Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Mata Kematian

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Mata anda sama fasihnya dengan lidah anda.

Istilah itu digunakan ketika sepasang mata bisa menjelaskan semuanya meskipun tidak ada kata yang terucap.

Bisa diartikan, biasanya tidak mudah melihat pikiran seseorang hanya dengan melihat matanya.

Sejauh ini, kata–kata sangat dibutuhkan untuk mengungkapkan sesuatu, dan kita tidak benar–benar bisa melihat pemikiran seseorang lewat mata mereka.

Terlebih lagi, tidak semua orang menunjukkan emosi mereka di matanya. Bahkan beberapa dari mereka tidak menunjukkannya di wajah mereka.

Rekan kerjaku juga seperti itu. Dia hanya memasang muka datar dan hampir tidak mungkin membedakan ketika ia sedang marah atau senang, dan ketika ada seseorang yang melihat ekspresi datarnya itu, mereka akan segera mundur. Tapi, walaupun ia tidak bisa menunjukkan senyum bersahabat, ia merasa bahwa ia tetap mampu memiliki pekerjaan untuk menghadapi pelanggan. Aku benar–benar tidak mengerti apa yang ada di pikirannya.

Walaupun aku merasa kalau aku sedikit bisa memahaminya sekarang.

Atau itu hanya aku saja?

Tidak hanya otakmu yang mengingat sesuatu.

Telingamu mengingat suara,

Hidungmu mengingat bau,

Kulitmu mengingat sentuhan,

Dan matamu mengingat peristiwa.

Apakah kau pernah merasa familiar dengan sesuatu yang terdengar, tercium, tersentuh atau terlihat bahkan sebelum kau menyadarinya?

Suatu teori mengatakan bahwa hal itu karena pikiran sadarmu mengingatnya, tapi aku berpikiran lain.

Aku percaya bahwa telinga kita, hidung kita, tangan kita dan mata kita jua mengingat sesuatu.

Diantara itu, aku benar–benar tertarik terhadap memori mata kita.

Kalau kau melihat apa yang sudah seseorang lihat selama hidupnya, maka kau juga mengetahui hidupnya.

Kehidupan orang lain itu menarik; tapi sekali kau mendengar cerita soal hidup mereka, tiba – tiba saja kehidupan itu menjadi membosankan.

Hal itu karena hal yang subjektif—kesombongan, melebih-lebihkan, bualan, kebohongan.

Tapi kehidupan itu sendiri yang menarik—tanpa kesombongan, hal yang dilebiih–lebihkan, bualan atau kebohongan.

Oleh karena itu aku melihatnya sendiri.

Aku melihat kehidupan orang lain melalui mata mereka.


Seperti yang kulakukan di hari lainnya, aku menempati kursi kosong di gerbong pertama.

Gerbong pertama memang cenderung memiliki kursi kosong lebih banyak daripada gerbong lainnya di kereta ini.

Aku bukannya rakus; lagipula aku hanya akan duduk selama berjam – jam ke depan. Bisa diartikan, hal ini adalah latihan rutin bagiku untuk duduk di gerbong ini.

Tapi sebelum menempati tempat duduk, aku akan melihat orang – orang di sekitarku.

Ada orang yang tidur, orang yang sedang membaca, orang yang sedang memakai make-up, orang yang sedang main game, dan banyak lagi. Tapi diantara mereka, ada seorang anak perempuan yang melihat ke arah luar jendela. Mungkin ia masih SMA.

Aku duduk berlawanan arah dengan gadis yang sedang melamun itu dan mulai memperhatikannya.

Ia memakai seragam dari sekolah swasta yang jaraknya tiga stasiun dari sini. Kalau ingatanku tidak menipuku, itu adalah sekolah khusus perempuan yang cukup terkenal. Tanda sekolah yang ada di kerahnya berwarna hijau, jadi dia adalah murid kelas tiga. Berdasarkan goresan yang ada di lututnya, antara ia termasuk salah satu anggota klub olahraga, atau ia mendapatkan goresan itu ketika sedang pelajaran olahraga.

Setelah menyelesaikan pemeriksaanku, aku membenarkan posisi kacamataku dan menatapnya—atau lebih tepatnya menatap matanya. Ia menyadari kegiatanku dan balas menatapku. Aku menajamkan mataku, mengeraskan tatapanku.

Matanya hilang fokus selama beberapa saat.

Tersambung. Aku tersenyum dalam hati.

Melihat orang lain artinya menyambungkan orang itu denganku. Sekali tersambung, aku akan masuk lebih dalam. Aku akan mendapatkan perasaan seperti tertarik ke dalam mata mereka ketika menatapnya. Tapi kenyataannya, itu kebalikannya : aku melemparkan diriku sendiri ke dalam mata itu berdasarkan kemauanku. Ke dalam apapun yang terdapat di dalamnya.

Aku bisa melihat; sesuatu—memori dari matanya.

Semua hal yang pernah ia lihat terlihat di mataku, seperti matanya sudah menjadi milikku.

Gambaran pertama memori matanya sudah terlihat.

Itu adalah sebuah jam alarm. Jarum jamnya menunjukkan pukul 09.00 pagi. Jangkauan penglihatannya melebar beberapa saat, kemudian membesar ke arah jam alarm itu lagi. Jam itu di set untuk berderin jam 07.00 pagi.

Oh, begitu. Jadi dia sedikit terlambat ke sekolah. Sepertinya ia ketiduran. Sepertinya, ia melihat kedua kalinya untuk memastikan jam alarm itu. Ia menatap jam alarm itu hampir 30 menit lamanya seperti tidak percaya, walaupun sebenarnya sebaiknya ia segera bersiap–siap.

Hmm, menurutku itu tidak ada gunanya.

Ketika ia pergi ke arah dapur dan mengabaikan sarapan yang sudah disiapkan untuknya, ibunya sudah tidak ada di rumah. Setelah itu aku hanya melihatnya menyiapkan keperluan sekolahnya secara terburu – buru. Awalnya.

Ia menjadi semakin pelan dan semakin pelan seiring berjalannya waktu, seperti merasa bahwa terburu – buru pun akan sia – sia saja.

Aku ingin melihat lebih dalam lagi, tapi gadis itu berdiri karena kereta sudah berhenti di stasiunnya. Sambungan kami terputus secara langsung. Kalau koneksinya selemah itu, aku tidak bisa melihat apa–apa lagi.

Yah, sedikit mengisi waktu luang sebelum bekerja tak ada salahnya, aku menghibur diriku sendiri.

Itu bukan hal yang benar–benar ingin aku lihat. Aku yakin ada hal–hal menarik lainnya yang tersembunyi di balik mata setiap orang.

Aku membiarkan rasa kecewaku keluar dengan desahan dan turun dari kereta.

Apakah aku akan menemukan penglihatan menarik hari ini?

Tiba – tiba, aku mendengar suara berhenti yang kerasa dari kereta lain.

Aku segera menoleh ke asal suara. Aku benar–benar yakin mendengar sesuatu tergencet. Beberapa detik kemudian, sebuah jeritan menggema di seluruh stasiun.

Ada sejumlah orang yang berkumpul di suatu titik di platform seberang, dan sejumlah lainnya yang pergi dari titik itu.

Aku berlari ke arah kumpulan itu.

"Seseorang jatuh ke rel kereta!"

"Hey, siapapun panggil penjaga stasiun!"

Rasa takut dan bingung bisa terasa dari mana saja. Para penjaga stasiun yang baru datang mulai membubarkan kerumunan orang dengan teriakan – teriakan agresif.

Aku menyeruak ke arah kerumunan itu juga.

Itu adalah sebuah kereta express yang tidak pernah terjadwal untuk berhenti di stasiun ini, dan hanya gerbong terakhir yang terhenti sementara gerbong lainnya sudah pergi. Sesuatu yang lengket bisa terlihat di arah rel yang dilewati gerbong itu.

"Jangan saling dorong! Mundur!"

Ketika aku mendengar teriakan penjaga stasiun itu, aku merasakan badanku goyah.

"Huh?"

Terdorong oleh kerumunan orang yang melihat kejadian ini, beberapa orang termasuk aku jatuh ke arah platform. Rasa sakit mulai menjalari tubuhku.

Karena aku terjatuh di atas seseorang, tidak ada luka serius yang kuterima.

Kerumunan itu menjadi semakin ramai, dan para penjaga stasiun mendorong mundur para penonton kecelakaan itu dari rel. “Apa kau baik – baik saja?” seseorang berteriak dari atas, sementara beberapa orang akhirnya berdiri dan beberapa masih berada di platform.

Aku menggeleng lemah. Bukan karena aku gegar otak, tapi karena kepalaku sedikit pening.

Aku menekan dahiku dengan tanganku, tapi segera saat aku menempelkan tanganku, aku menyentuh sesuatu yang lengket di wajahku.

Secara otomatis, aku memperhatikan tanganku.

Mereka terlihat merah-darah. Apakah dahiku terluka? Aku mencoba memikirkan jawabannya, tapi sesaat kemudian aku mengetahui jawabannya.

Tidak hanya darah yang ada di sekitarku, tapi juga semua benda berbentuk antara cairan atau padat menjijikkan yang belum pernah kulihat sebelumnya dalam hidupku.

Benar sekali. Korban tabrakan itu telah kududuki.

Aku segera mundur teratur ketakutan dan menyembunyikan tanganku.

Tapi, tangan itu menyentuh sesuatu.


"!"


Otakku secara langsung mencoba membayangkan benda apa itu.

Aku sudah cukup familiar dengan sentuhan ini. Aku membayangkan benda yang bergerak di antara jariku ini sebagai benda yang panjang dan hitam. Ada beberapa kemungkinan yang dapat kupikirkan untuk menjelaskan benda yang mengisi ruang antara jari – jariku ini, tapi aku tidak bisa memastikannya.

Aku memutar kepalaku dan berhati – hati melihat tanganku.

Bentuknya terlihat sangat berbeda jauh dengan apa yang biasa kulihat. Itu terlihat aneh sekali hingga aku bisa menyebutnya jelek kalau aku ditanya benda itu bagus atau jelek.

Tanganku menyentuh sesuatu yang biasa disebut "kepala".

Kepala itu kehilangan suatu bagian penting yang membuatnya terlihat sangat aneh bagiku. Itu bukan bagian di bawah leher, tentu saja.

Tidak ada bola mata di kepala itu.

"Apa kalian baik – baik saja?" seorang penjaga stasiun berteriak dari atas. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya dan mengangguk. "kami akan membawakan tangga untuk kalian, tunggu sebentar!"

Penjaga itu menyuruh rekannya untuk membawa tangga dan segera menolong orang – orang yang terjatuh ke rel. Untungnya, tidak ada yang terluka serius.

Aku bisa melihat sekumpulan orang mulai berlari ke arah kami dengan tangga dari jauh.

Aku melihat ke arah tanganku lagi.

Bukan karena rasa penasaranku lebih besar dari rasa takutku; aku hanya ingin memastikan apa yang sudah kulihat.

Semacam aliran mulai mengalir dari rongga matanya. Urat syaraf? Atau mungkin seutas darah?

Tapi tidak ada apa apa di ujung aliran itu. Apa yang seharusnya ada disitu adalah...

—terlihat.

Bola matanya terletak di belakang kepala.

"Apa kau baik – baik saja? Kau bisa berdiri? " tanya seorang penjaga stasiun saat ia melihatku dan ia segera menuruni tangga. Dia hampir sampai!

Aku menjadi gugup.

Ah, kenapa juga aku menjadi gugup?

Aku hanya perlu menunggu pertolongan dan menaiki tangga untuk kembali ke platform. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meskipun begitu, aku tidak ingin penjaga stasiun itu untuk datang dulu.

Aku belum memutuskan.

Aku butuh lebih banyak waktu.

Tapi ia hampir sampai. Sekarang ketika ia tidak melihat adalah satu – satunya kesempatanku.

Ketiak ia sudah disini, tidak ada lagi kesempatan.

Tapi indera perasa dan hati nuraniku membuatku ragu.

Beberapa langkah lagi dan penjaga stasiun itu berhasil menuruni tangga dan mendatangiku.

Aku tidak akan pernah mendapatkan kesempatan ini untuk kedua kalinya; aku akan menyesalinya seumur hidup kalau aku melepaskan kesempatan ini.

Tidak ada yang memperhatikanku.

Tidak ada yang melihatku.

Dan tentu saja tidak ada yang peduli kalau benda itu menghilang.

Aku mengulurkan tanganku dan mengambilnya.

Dan kemudian aku memasukkan bola mata itu ke dalam sakuku—


"Mm...," aku , Tokiya Kurusu, berkomat – kamit sambil memperhatikan secarik kertas yang ada di tanganku dan melihat sekeliling.

