Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Make-Up

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search


Kapan dan bagaimana cewek belajar menggunakan make-up?

Di TV, kalian dapat sering melihat anak-anak yang berubah menjadi monster dengan menggunakan make-up ketika ibu mereka lengah, tapi aku belum pernah melihat hal seperti itu di kehidupan nyata.

Sementara di lingkunganku sendiri, aku menyadari cewek-cewek di kelasku mulai menggunakan make-up sekitar saat kami mulai memasuki SMA.

Tidak hanya dalam urusan make-up para cewek lebih maju dari kami kaum adam, tetapi juga ketika menyangkut pakaian dan gaya rambut . Mereka pasti lebih sensitif pada fashion daripada kami.

Memang ada juga beberapa laki-laki yang modis di sana sini, tapi itu hanya minoritas. Cenderung lumrah bagi pria untuk tampil biasa dalam hal seperti ini. Bukannya aku mau menyebut diriku standar, tapi itulah fakta yang tidak bisa kusangkal dalam fashion.

Mungkin para cewek membaca majalah agar dapat lebih terampil dalam bidang ini? Tapi aku tidak percaya mereka bisa berhasil cukup dengan itu.

Artinya, mereka harus meminta nasihat pada ibu atau teman mereka dalam hal make-up dan fashion.

Tapi cewek-cewek yang tidak punya teman dan orang tua tidak diuntungkan dalam hal ini.

Mm? Kalian tanya siapa yang kumaksud?

Tidak, tentu saja aku tidak memikirkan seseorang yang spesifik.



Sederet panjang botol-botol dijajarkan di atas meja.

Toner, lotion biasa dan lotion susu, alas bedak cair, krim... pelindung kulit, pelembab, perawatan kulit... produk-produk setelah perawatan untuk digunakan setelah mencuci muka, atau setelah memakai masker, atau sebelum menggunakan make-up...

Karena aku sama sekali belum tahu apa yang harus digunakan, kapan, dan untuk apa, aku hanya membeli beberapa secara acak, tapi sekarang setelah kuderetkan barang belanjaanku, aku pun masih belum tahu.

Faktanya, semua ini hanya sebagian kecil dari kosmetik-kosmetik yang dijual. Yang bisa kukatakan sekarang hanya masker wajah masih terlalu tinggi tingkatannya untukku.

Sudah sekitar pukul sepuluh malam. Aku masih memegangi kepalaku di depan cermin dan sederet produk-produk kecantikan sementara masih memakai slip dress yang kukenakan sehabis mandi tadi.

Mestinya, aku perlu melakukan sesuatu pada kulitku yang kering setelah mandi, tapi aku bahkan tidak tahu mengapa karena mandi saja kulitku bisa kering. Apalagi, toner dan semacamnya bisa saja seharusnya tidak hanya dioleskan, tetapi juga dipijat-pijat.

Pokoknya, duduk diam saja tidak akan ada gunanya.

Aku memutuskan untuk mulai sambil mengikuti petunjuk di bukuku.

Dengan hati-hati, aku menuang sedikit toner ke atas tanganku dan memijatnya memutar-mutar di permukaan wajahku untuk agar merasuk. Dengan mengikuti perintah di buku, aku juga mengoleskan sebagian ke tempat-tempat lain seperti lengan dan tengkuk leherku.

Aku takut harus mengulangi langkah yang sama lagi untuk lotion dan alas bedak, tapi karena keduanya disebutkan opsional, jadi aku mengabaikannya.

Jika aku memikirkan sebagian besar wanita melakukan ini setiap hari, aku jadi merasa salut.

Aku sendiri juga baru saja mulai menggunakan kosmetik, tapi aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan.

Tidak, ini pola pikir yang salah.

Aku tidak boleh menyerah.

Atau aku akan berakhir seperti...

Aku melirik sebuah foto yang berkerut-kerut di atas meja.

Aku berusaha meratakannya dengan telapak tanganku, tapi foto itu tetap saja berkerut-kerut. Dan orang yang tampak di dalamnya pun masih tetap penuh dengan kerutan seperti wanita tua.


Insiden itu terjadi beberapa jam yang lalu.

Towako-san sedang pergi belanja seperti biasanya, sementara kami berdua menjaga toko.

Selama waktu istirahatku, aku pergi keluar untuk membeli beberapa barang. Ketika aku kembali, aku meletakkan bahan-bahan makanan ke dalam kulkas. Saat hendak meletakkan castella cake (yang kubeli untuk dimakan saat minum teh) di ruang tamu saat aku tiba-tiba menyadari sebuah kamera di sana.

Itu adalah kamera analog yang kelihatan lumayan tua, dan aku pun tergoda untuk mengangkatnya dengan tanganku.

Saat itulah peristiwa itu terjadi.

Suara jepretan keras menggema.

Aku belum sempat mengoperasikan kamera itu. Jadi mungkin aku menyentuh titik yang salah atau benda itu aktif sendiri.

Aku menaruh kembali kamera itu dengan panik.

...Orang lain mungkin belum menyadarinya, tapi aku benar-benar panik; karena mungkin saja kamera itu adalah sebuah Relik.

Karena kekuatan istimewanya, tidak mungkin untuk memprediksi efek apa yang dimiliki sebuah Relik. Sementara itu, Towako-san punya kebiasaan buruk meninggalkan Relik-Reliknya tergeletak sembarangan.

Ceroboh sekali aku. Aku terlalu tidak hati-hati.

Aku seharusnya sudah memikirkan kemungkinan itu sebelum menyentuhnya.

Bagaimana kalau kamera itu punya kekuatan untuk menghisap jiwa seseorang? Apalagi, dulu kami sudah pernah bertemu patung yang membunuh siapapun yang menyentuhnya.

Selagi aku memikirkan hal-hal ini, kamera itu mengeluarkan suara seperti mesin dan mencetak selembar foto. Seperti kelihatannya, itu adalah kamera Polaroid. Tapi apa yang akan terjadi sekarang?

Aku mengambil foto itu dan melihatnya.

"Ini...?"

Saat itulah Tokiya mengintip ruang tamu dari toko.

"Ada apa?"

"Ah, Tokiya. Lihat, kamera ini..."

"Mm? Ah, jangan sentuh itu, oke? Itu Relik yang Towako-san tinggal di situ."

"Jadi itu memang Relik."

"Hei, jangan-jangan kamu sudah menggunakannya?"

Aku cepat-cepat menggeleng, sambil menyembunyikan foto itu di belakangku.

"Iya, sih, kamu tidak mungkin menggunakannya," katanya, "Tapi serius, hati-hati! Kacau sekali waktu aku menyentuh dompet Relik itu. Kau bisa camkan kata-kataku."

Tentu saja, Tokiya sudah mengalami pengalaman-pengalaman menyakitkan dengan Relik sebanyak yang kualami. Jadi kalau Tokiya saja memperingatkanku, bahaya seperti apa yang disembunyikan kamera itu?

"T-Tokiya... Kekuatan apa yang dimiliki kamera ini?"

"Kalau boleh jujur, nggak ada heboh-hebohnya sih," aku Tokiya sembari berjalan masuk ke ruang tamu. Setelah sampai ke dekat meja, dia mengangkat kamera itu, memutar semacam dial, dan akhirnya memotret castella cake yang kuletakkan di meja. Setelah beberapa saat, satu foto lain tercetak dengan suara mekanis yang sama seperti sebelumnya.

Dia mengambil foto itu dan menunjukkannya padaku.

Tentu saja, sebuah cake ada di dalamnya. Akan tetapi, di dalam foto, cake itu tampak kadaluarsa—nyaris busuk—dan warnanya pun sedikit berbeda.

"Kenapa kelihatan beda?"

"Nah, kamu bisa mengambil foto dari masa depan."

"Dari masa depan..."

"Aah, tapi ada satu kelemahan...," kata Tokiya seraya mengambil sepotong castella cake, dan menggigitnya. "Foto ini cuma menunjukkan bagaimana obyek akan terlihat setelah jangka waktu tertentu tanpa mempertimbangkan jika ia dimakan, seperti sekarang ini."

"Itu berapa lama?"

"Dalam kasus ini, mungkin setahun? Lihat dial ini? Kamu bisa mengatur angka tahunnya di sini, begitu kata Towako-san."

"K-Ke angka berapa itu diset sebelumnya?"

"Sebelumnya?"

"Maksudku, a-apa kamera itu juga diset ke satu tahun sebelum kau memotret foto ini? Tidak, kan?"

"Engg, berapa ya? Aku nggak terlalu memperhatikan, tapi mungkin 16 tahun? Ya, kira-kira segitu. Cuma lihat sekilas, sih."

"16 tahun?"

"Iya."

"Kamu bilang enam belas tahun?"

"Iya. Ada masalah?"

"Tidak."

Dia mengangkat bahu dan kembali ke toko sambil mendorong potongan cake yang tersisa ke dalam mulutnya.

"Oh, 16 tahun...."

Aku melihat foto itu, yang tak sengaja kuremas.

Kerut-kerutan dalam yang timbul bukan karena foto itu kuremas, rambut seputih salju, baju compang-camping—

Itu adalah foto gadis bernama Saki Maino, 16 tahun yang akan datang.

...Dengan kata lain, aku.

Ini keterlaluan.

Meskipun aku tidak pernah memperhatikan kulitku, ini tetap saja keterlaluan.

Tetapi ketika aku mengambil sebuah majalah tua, aku menemukan bahwa zaman sekarang, anak-anak SD pun melakukan perawatan kulit.

Menurut majalah itu, kau tidak boleh mulai terlalu dini melakukan perawatan kulit, karena dalam beberapa tahun terakhir ini penuaan kulit dan tubuhmu telah menjadi semakin cepat karena berbagai alasan seperti peningkatan radiasi UV dan malnutrisi.

Setelah membaca artikel itu, aku merenungkan ketidakpedulianku dalam hal semacam ini.

Sudah jelas, tidak seperti dulu, sekarang ini ada berbagai macam produk kecantikan di pasaran, yang tentunya karena fakta bahwa mereka dibutuhkan.

