Difference between revisions of "Tsukumodo Bahasa Indonesia:Jilid 2 Make-Up"

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search
(40%)
(45%)
Line 1: Line 1:
{{Incomplete|percentage=40}}
+
{{Incomplete|percentage=45}}
   
 
Kapan dan bagaimana cewek belajar menggunakan make-up?
 
Kapan dan bagaimana cewek belajar menggunakan make-up?
Line 506: Line 506:
 
Tidak, sekarang dia memakai make-up yang luar biasa tebal. Sangat mirip anggota suatu kelompok teater yang sekarang sedang popular di kalangan para gadis. Kelompok itu menjadi tenar karena anggotanya yang mengenakan kostum mencolok yang cocok dengan make-up tebal mereka, dan karena penulis naskah mereka adalah ahli dalam menafsirkan kembali cerita dongeng.
 
Tidak, sekarang dia memakai make-up yang luar biasa tebal. Sangat mirip anggota suatu kelompok teater yang sekarang sedang popular di kalangan para gadis. Kelompok itu menjadi tenar karena anggotanya yang mengenakan kostum mencolok yang cocok dengan make-up tebal mereka, dan karena penulis naskah mereka adalah ahli dalam menafsirkan kembali cerita dongeng.
   
<i>Eye shadow</i> ungu menyala, alis yang seperti digambar dengan spidol, bulu mata diperpanjang dua kali dari panjang aslinya, pipi yang lebih merah daripada penduduk negeri terdingin, lipstik semerah darah, dan glitter yang indah di seluruh permukaan wajahnya.
+
<i>Eye shadow</i> ungu menyala, alis yang seperti digambar dengan spidol, bulu mata diperpanjang dua kali dari panjang aslinya, pipi yang lebih merah daripada penduduk negara terdingin, lipstik semerah darah, dan kelap-kelip <i>glitter</i> di seluruh permukaan wajahnya.
 
[[Image:Tsukumodo_V2_259.jpg|400px|right]]
 
[[Image:Tsukumodo_V2_259.jpg|400px|right]]
   
Line 587: Line 587:
 
<i>Akan kutinggalkan buku itu di meja untuknya.
 
<i>Akan kutinggalkan buku itu di meja untuknya.
   
Mm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?</i>
+
Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?</i>
   
   
Line 653: Line 653:
 
"Wah, iya. Aku ''cinta''."
 
"Wah, iya. Aku ''cinta''."
   
Nampaknya ia sudah menyelesaikanbuku yang kubawakan untuknya. ''Itu baru namanya semangat, membaca habis buku seperti itu dalam satu hari.''
+
Nampaknya ia sudah menyelesaikan buku yang kubawakan untuknya. ''Itu baru namanya semangat, membaca habis buku seperti itu dalam satu hari.''
   
 
Ngomong-ngomong, buku itu adalah reinterpretasi dari sebuah cerita yang berpesan moral "Jangan menilai sesuatu dari kesan pertamanya, karena mungkin kau akan menemukan bahwa mereka sebenarnya sangat indah ketika dilihat lebih dekat."
 
Ngomong-ngomong, buku itu adalah reinterpretasi dari sebuah cerita yang berpesan moral "Jangan menilai sesuatu dari kesan pertamanya, karena mungkin kau akan menemukan bahwa mereka sebenarnya sangat indah ketika dilihat lebih dekat."
   
Aku belum membaca sendiri buku itu, tapi siswa yang membantu di perpustakaan memberitahuku begitu. Rupanya, pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah hanyalah candaan kecil dan tidak untuk dianggap serius.
+
Aku belum membaca sendiri buku itu, tapi siswa yang membantu di perpustakaan memberitahuku begitu. Pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah hanyalah candaan kecil dan tidak untuk dianggap serius.
   
 
<i> Akan kutinggalkan buku itu di meja untuknya.
 
<i> Akan kutinggalkan buku itu di meja untuknya.
   