Biasanya aku memang merawat Toko Barang Antik Tsukumodo ini, tapi kemudian aku mendapatkan panggilan telepon dari pemiliknya, Towako-san dan Saki, rekan kerjaku, untuk membawakan mereka sesuatu.

Dan aku diharuskan untuk mengirim barang – barang titipan mereka ke sebuah taman hiburan.

Dengan tiket masuk seharga 5000 yen[1] , tentu saja aku tidak pernah masuk ke taman hiburan itu, tapi sekarang aku bisa memasukinya dengan freepass sebagai anggota staff.

Di dalamnya, terdapat beberapa wahana seperti di taman – taman hiburan lainnya, serta sejumlah keluarga dan sekumpulan anak sekolah yang sangat menikmati Jumat sore mereka disini.

Sambil mengabaikan suara – suara itu, aku segera menuju ke tempat yang tertulis di memo.

Tak butuh waktu lama, sebuah gedung dengan aura sedikit menyeramkan dapat terlihat. Aku menuju ke arah pintu yang didesain agar terkesan misterius bertuliskan “Rumah Ramalan” dan memasukinya. Penerangan di dalamnya dibuat agak redup, dan itu membuatku kehilangan arah. Setelah mataku bisa berakomodasi dan beradaptasi dengan kegelapan, aku menyadari ada beberapa ruangan berbeda disini.

Di depan setiap pintu, ada sebuah tanda yang menunjukkan ramalan yang ada di dalam ruangan itu. Selain ramalan umum seperti “Bola Kristal” atau “Tarot”, ada juga yang aneh seperti “Cobra & Mongoose” dan “Ramalan Nomor Handphone”.

Diantara itu semua, ada juga nama aneh yang bertuliskan “Ramalan Relik”.

"Selamat Datang!"

Aku memasuki ruangan itu dan langsung mendapat sambutan dari Saki yang menggunakan jubah serta tudung hitam. Ia juga memegang sapu. Ia tetap memperlakukanku selayaknya pelanggan karena tidak bisa mengenalku dari balik tudung kepalanya itu.

Tsukumodo V2 168.jpg

"Ini adalah Rumah Relik. Kami akan melihat keberuntunganmu dan..."

"Hoohohoho! Abaikan rasa takutmu, wahai jiwa yang tersesat! Saudaramu ini, sang penyihir senior kuat, akan menyelesaikan semua... oh, apakah itu kau, Tokiya?"

Towako-san mendadak menghentikan sambutannya setelah menyadari bahwa yang masuk hanya aku. Pakaiannya sedikit memperlihatkan bahwa dirinya adalah “Bondage Mistress”. Kalau ia membawa cambuk saat ini, pasti ia sudah bisa dikategorikan sebagai “Bondage Mistress”. Tidak seperti biasanya, rambutnya juga diikat.

Saki, juga, akhirnya menyadari bahwa itu adalah aku dan melepas tudung kepalanya. Dia memakai ikat kepala berbentuk telinga kucing, dan jubah yang ia pakai juga berekor di daerah pantatnya.

"Ada apa dengan kostum itu?"

"Aku ini kucing hitam!"

"...dan, kau benar – benar tidak apa – apa soal itu?"

"Ya."

"Mengejutkan."

"Kenapa? Lagipula, ini hitam."

"...aku paham. Yeah, bagus sekali."

Saki memiliki ciri karakter yang tidak dapat dipahami khususnya soal warna hitm dan tidak peduli hal lain selama benda itu hitam. Dan sepertinya, tidak ada yang paham itu sejak awal.

"Hmm, kutebak kalian berdua bermaksud untuk menjadi seorang penyihir dan piaraannya, seekor kucing hitam yang dapat berubah wujud menjadi manusia, begitu?” aku bertanya.

"Apa yang kau bicarakan?" Saki berkata, sambil memasang sebuah wajah aneh—walaupun baginya hal ini termasuk normal—dalam memperlihatkan keterkejutan dengan tatapan datar seperti orang mati.

"Huh? Bukan ya?"

"Kenapa kau hanya berpikir soal “Kucing Keberuntungan” [2] kalau menyangkut hubungan antara kucing dan perdagangan? Rencana sempurna ini tidak hanya akan mengimprovisasi servis pelanggan, ini juga akan menarik pelanggan! ...Betapa cerobohnya aku. Kalau saja setiap hari aku berpakaian seperti ini, Tsukumodo juga akan ramai."

"Mana mungkin!"

Lagipula, kau juga tidak punya pelanggan sama sekali disini!

"Jadi? Bisakah penyihir hebat disini menyelesaikan masalahku?"

"Hey, itu semua hanya untuk menambah suasana, mendukung suasananya! Yang lebih penting lagi, apa kau membawa semuanya? " tanya Towako-san.

"Uh-huh."

Aku membawa sejumlah besar Relik kemari. Tidak perlu dikatakan lagi, Relik – relik palsu yang ada di rak kami.

"Fantastis! Kau tahu, suasana disini masih belum mendukung tanpa mereka."

Seperti yang dikatakannya, hanya ada beberapa Relik seperti jam duduk kecil dan piring perak di atas meja, selain itu, hanya ada penerangan redup, dan itu membuat kesan bahwa ruangan ini terlalu kosong.

"Dan bagaimana bisnis bisa berjalan disini?" aku bertanya, dan itu berhasil membuat muka Towako-san berubah. Yah, sudah bisa kuduga, sejak ia menyuruhku untuk membawa sesuatu untuk mendukung suasana disini.

Baiklah kalau begitu. Alasan mengapa dua orang ini meninggalkan Toko Barang Antik Tsukumodo dan bekerja di tempat seperti ini tidak ada hubungannya dengan mencoba menimbulkan kemarahan dari salah satu pegawai paruh waktunya—walaupun itu juga tidak sepenuhnya salah. Seorang member staff dari taman hiburan ini sedang mencari pengganti peramal yang sakit dan melewati Toko Barang Antik Tsukumodo, merasa tertarik terhadap suasana toko, dan bertanya apakah kami bisa menggantikannya untuk sementara.

Tertarik karena bayarannya, dua orang ini setuju untuk bekerja disini selama seminggu. Akan tetapi bayarannya bukan berdasar waktu atau sejumlah angka yang sudah ditentukan, tapi berdasarkan jumlah barang yang terjual. Oleh karena itu, ketika dia menyadari bahwa sebagian dari pendapatannya akan langsung masuk ke dompetnya, Towako-san langsung berusaha keras. Ujung-ujungnya duit.

Dia bahkan juga secara diam – diam menuliskan “Toko Barang Antik Tsukumodo” di kartu pengunjung yang didistribusikan disini.

"Omong – omong, bagaimana soal tokonya? Apakah akhirnya kau bisa mengurusnya sendiri? "

"Yah, pertanyaan yang bagus sekali."

Kalau itu adalah toko yang ramai, tidak akan ada tiga pegawai yang bisa dengan santai berbicara disini.

"aku akan mengurangi gajimu kalau kau menjual kurang dari 10000 yen per hari, paham?"

"Kita bahkan tidak pernah menjual sebanyak itu!"

"Diamlah. Aku tidak ingin pendapatan tambahan lebih banyak daripada pendapatan utama."

"Kau juga tidak menjual banyak ‘kan disini?"

"Hmph! Tunggu saja hingga seminggu. Dan kau tidak akan mendapatkan apapun dari uang ekstra disini!"

"Iya, iya. Aku bahkan tidak pernah mengharapkannya! Lagipula, aku akan kembali ke toko yang ‘ramai’ dulu."

Ketika aku meninggalkan ruangan itu, seseorang masuk.

"Ini adalah Rumah Relik. Kami akan melihat keberuntunganmu dan..."

"Hoohohoho! Abaikan rasa takutmu, jiwa yang tersesat! Saudaramu ini, sang penyihir senior kuat, akan menyelesaikan semua... “

Aku meninggalkan “Rumah Ramalan” ketika aku mendengar sebuah pertunjukan di belakangku yang dimulai lagi dan suara langkah kaki yang segera pergi meninggalkannya.

Aku menginfokan rekan kerjaku soal kejadian itu dan mengambil cuti sehari, kemudian aku segera kembali ke rumah, mengabaikan anjuran para penjaga stasiun untuk pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan singkat. Setelah sampai di rumah, dengan hati – hati aku mengeluarkan saputanganku dari dalam tas.

Tonjolan aneh di saputangan itu menandakan dengan jelas bahwa ada sesuatu di dalam lipatannya.

Bisa dikatakan, hampir tidak ada yang bisa mengira benda apa itu.

Aku membuka lipatan sapu tangan itu pelan – pelan seperti sedang berurusan dengan barang yang rapuh.

Sebuah bola mata.

Aku melepas kacamataku dan memakainya lagi di tempatnya.

Bola mata itu terlihat sedang melihatku dari bawah.

Ada sensasi ganjil ketika kau bertemu dengan mata seseorang secara langsung.

Orang normal mungkin tidak akan berpikir itu “ganjil” , mungkin malah lebih ke arah “menjijikkan”.

Tapi yang kurasakan adalah rasa senang, tanpa sedikitpun rasa jijik atau takut.

Aku meneguk ludahku dan membenarkan bola mata itu. Bola mata itu kembali melihatku.

Memang masih belum jelas apakah sebuah bola mata sederhana memiliki “tatapan”, tapi tatapan kami saling tersambung.

Aku merasakan bagaimana kesadaranku masuk ke dalam bola mata itu. Sambungan terjadi. Berhasil.

Sepertinya aku juga bisa melihat lewat bola mata.

Apa yang akan kulihat? Apa yang akan ditunjukkannya padaku?

Aku melihat sesuatu. Aku melihat sesuatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Itu adalah memori matanya.

Aku melihat rel—seperti yang biasa terlihat dari ataas platform. Sepertinya ia sedang menunggu kereta. Jangkauan penglihatannya berubah dan ia melihat sebuah kereta yang mendekat. Tatapannya terfokus ke arah kata ekspres yang tertulis di kereta itu dan ia mengalihkan pandangannya.

Tiba – tiba gambarnya berubah.

Jangkauan penglihatannya tiba – tiba berbalik dan menunjukkan seorang wanita yang berdiri di belakangnya. Wanita itu terlihat miring dan semakin miring. Tidak, matanya yang semakin miring—atau untuk lebih jelasnya, pemilik bola mata ini.

Jangkauan penglihatannya membuat sebuah pergerakan tiba – tiba lagi.

Sebuah monster besi raksasa mendekat dengan kecepatan tinggi.

Kemudian semuanya berubah gelap seketika.

"...!"

Aku kembali.

Aku menyadari bahwa aku sedang terengah – engah. Aku juga menyadari bahwa punggung dan tanganku terasa basah oleh keringat.

Akan tetapi, tidak ada yang perlu dipertanyakan dari itu semua.

Bukan keringat dingin yang membasahi punggung dan tanganku.

Bukan ketakutan yang membuatku bernapas terengah – engah.

Aku menyentuh pipiku dengan punggung tanganku. Terasa panas. Aku tidak perlu melihat ke arah cermin untuk menyadari bahwa wajahku sedang memerah. Dan ada satu hal lain yang kusadari ketika aku menyentuh pipiku.

Pipiku terangkat.

Aku melihat ke arah bola mata itu lagi.

Aku melihat bayanganku sendiri disana.

Wajah itu sedang tersenyum.

Aku tertawa.

Aku merasa bahagia.

Penglihatan dari kematian langsung telah membuatku bergairah.

Dan akhirnya aku menyadari:

Aah, akhirnya aku menemukan apa yang kucari selama ini.


Aku tidak bisa memejamkan mata sedikitpun malam itu.

Aku masih merasa senang, setiap kali percobaan tidurku gagal dan tanpa kuketahui aku sudah berada di depan bola mata itu lagi. Sembari aku mengulangi proses itu lagi, langit sudah memasuki fajar.

Walaupun bola mata itu memperlihatkanku peristiwa yang sama, aku tidak bisa berhenti melihatnya sebanyak apapun aku sudah menontonnya.

Namun demikian, aku tetap harus bekerja ketika pagi sudah datang. Tentu saja, aku meletakkan bola mata itu ke dalam freezer sebelum berangkat. Aku tidak mengerti soal kebusukannya nanti, tapi setidaknya itu adalah hal yang bisa kulakukan sejauh ini. Mungkin aku harus membeli sejumlah formalin.

Dengan berat hati aku meninggalkan rumah, dan bola mata itu.

Seperti biasanya, aku duduk di kursi manapun di gerbong satu.

Seperti biasanya, aku berpikir soal mengintip lewat mata orang lain di hadapanku.