Aku kemudian mulai membaca topik itu. Tidak hanya menyinggung dasar-dasar seperti krim dan lotion, aku juga menemukan bahwa make-up juga bertujuan melindungi kulit dari radiasi Ultraviolet dan semacamnya.

Selama ini kukira make-up hanya ditujukan untuk pamer, jadi aku tidak menganggapnya tidak diperlukan.

Aku tidak terlalu sering melihat Towako-san menaburkan make-up, tetapi dia memang hampir selalu mengenakan make-up tipis. Dan sejujurnya, ia memang terlihat lebih muda dari usia aslinya. Aku selalu menghubungkan itu dengan sifatnya, tapi ternyata aku salah. Towako-san telah melakukan usaha untuk tetap awet muda.

...Kenapa dia tidak pernah memberitahuku?

Setelah merasakan beberapa bahaya, aku cepat-cepat pergi dan membeli sendiri sederet produk-produk kecantikan, dan bertekad untuk mulai sekarang juga.

Aku masih bisa membuat perubahan.

Aku melihat lagi foto itu.

Pada penampilanku yang penuh keriput, enam belas tahun yang akan datang.

Kemudian aku berjanji:

Aku akan segera menjadi cantik.

Gadis seperti diriku pun mengenal keinginan yang dimiliki setiap gadis.

Keinginan untuk menjadi cantik.


Tiga hari telah berlalu semenjak aku mulai menggunakan make-up dan melakukan perawatan kulit.

Aku tanpa sadar mendatangi kamera itu dan mengangkatnya.

Apa sudah ada perubahan yang terlihat jika aku mengambil foto sekarang?

Tidak, jangan terburu-buru.

Di samping itu, aku pasti akan langsung menyerah kalau sampai tidak ada.

Aku meletakkan kamera itu lagi.

Satu langkah untuk satu waktu. Tidak ada buah tanpa keringat. Usahaku pasti membuahkan hasil.

Aku tidak terlalu sering menonton TV, tapi aku tahu betapa cantiknya para bintang. Mereka pasti juga melakukan usaha juga di belakang panggung, agar dapat bersinar di atas panggung.

Sebenarnya, aku juga lebih suka melakukannya diam-diam, tapi aku tidak akan sampai ke manapun dengan usaha setengah-setengah seperti itu.

Lagipula, fakta bahwa aku akan memiliki banyak keriput dalam enam belas tahun juga berarti bahwa dalam waktu dekat...mungkin bahkan dalam satu bulan, aku bisa mulai menua. Tidak, proses penuaan mungkin sudah dimulai dan berjalan selagi kita berbicara, hanya saja tidak terlihat mata.

Tidak ada jalan lain.

Di samping itu, Tokiya belum berkomentar apa-apa tentang sikapku belakangan ini.

Tentunya, sekarang ini aku hanya sedikit menggunakan make-up, tapi tidak mungkin dia tidak sadar. Ia pasti pura-pura mengabaikannya. Dia cukup sopan untuk tidak menyinggung usaha yang kulakukan.

Ngomong-ngomong, waktunya belajar mumpung ini masih waktu istirahatku!

Sesaat kemudian aku mendadak berhenti membalik-balik halaman majalah.

Aku menemukan sebuah artikel spesial.

"Untuk semua gadis yang tidak mendapat pujian dari pacar mereka meski telah melakukan berbagai usaha."

...Coba kita lihat.

B-Bukannya aku peduli kalau Tokiya tidak pernah mengatakan apa-apa tentang penampilanku. Aku cuma penasaran!

"Hei, Saki."

"A-Apapaapa?"

Aku terlalu larut dengan majalah itu sampai aku gagal ketika buru-buru menutupnya. Dengan tangan yang semakin bergetar, aku cepat-cepat menutupi majalah dengan tanganku.

"Ada masalah apa?" tanyanya.

"Tidak apa-apa. Tapi ngomong-ngomong, kau ada masalah apa?"

"Ke toilet. Bisa kau awasi toko sementara aku pergi? Bukannya kupikir ada yang mampir, sih," katanya seraya berjalan ke arah kamar mandi.

Aku mungkin gagal menutup majalah itu, tapi aku berhasil menggantinya ke halaman lain berisi reportase, jadi ia mungkin tidak menyadari apa-apa. Hampir saja. Kalau dia sampai melihatku membaca artikel seperti itu, dia pasti akan mulai heran denganku.

Setelah memastikan Tokiya benar-benar sudah pergi, aku membuka artikel khusus itu lagi.

"Hati-hati! Jangan kira cowok bebal hanya karena mereka tidak bilang apa-apa tentang usahamu untuk tampil cantik! Mungkin, pacarmu sengaja diam saja karena mulai bosan denganmu!"

Dia tidak mengatakan apa-apa, sih. Apa dia sudah mulai bosan denganku? Tidak, kami tidak berpacaran, jadi tidak mungkin dia bosan denganku. Tunggu. Apa dia juga bisa bosan denganku tanpa menjadi pacarku?

Aku melihat lebih dekat ke artikel tersebut.

Cerita Nona A. Pacarku tidak mengatakan apa-apa waktu aku mengganti make-upku. Waktu kutanyai dia tentang itu, dia Cuma berkata, "Terus?" Kami putus seminggu kemudian.

Cerita Nona B. Ada cowok di tempat kerjaku. Kami punya jadwal kerja yang sama dan kami cukup dekat. Tapi waktu aku mencoba usaha lebih pada make-up-ku, dia tidak mengatakan apa-apa. Kutanyai dia dengan halus. "Kembali bekerja!" jawabnya. Setelah itu, aku baru tahu bahwa dia sudah punya pacar. Dia sama sekali tidak berminat padaku sejak awal.

"Adakah sesuatu dari cerita mereka yang bisa kau hubungkan dengan dirimu?"

Ada. Sekarang ini. Jadi apa itu artinya kami mulai bosan dengan satu sama lain? Bawa Tokiya tidak menaruh minat padaku?

"Tapi jangan takut! Ini solusinya!

Misi 'Buat Kekasihmu yang Jemu Terpana! (bagian Make-Up)' "

Artikel tersebut berisi pengenalan mendalam mengenai make-up dan sejumlah tips, yang disertai sebuah komik yang memperlihatkan seorang pria dengan mata berbentuk hati yang memuji seorang wanita hingga ke angkasa.

Terinspirasi oleh itu, aku mencoba membayangkan Tokiya menyebutku cantik.

......

......

Sepertinya aku suka itu.

T-Tentu saja aku tidak bicara tentang dipuji, tapi ide untuk memiliki tujuan yang jelas, karena aku sudah mulai muak dengan kosmetik. Bukannya Tokiya pacarku atau si-cowok-spesial atau apapun, dan aku tidak terlalu ingin dipuji olehnya.

...Tapi kalau boleh jujur, aku juga agak sedikit tertarik dengan pujian.

Gadis seperti diriku pun mengenal keinginan yang gadis manapun miliki.

Keinginan untuk disebut cantik.



Setelah menyelesaikan istirahatnya, Saki mulai menata rak, sibuk mondar-mandir di depanku.

Ia mengambil sebuah barang dari satu rak, berjalan melewatiku untuk menaruhnya di tempat lain dan kemudian melewatiku lagi , kini membawa barang yang baru saja dipindahkannya. Tapi belum selesai sampai di situ; tampak tidak puas, ia berjalan kembali dengan barang itu, menyeberangi area pandanganku lagi, dan meletakkannya kembali ke tempat asalnya, lalu memandang rak dari kejauhan untuk mendapatkan kesan.

Dia cukup berlawanan denganku; aku sudah bersantai di meja kasir, menunggui pelanggan-pelanggan kami yang tidak kunjung datang.

Aku iseng mengikutinya dengan mataku, tetapi kelihatanya Saki terlalu asyik dengan pekerjaannya sampai ia tidak menyadariku, bahkan tidak melihat ke arahku.

"Saki."

"Ya?" tanya Saki, menghentikan tangan-tangannya yang sibuk.

"Kelihatan bagus."

"M-Menurutmu begitu?"

"Ya, jelas aku suka apa yang kulihat."

"A-Apa benar perbedaannya begitu besar?"

"Ya. Aku tidak menyangka efeknya sebesar ini hanya dengan menata ulang barang di rak-rak."

"Ya, ya. Sedikit sentuhan make-u... eh? Rak-rak? Barang?"

"Ya. Apa kau mulai belajar desain interior baru-baru ini?"

"Y-Ya! Menurutku kesan itu penting!"

"Oh, begitu," kataku.

"......"

"......"

"Itu saja?"

"Mm?"

"T-Tidak, jangan dipikirkan."

Meski nampaknya ia ingin mengatakan sesuatu, Saki kembali menata barang tanpa mengatakan apapun.

Ketika Saki berjalan melewatiku, aku mencium sebuah aroma.

"Saki."

"Ya?" tanyanya seraya menghentikan langkahnya menuju rak.

"Baunya enak."

"M-Menurutmu begitu?"

"Ya, baunya lumayan merangsang."

"M-Merangsang? Wow... b-benarkah? Tapi aku tidak mencoba melakukan apapun yang mencurigakan!" kata Saki, sekilas terlihat sedikit melebarkan matanya kebingungan.

"Ya. Kalian akan makan semur untuk makan malam? Baunya benar-benar merangsang nafsu makanku."

"Ya, ya. Sedikit sentuhan parfu... eh? Semur? Nafsu makan?"

"Ya. Kau sudah menyiapkan makan malam, ya? Ada bau enak tercium dari dapur. Rasanya sekarang aku jadi lapar."

"Y-Ya! Kami akan makan semur malam ini!"

"Oh, begitu... apa aku harus beli semur microwave juga, ya?"

"......"

"......"

"Itu saja?"

"Mm?"

"T-Tidak, jangan dipikirkan."

Meski nampaknya masih ingin mengatakan sesuatu, Saki pergi ke dapur untuk mengatur kompor tanpa mengatakan apapun.

