarnya sudah jauh lebih baik; pagi tadi gue bahkan tidak bisa berdiri.

"Jangan memaksakan diri. Tidur dulu!" ujar kopian gue.

"Ya, ide bagus. Gue yakin akan mimpi indah malam ini."



Aku tidak suka hari Senin.

Memikirkan bahwa satu minggu yang baru baru saja dimulai membuatku sedih, dan aku hanya bisa menghitung hari sampai akhir pekan.

Aku memasuki kelas tepat ketika bel berbunyi dan mendengar suatu keributan.

Bangku Shinjou berada di depan bangkuku, jadi ketika aku duduk, aku menanyainya "Ada apa ini?"

"Maksudmu itu?" katanya sambil menunjuk ke segerombolan cewek. Keributan di kelas ini terlihat berpusat dari sana. "Kishitani mencetak satu gol dan membuat dua assist di pertandingan tim utama kemarin, tahu. Karena manajer timnya barusan memberi tahu mereka, sekarang para cewek jadi tergila-gila dengannya."

Seperti yang Shinjou katakan, Kishitani berdiri di tengah-tengah mereka, mendapat pujian dari seluruh penjuru dan tersipu-sipu sambil merendah.

Aku tidak pernah melihatnya bertingkah seperti itu sebelumnya. Meski Kishitani tidak dijauhi para cewek, dia juga jauh dari kata populer karena sifatnya yang kasar dan terlalu pede.

Aku memandangnya.

Tentu saja ia terlihat seperti biasanya, benar-benar seperti manusia normal. Dia sama sekali tidak terlihat seperti sebuah kopian yang diciptakan oleh Masquerade. Tapi, mungkin saja yang ada di depanku sekarang adalah Kishitani yang asli.

"Sialan," gumam Shinjou dengan nada kesal. Dia juga anggota klub sepak bola.

"Terus? Kau bagaimana?"

"Satu gol dan satu assist."

"Hei, itu lumayan!"

"Itu pertandingan antara tim-tim kampung."

Oh, gitu. Hidup ini memang kejam, ya.

"Maaf, semuanya—! Tolong beri aku waktu sebentar!" seru ketua kelas dari podium guru. The chattering subsided dan perhatian para siswa tertuju padanya. "Jam pertama hari ini kita belajar sendiri. Gurunya absen karena sakit."

Setelah hening sejenak, suara sorakan menyebar di dalam ruang kelas.

"Jadi kupikir kita bisa mengganti tempat duduk sekarang, bukan sebelum pulang sekolah seperti yang dijadwalkan biasanya. Apa semuanya setuju dengan ini?"

Oke, Paaaak! beberapa murid menanggapi seperti murid SD. Siswa-siswa yang tidak menjawab juga bukannya menentang rencana itu. Tentu saja, aku juga senang karena bisa langsung pulang setelah pelajaran berakhir.

"Baiklah, kalau begitu duduk di bangku kalian masing-masing."

Siswa-siswa duduk di bangkunya masing-masing.

"Kita akan menarik undian untuk menentukan tempat duduk yang baru. Seperti yang kuberitahu sebelumnya, siswa-siswa yang absen akan mendapat bangku yang tersisa. Tidak apa-apa?"

Ketua kelas jelas tidak sedang berpura-pura bodoh atau benar-benar mengharapkan jawaban dari seseorang yang tidak berada di sini; itu hanya a judgment by default.

Saat melihat bangku-bangku di sekitarku, aku menyadari satu bangku yang kosong. Sepertinya ada satu orang yang absen, tapi aku tidak bisa langsung ingat siapa orangnya.

"Hei, siapa yang tidak masuk?" tanyaku pada Shinjou.

"Hah? Daftar hadirnya lengkap, 'kan? Ah, maksudmu bangku itu?" dia mengangguk saat melihat bangku yang kutunjuk.

Kelihatannya, aku bukan satu-satunya yang penasaran tentang bangku kosong itu. Di sana sini, aku mendengar siswa-siswa lain menanyakan hal yang sama.

"Bangku itu milik anak bernama Sagara. Dia tidak pernah kelihatan, sih."

Kalau dipikir-pikir, aku ingat pernah mendengar nama itu saat awal semester. Aku lupa karena guru kami berhenti memanggil namanya saat mengecek daftar hadir siswa.

"Cuma aku saja atau meja itu memang kurang perlu?"

"Singkirkan sebelum kita menarik undian, dong!"

"Kenapa tidak kita taruh saja boneka di sana?"

Beberapa siswa mulai membuat lelucon, causing a bout of laughter.

Namun tawa mereka terpotong oleh sebuah raungan.

"Jaga mulut kalian!"

Seketika itu juga, suasana hening, dan semua pandangan tertuju pada orang yang baru saja berteriak.

Teriakan itu berasal dari Kishitani. Dia berdiri ketika berteriak, namun setelah menerima pandangan terkejut dari teman-teman sekelasnya, ia kembali duduk tanpa mengatakan apa-apa.

"Seharusnya kau tidak berhak bicara begitu!" desis Shinjou diam-diam sambil melotot pada Kishitani.

"Apa maksudmu?"

"Sagara berhenti datang ke sekolah gara-gara Kishitani, tahu?"

"Serius?"

"Ya. Ini cerita yang cukup terkenal di klub sepak bola kita! Kishitani memaksanya melakukan macam-macam kerjaan, seperti membelikannya minuman, dengan dalih itu akan membantu Sagara melatih tubuhnya. Dia juga digosipkan sudah melakukan hal-hal yang lebih kejam pada Sagara. Tapi kelihatannya pem- bully bisa melupakan korban mereka dalam waktu singkat, ya? Atau apa kesuksesannya membuatnya menjadi orang yang berbeda? Tetap saja dia menyebalkan."