Akan tetapi, kali ini aku sama sekali tidak tertarik untuk melakukan rutinitasku itu.

Aku tidak tertarik lagi terhadap orang yang terlambat, atau pertengkaran antar suami – istri di pagi hari, atau soal acara minum – minum di hari yang lalu.

Aku ingin melihatnya. Aku ingin segera pulang dan melihat peristiwa terakhir yang tertanam dalam bola mata itu.

Seorang wanita duduk berseberangan denganku. Wanita itu melamun, menatap ke arah kejauhan. Normalnya, dia adalah orang yang kutunggu – tunggu, tapi aku tidak tertarik lagi.

Tapi ada sesuatu yang menggangguku; aku merasa bahwa aku pernah melihat wanita ini entah dimana. Berdasarkan pekerjaanku, aku sudah menemui banyak sekali orang. Aku mengira bahwa ia adalah salah satu dari mereka, tapi perasaanku mengatakan lain.

Aku merasa melihat wanita ini berulang kali.

Tapi aku tidak bisa mengingatnya dimana.

Apakah ini hanya imajinasiku?

Tidak, perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan hanya sebagai imajinasi.

Aku membenarkan letak kacamataku dan melihat ke dalam matanya. Aku berharap menemukan siapa di a sebenarnya dengan tersambung padanya lewat matanya.

Dia tidak menyadari tatapanku, dan kita tersambung beberapa detik setelahnya. Jangkauan penglihatanku sudah sama dengannya.

Lewat matanya, aku bisa melihat punggung seseorang. Seorang pria. Dari jarak sedekat itu, mereka sepertinya sedang saling mendorong. Peristiwa itu terjadi di luar ruangan. Tempat itu terasa sesak, tapi orang – orang sedang mengantri untuk menunggu sesuatu. Dimana ini...? ah, itu adalah sebuah platform. Kalau begitu ini di stasiun.

...Huh?

Secara tiba – tiba, punggung di depan matanya oleng kedepan. Karena sebuah dorongan.

Pria itu berbalik.

Matanya bertemu denganku—bukan, maksudku mata wanita itu—terbelalak lebar dengan rasa terkejut.

"———!"

Aku tersentak seketika, dan mengundang tatapan curiga di sekelilingku.

"Ah..."

Sambil menahan tatapan mereka, aku membenarkan posisi dudukku seperti tidak terjadi apa – apa. Mungkin mereka akan berpikir bahwa aku sedang bingung karena aku baru menyadari soal tujuan stasiunku yang terlewat.

Hanya wanita di depanku ini yang masih melamun.

Aku juga mulai menatapnya dengan sikap biasa saja. Aku sudah menyadari mengapa aku memiliki kesan sudah melihatnya beberapa kali. Tapi aku memang sudah pernah melihatnya. Beberapa kali.

Ketika itu, kereta sampai di stasiun dan berhenti.

Wanita itu berdiri dan turun dari kereta. Aku mengikutinya, seperti ini adalah stasiun tujuanku.

Ada sebuah poster di platform itu, mencari seorang saksi soal kecelakaan beberapa hari sebelum ini. Ada beberapa spekulasi bahwa ini bukan murni kecelakaan, tapi sebuah kesengajaan.

Wanita tadi berjalan ke arah poster itu, berdiri sebentar, kemudian berjalan ke arah platform seberangnya.

Ke tempat dimana pria yang terjatuh beberapa hari sebelumnya.

Ia melihat ke arah rel itu.

"Permisi...," aku mencoba menghampirinya. Ia tersentak dan menoleh. Berkebalikan dengan wajah tanpa ekspresi yang ditunjukkannya selama di kereta, sekarang ia sudah memucat.

"A-ada apa?" dia bertanya dengan suara tenang yang dipaksakan.

Aku hanya pernah berbicara dengannya lewat tatapan, jadi aku juga kehabisan kata – kata.

"Ah, um, begini..."

Kecurigaan mulai terlihat di wajahnya.

"Ini nama saya," aku berkata sambil mengeluarkan kartu nama dari dalam tasku. Ia melihat ke arah kartu itu dan semakin terlihat curiga. “Karena saya pikir, anda sedang memikirkan sesuatu yang pelik.”

"Apa maksud anda? Secara tiba – tiba begitu."

Kelihatannya, kecurigaannya berubah menjadi kemarahan. Meskipun begitu, aku tidak takut. Dan terlebih lagi, aku memiliki kartu jokernya di tanganku.

"Anda kehilangan sesuatu yang berharga beberapa hari lalu, benar?"

"!"

Wanita itu terlihat bingung.

"Anda kehilangan seseorang atau sesuatu yang penting di hati anda, bukan?"

Badannya bergetar hebat.

"Santai saja: saya tidak berencana melakukan hal yang aneh, bahkan saya tidak mengetahui apapun. Saya hanya merasa aura kehilangan yang besar datang dari anda."

"......"

"Saya tidak tahu benda apa yang hilang dari anda atau apa yang anda khawatirkan, tapi dengan senang hati saya akan membimbing anda menemukan arah untuk bergerak maju," kataku sambil meletakkan kartu namaku di tangannya. “Anda bisa menemukan saya di sana kapanpun.”

Kemudian aku meninggalkannya.

Wanita itu masih berdiri disana, bingung apa yang ingin dilakukannya dengan kartu nama yang baru didapatkannya.

Kalau memungkinkan, aku ingin melihat ke dalam matanya. Aku penasaran apa yang sudah dilakukannya setelah insiden itu, kemana dia pergi—dan yang terpenting—apa yang sudah dilihatnya.

Yah, walaupun tidak ada yang bisa menjamin dia akan datang menemuiku.

Tapi entah kenapa aku yakin.

Dia akan menemuiku.

"Selamat pagi." Ketika aku sampai di tempat kerjaku, aku disambut oleh salah satu member staff. “Kudengar anda terlibat dalam suatu masalah kemarin? "

"Ya. Aku mohon maaf tiba – tiba minta cuti."

"Tidak masalah. Tapi, apa anda benar – benar sudah sehat?"

"Ya. Aku tidak sabar untuk melanjutkan pekerjaanku hari ini."

Setelah laporan singkat itu, aku menganti pakaianku di ruang ganti dan menuju ke tempat kerjaku.

"Permisi...," kata seseorang di belakangku.

Aku berbalik. Di hadapanku sekarang berdiri seorang wanita yang baru saja kutemui di stasiun tadi.

"Baiklah, ikuti saya."

Aku membuka pintu dan mengisyaratkannya untuk masuk.

"Selamat Datang di Ramalan Bola Kristal Reika Kagami!"

Itu adalah pekerjaan dan namaku.

Setelah wanita itu pergi, aku beristirahat sebentar.

Mudah sekali untuk mempelajari soal wanita itu. Ketika aku berada disini, aku bisa melihat ke arah mata lawanku tanpa halangan.

Oleh karena itu, aku hanya perlu membaca dari mereka.

Setelah mendorong pria itu ke arah rel dan pergi menjauh, dia menghabiskan waktunya dengan berjalan – jalan tanpa tujuan, memasuki sebuah restaurant, dan melanjutkan perjalanan tanpa tujuannya.

Dia juga pergi ke kantor polisi, namun segera berbalik pergi dan pulang menuju apartemennya, yang ditempatinya sendiri.

Ketika ia sampai disana, wanita itu membuka sebuah album dan melihat – lihat. Pria yang didorongnya memiliki pose yang bagus di foto – foto itu.

Sepertinya, mereka sedang dalam suatu hubungan.

Setelah menatap foto – foto itu selama beberapa saat, ia mulai membuang foto – foto itu dan membakarnya. Sebenarnya tidak cukup banyak juga. Mungkin awalnya ia berencana memenuhi album itu dengan foto – foto mereka berdua, namun kenyataannya baru terisi beberapa lembar saja.

Setelah ia membakar foto – foto itu, ia menghapus e-mail. Pesan itu dimulai setahun lalu, dengan kata – kata manis, tapi diakhiri dengan kata – kata perpisahan.

Mungkin itu bisa menjadi motif.

Aku tidak tahu bahwa peristiwa itu sudah direncanakan atau muncul begitu saja. Mungkin, aku bisa mengetahuinya kalau aku menggali lebih dalam, tapi aku menahan diri untuk melakukannya.

Penglihatannya yang semakin buram dari waktu ke waktu membuatku menyadari bahwa ia sangat sedih.

Dia adalah pembunuhnya. Tapi dia juga yang berduka. Kedua fakta itu tidak bisa terelakkan.

Aku tidak bisa berbicara banyak juga. Aku tidak bisa membiarkannya tahu bahwa aku mengetahui apa yang sudah dilakukannya.

Karena itu aku hanya mengatakan padanya bahwa ia kehilangan sesuatu yang penting. “Pria itu” atau “kehidupannya mulai sekarang” tergantung pilihannya sendiri.

Sebagai petunjuk, aku mengusulkan padanya untuk berubah secara perlahan, “apa yang anda sembunyikan nantinya akan terkuak juga. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengambil langkah. Anda akan selamat apabila mengambil keputusan yang tepat. "

Sekali lagi, itu adalah pilihannya. Aku tidak akan melaporkannya ke polisi. Tapi mengingat ia juga sudah pergi ke kantor polisi sebelumnya, ada kesempatan dia akan menyerahkan diri. Aku hanya memberikannya dorongan.

Masalah ini selesai. Aku yakin aku tidak akan melihatnya lagi.

"Permisi!"

Tiba – tiba, pintuku tersentak terbuka dan seorang laki – laki seumuran anak SMA masuk terburu – buru.

"Ada apa?"

Dia bukan pelanggan. Rasa tidak sabarannya yang mencolok menandakan ada sesuatu yang terjadi.

"Emm, kau tadi baru saja membacakan bola kristal pada seorang wanita ‘kan? "

"...Hmm, iya."

"Kau tau kemana dia pergi setelah itu?"

Aku mulai penasaran terhadap pendatang yang tiba – tiba ini. Apa yang mau dia lakukan dengan info itu? Apakah dia terbawa angin kemari, mungkin karena ia juga menjadi saksi peristiwa itu? Tentu saja, hal itu mungkin terjadi melihat ia berdiri sekarang disini.

Ia melihatku tajam, menunggu jawabanku.

Kalau begitu...

Aku melihat ke dalam matanya juga dan melihat lebih jauh ke dalam matanya.

Apa yang akan kulihat? Wanita itu?

Perasaanku tersita oleh perasaan terseret lebih dalam terhadap matanya. Sambungan terjadi. Berhasil...

"...Huh?"

Hal yang kulihat membuatku terkejut.

Sebuah benda yang mirip seperti mayat.

Lehernya terputar ke arah yang tidak biasa, dan tanahnya dipenuhi darah yang mengalir dari kepalanya. Terlihat jelas bahwa ini luka yang fatal. Tidak, mari perjelas : tidak lain tidak bukan benda itu adalah mayat.

Dan kemudian—

"KYAAAAAA!"

Sebuah jeritan melengking terdengar dari luar. Sambungan kami terputus.“Tch.” Ia mendecakkan lidah dan segera berlari keluar.

Aku ikut penasaran terhadap apa yang terjadi dan aku mengikutinya. Di luar “The Mansion of Divination” terdapat kerumunan besar. Aku berlari ke arah mereka dan menyeruak ke tengah.

"!"

Yang kutemukan adalah wanita yang roboh di tanah.

Dia terbaring tiarap, tapi aku mengenalinya dari pakaiannya. Itu adalah baju yang sama yang diapakai wanita yang baru saja ada di tempatku beberapa saat lalu.

Bagi kebanyakan orang kejadian ini terlihat seperti kecelakaan. Tapi bagi seseorang sepertiku yang mengetahui keadaannya sebenarnya, hal ini terlihat berbeda. Langkah yang diambilnya bukan menyerahkan diri pada polisi, tapi untuk bunuh diri.

Tapi bukan itu yang mengusikku.

Lehernya terputar ke arah yang tidak biasa dan darah segar yang mengalir dari kepalanya menggenangi tanah.

Ini adalah penglihatan yang sama persis dengan apa yang kulihat di mata anak laki – laki itu.

Aku bisa melihat seseorang secara sekilas terhadap apa yang sudah mereka lihat. Tidak perlu dikatakan lagi, itu berarti mereka sudah melihatnya, berarti itu sudah ada di masa lalu.

Meskipun begitu, aku sudah melihat mayatnya lewat mata anak laki – laki itu.

Apa yang terjadi...?


Aku terlambat.

Aku tidak menyangka bahwa aku akan melihat kematian seseorang yang baru saja kutemui secara tidak sengaja, oleh karena itu awalnya aku kebingungan.

Ketika aku menyadari bahwa itu adalah [Vision], wanita itu sudah menghilang dari pandangan.