"Hari ini tingkahnya benar-benar aneh."

Ia terlihat agak kecewa meski aku sudah memujinya. Atau cuma perasaanku saja?

Ngomong-ngomong tentang hal yang aneh, aku penasaran, apa ini soal artikel yang itu? Dia mungkin langsung menutupinya, tapi aku bisa melihat sekilas.

Jujur, aku tidak mengira dia tertarik dengan hal semacam itu.

Yah, dia tetap saja seorang cewek. Rasanya, sih, itu normal-normal saja.

Tapi kalau itu masalahnya, akan kucarikan sesuatu dari perpustakaan sekolah dalam beberapa hari ini.




Beberapa hari kemudian.

Ini aneh. Meski aku sudah menaruh usaha pada make-up-ku, Tokiya tidak juga memberikan tanggapan apapun. Aku bahkan sudah mencoba parfum dan masih kalah dari semur.

Bukan hanya tidak memujiku, dia bahkan tidak menyinggung topik itu.

Apa dia benar-benar tidak menyadari apa-apa? Tidak, itu tidak mungkin. Dia pasti sudah sadar. Lalu apa dia memang sudah bosan denganku? Tapi kalau itu, dia masih berbicara denganku seperti biasanya...

"Mm?" gumamku ketika melihat sebuah buku di atas meja, yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Buku itu bukan milikku. Apakah Tokiya lupa membawanya pulang?

Aku sedikit tertarik dengan selera buku Tokiya, jadi aku mengambil dan melihatnya.

Dari sampul tebalnya, kukira buku itu adalah sebuah novel, namun ternyata itu adalah naskah teater.

Aku tidak tahu Tokiya tertarik dengan teater.

Ceritanya sangat mirip dengan suatu dongeng.

Disebut-sebut sebagai wanita tercantik di bawah mentari, setiap hari wanita itu selalu berusaha menjadi lebih cantik. Ia telah mendapat banyak sekali lamaran, namun ia menolak setiap dari mereka karena ia pikir tidak ada pria yang pantas dengan kecantikannya.

Suatu hari, ia bertanya pada cermin ajaibnya, siapa wanita tercantik di dunia, tetapi cermin itu menjawab dengan nama orang lain. Meskipun wanita itu meningkatkan usahanya untuk tampil lebih cantik, cermin itu tidak pernah menjawab dengan namanya lagi.

Wanita litu menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk berusaha tampil cantik dengan make-up dan perhiasan, dan menjadi tua tanpa mendapatkan apa-apa.

Seiring berjalannya waktu, lamaran yang didapatkannya semakin berkurang, dan pada akhirnya, ia mati sebatang kara.

"Apa ini..."

Pesan dari cerita itu tertulis di akhir naskah.

"Sebaiknya jangan melakukan usaha yang sia-sia."

Sesuatu menusuk hatiku.

Apa artinya ini? Arti kalimat yang bergema aneh ini?

Kenapa Tokiya harus meninggalkan buku ini hari ini di sini?

"Ah! Mungkin... apa dia mau bilang kalau...?"

Aku bergegas ke kamarku dan membuka almari bajuku.

Aku menyimpan foto itu di sana agar tidak ada yang menemukannya. Aku ingin sekali membuangnya saja, tetapi aku sengaja menyimpannya untuk memperbaharui tekadku ketika aku sudah hampir menyerah.

Foto itu masih ada di sana. Tetapi, aku tidak bisa tahu pasti apakah belum ada yang melihatnya.

Tidak, Tokiya pasti sudah melihat foto ini. Mungkin dia sudah tahu sejak awal. Mungkin dia sudah pernah melihatnya waktu aku memotret.

Dia tahu bagaimana penampilanku enam belas tahun yang akan datang.

Dan setelah mengetahui hal itu, dia ‘’sengaja’’ meninggalkan naskah ini di tempat yang bisa kutemukan.

Untuk mengatakan bahwa usahaku sia-sia.

Tanpa sadar, aku sudah membuang naskah itu.

Aku mengerti. Itu yang ingin kau katakan padaku.

Tentunya kau sadar, kan?

Tentunya kau tidak akan bosan padaku kalau sejak awal kau tidak tertarik, kan?

Wah, terima kasih, ya, sudah membuka mataku!

Aku mengambil krim dan lotionku, dan menepukkannya ke atas mukaku, menggunakan dua kali lipat dan dua kali pakai dari jumlah biasanya.

Tapi aku yakin, itu masih belum cukup.

Sambil menaburkan make-up, aku menetapkan tekadku.

Ini waktunya senjata rahasiaku! Meski mungkin aku sudah menyegelnya karena tingkat kesulitannya...

Aku menyingkirkan majalah yang selama ini kubaca, dan mengeluarkan sebuah buku lain dari kedalaman rak bukuku.

Baiklah, Tokiya! Akan kuterima tantanganmu.

Akan kita lihat apakah aku memang melakukan usaha yang sia-sia di sini.

Aku akan membuatmu tak bisa berkata-kata lagi.

Tunggu saja!

Aku akan menjadi hal tercantik yang pernah kau lihat!



Ketika berjalan menuju Toko Barang Antik Tsukumodo sepulang sekolah, aku menabrak seseorang yang meninggalkan toko dengan muka cemberut. Karena kuduga Saki berulah lagi, aku memasuki toko sambil menghela nafas.

"Selamat datang, Tokiya."

"Hei, apa yang kamu lakukan pada pela... HUWAAA!"

Aku berteriak seraya melangkah mundur.

"Ada yang salah?"

"Salah...? Harusnya aku yang bilang begitu... ah, tidak..."

Yang mengejutkanku, Saki telah memakai make-up.

Tentu saja, aku tidak akan begitu terkejut kalau itu hanya make-up.

Tidak, sekarang dia memakai make-up yang luar biasa tebal. Sangat mirip anggota suatu kelompok teater yang sekarang sedang popular di kalangan para gadis. Kelompok itu menjadi tenar karena anggotanya yang mengenakan kostum mencolok yang cocok dengan make-up tebal mereka, dan karena penulis naskah mereka adalah ahli dalam menafsirkan kembali cerita dongeng.

Eye shadow ungu menyala, alis yang seperti digambar dengan spidol, bulu mata diperpanjang dua kali dari panjang aslinya, pipi yang lebih merah daripada penduduk negara terdingin, lipstik semerah darah, dan kelap-kelip glitter di seluruh permukaan wajahnya.

Tsukumodo V2 259.jpg

Yang mungkin terlihat indah di atas panggung dari jarak sepuluh-dua puluh meter, menjadi terlihat menyeramkan ketika dilihat dari dekat.

Pantas saja pelanggan itu pulang dengan dengan muka jijik. Kami mestinya bersyukur dia tidak menjerit keras-keras. Aku penasaran apa yang pelanggan itu pikirkan tentang toko kami setelah kejadian ini.

"Ada apa?" tanyanya.

"Ah, ti, tidak apa-apa. Um, kenapa kau tidak istirahat saja?"

"Aku tidak perlu."

"Tidak, aku yakin kau perlu. Kau sudah agak capek, ‘kan? Ya, kau pasti capek."

"Menurutmu begitu? Aku istirahat sebentar kalau begitu."

Setelah kalah dengan kengototanku, Saki meninggalkan konter menuju ruang tamu.

Aku mengganti pakaianku, dan duduk di belakang konter, tetapi aku tidak bisa menahan desakan untuk melirik pada Saki.

Ada apa ini? Tidak, yang lebih penting, apa benar tidak apa-apa kalau aku menanyainya tentang hal ini? Atau aku harus pura-pura kalau semuanya berjalan biasa dan baik-baik saja? Tapi dia membuatnya terlalu kentara untuk pura-pura tidak tahu.

Tiba-tiba, buku yang ia baca menarik perhatianku.

"Menjadi Aktris itu Mudah! (Make-Up untuk Pertunjukan)"

Begitu judulnya.

"S-Saki?"

"Apa?"

"A-Apa buku ini juga membantu meningkatkan layanan pelangganmu?" tanyaku.

Dengan muka datar... tidak, wajah itu terlalu menyeramkan untuk disebut datar, Saki menjawab, "Kamu bicara apa? Apa hubungannya make-up dengan layanan pelanggan?"

"Y-Ya, benar juga. Maaf tanya yang aneh-aneh."

Benar, benar. Lagipula kami bukan toko kosmetik...Tunggu. Sepertinya aku mengatakan hal yang aneh sekarang! Rasanya peran kami jadi terbalik. Tentu saja, Saki yang aneh.

Ngomong-ngomong, bagaimana aku harus mengartikan sikapnya?

O-Oh iya, mempunyai hobi adalah hal yang baik.

Meski aku tidak setuju dia memakai dandanan seperti itu saat bekerja— bagaimanapun tertariknya dia— untuk sementara mungkin aku akan diam dan melihat saja.

Ya, itu ide yang bagus.

Towako-san, tolong cepat pulang!

"Tokiya."

Aku mengerjap karena kaget.

"A-Apa?"

Saki berjalan lurus ke arahku sambil memegang sebuah buku.

Saat itulah, aku merasa seperti tersambar petir.

Make-up yang aneh itu ternyata seperti milik kelompok teater yang Saki baca beritanya di majalah beberapa hari lalu. Tentu saja, setelah tahu bahwa ia tertarik dengan hal-hal seperti itu, aku membawakannya salah satu naskah mereka dari perpustakaan dan meletakkannya di meja, tapi aku tidak pernah bermimpi bahwa ia sangat mengagumi aktris-aktris itu sampai ingin menirunya. Tidak, mungkin ia bercita-cita menjadi aktris sungguhan jika tiruannya sangat mirip dengan aslinya? Tidak, tidak, dia tidak akan...

"Terima kasih bukunya."

"K-Kamu suka?"

"Wah, iya. Aku cinta."

Kelihatannya ini bukan "minat" biasa; wajahnya masih tanpa ekspresi seperti biasa, namun matanya tidak.