Mm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?</i>
+
Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?</i>
  +
  +
  +
  +
<div style="text-align: center">◆</div>
  +
  +
  +
  +
<div style="color: #75365A; font-family: Verdana, sans-serif;">
  +
Aku menemukan lagi sebuah buku lain hari ini.
  +
  +
Itu adalah naskah grup yang sama dengan dua buku sebelumnya, dan lagi-ini adalah cerita yang mirip dongeng dengan pesan moral.
  +
  +
<i>Pada zaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan dengan ratu yang mengenakan rambut palsu. Pada suatu ketika saat makan malam, rambut palsu Sang Ratu miring, dan semua orang kecuali sang ratu mengetahuinya. Karena rambut palsunya adalah sesuatu yang dirahasiakan, tidak ada yang berani mengingatkannya.
  +
  +
Semua orang yang hadir mulai berhati-hati untuk tidak melihat ke arah rambut Sang Ratu dan tidak menggunakan kata-kata yang akan mengingatkan beliau akan rambut di kepalanya.
  +
  +
Akan tetapi, kemudian terjadi sesuatu : rambut palsunya tersulut api dari lilin. Namun, Sang Ratu masih belum menyadarinya. Para peserta makan malam lainnya ingin memadamkan api dengan menginjak atau menyiramnya, tapi akan terjadi bencana apabila rambut palsu tersebut sampai terjatuh. Jika mereka tidak bertindak cepat, Sang Ratu akan terbakar. Tetapi jika sang ratu menyadari bahwa para peserta makan malam mengetahui tentang rambut palsunya, mereka semua akan dihukum mati. Suasana menjadi tegang ketika para bangsawan mulai mengguncang-guncangkan beberapa botol anggur dan meletupkan sumbat-sumbatnya. Anggur-anggur tersebut menyiram semua peserta makan malam termasuk Sang Ratu. Mereka basah kuyup, namun bencana terburuk berhasil dihindarkan. Ini adalah asal mula dari kejadian yang kini kita kenal sebagai "Perang Sampanye."
  +
  +
Pesan moral cerita itu tertulis di akhir naskah.
  +
  +
"Rambutmu juga sedang terbakar. Sebaiknya cek rambutmu sebelum hilang. Apalagi, kisah ini belum selesai. Lanjutannya sedang dalam tahap pengerjaan."
  +
  +
Sesuatu menusuk hatiku.
  +
  +
Tokiya menertawakan usaha mati-matianku dalam make up dan fashion, menyindir bahwa rambutku—simbol kecantikan setiap wanita—yang tidak terawat tidak hanya akan menjadi kusut namun juga akan rontok semuanya.
  +
  +
Dia bahkan mengeluarkan sindiran ironis bahwa aku belum menyalakan api semangat dalam diriku, namun malah menyalakannya di atas kepalaku. Dan dengan memberikanku buku setengah jadi, dia menyindir bahwa usahaku pun seperti setengah jadi.
  +
  +
Tanpa sadar, aku sudah membuang naskah itu.
  +
  +
<i>Baiklah, Tokiya. Akan kuterima tantangan itu.
  +
  +
Akan kita lihat apakah usahaku akan berakhir setengah-setengah.
  +
  +
Akan kubuat kau tak bisa berkata-kata lagi.
  +
  +
Tunggu saja.
  +
  +
Aku akan menjadi hal tercantik yang pernah kau lihat.</i>
  +
</div>
  +
  +
  +
  +
<div style="text-align: center">◆</div>
  +
  +
  +
  +
Ketika aku tiba di toko pada keesokan harinya, Saki langsung berkata padaku, "Aku mau ke tempat potong rambut hari ini."
  +
  +
Ia memegang buku berjudul "Menjadi Aktris itu Mudah! (Wig untuk Panggung)." ''Dia sudah sampai sejauh ini'', batinku. Secara pribadi, menurutku rambutnya sudah cantik apa adanya. Namun sepertinya ia berpendapat lain.
  +
  +
Mungkin, ia memang bercita-cita mendapatkan peran utama dan ingin menjadi yang paling mencolok.
  +
  +
Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasanya, namun matanya tidak.
  +
  +
Aku merasakan api di matanya, nyaris seolah-olah ia hendak mengutuk mati seseorang.
  +
  +
"Oh, kau di sini?"
  +
  +
"Ya, aku akan ambil alih, jadi istirahatlah."
  +
  +
"Terima kasih untuk bukunya."
  +
  +
"Kamu suka?"
  +
  +
"Wah, iya. Aku ''cinta''."
  +
  +
Nampaknya ia sudah menyelesaikan buku yang kubawakan untuknya. Itu baru namanya semangat, bisa membaca habis buku seperti itu dalam satu hari lagi.
  +
  +
Ngomong-ngomong, buku itu adalah reinterpretasi dari cerita yang berpesan moral "Kau terlihat paling cantik saat kau menjadi dirimu sendiri," dan "Jangan bingungkan orang di sekitarmu dengan kebohongan yang absurd."
  +
  +
Lagi-lagi, aku belum membaca sendiri buku itu, tapi aku hanya diberitahu begitu. pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah pun hanyalah candaan kecil lagi dan tidak untuk dianggap serius.
  +
  +
<i>Akan kutinggalkan buku yang kubawakan untuknya hari ini di atas meja.
  +
  +
Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?</i>
   
   

Revision as of 07:50, 27 June 2013

Status: Incomplete

45% completed (estimated)

   

Kapan dan bagaimana cewek belajar menggunakan make-up?