Aku memasuki ruang ramalan yang baru saja dia datangi dan bertanya ; mungkin saja peramal itu tau wanita itu bermaksud kemana selanjutnya, tapi aku terlambat.

Wanita itu sudah melompat.

Regu penolong segera berlari ke arahnya, menutupinya dengan sesuatu berbahan vinyl dan membawanya dengan tandu. Beberapa orang di antara kerumunan penonton itu menduga bahwa wanita itu sudah meninggal. Aku pun juga berpikir demikian.

Aku keluar dari kerumunan itu dan kembali ke “The Mansion of Divination”.

"Apakah ada sesuatu yang terjadi?"

Saki sedang menunggu di dalam. Rupanya ia mengetahui ada keributan terjadi.

"...Seseorang menemui kematiannya."

"Benarkah? Kau terlihat tidak sehat," dia menambahkan dan memegang dahiku. Sentuhan dari tangan mungilnya terasa sejuk dan nyaman, serta entah kenapa dapat membuatku sedikit tenang dari penyesalan akibat gagal menyelamatkan nyawa seorang wanita.

"Ah, ini hanya karena terkejut kok.”

"...Beristirahatlah di ruangan kami. Aku akan membelikanmu minuman. "

Saki memberiku tatapan khawatir, tapi keluar ruangan tanpa bertanya apa – apa lagi.

Ketika aku berjalan ke arah ruangan mereka, pintu menuju ke ruangan lain terbuka. Peramal yang tadi kutanyai keluar dari ruangan itu. Papan petunjuknya bertuliskan “Mikagami Reika”.

"Maaf soal yang tadi," katanya ketika ia memperhatikanku. Kalau dilihat lagi, dia terlihat lebih cantik dari yang kupikir sebelumnya dengan dress birunya dan aksesoris yang dipakainya. Matanya menunjukkan tingkat intelegensi yang cukup tinggi saat menatapku dari balik kacamatanya, dan dia membuat kesan dewasa dan rapi, menambah kesan misterius dari seorang peramal. "benar – benar kecelakaan yang mengerikan..." Rupanya ia juga menyadari keributan yang terjadi. Aku penasaran bagaimana rasanya melihat pelangganmu bunuh diri sesaat setelah kau menemuinya. Apakah dia juga bisa meramalkan kematiannya? Aku berpikir ironis.

"Aku tidak bisa mengatakan apa – apa. Walaupun aku merasa kasihan padanya, aku tidak melihat bahwa ini akan menjadi seperti ini,” katanya dengan senyum hambar. “bisa aku minta waktumu sebentar?” katanya lagi sambil mempersilahkanku masuk.

Walaupun sedikit tidak yakin, aku tidak menolaknya dan memasuki ruangan.

Di dalamnya, tidak ada penerangan yang cukup dari beberapa lilin dalam sebuah wadah lilin tinggi di atas rak, membuatnya terlihat redup. Di atas meja, aku memperhatikan sebuah bola kristal besar berdiri di atas tumpuan.

"Boleh aku membaca masa depanmu?"

"Hah?"

"Aku tidak bisa meramal kematian wanita itu. Walaupun itu terjadi sesaat setelah ia disini."

Rupanya, kematian wanita itu membuat Mikagami-san shock dan membuatnya kehilangan kepercayaan diri.

Ramalan memiliki banyak cabang. Beberapa tipe ramalan membutuhkan peralatan semacam bola kristal atau kartu tarot untuk melihat sesuatu, sementara lainnya melihat masa depan seseorang berdasar tanggal ulang tahun, gender, wajah atau garis tangan.

Ia menggunakan bola kristal, jadi sepertinya ia menggunakan bola itu untuk meramal. Sejujurnya, aku tidak terlalu percaya pada ramalan semacam ini yang mencoba memunculkan sihir. Tapi bisa dikatakan juga aku tidak menolak mereka. Memang sebuah kenyataan bahwa peramal dapat membantu orang – orang menyelesaikan masalah mereka.

"Aku ingin mengembalikan rasa percaya diriku... jadi maukah kau membantuku?"

"Tapi gratis. Deal?"

Dia menjawab sambil terkekeh, "Tentu saja!"

Mikagami-san duduk di sisi lain meja dan berubah menjadi mode meramal, meletakkan tangannya di bola kristal.

"Boleh aku tau namamu?" dia bertanya, mata di balik kacamatanya terfokus padaku, bukan pada bola kristalnya.

Tsukumodo V2 188.jpg

"Tokiya Kurusu."

"Kurusu... Nama yang menarik. Kau seorang anak SMA?"

"Ya."

"Oh, mata kananmu..."

"Ah, oh iya, ini mata palsu," aku menjelaskan. Memang tidak bisa terlihat kalau kau melihatnya sekilas, tapi menjadi sangat jelas kalau kau memperhatikannya lebih teliti. Bisa dikatakan, tidak perlu menyembunyikan apapun soal ini dan faktanya, aku tidak pernah membenci mataku. "aku kehilangan mata kananku saat kecelakaan."

"Ah begitu. Aku turut berduka soal matamu. Jadi apa yang membawamu kemari hari ini?" ia langsung mengganti topik pembicaraan, mungkin karena ia tidak ingin berhubungan lebih jauh dengan mata palsuku.

"Kenalanku memintaku untuk mengantarkan sesuatu."

"Kenalan?"

"Emmm, dia membantu disini. Kerja paruh waktu atau semacamnya."

Aku tidak akan mengatakan bahwa mereka berdua juga salah satu dari para peramal disini, karena aku tidak ingin menyakiti hati seorang professional seperti Mikagami-san.

"Hmm, begitu. Cukup baik juga ya untuk mau mengorbankan hari liburmu."

"Dia bosku."

"Ya. Toko jenis apa tempatmu bekerja, kalau aku boleh tahu? "

"Mmm..."

Aku mempertimbangkan untuk memberikan jawaban umum seperti toko biasa atau toko barang bekas karena aku tidak bisa langsung memberi tahunya soal Relik begitu saja.

Akan tetapi, tiba – tiba aku menyadari sesuatu.

Mengapa dia bertanya toko jenis apa tempatku bekerja?

Aku tidak mengatakan apapun soal toko.

Tapi pertanyaan itu akhirnya terjawab sendiri. Pekerjaan paruh waktu tipikal anak SMA biasanya adalah restoran fast-food atau rumah makan biasa. SPBU juga bisa dibilang toko. Mengatakan sesuatu yang paling memungkinkan, atau kata yang memiliki dua arti, adalah salah satu teknik berbicara untuk membuat orang lain terkagum. Ketika dihadapkan dengan trik yang sama ini berulang kali, orang orang akan percaya terhadap kemampuan yang dimiliki peramal itu.

Tapi observasi sederhanaku ini langsung hancur berantakan.

"Kelihatannya kau dikelilingi banyak barang. Hmm, barang – barangnya juga bermacam – macam. Supermarket, atau sebuah.. tidak itu terlihat lebih lama dari itu. Toko barang bekas mungkin? Atau toko apa?" ia mengemukakan fakta – fakta yang kupikirkan sambil tetap memegang bola kristalnya dan menatap tajam mataku. Itu bukan hal – hal yang didapatkan dari obrolan sebentarnya denganku. Tidak ada teknik berbicara yang ia gunakan disini. Dia benar benar bisa melihat sesuatu.

Aku mengalihkan pandanganku.

Wajahnya terlihat santai.

"Maafkan aku. Apa aku menakutimu?"

"Eh, yah... sedikit," aku menjawab datar setelah menyeka butiran keringat yang mulai muncul di dahiku. “Bagaimana kau tahu semua itu?”

"Aku bisa melihatnya. Yah, walaupun tidak semua, tentu saja. " Mikagami-san menyeret kepalaku dengan tangannya sehingga aku bisa meihatnya lagi. “Lihat mataku. Konsentrasi.”

Kali ini tidak ada percakapan, dan dia hanya melihatku lewat mataku.

Aku terperangkap oleh perasaan terseret masuk ke dalam matanya. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi aku merasa bahwa ia tidak hanya melihat mataku, ia juga melihat hingga ke dalam – dalamnya.

Mungkin, perasaan itu tidak sepenuhnya salah. Mungkin ia membaca masalah kliennya seperti ini dan membantu mereka menyelesaikan masalahnya.

Dari apa yang kudengar, ramalan bukan hanya soal kekuatan supranatural, tapi juga soal pengajaran, dan peramal menggunakan pengetahuan itu untuk meyelesaikan masalah orang lain serta menuntun mereka ke jalan yang benar, seperti konseling.

Akan tetapi, wanita ini sepertinya memang memiliki semacam kemampuan khusus. Atau mungkin alat khusus? Mungkin bola kristalnya adalah relik? Dari pandanganku, sebuah Relik sepertinya lebih terpercaya daripada sihir atau kemampuan khusus.

"...Sudah kuduga," dia tiba – tiba bergumam setelah beberapa saat sementara pikiranku masih entah berada dimana.

Wanita di depanku ini mengalihkan pandangannya dari mataku untuk melihatku sekali lagi.

"Apa?"

"Aku bicara soal wanita yang baru saja meninggal!"

"Ya?"

"Bagaimana kau bisa menemui kematiannya dua kali?"

"!"

Aku menahan napas.

Aku tidak tahu bagaimana dia bisa melakukannya, tapi ia membaca kematian wanita itu dua kali dari mataku.

Dengan kata lain, saat [Vision] memberitahuku dan saat aku benar – benar melihatnya.

"Takdirmu mengatakan kalau kau akan menemui kematian wanita itu dua kali. Bukan, lebih tepatnya, kau sudah melihat kematiannya dua kali, kan? Apa maksudnya itu?"

"Itu...emm.. apa yang kau bicarakan?" aku berlagak bodoh, sebenarnya karena aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.

"Kau memasuki ruangan ini sebelumnya karena kau mencari wanita itu kan? Mengapa kau mencarinya tepat sebelum dia mati?"

"Bukan apa - apa, aku mencarinya karena ia menjatuhkan sesuatu, dan..."

"Tidak masuk akal. Aku dapat membaca kematiannya darimu saat itu, tapi kukira aku sedang berhalusinasi. Tapi aku baru saja memastikannya. Kau mengetahui kematian wanita itu."

Seperti yang terlihat, ia sudah membaca beberapa hal dariku saat pertama kali aku memasuki ruangan ini. Apa – apaan dengan rasa percaya dirimu tadi?

Dari awal kau memang mengejar hal yang lain!

"Sudi menjelaskan?"

"Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan!"

Aku berpura – pura marah, berdiri dan langsung meninggalkan ruangan itu. Jadi supaya dia tidak dapat melihat rasa gugupku, aku melihat jam.

Lebih banyak waktu terbuang dari apa yang dapat kubayangkan.

Oh, apa yang sudah kulakukan?

Itu tadi adalah kesalahan besar. Aku tidak bermaksud mengagetkan atau membuatnya marah.

Di rumah, aku mengingat – ingat kembali kegiatanku tadi.

Berdasarkan dari reaksinya, dugaanku sepertinya benar.

Aku sudah melihat ke dalam matanya. Sebenarnya hanya sekilas, sambil mengambil kepercayaannya dengan membicarakan soal pekerjaannya. Setelah itu, aku melihat lebih dalam lagi dan membaca informasi dari matanya.

Sampai aku menemukan penemuan mengagetkan.

Ia telah melihat kematian wanita itu dua kali.

Tapi aku masih belum bisa menemukan alasan di balik itu semua.

Aku melepas kacamataku dan menatap mereka.

Kacamata ini telah mengubah hidupku.

Aku mendapatkan kacamata ini beberapa tahun lalu. Karena aku sedang mabuk, aku tidak ingat dimana atau nama toko itu, bahkan siapa yang bekerja disana.

Setelah membeli kacamata ini, aku dapat melihat sekilas kehidupan orang lain.

Pada awalnya, aku hanya tertarik untuk menintip kehidupan mereka. Aku mulai dengan teman – teman dan kenalanku, kemudian beralih ke orang asing dan berakhir bahwa aku tidak bisa melihat siapa – siapa lagi. Tapi satu – satunya kesempatan nyata untuk menatap mata orang asing adalah ketika ada di kereta atau di bis, atau ketika latihan percakapan satu persatu di Pelatihan Bahasa Inggris yang kuikuti. Parahnya, hal itu hanya akan membuat kecurigaan tumbuh karena aku hanya akan menatap mereka cukup lama dan semuanya gagal.

Dan itulah saat aku memutuskan untuk menjadi peramal. Kebetulan, aku juga berminat terhadap ramalan, dan ide itu muncul begitu saja.