Aku merasa ada api di matanya, nyaris seolah-olah dia mendelik padaku.

Ngomong-ngomong, buku ini adalah penafsiran kembali dari sebuah cerita yang berpesan moral "Jangan hanya memoles bagian luarmu, poles juga bagian dalam dirimu," dan "Jangan iri pada orang lain karena penampilan mereka; kau adalah kau, dan mereka adalah mereka."

Aku belum membaca sendiri buku itu, tapi siswa yang membantu di perpustakaan memberitahuku begitu. Rupanya, pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah hanyalah candaan kecil dan tidak untuk dianggap serius.

Sebenarnya, petugas perpustakaan itu sudah memberiku buku lain yang terus-menerus ia rekomendasikan padaku. Aku tadinya berencana untuk mengembalikannya tanpa kubaca, tapi kalau Saki sangat tertarik dengan hal seperti itu, kupikir lebih baik aku pinjamkan saja padanya.

Akan kutinggalkan buku itu di meja untuknya.

Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?



Aku menemukan sebuah buku lain hari ini.

Itu adalah naskah grup yang sama dengan yang pertama, dan lagi-lagi ini adalah cerita mirip dongeng dengan pesan moral.

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita muda di sebuah desa. Keluarganya miskin, pakaiannya compang-camping, wajah dan tangannya kotor karena sehari-hari ia bekerja di ladang. Karena penampilannya yang lusuh, ia selalu ditertawakan.

Meski keadaannya seperti itu, gadis itu berusaha menikmati hidupnya sepenuhnya. Suatu ketika, seorang pria datang ke tempatnya untuk berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan ketika ia terjatuh di jalan.

Pria itu sebetulnya adalah seorang bangsawan. Pria itu melamarnya, menghadiahinya dengan pakaian dan perhiasan yang lebih indah dan mahal dari yang pernah ia ketahui.

Setelah ia membersihkan diri dan mengenakan pakaian-pakaian barunya, ia berubah menjadi gadis yang paling cantik di negeri itu. Ia menikah dengan sang pria dan hidup bahagia selamanya.

Pesan moral cerita itu tertulis di akhir naskah.

"Betapapun cantiknya wajahmu, kalau kau tidak memperhatikan pakaian dan kebersihanmu, semuanya sia-sia saja."

Sesuatu menusuk hatiku.

Tokiya menertawakan usaha usaha mati-matianku pada make up, menyindir bahwa make-upku pun tidak akan mengubah penampilan lusuhku dalam enam belas tahun.

Tanpa sadar, aku sudah membuang naskah itu.

Baiklah, Tokiya! Akan kuterima tantanganmu.

Akan kutunjukkan padamu hasil dari “usaha sia-siaku” ini, dan akan kubuat kau tak bisa berkata-kata lagi.

Aku akan membuatmu tak bisa berkata-kata lagi.

Tunggu saja!

Aku akan menjadi hal tercantik yang pernah kau lihat!



Saat aku tiba di toko pada hari berikutnya, Saki mengenakan gaun hitam yang mewah.

Di tangannya, ia memegang sebuah buku berjudul "Menjadi Aktris itu Mudah! (Kostum untuk Panggung)". Memang, gaun yang ia kenakan sama seperti seorang ratu di teater, dan mungkin hanya dapat ditemukan di toko kostum. Aku terkejut saat tahu bahwa ia sampai sudah mencari toko khusus seperti itu.

Mungkin, ia memang sungguh-sungguh bercita-cita menjadi seorang aktris.

Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasanya, namun matanya tidak.

Aku merasakan api yang sangat dahsyat, seolah-olah ia ingin menikam seseorang hanya dengan tatapannya sendiri.

"Oh, kamu di sini?" katanya.

"Ya, aku ambil alih di sini, jadi kamu bisa istirahat."

"Terima kasih bukunya."

"Kamu suka?"

"Wah, iya. Aku cinta."

Nampaknya ia sudah menyelesaikan buku yang kubawakan untuknya. Itu baru namanya semangat, membaca habis buku seperti itu dalam satu hari.

Ngomong-ngomong, buku itu adalah reinterpretasi dari sebuah cerita yang berpesan moral "Jangan menilai sesuatu dari kesan pertamanya, karena mungkin kau akan menemukan bahwa mereka sebenarnya sangat indah ketika dilihat lebih dekat."

Aku belum membaca sendiri buku itu, tapi siswa yang membantu di perpustakaan memberitahuku begitu. Pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah hanyalah candaan kecil dan tidak untuk dianggap serius.

Akan kutinggalkan buku itu di meja untuknya.

Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?



Aku menemukan lagi sebuah buku lain hari ini.

Itu adalah naskah grup yang sama dengan dua buku sebelumnya, dan lagi-ini adalah cerita yang mirip dongeng dengan pesan moral.

Pada zaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan dengan ratu yang mengenakan rambut palsu. Pada suatu ketika saat makan malam, rambut palsu Sang Ratu miring, dan semua orang kecuali sang ratu mengetahuinya. Karena rambut palsunya adalah sesuatu yang dirahasiakan, tidak ada yang berani mengingatkannya.

Semua orang yang hadir mulai berhati-hati untuk tidak melihat ke arah rambut Sang Ratu dan tidak menggunakan kata-kata yang akan mengingatkan beliau akan rambut di kepalanya.

Akan tetapi, kemudian terjadi sesuatu : rambut palsunya tersulut api dari lilin. Namun, Sang Ratu masih belum menyadarinya. Para peserta makan malam lainnya ingin memadamkan api dengan menginjak atau menyiramnya, tapi akan terjadi bencana apabila rambut palsu tersebut sampai terjatuh. Jika mereka tidak bertindak cepat, Sang Ratu akan terbakar. Tetapi jika sang ratu menyadari bahwa para peserta makan malam mengetahui tentang rambut palsunya, mereka semua akan dihukum mati. Suasana menjadi tegang ketika para bangsawan mulai mengguncang-guncangkan beberapa botol anggur dan meletupkan sumbat-sumbatnya. Anggur-anggur tersebut menyiram semua peserta makan malam termasuk Sang Ratu. Mereka basah kuyup, namun bencana terburuk berhasil dihindarkan. Ini adalah asal mula dari kejadian yang kini kita kenal sebagai "Perang Sampanye."

Pesan moral cerita itu tertulis di akhir naskah.

"Rambutmu juga sedang terbakar. Sebaiknya cek rambutmu sebelum hilang. Apalagi, kisah ini belum selesai. Lanjutannya sedang dalam tahap pengerjaan."

Sesuatu menusuk hatiku.

Tokiya menertawakan usaha mati-matianku dalam make up dan fashion, menyindir bahwa rambutku—simbol kecantikan setiap wanita—yang tidak terawat tidak hanya akan menjadi kusut namun juga akan rontok semuanya.

Dia bahkan mengeluarkan sindiran ironis bahwa aku belum menyalakan api semangat dalam diriku, namun malah menyalakannya di atas kepalaku. Dan dengan memberikanku buku setengah jadi, dia menyindir bahwa usahaku pun seperti setengah jadi.

Tanpa sadar, aku sudah membuang naskah itu.

Baiklah, Tokiya. Akan kuterima tantangan itu.

Akan kita lihat apakah usahaku akan berakhir setengah-setengah.

Akan kubuat kau tak bisa berkata-kata lagi.

Tunggu saja.

Aku akan menjadi hal tercantik yang pernah kau lihat.



Ketika aku tiba di toko pada keesokan harinya, Saki langsung berkata padaku, "Aku mau ke tempat potong rambut hari ini."

Ia memegang buku berjudul "Menjadi Aktris itu Mudah! (Wig untuk Panggung)." Dia sudah sampai sejauh ini, batinku. Secara pribadi, menurutku rambutnya sudah cantik apa adanya. Namun sepertinya ia berpendapat lain.

Mungkin, ia memang bercita-cita mendapatkan peran utama dan ingin menjadi yang paling mencolok.

Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasanya, namun matanya tidak.

Aku merasakan api di matanya, nyaris seolah-olah ia hendak mengutuk mati seseorang.

"Oh, kau di sini?"

"Ya, aku akan ambil alih, jadi istirahatlah."

"Terima kasih untuk bukunya."

"Kamu suka?"

"Wah, iya. Aku cinta."

Nampaknya ia sudah menyelesaikan buku yang kubawakan untuknya. Itu baru namanya semangat, bisa membaca habis buku seperti itu dalam satu hari lagi.

Ngomong-ngomong, buku itu adalah reinterpretasi dari cerita yang berpesan moral "Kau terlihat paling cantik saat kau menjadi dirimu sendiri," dan "Jangan bingungkan orang di sekitarmu dengan kebohongan yang absurd."

Lagi-lagi, aku belum membaca sendiri buku itu, tapi aku hanya diberitahu begitu. pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah pun hanyalah candaan kecil lagi dan tidak untuk dianggap serius.

Akan kutinggalkan buku yang kubawakan untuknya hari ini di atas meja.

Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?



Hari itu, aku berjalan menuju salon untuk mendapat perawatan rambut.

Bukan tempat potong rambut yang biasa kudatangi, namun tempat yang lebih mahal: sebuah toko yang menggabungkan berbagai area bisnis kecantikan. Dari salon rambut, salon make up, sampai salon kuku.

Karena gaun itu agak merepotkan untuk berjalan, aku mengganti bajuku ke pakaianku biasanya. Namun make upku kutinggalkan apa adanya. Sebab, majalah mengatakan bahwa radiasi ultraviolet bisa melukai wajahku.

"Selamat datang di...?"

Ya ampun, ke mana objek kalimat itu? Mereka pasti tidak tahu bagaimana cara menangani pelanggan di sini.

"Saya Saki Maino. Saya sudah membuat janji."

"Ah, ya. Kami sudah menunggu Anda. Silakan, lewat sini."