Di TV, kalian dapat sering melihat anak-anak yang berubah menjadi monster dengan menggunakan make-up ketika ibu mereka lengah, tapi aku belum pernah melihat hal seperti itu di kehidupan nyata.

Sementara di lingkunganku sendiri, aku menyadari cewek-cewek di kelasku mulai menggunakan make-up sekitar saat kami mulai memasuki SMA.

Tidak hanya dalam urusan make-up para cewek lebih maju dari kami kaum adam, tetapi juga ketika menyangkut pakaian dan gaya rambut . Mereka pasti lebih sensitif pada fashion daripada kami.

Memang ada juga beberapa laki-laki yang modis di sana sini, tapi itu hanya minoritas. Cenderung lumrah bagi pria untuk tampil biasa dalam hal seperti ini. Bukannya aku mau menyebut diriku standar, tapi itulah fakta yang tidak bisa kusangkal dalam fashion.

Mungkin para cewek membaca majalah agar dapat lebih terampil dalam bidang ini? Tapi aku tidak percaya mereka bisa berhasil cukup dengan itu.

Artinya, mereka harus meminta nasihat pada ibu atau teman mereka dalam hal make-up dan fashion.

Tapi cewek-cewek yang tidak punya teman dan orang tua tidak diuntungkan dalam hal ini.

Mm? Kalian tanya siapa yang kumaksud?

Tidak, tentu saja aku tidak memikirkan seseorang yang spesifik.



Sederet panjang botol-botol dijajarkan di atas meja.

Toner, lotion biasa dan lotion susu, alas bedak cair, krim... pelindung kulit, pelembab, perawatan kulit... produk-produk setelah perawatan untuk digunakan setelah mencuci muka, atau setelah memakai masker, atau sebelum menggunakan make-up...

Karena aku sama sekali belum tahu apa yang harus digunakan, kapan, dan untuk apa, aku hanya membeli beberapa secara acak, tapi sekarang setelah kuderetkan barang belanjaanku, aku pun masih belum tahu.

Faktanya, semua ini hanya sebagian kecil dari kosmetik-kosmetik yang dijual. Yang bisa kukatakan sekarang hanya masker wajah masih terlalu tinggi tingkatannya untukku.

Sudah sekitar pukul sepuluh malam. Aku masih memegangi kepalaku di depan cermin dan sederet produk-produk kecantikan sementara masih memakai slip dress yang kukenakan sehabis mandi tadi.

Mestinya, aku perlu melakukan sesuatu pada kulitku yang kering setelah mandi, tapi aku bahkan tidak tahu mengapa karena mandi saja kulitku bisa kering. Apalagi, toner dan semacamnya bisa saja seharusnya tidak hanya dioleskan, tetapi juga dipijat-pijat.

Pokoknya, duduk diam saja tidak akan ada gunanya.

Aku memutuskan untuk mulai sambil mengikuti petunjuk di bukuku.

Dengan hati-hati, aku menuang sedikit toner ke atas tanganku dan memijatnya memutar-mutar di permukaan wajahku untuk agar merasuk. Dengan mengikuti perintah di buku, aku juga mengoleskan sebagian ke tempat-tempat lain seperti lengan dan tengkuk leherku.

Aku takut harus mengulangi langkah yang sama lagi untuk lotion dan alas bedak, tapi karena keduanya disebutkan opsional, jadi aku mengabaikannya.

Jika aku memikirkan sebagian besar wanita melakukan ini setiap hari, aku jadi merasa salut.

Aku sendiri juga baru saja mulai menggunakan kosmetik, tapi aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan.

Tidak, ini pola pikir yang salah.

Aku tidak boleh menyerah.

Atau aku akan berakhir seperti...

Aku melirik sebuah foto yang berkerut-kerut di atas meja.

Aku berusaha meratakannya dengan telapak tanganku, tapi foto itu tetap saja berkerut-kerut. Dan orang yang tampak di dalamnya pun masih tetap penuh dengan kerutan seperti wanita tua.


Insiden itu terjadi beberapa jam yang lalu.

Towako-san sedang pergi belanja seperti biasanya, sementara kami berdua menjaga toko.

Selama waktu istirahatku, aku pergi keluar untuk membeli beberapa barang. Ketika aku kembali, aku meletakkan bahan-bahan makanan ke dalam kulkas. Saat hendak meletakkan castella cake (yang kubeli untuk dimakan saat minum teh) di ruang tamu saat aku tiba-tiba menyadari sebuah kamera di sana.

Itu adalah kamera analog yang kelihatan lumayan tua, dan aku pun tergoda untuk mengangkatnya dengan tanganku.

Saat itulah peristiwa itu terjadi.

Suara jepretan keras menggema.

Aku belum sempat mengoperasikan kamera itu. Jadi mungkin aku menyentuh titik yang salah atau benda itu aktif sendiri.