Aku cukup duduk dan memuaskan isi hatiku dengan menatap mata seseorang, satu-lawan-satu, dan dengan mengatakan sesuatu yang kubaca dari mata mereka, mereka akan percaya bahwa aku memiliki kekuatan khusus sebagai peramal. Benar – benar sekali tepuk dua lalat kena.

Setahun kemudian, aku meramal orang – orang yang tak terhitung jumlahnya, dan membuat namaku sendiri. Aku juga mendapat cukup banyak pelanggan.

Tapi dari semua orang yang pernah kulihat, tidak ada kasus yang mirip seperti ini.

Tidak pernah ada orang yang pernah melihat peristiwa yang belum terjadi seperti kematian seseorang dua kali. Tentu saja tidak.

Karena itu sama sekali tidak normal.

Tapi karena aku sendiri juga tidak bisa dibilang normal, aku bisa menerima hal – hal yang abnormal seperti itu.

Mungkin, ia juga bisa melihat sesuatu yang khusus sepertiku yang bisa melihat pengalaman orang lain lewat mata mereka melalui kacamataku ini.

Ya. Dalam kasusnya, mungkin ia bisa melihat masa depan dengan mata palsunya?

Tatapanku terbawa ke arah freezerku.

Ah omong – omong, aku belum melihatnya hari ini.

Karena moodku berganti, aku mengambil bola mata dari dalam freezer yang sudah dengan hati – hati kusimpan. Bola mata itu sekeras ikan tuna beku.

Teksturnya yang khas juga menghilang.

Aku mengambil kacamataku dari atas meja dan memakainya. Aku melihat ke dalam bola mata beku yang kupegang.

"?"

Ini aneh.

Aku membenarkan letak kacamataku dan melihat ke arah bola mata itu lagi.

Akan tetapi aku tidak bisa melihat apapun kali ini.

Karena itu membeku?

Aku segera ke kamar mandi untuk mengisi baskom dengan air hangat dan kembali ke ruang tamu. Setelah memasukkan bola mata beku ke dalam air hangat itu, bunga esnya mencair dan akhirnya tekstur ganjilnya muncul.

Aku mengambil bola mata itu dan melihatnya lagi, tapi aku tidak bisa melihat apa – apa.

Sudah mati, aku langsung berpikir begitu.

Bola mata tidak bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama ketika terpisah dari badannya. aku sudah sadar akan hal itu. Tapi aku yakin itu tidak ada hubungannya denganku karena memori matanya masih akan tetap ada walaupun itu membusuk atau mati.

Tapi rupanya, segera setelah bola mata itu mati, memorinya juga ikut mati.

Aku tidak tahu soal itu.

Betapa bodohnya aku!

Mataku sudah dipenuhi air mata.

Tidak pernah sekalipun dalam hidupku aku merasa sekehilangan ini.

Itu menunjukkan rasa terikatku pada bola mata itu.

Seharusnya aku melupakan pekerjaanku dan menghabiskan hari dengan melihatnya! Kapan lagi tanganku bisa memegang bola mata manusi? Seumur hidupku, aku tidak pernah mendapatkan kesempatan seaman itu seperti kemarin.

Parahnya lagi, kecelakaan kemarin adalah pertama kalinya aku bertemu dengan kematian seseorang.

...Kematian seseorang? Anak laki – laki itu terlintas di pikiranku.

Mata palsunya mungkin bisa meramalkan masa depan. Kalau itu benar, berarti aku masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan sebuah bola mata.

Aku ingin mata kanan anak laki – laki itu.

Dan kalau permintaan itu terlalu berat, setidaknya aku ingin melihat mata orang yang pernah melihat kematian sekali lagi.


"Hoooaaahm," aku menguap kebosanan.

Walaupun ini adalah Minggu sore, tidak ada pelanggan seorangpun. Dan lebih buruk lagi, tidak ada penjaga toko, selain aku disini. Bisa dikatakan, bukan karena Towako-san atau Saki sedang bekerja di ruangan ramalan mereka, tapi karena polisi sedang memeriksa seluruh pegawai taman hiburan itu soal kecelakaan beberapa hari sebelumnya. Tapi selain fakta bahwa mereka sama sekali tidak terlibat, motif semacam bunuh diri juga bisa terlihat jelas jadi semua ribut – ribut itu hanya sebagai formalitas.

Taman hiburan itu juga tutup selama beberapa hari, dan itu membuat bisnis Towako-san terhenti sementara.

Pada akhirnya, pekerjaan itu tidak menimbulkan keuntungan sedikitpun.

Sama halnya dengan Toko Barang Antik Tsukumodo yang juga tidak menghasilkan keuntungan sepeserpun.

Berdoa saja semoga mereka setidaknya sukses melancarkan iklan soal toko ini disana.

Tepat sebelum aku akan menguap lagi, bel di pintu berbunyi.

Aku menunda hasrat menguapku dan membuka mulut untuk menyambut pelanggan, tapi tidak ada kata yang keluar.

Pelanggan itu adalah peramal, Mikagami-san.

Aku menatapnya dengan waspada.

"Apa yang anda perlukan disini?"

"Keperluanku adalah bertemu denganmu!" ia langsung menjawab dan menghampiriku di konter. “Aku punya permintaan.”

"Apa yang mau anda minta?"

"Boleh aku ambil mata palsumu?"

Wanita ini sangat berani dan itu menjelaskan bahwa dia tahu soal kemampuan mata palsuku.

Ah, apakah dia juga memiliki Relik? Aku segera mengamatinya dengan mataku, tapi dia sama sekali tidak membawa bola kristalnya. Aku sedikit lega mengetahui kalau ia tidak bisa melihat rahasiaku sekarang ini.

“Aku tidak bilang gratis," ia menanggungnya dengan menyodorkan sebuah amplop padaku.

Dia mendesakku untuk melihatnya dengan tangannya yang bebas, tapi hanya dengan melihat ketebalannya saja aku bisa menduga bahwa isinya adalah enam digit angka, sepertinya ia sudah mengeluarkan minimal 100,000 yen.

"Apa yang spesial dari mata ini?" aku bertanya.

"Siapa yang tahu?"

"Ini hanya mata palsu biasa!"

"Oleh karena itu, bukan masalah kan kalu kau menjualnya padaku?"

"......Tidak, benda ini tidak untuk dijual."

Aku menutupi mata kananku.

Mata kananku adalah tanda bahwa aku berhutang budi terhadap Towako-san. Untuk tambahan, Towako-san juga melarang keras pendistribusian Relik—dia tidak akan menjual mereka berapapun harganya. Oleh karena itu aku juga tidak mungkin menjualnya.

Peramal wanita itu mengerutkan kening dengan perasaan tidak senang secara terang – terangan terhadap jawabanku.

Mengapa dia sangat menginginkan [Vision]ku? Kesimpulan dari asumsi apa yang ia temukan sehingga ia menemukan bahwa aku telah melihat insiden kecelakaan itu dua kali?

"Aku tidak tahu sebanyak apa yang anda tahu, tapi biarkan aku mengingatkan: tidak semua dari ini baik. "

"Menurutmu begitu?"

"Menurut anda apa ini?"

"Mata itu membuatmu bisa melihat masa depan, bukan begitu?"

Haruskah aku memujinya karena tahu sebegitu banyak atau aku harus merasa lega bahwa hanya itu yang ia ketahui?

Tapi sebagai peramal, mata dengan kemampuan seperti itu bisa membuatnya ngiler juga.

"Aku takut anda salah; mata ini tidak sehebat itu. Anda hanya bisa melihat sedikit saja dari peristiwa masa depan. Anda tidak bisa memakainya untuk memenangkan lotre atau taruhan pacuan kuda. Bahkan untuk meramal cuaca pun tidak bisa. Tidak ada gunanya dalam hal ramalan anda!"

"...Apa yang bisa kau lihat kalau begitu?"

"Hanya kematian seseorang yang dalam waktu dekat akan terjadi. Tapi bahkan itu hanya..."

...Huh?

Rasa gemetar tiba – tiba menjalari tubuh dan punggungku. Ia tetap terlihat seperti awalnya. Tidak ada yang berbeda dari sebelumnya. Tapi aku punya perasaan bahwa ada yang berubah. Apa aku baru saja membuat kesalahan fatal? pikirku.

Aku menatapnya, memberanikan diri untuk mencari tahu apa yang terjadi—ini buruk pikirku sesaat setelah mata kami bertemu.

Aku langsung memutus kontak mata kami dengan menutup mata kananku dengan tangan, lau wanita itu mencondongkan badannya ke arah konter dan mencengkeram lenganku. Dengan tenaga yang cukup kuat untuk seorang wanita ia menahan lenganku dan mendekat ke arah wajahku.

Ia membuat kontak mata denganku mau atau tidak. Sesaat setelah itu terjadi, aku meneguk ludah.

Sejak kapan ia memiliki mata seperti ini?

Dengan berani ia melihat mataku, dengan matanya yang terlihat abnormal dan berbinar - binar.

Walaupun ia sama sekali tidak membawa bola kristalnya, ia dengan jelas mencoba melihat ke dalam mataku. Untuk melihat rahasiaku.

Apakah bola kristal itu tidak memiliki arti apa – apa? Apakah ia sama sekali tidak memiliki Relik? Apakah sebenarnya dia memang memiliki kekuatan khusus? Kalau memang benar begitu, aku tidak bisa mengelak lagi.

"Demi apa..." dia bergumam.

"Mm!"

Aku memberanikan diri dan mendorongnya, mundur ke dalam area khusus di belakang setelah membalik kursiku. Aku tidak punya pilihan lain.

"Tunggu! Aku ingin melihatnya lagi! Lebih dalam!" teriak wanita itu sambi mamnjat konter, dan terjatuh secara menyedihkan. Tidak membuatnya berhenti, ia mengejarku sambil merangkak.

Menanggulangi rasa takutku, aku keluar toko lewat pintu belakang.


Aku ingin mata itu. Aku ingin matanya.

Aku ingin—aku mengakuinya—aku ingin melihat kematian.

Aku ingin melihat kematian dalam berbagai bentuknya.

Tapi bukan berarti aku ingin melihat kematian seperti yang terlihat dalam film atau drama, aku juga tidak tertarik dengan kematian yang sudah diatur oleh produser dokumenter.

Aku hanya ingin melihat kematian asli.

Untuk itu, aku membutuhkan mereka.

Untuk itu, aku membutuhkan mata itu.

Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkan mereka.

Aku akan mengorbankan apapun untuk mendapatkan mereka.

Aku akan mendapatkan mereka walaupun aku harus mengotori tanganku.

Gadis yang kutemukan dalam kedalaman matanya tiba – tiba terlintas di benakku.


Setelah beberapa saat, aku menemukan kesimpulan bahwa aku tidak bisa meninggalkan toko tanpa penjagaan dan akhirnya kembali. Dari kelihatannya, tidak ada orang di dalam.

Meskipun begitu, aku tetap berhati – hati dan memasuki gedung dari belakang.

Aku berjingkat – jingkat menghampiri area toko dan mengintip ke dalam sambil bersembunyi di antara bayangan. Tidak ada siapapun di dalam. Antara ia mengejarku atau ia sudah menyerah dan pulang, aku menghela nafas lega.

Tiba – tiba, sebuah pukulan keras menghantamku.

Sial, apakah dia berhasil mengikutiku? Aku berpikir begitu sesaat setelah menoleh ke belakang dan menemukan diriku tercengkeram di leher.

"Kemana kau pergi saat mengabaikan shiftmu, hah?"

"Towako-san... Puji Tuhan..."

"Puji Tuhan apanya! Puji Tuhan karena aku bukan pencuri?! Hmm?! Demi apapun, bahkan kau juga tidak mengunci pintunya. Aku akan memotong gajimu kalau kau terus seperti ini, jelas?"

"Aku minta maaf, aku minta maaf!"

"Kau tahu, pertama aku kehilangan waktuku yang berharga karena para polisi itu mengadakan interview tidak berguna itu, kemudian mereka ingin melecehkanku dengan menyuruhku memakai kostum meramalku, dan terlebih lagi, aku hampir saja ditangkap dengan tuduhan kekerasan fisik karena memukul kepala polisi yang mulai..."

Menyalurkan rasa frustasinya padaku, cengkeraman Towako-san semakin ketat dengan seluruh komplainnya.

Oh, sial. Aku tidak bisa bernapas.

Kepalaku mulai berputar sesaat setelahnya...


"Kukira aku akan segera mati..."

Kelihatannya, wanita-peramal-gila-mata yang menginginkan mataku itu tidak ada bandingannya dengan Towako-san. Aku melihat ke arah bosku itu dengan harapan baru.

"Itu hasil yang kau dapat karena berbuat bodoh."

Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa menyesal setelah hampir membuatku mati.

"Bukannya aku baru saja menjelaskan padamu?"

Aku bercerita pada Towako-san soal wanita peramal yang mnginginkan mata palsuku. Setelah memberi tahunya soal kemamupuan khususnya, Towako-san berkata, “kita mungkin saja sedang berurusan dengan Relik."

Aku juga sudah memikirkan soal itu, tapi...

"Tapi sepertinya dia tidak punya benda semacam itu! Sepertinya ia menggunakan bola kristal di ruangannya, tapi ia tidak membawanya ketika ia kemari..."

"Bukan, itu bukan bola kristal. Relik yang kupikirkan adalah sepasang kacamata, kalau tidak salah."

"!"

"Kalau kau melihat mata orang lain lewat lensanya, kau bisa melihat apa yang targetmu sudah lihat. Kau bisa memelajari hampir semua soal kehidupan seseorang dengan cara itu."

Kalau diingat – ingat, ia memang memakai kacamata. Ketika itu dan tadi juga. Ini bukan soal bola krista—dia hanya menggunakannya sebagai hiasan. Ia melihatku lewat kacamatanya.

Kalau aku tau soal hal itu sebelumnya, aku akan bisa memberikan serangan balasan, tapi sia – sia saja menangisi nasi yang sudah menjadi bubur.

"aku berharap dia sudah menyerah..."

"Kau tidak bisa mengharap kewarasan dan alasan dari seseorang yang terpengaruh oleh Relik.," Towako-san menghembuskan nafas dengan raut muka masam.

"Hmm?"

Hal ini benar – benar terlewat dari pikiranku, tapi bukankah ada yang ganjil? Bukannya dia juga diinterogasi bersamaan dengan Towako-san?

"Dimana Saki?"

"Ah, dia ingin berbelanja sebelum pulang. Tapi dia sedikit terlambat..."

Aku keluar dari toko sebentar untuk melihat – lihat, tapi tidak ada tanda – tanda keberadaan Saki.

"Mungkin dia mampir dulu di tengah jalan?" duga Towako-san.

"Kupikir dia tidak akan melakukannya."

Aku sudah menelepon ponselnya, tapi tidak bisa tersambung karena ponselnya sedang mati atau di luar jangkauan. Tidak mungkin ada masalah sinyal dalam Supermarket yang biasa dia datangi. Apakah dia lupa lupa menyalakan ponselnya setelah keluar dari kantor polisi?

Mungkin aku terlalu gugup.

"Yah, aku yakin dia akan segera pulang," aku mengatakannya keras – keras, lebih untuk menangkan diriku sendiri.

Akan tetapi, seperti menekan pemicunya, pemikiran optimisku hancur berkeping - keping.

Suara riuh yang menyakitkan itu mengisi kepalaku—


Seorang gadis berdiri di seberang sebuah properti.

Itu Saki.

Di hadapannya berdiri Reika Mikagami—peramal itu.

Setelah mengelus pipi Saki sekali, ia mengelus lipatan mata Saki sekali dengan jempolnya, dan berbalik.

Ia menyeringai.

Seringai menakutkan. Dengan mata berbinar.

Tapi seringai itu menghilang.

Langit – langit itu runtuh dan mengubur mereka di bawah batu.


"———!"

Aku menggertakkan gigi sesaat setelah aku sadar.

Wanita itu telah menyandera Saki.

Ia pasti mengetahui soal Saki lewat mataku, walaupun aku tidak tahu sebenarnya dia sudah tahu sejak awal atau ia hanya melihatnya sekilas sebelumnya.

Setidaknya, dia sudah menculik Saki.

Aku sangat ceroboh. Aku tidak mengira ia akan berbuat sejauh ini.

Itu seperti yang Towako-san sudah katakan.

Jangan mengharapkan kewarasan dan alasan dari orang yang sedang terpengaruh oleh Relik.

Aku tahu dimana mereka. Aku pernah melihat tempat itu.

Itu adalah ruangan Reika Mikagami di “The Mansion of Divination” yang tertutup.

Benar – benar hari yang santai dan cerah.

Biasanya dipenuhi dengan ribuan pengunjung yang ramai, taman hiburan itu sama sekali tidak memiliki pengunjung karena masalah kecil. Oh, benar – benar tragedi!

Ada dua orang pengunjung hari itu—bukan, mereka berdua adalah pegawai, jadi tidak ada pengunjung hari itu.

"Apa yang terjadi?" gadis di depanku berbicara, sambil memfokuskan tatapan matanya ke arahku. Nada suara dan ekspresinya tidak berubah, tapi aku yakin hatinya dipenuhi dengan kemarahan karena merasa tertipu.

Tapi, dia sama sekali tidak bermaksud untuk kabur. Mungkin karena, tangan kanannya terborgol dengan pipa di sebelahnya.

"Bukankah kau bilang Tokiya ada disini?"

Aku mengatakan padanya bahwa Kurusu-kun ingin dirinya membantu membawakan beberapa barang karena taman bermain ini sudah tutup.

Segera setelah mendengar namanya, dia mengikutiku dengan patuh. Mungkin karena aku juga bekerja di “The Mansion of Divination” ia melemahkan waspadanya.

Aku mengelus pipinya dengan lembut.

Ia menerima elusanku tanpa menunjukkan rasa tidak suka. Ah tidak, ketika ia menahan rasa itu, matanya menolakku secara terang – terangan.

Ah begitu. Matanya memang sefasih lidahnya.

"Boleh aku melihat ke dalam matamu?"

"Mataku?"

"Ya, matamu."

Aku berhenti mengelus pipinya dan beralih mengelus lipatan matanya.

Ia mengalihkan wajahnya, rupanya terkejut, tapi ketika dia melakukannya, sesuatu muncul dari balik pakaiannya. Karena rantai di sekeliling lehernya, liontin itu tidak jatuh ke tanah dan berayun – ayun di lehernya.

"Bagus sekali, ini hadiah darinya? Oh, dan kau memberinya sebuah dompet?"

Ia melihatku datar tapi dengan ekspresi terkejut. Topeng poker-facenya sudah terlepas. Sepertinya liontin itu adalah benda kesayangannya.

"Bagaimana kau...?"

"Aku melihatnya di dalam matamu. Tapi biarkan aku melihat lebih dalam lagi... oh, aku tidak bisa berkonsentrasi kalau begini."

Aku mengangkat tanganku untuk melepas liontin yang bergoyang itu, ketika tiba – tiba ia menghalau tanganku dan menyimpan liontin itu lagi ke balik pakaiannya.

"Jangan sentuh."

"Aku tidak tertarik terhadap liontinmu, aku hanya ingin melihat ke dalam matamu."

Ketika aku mengatakannya, ia menunjukkan penolakannya padaku.

Ia menutup matanya.


Wham!


Suara benda tumpul menggema di seluruh ruangan.

"Ah...," ucap gadis itu. Kepalanya sudah tertunduk

"Aku tidak bisa melihat mereka kalau kau menutupnya, kan? Dan jangan menunduk."

Aku menarik kepalanya dengan menarik rambutnya. Matanya sudah hilang fokus karena aku memukulnya, tapi bagiku itu tak apa selama mereka terbuka.

"Ayo, tunjukkan padaku matamu..."

Sesaat sebelum aku dapat melihatnya, aku mendengar suara pintu yang tertendang dan suara teriakan seorang laki – laki. Itu adalah Kurusu-kun.

"Saki, kau baik baik saja?!"

"To...kiya..." ia menjawab suara teriakan bocah itu sambil melihat ke arahnya. Bocah itu juga melihat balik gadis ini dan menunjukkan kemarahannya.

"Kau memukulnya...? Beraninya kau membuatnya menjadi sandera! Dia tidak ada hubungannya! Lepaskan dia! "

"Sandera...? Ah, aku paham maksudmu. Ya... ya, tidak buruk juga." Aku mengeluarkan pisau yang sudah kupersiapkan untuk mengambil mata yang kuinginkan.

“Selangkah lagi dan aku akan membunuh gadis ini."

Seperti perkiraannya, aku menyanderanya, tapi aku tidak bisa menahan tertawaku.

"Tidak tidak, hal itu akan mengacaukan seluruh rencananya," aku mengatakan hal itu sambil mengembalikan pisauku, dan menghampiri bocah itu.

"Huh?" ucapnya sesaat setelah terkejut terhadap sikapku.

Sambil tetap menghampirinya, aku mengangkat bola kristalku tinggi – tinggi—“Kau menghalangiku!”—dan melemparkannya ke arah kepalanya. Getaran pukulannya menjalar hingga ke tanganku dengan suara tumpul. Tanganku meluncur turun dan bola kristal itu jatuh ke lantai. Aku menyadari bahwa bola sebenarnya tidak bagus untuk memukul seseorang. Tapi, saat aku melihat bahwa bocah itu pingsan dan darah mengalir dari kepalanya, hal ini bisa dibilang sukses.

"Tokiya!"

Aku mendengar jeritannya dan borgol di tangannya bergerak, tapi ia tidak bisa berpindah dari tempatnya.

Aku berjalan ke arahnya, tapi aku berhenti setelah satu langkah.

Kurusu-kun mencengkeram kakiku, meskipun dia sudah tidak mengalami kesadaran.

"Aku tidak membutuhkanmu lagi!"

Aku menendang tangannya dengan kakiku yang lain dan kembali berjalan ke arah gadis itu.

Kemarahan yang jelas terlihat membara di matanya; lebih banyak daripada kemarahan yang sebelumnya. Aku benar – benar penasaran emosi kemarahan apa yang tersembunyi di balik wajah datarnya itu, dan apa yang membuatnya berwajah seperti itu.

Hingga beberapa hari yang lalu, aku pasti akan semangat mencari tahu.

Tapi rasa ketertarikanku terhadap memori – memori semacam itu sudah sepenuhnya hilang.

Aku ingin melihat kematian. Hanya kematian.

"Kau benar – benar memiliki sesuatu yang bagus disini.." kataku. Kemarahannya surut, dan matanya terfokus lagi.

"Bagaimana kau tahu..."

"Aku bisa melihat apa yang sudah orang lain lihat melalui mata mereka. Awalnya aku ingin mata palsu Kurusu-kun. Aku ingin mendapatkan kekuatan untuk meramalkan kematian dan melihat kematian yang sudah pernah kulihat untuk kedua kalinya. Tapi kau tahu, ketika aku menatap dalam matanya, aku menemukan sesuatu yang lebih menakjubkan. Ya—matamu. "

"......"

Wajahnya kehilangan raut tanpa ekspresinya dan berubah.

"Aku tidak bisa menjelaskannya! Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya! Tapi ketika aku melihat matamu lewat mata Kurusu-kun, aku terseret ke dalam mata itu entah kenapa. Lebih tepatnya, terhadap apa yang sudah kau lihat."

Aku berhenti sejenak.

"—Katakan sayang, mengapa matamu mengingat banyak sekali kematian?"

Ada banyak sekali kematian dalam mata Kurusu-kun.

Juga ada banyak sekali kematian dalam matanya.

Kematian yang sama persis.

Tapi entah kenapa, aku lebih terseret pada mata gadis ini.

Aku masih tidak yakin kenapa, tapi aku yakin kalau aku akan menemukannya ketika aku melihat matanya lebih dalam, jadi aku tidak sabar untuk melihatnya.

Jangan khawatir, begitu aku selesai aku akan segera memutusnya.

"Tapi biarkan aku melihatnya dulu. Untuk memuaskan hatiku."

Aku menekan kepalanya ke belakang, menahan pipinya dan melihat ke dalam matanya.

Ketika itu, aku merasakan sebuah pukulan di belakangku.


Aku mendorong Mikagami walaupun aku belum sepenuhnya sadar.

Ia menabrak meja dan kemudian terjatuh ke lantai, dan sepertinya pingsan karena membeturkan kepalanya. Aku berjalan ke arahnya dan merogoh sakunya.

"...Ketemu," aku bergumam ketika aku menemukan kunci borgol Saki. “kau baik – baik saja?”

"Harusnya aku yang bertanya, apa kau baik baik saja?"

"Yeah."

Sambil menyeka darah yang mulai mengalir ke arah mataku, aku mencari lubang untuk membuka borgolnya. Kepalaku masih berputar, tapi sekarang bukan waktunya untuk mengeluh soal itu.

Sayangnya, borgol di tangannya ini menghadap ke bawah, jadi aku tidak tahu dimana tepatnya lubang kuncinya. Aku beralih ke arah pipanya untuk membuka borgolnya dari arah sana, tapi penglihatanku yang buram membuatku tidak bisa memasukkan kuncinya ke lubang yang tepat. Setelah beberapa kali gagal memasukkan kuncinya ke lubang kunci, tanganku juga mulai bergetar.