Setelah diantar ke kursi, aku diminta duduk dan diselimuti dengan kain. Tubuhku menghilang di balik lembaran kain putih itu, dan hanya wajahku yang bermake-up tebal yang terlihat. Terlihat cukup menyeramkan, kalau aku boleh berpendapat begitu. Tapi semua ini demi mendapatkan kulit yang cantik seperti aktris! Aku tidak boleh pilih-pilih sekarang.

"Nama saya Koumoto dan saya akan menjadi penata rambut Anda hari ini."

"Senang bertemu dengan Anda."

Koumoto-san mengangguk dan menyentuh rambutku.

"Anda mempunyai rambut yang indah. Apa anda sering merawat rambut Anda?"

"Tidak. Saya hanya memakai yang paling perlu saja ketika mandi."

Aku memang menggunakan sampo dan minyak rambut, yang dua-duanya kupinjam dari Towako-san, tapi tidak ada yang istimewa.

Tetapi, setelah melihat penampilanku enam belas tahun mendatang, I couldn't care less about empty phrases.

"Potongan rambut seperti apa yang Anda inginkan?"

"Seperti ini. Dan saya juga ingin meminta treatment," jawabku sambil memberikan padanya potongan halaman dari bukuku.

Potongan rambut di foto itu bergulung-gulung seperti sebuah soft ice cream. Meski sangat tidak biasa, potongan itu pasti akan menjadi mode jika seorang aktris yang memakainya.

Perawatan normal saja belum cukup; untuk satu langkah lebih depan dari yang ditantangkan, aku memutuskan untuk mendapat potongan rambut baru. Setelah itu pasti sudah tidak akan ada protes lagi.

"Err, potongan rambut yang ini?"

"Ya."

"Ummm, boleh saya tanya sesuatu?"

"Ya?"

"Apakah ada alasan khusus untuk make up dan potongan rambut ini?"

Suasana di dalam salon menjadi hening, seakan-akan ada seseorang yang baru saja menjatuhkan batu bata.

"Alasan... khusus?"

Apa dia menanyakan tentang Relik yang menunjukkan penampilan masa depanku? Tidak, dia tidak mungkin tahu. Tapi lalu apa yang dia maksud?

"Maksud saya, apakah anda seorang aktris yang akan syuting besok?"

"Bukan, saya hanya seorang asisten di toko."

"Asisten... toko?"

"Ya."

"Maaf kalau saya tidak sopan, tapi boleh saya tanya dari buku apa foto ini berasal?"

"Mm, sebenarnya hanya dari buku biasa tentang gaya-gaya rambut."

"Biasa... Mm, saya benar-benar bukan bermaksud tidak sopan, tapi apakah Anda juga mengikuti buku seperti itu dalam menggunakan make up?"

"I-Iya."

"Buku tentang apa?"

"Buku itu memperkenalkan tentang berbagai macam teknik make up untuk para aktris. Saya pikir lebih baik untuk memulai dengan meniru seorang aktris jika saya ingin lebih pandai dalam urusan make up."

"Ya, tentu saja... seorang aktris."

Mengapa rasanya dia seperti sangat berhati-hati dan ingin mengucapkan sesuatu?

Saat kulihat wajahnya di cermin, wajahnya seperti berkerut-kerut, dan masam.

T-Tidak mungkin...

Aku menyadari sesuatu dan dengan enggan bertanya, "Apakah saya terlihat aneh?"

Sambil masih berhati-hati dalam memilah kata-katanya, penata rambut itu menjawab tepat sasaran, "Benar sekali."


Aku memandang wajahku yang sudah dibersihkan make upnya di depan cermin.

Aku tidak menyangka bahwa hal pertama yang akan kulakukan di salon adalah membersihkan make upku.

Menurut Koumoto-san, make upku memang seperti seorang aktris, tapi pada kesempatan biasa aktris pun tidak memakainya.

Dia juga menunjukkan padaku beberapa majalah tentang make up, gaya rambut, dan fashion yang sekarang sedang menjadi mode.

Apa yang kulihat tidak hanya jauh dari yang ada di buku-bukuku; perbedaan di antaranya luar biasa besar.

T-Tentu saja, aku juga berpikir bahwa make-upku sedikit tebal, pakaianku sedikit mencolok, dan potongan rambutku sedikit tidak biasa, namun faktanya ada orang-orang yang benar-benar memakai busana-busana itu. Selain itu, aku sudah yakin bahwa aku tidak mungkin kelewatan setelah melihat penampilanku enam belas tahun mendatang dan mendapat provokasi dari Tokiya. Tetapi nampaknya, make-upku terlalu tebal, pakaianku terlalu mencolok, dan potongan rambutku terlalu tidak wajar. Aku sangat bersyukur aku tidak mengenakan gaunku saat datang kemari.

"Hmm, mm! Au naturel lebih cocok untukmu!"

"T-Terima kasih."

Aku bisa melihat senyum puas Koumoto yang terpantul di cermin. Karena terlalu malu untuk menerima tatapannya, aku menundukkan wajahku.

Aku sudah sangat malu sehingga aku sudah tidak peduli jika dia tidak menggunakan kata-kata sopannya lagi.

"Oke, bisa kau lihat ke atas sebentar?"

Aku mengangkat kepalaku ke atas lagi. Sekarang ini, aku sangat bersyukur karena ekspresiku tidak banyak terlihat di wajahku.

Koumoto-san memegang sebuah alat make up.

"Peralatan kami cukup lengkap karena kami juga mempunyai salon make up dan salon kukudi lantai dua. Nah, lihat saja."

Setelah menaburkan beberapa kosmetik dasar, ia mengoleskan alas bedak tipis di wajahku dan menmoles bibirku dengan lipstik tipis.

"Ini mestinya sudah lebih dari cukup untuk kasusmu. Lagipula, kau memiliki mata yang indah, alis yang bentuknya bagus, dan bulu mata panjang yang cantik. Sebenarnya, kau mungkin sudah tidak perlu melakukan apa-apa."

Dia sudah profesional, batinku ketika melihat bagaimana ia mempercantik wajahku sambil menjaganya tetap natural.

Dia juga mengajariku beberapa trik, dan menjelaskan padaku bahwa tidak perlu memakai make up tebal jika hanya untuk melindungi kulit dari radiasi ultraviolet.

Aku menyadari betapa melencengnya pengetahuanku yang dangkal ini.

Kini saat kupikir dengan kepala dingin, harus kuakui bahwa make upku waktu itu menjijikkan. Tidak ada orang yang mau berjalan dengan wajah seperti itu.

Sepertinya aku telah, meskipun sangat jarang terjadi, kehilangan kesabaran dan menjadi tidak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Ceroboh sekali diriku.

"Sekarang, kami akan mengatur rambutmu sedikit dan memberi treatment, ya?"

Tentunya, aku sudah memutuskan untuk tidak memakai potongan rambut yang aneh-aneh dan hanya memintanya untuk menyesuaikan panjang rambutku sedikit, dan setelah itu memberikan treatment. Sementara aku menunggu conditioner merasuk, Koumoto-san berbicara padaku.

"Ngomong-ngomong, mengapa kau mulai mempedulikan tentang make up dan perawatan rambut? Apa ada suatu sebab?"

"Um, sebenarnya, saya diperlihatkan bagaimana saya mungkin terlihat dalam dua tahun mendatang."

"Aah, salah satu mesin yang katanya bisa mencari tahu hal itu dengan menganalisa kondisi kulitmu?"

Aku tidak bisa memberitahunya tentang Relik, namun tampaknya, ada sebuah mesin yang fungsinya sama.

"Aku benar-benar terkejut saat melihat banyak sekali keriput dan kulit yang kendur..."

"Kau yakin? Menurutku tidak begitu. Kau pasti sudah ditipu."

"T-Tapi bukan itu saja! Saat aku mulai merawat kulitku, seorang teman di tempat kerjaku secara tidak langsung mengatakan padaku bahwa usahaku semuanya sia-sia dan rambut serta pakaianku juga jelek, jadi aku ingin menunjukkan padanya..."

"Apa dia pacarmu?"

Apa? Apa yang ia katakan tiba-tiba? Aku dan Tokiya, kami bukan pasangan atau pacar atau apa-apa.

Tapi ini bukan pertama kalinya aku mendengar hal pertanyaan seperti itu. Tidak, mungkin aku sudah mendengarnya cukup sering. Apa itu artinya kami terlihat seperti itu di mata orang lain? Tapi Koumoto-san belum pernah melihat kami bersama... apa dia menyimpulkan dari caraku berbicara tentang Tokiya?

Apakah dari caraku membicarakannya bisa dianggap seperti itu? Tentu saja, kami menghabiskan banyak waktu bersama, kami saling memanggil dengan nama depan, aku sudah pernah mengunjungi apartemennya, dan sesekali kami juga jalan-jalan bersama.

Apakah ini yang biasa disebut berpacaran?

Mmm, tidak, tidak. Tidak pernah ada pernyataan cinta atau apapun, dan aku tidak memandang Tokiya seperti itu. Ah, tapi jelas aku bukan tidak menyukainya. Tepatnya, dari semua orang di sekitarku, dialah yang paling dekat denganku... tidak ada orang lain yang seusia denganku, jadi dia satu-satunya... Ah! Dengan "satu-satunya", maksudku bukannya aku tidak bisa memikirkan bersama dengan orang lain atau semacamnya, um, tetapi, kami tidak saling suka, dan kami bukan pasangan kekasih. Bukan semacam itu.

Jadi, dengan jelas kukatakan, "Tidak. Bukan."

"Cukup lama juga untuk sampai pada kesimpulan itu, ya?"

"Maksud Anda?"

"Tidak perlu pura-pura tidak sadar..."

"Tidak. Wajah saya memang selalu seperti ini."

"O-Ooh..." gumamnya sambil tersenyum kecut. "Um, tapi, meskipun dia berkata begitu padamu, kau perlu merawat kulitmu, tapi tidak usah berlebihan. Kau sudah memiliki kulit dan rambut yang sangat cantik!"

"M-Menurut Anda begitu? Terima kasih."

Aku lega jika seorang profesional berpendapat begitu.