Orang yang berbeda, ya?

Memang, aku memikirkan hal yang sama.

Tapi aku masih belum yakin apakah perubahan sifat Kishitani disebabkan oleh Masquerade.


"Kepribadian?"

Aku menanyai Towako-san lagi tentang ciri-ciri Masquerade saat sampai di Toko Barang Antik Tsukumodo.

Khususnya, aku bertanya apakah mungkin bagi kopiannya untuk memiliki sifat yang berbeda dengan aslinya.

Akhir-akhir ini, banyak yang mengatakan bahwa Kishitani seperti orang yang berbeda, dank arena ia berubah menjadi lebih baik, perubahan ini diterima dengan baik. Aku, di sisi lain, mencium sesuatu yang mencurigakan.

"Secara sederhana, kepribadiannya sama dengan aslinya."

"...Begitu..."

"Kelihatannya kau tidak yakin, ya?"

"Ah, iya."

"Tapi, itu tergantung apa yang kau maksud dengan 'kepribadian yang berubah' ."

"Apa maksudmu?"

"Kau tahu, kesanmu mengenai sifat orang lain bisa berubah-ubah dengan mudah," kata Towako-san, sambil mengganti posisi duduknya sebelum menjelaskan. "Kishitani, ya? Kita pakai dia sebagai contoh. Anggaplah dia mengabaikanmu when you try to talk to him karena dia sedang bete; apa yang akan kau pikirkan? Kau akan berpikir dia adalah orang yang antisosial?"

"Kemungkinan besar."

"Sekarang, bayangkan orang lain mencoba bicara padnya. Tetapi, kali ini Kishitani kebetulan sedang senang dan menanggapi orang tersebut sambil tersenyum. Setelah itu, apakah orang itu juga akan menganggap Kishitani antisosial?"

"Tidak, rasanya tidak."

"Pada akhirnya, kemampuan kita untuk menilai diri orang lain tidak terlalu baik : penilaian kita bisa naik turun tergantung waktu dan situasi—atau yang sudah kau pikirkan tentang pihak yang bersangkutan."

"Mungkin kau benar..."

"Nah, sekarang kita kembali ke Masquerade. Seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, kepribadian kopian sama persis dengan aslinya. Meskipun orang lain bingung dengan tindak-tanduk si kopian, penggunanya pasti akan bersikap sama apabila ditempatkan pada keadaan dan kondisi mental yang sama. Mereka juga identik dalam hal kemampuan, jadi kopian tidak bisa melakukan apapun yang Kishitani tidak bisa lakukan, dan bisa melakukan apapun yang Kishitani bisa lakukan."

Peningkatan kemampuan sepak bolanya yang drastis tidak menggangguku. Kishitani mungkin bisa meningkatkan kemampuannya dengan sedikit usaha.

Yang membuatku heran adalah, Kishitani hampir pasti akan gagal untuk membuat usaha peningkatan.

Contohnya, saat aku mengerjakan tes remidi dengan dia.

Alasan mengapa sebagian orang lulus dalam ujian dan ada yang gagal, meskipun mengikuti pelajaran yang sama dan mengerjakan tes yang sama hanyalah karena perbedaan usaha. Setiap siswa telah dihadapkan pada soal yang sama ketika mengerjakan tes masuk SMA. Semua yang terjadi setelah itu adalah masalah usaha.

Orang-orang yang melakukan usaha akan naik peringkat, sementara yang malas akan turun peringkat.

Kishitani biasanya tetap berada di golongan kedua, dan jelas menghindari usaha ekstra.

"Kau pikir Kishitani sudah menjadi orang yang berubah, tapi apa kau benar-benar sudah cukup mengenalnya untuk bisa menilai dirinya ?"

"Tidak. Harus kuakui, aku tidak begitu mengenalnya."

"Kau bilang dia dipromosikan ke tim utama dan menjadi lebih pandai, tapi mungkin sesuatu membuatnya mengintrospeksi cara hidupnya dan mulai melakukan usaha? Siapa tahu, dia sedang jatuh cinta dan ingin pamer ke seorang cewek? Kadang-kadang, orang berubah karena alasan yang sederhana."

Yang Towako-san katakan masuk akal. Aku bisa setuju dengannya.

Aku tidak tahu apa yang membuatku menaruh kecurigaan yang besar terhadapnya—mungkin sebenarnya ada alasan mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

"Biar kukonfirmasi sekali lagi: Masquerade didesain untuk menciptakan kopian penggunanya yang bersifat dan berkemampuan sama?" tanyaku.

"Tepat."

"Semuanya sama persis, ya?"

"Benar. Kalau tidak, namanya bukan kopian."

Ya. Akan menjadi titik fatal jika kopian tidak identik.

Mungkin aku terlalu memikirkan Kishitani sikap aneh, sementara kegelisahanku terbukti tidak beralasan.

"Tetapi," Towako-san mendadak berkata dengan nada serius, " pengalaman kita memberikan pengaruh besar pada kepribadian kita. Jika penggunanya membiarkan kopian merasakan banyak pengalaman dan ceroboh saat menghubungkan ingatan, kepribadian mereka akan semakin berbeda, dan suatu saat mereka akan menjadi dua individu yang berbeda."

"—Kopian bukanlah sekedar boneka yang bisa kau kendalikan."



Catatan Penerjemah

  1. anime P-Man karya Fujiko F. Fujio(http://id.wikipedia.org/wiki/P-Man). MC-nya yang bisa berubah menjadi superhero P-Man memang memiliki sebuah robot yang bisa berubah menjadi persis seperti sosok orang yang menekan tombol di hidungnya.
  2. artinya ‘Topeng’


Mundur ke Kesunyian Kembali ke Halaman Utama Maju ke Mata Kematian