"Bertahanlah, aku akan segera membukanya..."

"Tokiya!"

Aku mengangkat kepalaku dan melihat Mikagami-san memutar tempat lilin di atas kepalanya seperti rantai besi.

"Bukannya sudah kubilang kau menghalangiku?!" teriaknya sambil melemparkan tempat lilin itu ke arahku dengan marah. Aku menghindar dengan melompat ke samping di detik – detik terakhir, tapi bahuku membentur sesuatu, dan rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuhku.

Apa wanita ini gila, menyerangku dengan tempat lilin setelah memukulku dengan bola kristalnya? Tempat lilin itu berukuran panjang dan berbahan besi. aku bisa saja mati kalau terpukul benda itu. Eh, tunggu, tempat lilin...? Bagaimana dia bisa memegang ‘tempat lilin’?

Aku kembali ke alam nyata dan melihat sekeliling, tapi hidungku lebih dulu mencium bau mencurigakan sebelum mataku bisa mengetahui apa yang terjadi.

Bau gosong telah terhisup oleh hidungku. Kemudian, aku mendengar suara pecahan sesuatu dan asap hitam merayap naik ke arah tirai. Sebatang lilin telah terjatuh dari tempatnya dan membakar tirai.

"Hey...!"

Ketika aku ingin berteriak memperingatkan, rasa sakit tiba – tiba menjalar dari bahuku. Sebelum aku sempat berguling di lantai aku menyadari kalau aku baru saja dihantam lagi. Memanfaatkan kesempatan itu, Mikagami-san menyerang punggungku.

"Tunggu...tiraimu terbakar...kita harus segera pergi!"

"Aku akan membunuhmu dulu, dan setelah kau mati aku akan mengambil matamu sebelum pergi!"

Ia memutar tempat lilin itu lagi.

Dan kemudian tiba – tiba suara riuh menyakitkan mengisi kepalaku—


Mikagami-san mengayunkan tempat lilin itu sekuat tenaga.

Aku menghindari serangannya, berguling ke samping, tapi ia membalasnya dengan ayunan samping juga.

Aku melompat mundur dan menghindari ujung tempat lilin itu yang hampir mengenaiku.

Akan tetapi, aku melompat ke arah lautan api.

Tapi sudah terlambat.

Aku terbakar beberapa detik kemudian.


"———!"

Otakku meneriakkan alarm.

Kecuali aku memperhatikan dimana aku menghindari serangannya, aku akan berubah menjadi abu.

Mikagami mengayunkan tempat lilin itu sekuat tenaga.

Aku menghindari serangannya, berguling ke arah yang berlawanan dari yang kulihat di [Vision] ku—menjauhi api—dan langsung menyiapkan diri untuk serangan selanjutnya.

"?"

Mikagami menurunkan tempat lilinnya entah kenapa.

Apakah masa depan sudah berubah dan dia menggagalkan serangan berturut - turutnya?

"Menarik sekali. Jadi itu caramu menggunakan matamu?"

"Hah?"

"Seharusnya kau mati terbakar karena seranganku. Tapi kau sudah meramalkan itu, dan mengambil langkah sebaliknya."

Bagaimana dia tau?! Oh,iya... dia bisa melihatku lewat mataku.

Sepertinya, Mikagami-san sudah menyaksikan kematianku lewat mata kananku. Tapi aku merubah masa depanku dengan melakukan yang sama sekali berbeda. Dia pasti mengira penggunaan [Vision]ku dari situ.

Cukup perhitungan untuk seorang wanita yang menggila.

"Jadi bagaimana aku bisa membunuhmu, hmm?"

Mikagami memutar tempat lilin itu lagi.

Itu ketika sebuah suara riuh menyakitkan mengisi kepalaku—


Mikagami-san mengayunkan tempat lilin itu.

Aku menghindari serangannya dan berguling ke samping, tapi seperti sudah menduga reaksiku, dia mengganti arahnya dan mengayunkannya dari samping.

Aku terkena ayunannya dan tidak bisa menghindar—dan terlempar ke arah api.

Aku terbakar dalam hitungan detik.


"———!"

Masa depan yang persis sama? Omong kosong! Aku tidak akan menerima masa depan semacam itu!

Lagi, aku melompat ke arah yang berlawanan dari [Vision], menjauhi api; sejauh mungkin agar serangan selanjutnya tidak mengenaiku tentu saja.

Akan tetapi, Mikagami-san sudah menungguku disana seperti ia sudah tahu pikiranku.

"Cih!"

Badanku bereaksi lebih cepat dari otakku. Aku menghindari ayunannya dengan melangkah mundur. Tekanan udara yang dibuat ayunannya terasa di atas rambutku. Sedetik saja aku terlambat, kepalaku mungkin sudah terkena benda itu.

"Ah, hampir," katanya sambil memasang senyum lebar.

Pertarungan kali ini benar – benar berbeda dengan apa yang sudah kuramalkan di [Vision]ku.

Sepertinya, ia sudah bisa menduga kalau aku akan menghindar di arah yang berlawanan setelh melihat [Vision]ku, dan selangkah lebih maju dariku.

Mengambil keuntungan dari percobaanku mengubah masa depan, dia juga mengubah tingkah lakunya.

Ini buruk. Dia selangkah lebih maju dariku.

Dia punya senjata, dia juga punya kemampuan khusus itu, sementara aku hanya menunggu kesempatan untuk mundur sambil menghindari kematianku. Tapi jika dia juga bisa memprediksi caraku menghindar, aku tidak bisa melindungi diri lagi.

Aku harus melakukan hal yang berkebalikan dengan perhitungannya sambil menghindari kematianku, tapi tidak ada banyak pilihan. Wajar jika kau pergi ke sebelah kanan ketika kau tahu kau akan mati jika pergi ke sebelah kiri. Pilihan lainnya, aku bisa saja menghindar maju atau mundur, tapi cepat atau lambat dia akan mengira tindakanku kalau dia menyerangku terus – terusan.

—oleh karena itu, hanya ada satu cara yang bisa dilakukan.

Aku berdiri menghadapinya.

"Sepertinya tempat ini tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Ayo kita akhiri ini semua."

Ia memutar tempat lilin itu lagi dan mengayunkannya.

"Tokiya!"

Aku mendengar teriakan Saki entah darimana.

Dan itulah saat suara riuh menyakitkan itu mengisi kepalaku—dan menutup mataku.

"!"

Sekilas, aku melihat wajah Mikagami-san yang terkejut dari mataku sebelum kututup tadi.


Tempat lilin besi itu terayun ke arahku untuk membunuhku.

Secara langsung aku mencoba menghindarinya dengan bergeser ke kanan, tapi tiba – tiba aku kehilangan keseimbangan.

Aku tersandung bola kristal.

Kehilangan keseimbangan, aku terjatuh secara menyedihkan dan...

Otakku hancur berkeping – keping.


Aku membuka mata.

Mikagami-san menatap mataku, mencoba melihat [Vision]ku.

Tapi dia tidak cukup cepat untuk itu.

Dia mengayunkan tempat lilin itu seperti yang sudah kuramalkan, tapi dengan kekuatan dan kecepatan yang semakin berkurang karena ketakutan aku akan menghindarinya.

Aku mencengkeram tempat lilin itu dengan tangan kiriku.

Rasa sakit menyebar dari tanganku, tapi aku tidak akan melepaskan peganganku.

Kalau ia memprediksi reaksiku dengan melihatku, aku hanya harus membuatnya tidak bisa melihatku. Kalau ia bisa menebaknya cepat atau lambat, aku hanya harus menginterupsi serangan berturut – turutnya.

Giliranku sekarang! Pikirku sambil segera berdiri. Demi menghindari seranganku, dia melepas pegangannya di tempat lilin itu dan mundur.

Heh. Bahkan aku tidak membutuhkan [Vision] untuk mengetahui hal itu.

Aku melemparkan bola kristal padanya dengan sekuat tenaga.

Dengan sebuah suara, bola itu mengenai kepala Mikagami-san.

Rasanya pasti sakit. Aku bisa mengatakannya dari pengalaman.

Mikagami-san jatuh pingsan dan berhenti bergerak.

"Saki! Kau baik – baik saja?!"

Rasa legaku tidak bertahan lama. Api sudah merambat dan ruangan ini dipenuhi asap.

Aku berlari ke arah Saki untuk melepas borgolnya. Dengan seluruh napasnya, ia bernapas dengan asap dan terbatuk – batuk, membuatku tidak mengenai lubang kuncinya. Aku tidak bisa melepasnya.

"Uhuk, uhuk.. Tokiya!"

"Berhasil!"

Borgol di pipa terbuka, tapi ketika aku berbalik untuk meraih tangannya, Saki berlari ke arah yang berlawanan.

Mikagami-san memutar tempat lilin itu sekali lagi.

Saki menyadari wanita itu dan melemparkan tubuhnya ke arah Mikagami-san, membuatnya terkejut. Mereka terjatuh di lantai bersamaan.

"Saki! Cepat!"

Aku mencoba meraih tangannya ketika berlari ke arah mereka—tapi tanganku hanya meraih udara.

"Heh?"

Sebelum aku dapat berbalik, punggungku terdorong kuat, dan karena kepala dan kaki yang tidak siap, aku tersandung beberapa langkah dan terjatuh ke depan.

"Apa yang..." aku bergumam sambil segera berdiri. Beberapa meter di depanku, Saki dan Mikagami-san berdiri berdampingan. “Saki! Apa yang kau lakukan?! Kita harus segera keluar dari..."

Ketika berusaha mengingatkannya, aku menyadari sesuatu.

Borgol Saki tersambung dengan tangan Mikagami-san, seperti ingin menangkap peramal itu.

Mikagami-san pasti mencoba menyerangku ketika aku berlari ke arah mereka, tapi Saki mendorongku keluar dan mencegahnya menyerangku dengan memborgol tangan Mikagami-san dengan tangannya sendiri.

Kenapa kau melakukannya? Apa artinya kalau hanya aku yang bisa selamat?

Sesaat sebelum aku dapat menyusul mereka, sebagian dari langit – langit yang rusak terjatuh di depanku. Aku segera menarik kakiku dan mundur. Menjauh dari Saki.

"Ugh!" erangku sambil menutupi wajahku dengan lengan untuk melindungi pecahan – pecahan yang jatuh. Dalam pengaruh penglihatanku yang tenang, aku melihat Saki menggerakkan bibirnya dengan raut tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Pergi."

Aku tidak mendengarnya.

Tapi aku membaca gerak bibirnya.

Aku berharap aku tidak membacanya.

Seharusnya aku bisa berada di sisinya tanpa ragu – ragu sedikitpun.

Tapi aku ragu.

Tanpa menungguku menghilangankan keraguanku, langit – langit ruangan itu runtuh.

Untuk mencegahnya menyelamatkan diri, aku mencoba menyerangnya dengan tempat lilin itu, tapi aku tertarik mundur seperti terikat oleh batu.

Gadis itu mengambil keuntungan ketika mengalihkan perhatianku dan memborgol tangan kiriku dengan tangan kanannya.

"apa... apa yang kau lakukan...!"

Aku tidak bisa keluar kalau aku membawanya.

Aku mencoba melepaskan mereka dengan kuku jariku, tapi tidak ada hasilnya. Kunci borgol ini dibawa Kurusu-kun.

"Berdiri!" teriakku, tapi dia tetap terduduk seperti tidak ingin menyelamatkan diri. “Apa yang kau lakukan?! Berdiri sekarang! "

Aku mencoba membuatnya mendengarku dengan menamparnya, tapi ia hanya membuka mulutnya tanpa melihatku:

"Bukannya kau sendiri ingin melihat kematian?"

"Apa...?"

"Kau ingin melihat kematian, kan? Yah, berbahagialah. Kau akan segera melihat dua kematian saat ini. Kau dan aku. Mati terbakar."

"Jangan main – main denganku!"

"Aku tidak main – main denganmu. Itulah artinya melihat kematian."

"Tidak ada gunanya kalau aku juga ikut mati, kan?!"

"Boleh aku memintamu untuk tidak main – main denganku," katanya dengan suara pelan namun tegas. "Menurutmu kau siapa? Orang – orang tidak mati demi hiburanmu, apalagi untuk memuaskan hasratmu."

"Apakah kau menyadari situasimu sekarang?! Kau juga akan mati!"

"Ya."

"B-bagaimana kau bisa begitu tenang? K-kau tidak takut? "

"Aku terbiasa dengan hal – hal semacam ini. Lagipula,.. mungkin lebih baik seperti ini."

Aku tidak paham. Aku tidak paham sama sekali. Apa yang dibicarakannya? Mengapa dia begitu tenang? Gadis ini benar – benar aneh!