"Kalau begitu, saya akan berhenti menggunakan benda-benda itu," ucapku.

"Ya, sebaiknya begitu. Tapi kau tidak perlu menghentikan semuanya! Hanya sedikit saja. Kau seoran ggadis; wajar saja jika kau ingin terlihat cantik di depan seseorang yang khusus."

Sepertinya, Koumoto-san masih memiliki image yang salah tentang aku dan Tokiya.

Lagipula, kali ini aku bukan tampil cantik untuk seseorang, namun untuk alasan pribadi. Harus kuakui, aku telah tertipu oleh artikel itu dan sedikit berlebihan karena provokasi Tokiya, tetapi dia tetap tidak ada hubungannya.

Setelah itu, kami terus berbincang-bincang sampai perawatan selesai, dan di akhir, dia mengeringkan rambutku.

"Terima kasih untuk semuanya," ucapku, termasuk terima kasih karena telah menjelaskan semua masalah padaku.

"Sama-sama. Silahkan berkunjung lagi jika anda menyukai pelayanan kami."

"Ya," jawabku. Namun saat aku hendak membayar, aku baru sadar:

"...Dompetku tertinggal di rumah."



Ketika ia kembali dari salon, Saki sudah tidak menggunakan make up yang seperti aktris.

Panjang rambutnya tidak banyak berubah, namun hanya sedikit dirapikan bentuknya. Aku tadinya khawatir potongan rambut aneh apa yang akan dimintanya. Tapi syukurlah, kekhawatiranku tidak terbukti.

Karena ia tidak memakai busana aktris lagi, kukira ia sudah menyelesaikan fase pertama dari apapun yang hendak ia lakukan.

Dalam hati aku menghembuskan nafas lega.

Aku sudah berniat untuk menghentikannya jika dia ingin melakukan hal yang lebih aneh lagi.

"Menurutku dandanan ini jauh lebih cocok untukmu!"

"Hah? Eh? Oh, iya," gumam Saki sambil mengerjap-ngerjap. Sepertinya ia sedikit terkejut. "A-Aku harus pergi keluar lagi sebentar," ucap Saki singkat setelah tiba.

"Boleh, tapi kau mau ke mana?"

"Be-Belanja."

"Kenapa tidak waktu pulang tadi?"

"Aku baru ingat kalau aku lupa membeli sesuatu! Pokoknya, tolong jaga toko selama aku pergi."

Setelah berkata begitu, Saki kembali meninggalkan toko. Nyaris seolah-olah dia tidak ingin aku bertanya lebih jauh.

Hal ini mengusikku. Ada yang aneh. Pertama make-up, lalu pakaian itu, dan sekarang ini. Aku jelas mencium sesuatu yang mencurigakan.

"......"

Setelah menunggu ia pergi, aku mengikutinya.

Tanpa menyadari keberadaanku, Saki berjalan menyusuri trotoar.

Sekarang jelas, ia tidak berbelanja. Supermarket yang biasa ia datangi tidak ada di jalan ini.

Setelah mengikutinya dengan hati-hati selama beberapa saat, ia berhenti di depan sebuah toko.

Toko itu adalah sebuah salon kecantikan. Tanpa ragu, Saki memasuki salon tersebut.

Apa artinya ini? Kenapa dia pergi ke salon lagi setelah baru saja potong rambut? Apa potongan rambutnya itu masih belum cukup?

Sambil bersembunyi di belakang tiang listrik, aku mengintip ke dalam toko. Seorang pria muda berusia dua puluhan tahun mendekati Saki saat melihatnya. Ia tampaknya salah satu penata rambut berkarisma dan mereka sudah saling mengenal. Apakah dia penata rambut yang Saki pilih sendiri?

Mereka berdua mulai berbicara.

Nampaknya hanya percakapan biasa, namun entah mengapa mereka terlihat cukup akrab. Yang lebih buruk, rasanya aku bisa melihat ekspresi malu di wajah datar Saki yang khas.

Apa mungkin dia alasan mengapa Saki mulai peduli soal kosmetik dan fashion?

Setelah berbicara beberapa saat, penata rambut itu mencoba membawanya ke suatu tempat, dengan sedikit mendorongnya.

Saki mengangguk sekali dan mengikutinya.

Tidak mungkin ia harus meninggalkan ruangan kalau hanya ingin potong rambut. Tidak, datang ke sana dua kali saja sudah cukup aneh.

Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?

Karena sangat bingung dengan kejadian-kejadian ini, aku hanya terus berdiri sambil merasa seperti baru saja disambar petir.



Aku malu sekali karena meninggalkan dompetku di rumah, jadi aku tidak memberitahu Tokiya. Siapa tahu dia akan mengolok-olokku.

Tapi...

Menurutku dandanan ini jauh lebih cocok untukmu!

Tokiya memujiku.

That catchphrase di majalah itu memang menjadi tujuanku, tapi aku tidak sungguh-sungguh ingin dipujinya; Aku tidak mulai mempelajari make up demi alasan itu.

Tapi aku senang... lebih dari ketika aku hanya membayangkannya.

Mungkin, hal-hal seperti merawat kulit, make-up, dan fashion, meskipun merepotkan, sebenarnya tidak buruk juga.

S-Selain itu, kelihatannya Tokiya juga tidak suka make up yang tebal. Kalau begitu kenapa dia tidak mengatakannya padaku saja!

Dalam hati aku mengeluarkan beberapa protes.

Sambil mengeluhkan hal-hal itu, aku tiba di salon kecantikan dan meminta untuk bertemu dengan Koumoto-san.

Saat menunggunya, seorang petugas resepsionis memujiku. Ia berkomentar bahwa make-upku terlihat lebih baik. Tentu saja pujiannya tidak terasa buruk, namun karena Tokiya sudah memujiku, aku tidak terlalu merasa senang.

Kenapa, ya? Apakah aku sudah menjadi terbiasa dipuji hanya karena Tokiya telah melakukannya satu kali?

Aku merasa agak malu dengan rasa tinggi hatiku.

Setelah beberapa saat, Koumoto-san berjalan ke arahku. Dan ketika aku membayar tagihan sambil kembalimengucapkan terima kasih, ia dengan sopan menjawab, "Kau tidak perlu membayar untuk hari ini."

Penata-penata rambut di sekitar kami yang mengetahui kejadiannya tertawa.

Pertama make-up, lalu dompetku; kelihatannya aku sudah menjadi terkenal di tempat ini.

Memalukan sekali! Dari ekspresiku memang tidak kelihatan, tapi aku ingin sekali mengubur kepalaku ke dalam pasir!

"Baiklah, pembayaran diterima!"

"Ya, terima kasih untuk semuanya."

"Ah, tunggu sebentar!" Koumoto mencegatku ketika aku hendak berbalik.

"Ya?"

"Mm, begini. Kami mengadakan pemotretan hari ini untuk iklan baru kami, tetapi model kami membatalkannya pada menit-menit terakhir. Kami memang mempunyai beberapa foto dari kandidat-kandidat lain yang bisa digunakan untuk iklan itu. Tapi, mubazir rasanya jika busana-busana dan latar yang kami siapkan tidak dipakai."

"Ooh."

"Jadi, maukah kau menggantikannya?"

"Hah?"

Sepertinya keterkejutanku cukup terlihat, bahkan di wajahku yang biasanya datar.

"Kau pasti akan sangat cocok dengan image yang kami butuhkan! Bagaimana? Anggap saja kau sedikit membantu kami. Ah, tentu saja kau akan dibayar dan kami akan berusaha mengarahkanmu."

"Mm, tapi saya tidak ingin rambut saya dipotong."

"Oke. Tidak akan dipotong."

"Mm, tapi saya sama sekali tidak punya pengalaman dalam hal ini."

"Jangan cemas. Kami akan menyuruh para profesional untuk mengurus make-up, busana, dan kostummu. Kau hanya perlu duduk di sana!"

"Mm, tapi... tapi..."

Aku tidak bisa memikirkan alasan lain lagi untuk menolaknya.

"Kau tertarik dengan make-up and fashion, 'kan? Tidak setiap hari, lho, profesional melakukan ini untukmu. Selain itu, kau bisa mendapat tips dari para spesialis. Dan dari penampilanmu sebelumnya, menurutku ini adalah kesempatan yang menjanjikan."

Frasa penampilanmu sebelumnya menusukku tepat sasaran. Aku mungkin tidak berhutang padanya, tapi sebagai sedikit bentuk terima kasih...

"Lagipula, kau bisa menunjukkan pada temanmu itu betapa cantiknya dirimu. Dan kau mungkin akan mendapatkan pujian darinya"

"I-Itu tidak perlu. Tapi ini mungkin kesempatan yang baik bagiku untuk membuktikan padanya."

Ya. Aku tidak menginginkan pujian atau semacamnya, tapi aku ingin membuktikan padanya.

Sudah jelas, aku belum memaafkan Tokiya atas sikap memprovokasinya. Faktanya, setelah aku mendapatkan beberapa tips dari Koumoto-san,aku sekarang bertambah ingin menunjukkan padanya.

Bagaimanapun, aku bukannya suka dipuji oleh Tokiya, dan tentu saja aku bukan ingin mendapatkan pujian lagi.

"Tolong! Bantulah kami!"

"Baiklah."

Walaupun berlawanan dengan kepribadianku, aku menyetujui untuk menjadi model mereka.

"Terima kasih, kami sangat terbantu! Apa kau mempunyai permintaan tertentu? Tolong beritahu kami sebelumnya apa yang kau tidak ingin kami lakukan."

"Mm, ada satu hal," ucapku dan menyebutkan satu permintaanku.



Sudah cukup lama aku menunggunya.

Tetapi dia masih belum kembali. Baru saja aku mulai khawatir jika ia terlibat dalam kejadian yang berbahaya dan berencana untuk menyelamatkannya. Tetapi, penata rambut itu muncul.

Dia keluar untuk merokok. Nampaknya, pekerjaannya sudah selesai.

Aku tidak sengaja keluar dari persembunyian, dan mata kami bertemu.

Mungkin karena mengira aku seorang pelanggan, dia mengangguk padaku.

Sekarang, akan terlihat mencurigakan jika aku langsung pergi.

"Ah, maaf. Saya mencari seorang gadis yang menjadi rekan kerja saya. Apakah anda kebetulan pernah bertemu dengannya?"

Lalu, aku memberitahu nama dan ciri-ciri Saki. Aku merasa sedikit bodoh karena aku tahu ia memang ada di tempat ini.

Penata rambut itu berpikir sebentar, namun kemudian mengangguk. Ia mengatakan bahwa Saki ada di sini.

"Jadi kau rekan kerjanya?"

"Eh? Apa Anda pernah mendengar tentang saya?"

"Hari ini aku yang bertugas menata rambutnya. Waktu itu, aku mendengarka ceritanya tentang beberapa hal."

"Ooh… ngomong-ngomong, untuk apa dia datang ke tempat ini? Bukankah sebelumnya dia sudah pergi ke sini?"

"Aah, ia lupa membawa... Eh, bukan. Kami memintanya untuk menjadi model kami."

Nampaknya penata rambut itu menyembunyikan sesuatu. Tapi bagian akhir kalimatnya lebih mengejutkan buatku.

"Menjadi model kalian?"

"Ya, kenapa?"

"Tidak, saya hanya kaget."

Aku benar-benar kaget.

Saki, jadi model? Sangat mengejutkan mendengar dia mau bersedia menerima tawaran seperti itu. Kukira ia akan menolaknya mentah-mentah.

"Em, apakah Anda kenalan Saki?" tanyaku pada si penata rambut.

"Tidak, aku hanya melayaninya hari ini. Jadi begini, model yang kami sewa untuk iklan baru kami berhalangan hadir. Lalu kami meminta rekanmu itu untuk menggantikannya."

Rupanya mereka tidak sedekat yang kukira.

Aku secara refleks menghembuskan nafas lega. Bukannya aku merasa lega.

"Ah, pas sekali. Bisakah kau ikut aku sebentar?"

"Ya?"

Tanpa menunggu persetujuanku, ia menyeretku ke dalam salon.



Meski aku tidak banyak tahu tentang modeling, rasanya aku jadi seperti sebuah boneka.

Aku dilayani secara bergantian oleh para profesional dalam bidang gaya rambut, make-up dan kostum, menerima pujian dan nasihat, dan perlahan-lahan bermetamorfosis.

Ada yang mengatakan bahwa aku mempunyai kulit yang indah. Namun orang itu, yang kebetulan berusia dua puluhan tahun, juga memperingatkanku untuk berhati-hati karena keadaan kulitku akan memburuk seiring dengan penuaan. Meskipun mereka semua sangat cantik, rupanya mereka juga memiliki kekhawatiran sendiri-sendiri.

Orang yang bertugas mengurus kostumku membantuku melepas baju dan memakaikan yang baru bahkan sebelum aku sempat merasa malu. Ia mengatakan bahwa pakaian dalamku kurang memiliki daya tarik, tapi kupikir itu tidak penting.

Setelah melewati berbagai tahap, Saki yang baru memandangiku dari balik cermin.

Karena rambutku diikat ke atas dengan sedikit kendur namun membelit dan leherku terbuka, aku jadi merasa sedikit tidak nyaman. Selain itu, aku mengenakan pita yang serasi dengan pakaianku. Warnanya perak dengan renda-renda hitam.

Yang membuatku senang, pakaianku sebagian besar berwarna hitam dan bergaya gotik. Meskipun sayangnya, tidak berlengan dan panjang roknya di atas lutut. Ini membuatku sedikit malu. Aku berusaha menarik sarung tanganku yang sepanjang siku dan stoking jala hitam di atas lututku. Namun saat aku melakukan itu, aku ditegur untuk tidak melakukannya lagi.

Sementara untuk make up, mereka menegaskan garis mataku dengan maskara dan menambahkan warna merah yang samar pada pipiku, dan akhirnya memakaikan lipstik warna merah terang, menghasilkan penampilan yang terlihat dewasa dan seksi.

Selama aku hidup, aku belum pernah berdandan seperti sekarang ini.

Mungkin selama ini aku tidak memedulikan make up dan perawatan kulit, namun itu bukan karena aku tidak berminat pada hal-hal semacam itu. Aku memang memiliki pandangan sendiri tentang bagaimana penampilan yang bagus itu, dan selalu berusaha memilih produk yang cocok dan kusukai.

Jadi, aku belum pernah samapi sejauh ini.

Kecantikan memang butuh keberanian.

Meski style ini tidak membutuhkan banyak keberanian karena orang lain yang menguruskannya untukku, aku masih takut memperlihatkannya pada orang lain, terutama, Tokiya.

Sesaat kemudian aku mendengar Koumoto-san mengetuk pintu sambil berkata, "Bisa ke sini sebentar?"

Sesi pemotretan sudah berakhir, dan ia sedang mengecek foto-fotonya. Artinya, tugasku di sini pun sudah selesai. Mungkin, ia sudah selesai mengeceknya dan ingin meminta persetujuanku.

Aku membuka pintu.

"Hah?"

Ketika pintu dibuka, Tokiya ada di baliknya.

Saking Terkejutnya aku sampai tidak bisa berkata-kata.

Mengapa Tokiya ada di sini? Mengapa dia tidak menjaga toko?

Tidak, mengapa dia memandangiku lekat-lekat?

Tsukumodo V2 290.jpg

Wajahku terasa panas.

Sambil masih memandangiku, Tokiya membuka mulutnya.

Apa yang ingin dia katakan, ya?

Aku tidak berniat untuk menunjukkan penampilan ini padanya, namun karena dia sudah melihat, aku jadi memikirkan apa pendapatnya.

Aku merasakan campuran antara kegelisahan dan harapan.

Sementara menerima tatapan Tokiya, aku menunggu kata-katanya dengan sabar.

Menurutku make up ini lebih cocok untukmu!

Kata-kata yang ia ucapkan sebelumnya melintas di benakku.

Akhirnya, dia pelan-pelan membuka mulutnya kembali dan berkata:

"Emm, senang bertemu dengan Anda."

D-Dasar bodoh...



Aku langsung menutup pintu.

Tokiya tidak mengenaliku hanya karena sedikit make up, beberapa baju baru, dan sebuah model rambut baru.

Koumoto-san memang berkata akan mengubahku menjadi benar-benar berbeda, dan aku mempersilahkannya karena aku tidak ingin ada yang mengenaliku di iklan itu.

Tapi aku tidak menyangka kalau Tokiya juga sampai tidak mengenaliku.

Bagaimana bisa dia tidak mengenali seseorang yang sudah lama menghabiskan waktu bersama dengannya?

Aku jadi benar-benar kecewa.

"Aaah," aku menghela nafas.

'’Apa, sih, yang aku lakukan?

Sejak kapan aku mulai menyimpang dari tujuan awalku?

Awalnya aku hanya ingin mencegah masa depan itu dengan mulai merawat kulitku, setelah melihat bagaimana penampilanku enam belas tahun yang akan datang. Tetapi, aku tertipu oleh artikel majalah, bereaksi terlalu sensitif pada hasutan Tokiya, bahkan aku sampai mulai berusaha mengubah fashion dan gaya rambutku. Dan tahu-tahu aku malah menjadi seorang model.

Aku memang mempelajari hal-hal yang baru, namun aku juga melakukan satu kesalahan.

Aku merasa seperti salah besar memahami maksudnya. Dan akibatnya, aku jadi berjuang melewati usaha yang percuma.

Aku melihat ke dalam cermin.

Ada Saki yang terlihat asing di sana.

Dan di sini ada Saki yang tidak dikenali Tokiya.

Ya, aku akui. Aku memang terlalu bersemangat. Aku jadi lumayan bersemangat gara-gara dipuji.

Namun perasaan-perasaan itu telah hilang entah ke mana.

Mereka lenyap dalam sekejap. Sebenarnya aku tidak ingin mengakui bahwa kata-kata Tokiya-lah yang menyebabkannya.

Sungguh... apa, sih, yang aku lakukan?

Aku melepaskan pita-pita yang mengikat rambutku.

Rambutku jatuh tergerai.

"Ayo pulang..."

Di tengah kekecewaanku, aku menyadari satu hal.

Gadis seperti diriku pun mengenal keinginan yang dimiliki setiap gadis.

Keinginan untuk tampil cantik...

...Bukan... keinginan untuk dipuji oleh seorang laki-laki.



"Emm, senang bertemu dengan Anda," sapaku pada seorang gadis cantik yang tidak kukenal. Namun, ia malah mengabaikanku dan menutup pintu.

Pandanganku beralih ke Koumoto-san yang menepuk jidatnya.

"Hah? Jangan-jangan gadis itu..."

"Ya, tadi itu dia."

"Eeh?"

Itu Saki? Tidak mungkin! Tapi kalau dipikir-pikir, rasanya tadi itu memang dia.

Aku ingin melihatnya lagi, tetapi ia sudah menutup pintu.

"Lihat itu," katanya, menunjuk foto-foto yang ada di atas meja.

"!"

"Kaget?"

Saki ada di dalam foto-foto itu. Penampilannya sangat berbeda dari biasanya, namun Saki yang ada di foto, lebih cantik daripada yang biasanya kulihat. Dia adalah gadis yang muncul dari balik pintu beberapa saat yang lalu.

"Aku juga tidak menyangka perubahannya akan sebesar itu! Hebat, 'kan, dia?"

"Ya, begitulah..."

Karena masih syok, aku hanya bisa memberikannya jawaban yang samar.

Kalau boleh jujur, gadis di foto itu juga tidak terlihat seperti Saki. Aku mungkin tidak akan mengenalinya kalau tidak diberi tahu. Bahkan, sebenarnya aku masih curiga kalau penata rambut itu membohongiku.

Namun, aku menjadi sangat yakin bahwa dia adalah Saki setelah menyadari satu hal.