"Ugh!"

Karena langit – langit tiba – tiba runtuh, aku menundukkan kepalaku dan kehilangan keseimbangan. Karena kami berdua terikat borgol, aku mendorongnya, dan kita terbaring bersama. Aku terjatuh di atas perutnya, sementara ia menahan dengan punggung.

Mata kami bertemu, dan tatapan kami tersambung begitu saja.

Kematian yang tak terhitung jumlahnya mengalir dari matanya ke mataku.

Aku tenggelam di bawah longsoran pipa yang terjatuh dari truk. Kematian besar.

Aku melihat ke bawah dari tempat tinggi. Tiba – tiba, aku bergerak dan mendekati tanah dengan kecepatan tinggi. Kematian langsung.

Aku menatap langit – langit, tapi kemudian tatapanku kabur dan aku menutup mataku. Kematian sunyi.

Ada lebih banyak kematian lagi.

Tertabrak kereta. Terbunuh pembunuh bayangan. Tergantung bunuh diri.

Semua jenis kematian mengalir ke arahku, tanpa ampun.

Mengapa mata gadis ini melihat begitu banyak kematian?

Gadis yang semuda ini.

Gadis senormal ini.

Ia memiliki semacam rahasia sendiri.

...Menarik sekali.

Aku sudah melupakan rasa penasaran terhadap kehidupan orang lain. Sebelum aku terpesona oleh kematian, aku masih penasaran terhadap orang lain. Itulah mengapa aku menikmati mengintip.

Tapi aku bosan dengan hidup orang lain, dan terobsesi dengan kematian.

Tapi gadis ini berbeda.

Tentunya, hidupnya tidak normal.

Tentunya, hidupnya adalah sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Tentunya, hidupnya melebihi imajinasiku.

Hidup seperti apa yang telah dijalani gadis ini?

Apa yang dirasakannya?

Apa yang dilihatnya?

Aku ingin tahu. Aku ingin tahu lebih banyak lagi.

Aku tidak tertarik dengan hidupnya hari ini, kemarin atau kemarinnya lagi.

Jauh ke masa lalunya. Aku ingin melihat masa lalu yang membentuknya menjadi sekarang ini.

Aku benar – benar melupakan situasiku sekarang dan menatap matanya dalam – dalam. Dalam sekali. Sedalam yang kubisa.

Aku melihat kematian lain.

Yang kulihat adalah—

Sebuah tirai merah dan asap hitam, dan cahaya berpendar yang banyak sekali di dalamnya.

Tapi penglihatan ini sama sekali tidak bagus, sama sekali tidak mengesankan.

Tiba – tiba, bayangan misterius menghapus tirai, asap hitam, dan semua cahayanya.

Tertegun oleh hal itu, aku bergerak mundur dan menghilangkan koneksiku dengan gadis itu. Aku terlempar kembali ke kenyataan, dan gambaran memori matanya menghilang.

Aku tidak tahu kenapa, tapi...

Walaupun aku pernah melihat kematian...

Kematian yang selama ini kukejar...

Aku sama sekali tidak merasa senang.

Aku basah kuyup oleh keringat. Bukan karena panas di sekelilingku; ini adalah keringat dingin. Walaupun disini panasnya bukan main, aku merasa dingin.

Aku gemetar. Jantungku ciut.

Aku tidak tahu kenapa, tapi aku menolak untuk melihat kematian itu.

Apa artinya itu?


Tiba - tiba.


Aku mendengar suara pecahan di atasku.

Reflek aku mendongak.

Yang kulihat adalah—

Sebuah tirai merah dan asap hitam, dan cahaya berpendar yang banyak sekali di dalamnya.

Tapi penglihatan ini sama sekali tidak bagus, sama sekali tidak mengesankan.

Langit – langit itu terjatuh ke arahku, menghapus api, asap dan kerlap – kerlip dari penglihatanku.

Huh? Mengapa aku merasa familiar dengan ini...?

Sebelum aku bisa melompat ke arah ruangan yang sekarang terbungkus api, aku ditahan dari belakang.

Aku menoleh dan melihat bahwa itu adalah penjaga.

Aku menyadari bahwa alarm api sudah berbunyi, dan itu menjelaskan bagaimana ia bisa ada disini.

"Nak! Apa kau sudah gila?!"

"Saki masih di dalam!"

Aku mencoba melepaskan diri, tapi dia sudah terlatih.

"Para pemadam api akan segera datang! Tunggu mereka!"

"Mereka tidak akan tepat waktu! Jangan omong kosong!"

"Tidak, kau yang tunggu!"

"...Menurutmu kau ini siapa? Penyelamat? Prajurit putihku? Lepaskan aku! Ada orang yang sekarat di dalam sana!"

Apakah aku akan gagal lagi?

Apakah aku tidak akan bisa lagi menyelamatkan satu nyawa yang sudah kuramalkan?

Di balik lipatan mataku—

Aku melihat wanita yang meninggal di depan pintu dengan banyak goresan.

Aku melihat wanita yang terbaring bersimbah darah dengan leher terputar tidak biasa.

Di bawah api—

Aku melihatnya, terkurung oleh api dan asap.

"Kau akan kehilangan semuanya kalau kau mati!"

"Aku tetap akan kehilangan semuanya kalau dia mati!"

Mencoba sekali lagi, aku memukulnya dengan kepalaku, dan rupanya mengenai hidungnya. Rasa sakit yang ia rasakan membuatnya melepaskanku. Melihat kesempatan itu, aku berlari ke arah lautan api.

Aku terserang oleh ombak panas dan asap yang membumbung tinggi, tapi aku tidak gentar dan tetap menunduk untuk menghindari itu semua.

Samar – samar, aku bisa melihat orang pingsan dari balik asap yang menghalangi penglihatanku.

"Saki!"

Aku tidak tahu apakah teriakanku ini terdengar, tapi aku terus memanggil namanya dengan suara serak.

Tidak ada jawaban.

Tapi itu tidak merubah apa yang mau kulakukan.

Aku melompat ke dalam api dan meraih Saki.

Aku tidak tahu dia masih bernafas atau tidak, atau panas yang kurasakan dari badannya ini karena panas tubuhnya atau panas dari api di sekelilingku.

"Saki! Saki!"

Tsukumodo V2 233.jpg

Api masih terus menjalar dan dinding di sekitar kami akan segera runtuh. Sebenarnya aku bermaksud untuk menyelamatkan diri secepatnya, tapi aku lebih tidak bisa menahan diri untuk mengetahui dia baik – baik saja atau tidak.

Aku memukul – mukul pipinya, aku menggoyang bahunya dan aku terus memanggil namanya.

Setelah itu semua rasanya seperti mimpi,

"...Toki...ya?"

Ia membuka matanya perlahan.

"Saki..."

"...Aku belum mati...?" katanya dengan tatapan terkejut yang bodoh saat melihatku.

Dia hanya setengah sadar dan belum bisa melihat situasi. Suaranya sangat lemah dan kata – katanya tidak ditujukan padaku.

Tapi dia masih hidup.

"Aku tidak akan membiarkanmu mati, bodoh."

"...Maafkan aku."

"Kenapa kau minta maaf?"

"...Maafkan aku."

Dia terus meminta maaf seperti sedang berhalusinasi. Dia memang belum sepenuhnya sadar, entah karena panasnya atau karena ia terlalu banyak menghirup asap. Ketika aku sudah yakin bahwa dia masih hidup, aku harus segera pergi dari sini.

Aku berdiri dan membawa Saki di tanganku untuk membawanya keluar.

Borgol di tangannya terjatuh, tapi itu sudah tidak tersambung oleh apapun. Yang ada hanyalah tumpukan arang hitam berbentuk seperti tangan di sebelah sana.

Langit – langit tepat di sebelah tumpukan itu tertangkap mataku.

Sedikit saja aku terlambat, Saki akan terkubur disana.

Ketika pemikiran itu terlintas di benakku, tumpukan itu bergerak dan sesuatu keluar dari bawahnya. Itu adalah muka menyeringai yang menatap kami tajam seperti api yang menyelimuti kami.

Aku tidak boleh menatap matanya...!

Tapi kedua nyala mata itu mati seketika seakan itu adalah nyala terakhirnya.

Segera setelah tatapanku teralihkan, aku pergi dari Mikagami-san dan keluar ruangan bersama Saki.

"Kita selamat, Saki."

"...Benarkah...?"

"Yeah."

"...Maafkan aku."

Dia meminta maaf sekali lagi; tanpa melepas cengkeraman tangannya padaku.

Seperti anak kecil yang tidak mau ditinggalkan.

Aku melihatnya.

Sekarang aku paham...

Di saat – saat terakhir aku dapat melihat mata mereka berdua.

Kupikir mata mereka sama, mengandung banyak kematian.

Tapi ada perbedaan jelas yang baru saja kusadari.

Ah, itulah mengapa aku lebih tertarik ke gadis itu..


Seminggu berlalu.

Kami ditanyai oleh polisi, tapi karena seseorang menemukan bola mata di apartemennya, para polisi itu mempercayai kami.

Mikagami mendapat label sebagai kolektor bagian tubuh. Sebagai seseorang yang hanya ingin melihat kehidupan orang lain, tentunya ia tidak senang dengan label itu, tapi ia tidak bisa beralasan lebih jauh lagi.

Untuk sementara, media memberitakan insiden itu sebagai “kemarahan sang peramal”, mengatakan bahwa ia terobsesi dengan sihir hitam atau semacamnya, tapi cerita itu sudah lama surut.

"Sampai berapa lama kau memakai perban itu?" Towako-san bertanya sambil menunjuk perban putih di seluruh tubuhku.

Hasil bakaran, lebam dan goresan yang kuterima ternyata tidak banyak, jadi hanya butuh dua minggu untuk sembuh.

"Kukira kau cukup senang selamat dengan satu mata hitam, heh?"

"Aku senang aku selamat tanpa kehilangan salah satunya," jawabku ketus, membuat Towako-san menyeringai.

"Kau berubah menjadi badut saat kepalamu terbentur atau bagaimana?"

"Ah, terimakasih banyak lho ya," kataku mengalihkan pandangan.

Saki baru saja kembali dari area dalam dengan baki berisi teh. Ia juga tidak mengalami luka serius dan hanya sedikit goresan karena borgolnya, dan ia sudah kembali ke kehidupan sehari – harinya di toko. Dia bertingkah seperti biasanya.

Akan tetapi, masih ada satu hal yang menggangguku soal insiden itu, tapi aku tidak bisa menanyakan hal itu pada Saki.

Ketika aku menyelamatkannya dari ruangan itu, ia terus meminta maaf.

Tapi untuk apa?

"Apa?" Saki bertanya ketika ia menyadari tatapanku padanya.

"Hmm? Ah, emm, apa kau ingat apa yang terjadi di ruangan yang terbakar itu?"

"Tidak juga."

Hmm, tentu saja. Dia cukup banyak tidak fokus waktu itu, jadi tidak mengagetkan kalau ia tidak ingat.

"Ada yang mengganggumu?"

"Oh, aku hanya ingin tahu mengapa ia lebih penasaran terhadap matamu padahal awalnya dia sangat menginginkan [Vision]ku."

Sepertinya wajar kalau ia menyandera Saki untuk memancingku keluar, tapi setelah memukulku dengan bola kristal itu, dia tidak mencuri mata palsuku dan malah melihat ke arah mata Saki. Apa yang membuatnya penasaran terhadap matanya?

"Mungkin..."

"Mungkin?" tanyaku, membuat tatapan Saki menerawang sebentar.

"Aku menangkap tatapannya... kalau kau tau maksudku."

"......Hah?"

"L-lupakan..."

Saki kembali ke area dalam dengan cepat, melupakan kalau ia harusnya meletakkan baki berisi tehnya disini.

"apakah Relik membuat orang melemparkan lelucon buruk atau bagaimana?" Towako-san bertanya keheranan.

Sebelum menjawabku, Saki mengalihkan pandangannya dari mataku dengan gugup.

Aku sangat yakin kalau dia... sama sekali tidak tau apa yang diinginkan Mikagami-san, dan hanya ingin menghiburku dengan leluconnya, tapi tidak bisa memikirkan lelucon yang bagus.

Matanya memang sefasih lidahnya.

Sepertinya perlahan – lahan aku mulai memahaminya. Yeah.


  1. Dengan nilai tukar 1 yen = 108,67 Rupiah, maka harga tiket adalah Rp 543.500,00.
  2. Kucing yang berwarna putih atau emas dan tangannya melambai – lambai. Dianggap sebagai kucing pembawa keberuntungan


Mundur ke Diri Kembali ke Halaman Utama Maju ke Make-Up