Aku menemukan sesuatu yang membuktikan dirinya ada di dalam foto. Walaupun orang lain mungkin tidak akan menyadari hal tersebut.

"Sayang sekali. Padahal itu tadi kesempatanmu," he said.

"Kesempatanku?"

"Yah, kalian sepertinya sedang bertengkar."

"Hah? Aku tidak ingat sedang bertengkar dengan dia."

Apa yang dia katakan? Apa dia mengatakan hal buruk tentangku waktu sedang menata rambutnya?

"Tapi ngomong-ngomong," ucapku, "apakah Anda merekomendasikan padanya untuk menjadi seorang aktris?"

"Hah? Apa maksudmu?"

"Akhir-akhir ini, dia sering membaca seri buku pengembangan diri berjudul 'Menjadi Aktris itu Mudah!' dan meniru make-up, busana, dan penampilan suatu grup teater. Karena kupikir dia tertarik dengan hal-hal itu, aku membawakannya beberapa naskah grup itu dari perpustakaan..."

"Ceritamu berbeda sekali dari yang kudengar."

"Dari yang Anda dengar?" ulangku.

"Ya. Katanya, rekan kerjanya menyindir bahwa usahanya sia-sia ketika ia baru mulai melakukan perawatan kulit."

"Aku jadi tidak mengerti."

"Apalagi aku!"

Aku benar-benar tidak tahu tentang pertengkaran yang Koumoto-san sebutkan. Yah, aku sudah biasa melihat perilakunya yang kadang-kadang aneh. Jadi mungkin ini tidak terlalu mengejutkanku.

"Jadi dia tidak ingin menjadi aktris, ya?" aku bertanya.

"Setidaknya dari yang kudengar, dia hanya ingin mempelajari make up mereka."

"Tapi lalu mengapa dia mulai peduli dengan make up dan semacamnya?"

"Hmm? Entahlah… tapi bukankah setiap gadis mempunyai minat terhadap make up dan fashion?"

Aku tidak percaya kalau hanya itu penyebabnya, tapi aku tidak bisa memikirkan alasan yang lain lagi. Setidaknya, pasti ada sesuatu yang memicu minatnya.

"Jika ada kesalahpahaman di antara kalian, mungkin sebaiknya kau membetulkannya secepat mungkin," ia menyarankan.

"Hah," gumamku pelan. Ia menyuruhku membetulkannya, tapi aku masih tidak tahu apa sebenarnya masalahnya.

"Yah, tapi apapun masalahnya, kau barusan melakukan sesuatu yang bodoh," kata Koumoto-san sembari menepuk punggungku. Aku merasa bingung, namun aku juga sedikit terhibur. "Ada dua tipe orang. Yang pertama, orang yang berdandan untuk dirinya sendiri, dan yang kedu orang yang berdandan untuk orang lain. Menurutmu, dia termasuk tipe yang mana? Kalau yang kedua, kau seharusnya memujinya. Tidak mengenali dirinya tentu saja akan membuatnya merasa kecewa."



Aku dan Tokiya kembali ke toko tanpa mengucapkan satu patah kata apa pun.

Sepertinya dia ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu.Namun, aku pura-pura tidak tahu.

Sesampainya di toko, aku langsung pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku sudah meminta petugas salon untuk membersihkan make up dan mengembalikan gaya rambutku seperti semula. Aku juga sudah mengenakan pakaianku yang biasanya. Tetapi, aku ingin membersihkan wajahku dari perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan.

Setelah mencuci muka, aku merasa segar kembali .

Aku melihat ke depan cermin. Wajahku yang biasanya terlihatdi sana.

Akhirnya, mereka menerima permintaanku untuk tidak memakai foto-foto itu untuk iklan mereka. Kalau boleh bilang, aku merasa lega.

Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan sebuah lipstik. Koumoto-san memberikannya padaku sebagai ucapan terima kasih, karena akhirnya tidak ada imbalan uang. Bukan lipstik yang berwarna mencolok, melainkan yang berwarna lembut.

Aku mencoba menggoreskannya.

Bukan untuk pamer pada Tokiya. Tetapi karena aku tidak ingin dia berpikir bahwa aku berhenti menggunakan make up karena dirinya.

Waktu itu, aku cukup yakin dia akan memujiku.

Dia mungkin mengira aku tidak tahu karena aku sudah menutup pintu. Tapi aku tahu kalau Koumoto-san menasehatinya di balik pintu.

Aku yakin dia akan memujiku seperti yang Koumoto-san suruh padanya. Dan saat ia mengatakannya, aku akan menjawab seperti ini:

"Oh, jadi kamu baru mengenaliku setelah aku berdandan setebal ini?"

Dengan sindiran itu, aku akan menyimpulkan masalahnya.

Aku bukannya marah.

Karena ternyata, aku salah paham mengenai naskah-naskah yang diberikannya padaku. Dan aku tidak perlu marah padanya hanya karena dia tidak menyadari make upku.

Aku hanya sedikit kecewa.

Tapi aku tidak ingin terus seperti iini.

Ini adalah kesempatan untuk Tokiya.

Tapi jika ia tidak menyadarinya, selesailah sudah. Aku tidak akan peduli padanya lagi.

Ini adalah bentuk kompromiku.

Aku masuk ke dalam toko.

Tokiya duduk di belakang meja kasir dan melihatku.

Pandangannya mengarah ke mataku, lalu menunduk.

"Saki."

Ini dia.

Hati dan jawabanku sudah siap. Aku tinggal perlu mendengar kata-katanya.

"Kau memakai liontin itu, 'kan?" katanya sambil tersenyum.

"!"

Serangan kejutan. Aku kena. Cerobohnya aku. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan itu.

"Koumoto-san memberitahuku kalau kau hanya menerima tawarannya dengan syarat kau boleh tetap memakai liontin itu."

Aku refleks menggenggam liontin di balik pakaianku.

Sebuah liontin berbentuk bulan.

Itu adalah hadiahyang kuterima dari Tokiya.

Aku meminta untuk tidak melepasnya sebagai ganti menjadi model untuk mereka.

Ya ampun... Anda tidak perlu memberitahu dia, Koumoto-san.

"Makasih, Saki!"

"A-Aku tidak melakukan ini karena kamu. Aku cuma suka liontin ini."

"Wajahmu terlihat agak merah."

"Itu karena make up!"

"Mm? Kau sudah memakai make up lagi? Tapi menurutku kau terlihat paling cantik kalau apa adanya!"

"C-Cuma lipstik!"

Dan beginilah diriku. Yang akhirnya mendapatkan imbalan yang setimpal.

...Aaah, sungguh hari yang melelahkan.



Saat melihat-lihat beberapa foto Saki, aku menyadari kalau dia mengenakan sebuah liontin yang berkilau.

Itu adalah liontin yang sama dengan yang pernah kuhadiahkan padanya. Karena itulah aku menjadi yakin bahwa Saki memang gadis yang ada di foto itu... meskipun kuakui baru mengenalinya setelah melihat liontin adalah hal yang memalukan.

Beberapa saat setelah kejadian tersebut, setelah keadaan sedikit tenang, aku bertanya padanya:

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu mulai memakai make up?"

"Aku bukan tertarik pada make up, tapi pada perawatan kulit"

"Apa sebabmya?"

"......"

Saki berpikir selama beberapa detik, namun kemudian ia pergi ke bagian privat toko dan kembali sambil membawa selembar foto yang berkerut-kerut. Bukan hanya foto itu yang penuh dengan kerutan, namun juga orang yang nampak di dalamnya.

"Apa ini?"

"Foto diriku dari kamera Relik itu."

"Fotomu?"

"Kau bilang kamera itu diset ke angka enam belas, bukan? Artinya, itu adalah fotoku setelah enam belas tahun. Tapi aku tidak peduli. Aku akan merawat kulitku dan memastikan kalau itu tidak akan menjadi nyata. Lagipula, Koumoto-san memuji kulitku dan sepertinya sejauh ini aku sudah cukup berhasil."

Saki mengulurkan selembar foto yang lain.

"Lalu yang ini apa?"

"Foto diriku setelah enam belas tahun yang baru saja kuambil."

Dalam foto itu terlihat Saki yang sudah dewasa. Meskipun ia terlihat lebih muda dari tiga puluh tahun, ia memiliki aura wanita dewasa. Seperti Towako-san.

Saki terlihat cukup senang.

"Kenapa kau tidak memotret dirimu juga, Tokiya? Meskipun kau laki-laki, kau juga bisa menyesal kalau kau tidak merawat kulitmu."

"Eeh, mm, iya sih… tapi ngomong-ngomong, bukannya perubahannya agak terlalu besar?" Aku membandingkan foto-foto yang ia berikan padaku dan mengambil kamera itu. "Apa barang ini rusak?"

"Hei, kau punya masalah dengan fotoku yang baru?"

"Tidak, bukan dengan yang baru, tapi yang sebelumnya. Bagaimana bisa kau terlihat seperti itu dalam enam belas tahun... eh?" Saat aku mengutak-atik kamera itu, aku menyadari sesuatu. "Kamera ini sekarang diset ke enam belas tahun?"

"Kau tidak punya mata? Lihat saja angkanya di situ."

"...Ah...aku tahu sekarang."

"Tahu apanya?"

Aku menepuk punggungnya dan memberi isyarat untuk mendengarkanku dengan tenang.

"Kamera ini sebelumnya bukan diset ke enam belas tahun, tapi ke sembilan puluh satu."

Rupanya, aku salah melihat dial itu dan mengira "91" adalah angka "16."

Penemuan yang lucu, bukan?

"Hei, bukankah ini hebat? Kau akan jadi wanita yang cantik dalam enam belas... Hah? Saki?"

Entah mengapa, rasanya aku seperti mendengar suara gemuruh gempa bumi atau erupsi gunung berapi.

Hah? Saki? Bukannya muka datarmu itu ciri khasmu?

Saki...!




Mundur ke Mata Kematian Kembali ke Halaman Utama Maju ke Penutup