Aku menaruh kembali kamera itu dengan panik.

...Orang lain mungkin belum menyadarinya, tapi aku benar-benar panik; karena mungkin saja kamera itu adalah sebuah Relik.

Karena kekuatan istimewanya, tidak mungkin untuk memprediksi efek apa yang dimiliki sebuah Relik. Sementara itu, Towako-san punya kebiasaan buruk meninggalkan Relik-Reliknya tergeletak sembarangan.

Ceroboh sekali aku. Aku terlalu tidak hati-hati.

Aku seharusnya sudah memikirkan kemungkinan itu sebelum menyentuhnya.

Bagaimana kalau kamera itu punya kekuatan untuk menghisap jiwa seseorang? Apalagi, dulu kami sudah pernah bertemu patung yang membunuh siapapun yang menyentuhnya.

Selagi aku memikirkan hal-hal ini, kamera itu mengeluarkan suara seperti mesin dan mencetak selembar foto. Seperti kelihatannya, itu adalah kamera Polaroid. Tapi apa yang akan terjadi sekarang?

Aku mengambil foto itu dan melihatnya.

"Ini...?"

Saat itulah Tokiya mengintip ruang tamu dari toko.

"Ada apa?"

"Ah, Tokiya. Lihat, kamera ini..."

"Mm? Ah, jangan sentuh itu, oke? Itu Relik yang Towako-san tinggal di situ."

"Jadi itu memang Relik."

"Hei, jangan-jangan kamu sudah menggunakannya?"

Aku cepat-cepat menggeleng, sambil menyembunyikan foto itu di belakangku.

"Iya, sih, kamu tidak mungkin menggunakannya," katanya, "Tapi serius, hati-hati! Kacau sekali waktu aku menyentuh dompet Relik itu. Kau bisa camkan kata-kataku."

Tentu saja, Tokiya sudah mengalami pengalaman-pengalaman menyakitkan dengan Relik sebanyak yang kualami. Jadi kalau Tokiya saja memperingatkanku, bahaya seperti apa yang disembunyikan kamera itu?

"T-Tokiya... Kekuatan apa yang dimiliki kamera ini?"

"Kalau boleh jujur, nggak ada heboh-hebohnya sih," aku Tokiya sembari berjalan masuk ke ruang tamu. Setelah sampai ke dekat meja, dia mengangkat kamera itu, memutar semacam dial, dan akhirnya memotret castella cake yang kuletakkan di meja. Setelah beberapa saat, satu foto lain tercetak dengan suara mekanis yang sama seperti sebelumnya.

Dia mengambil foto itu dan menunjukkannya padaku.

Tentu saja, sebuah cake ada di dalamnya. Akan tetapi, di dalam foto, cake itu tampak kadaluarsa—nyaris busuk—dan warnanya pun sedikit berbeda.

"Kenapa kelihatan beda?"

"Nah, kamu bisa mengambil foto dari masa depan."

"Dari masa depan..."

"Aah, tapi ada satu kelemahan...," kata Tokiya seraya mengambil sepotong castella cake, dan menggigitnya. "Foto ini cuma menunjukkan bagaimana obyek akan terlihat setelah jangka waktu tertentu tanpa mempertimbangkan jika ia dimakan, seperti sekarang ini."

"Itu berapa lama?"

"Dalam kasus ini, mungkin setahun? Lihat dial ini? Kamu bisa mengatur angka tahunnya di sini, begitu kata Towako-san."

"K-Ke angka berapa itu diset sebelumnya?"

"Sebelumnya?"

"Maksudku, a-apa kamera itu juga diset ke satu tahun sebelum kau memotret foto ini? Tidak, kan?"

"Engg, berapa ya? Aku nggak terlalu memperhatikan, tapi mungkin 16 tahun? Ya, kira-kira segitu. Cuma lihat sekilas, sih."

"16 tahun?"

"Iya."

"Kamu bilang enam belas tahun?"

"Iya. Ada masalah?"

"Tidak."

Dia mengangkat bahu dan kembali ke toko sambil mendorong potongan cake yang tersisa ke dalam mulutnya.

"Oh, 16 tahun...."

Aku melihat foto itu, yang tak sengaja kuremas.

Kerut-kerutan dalam yang timbul bukan karena foto itu kuremas, rambut seputih salju, baju compang-camping—

Itu adalah foto gadis bernama Saki Maino, 16 tahun yang akan datang.

...Dengan kata lain, aku.

Ini keterlaluan.

Meskipun aku tidak pernah memperhatikan kulitku, ini tetap saja keterlaluan.

Tetapi ketika aku mengambil sebuah majalah tua, aku menemukan bahwa zaman sekarang, anak-anak SD pun melakukan perawatan kulit.

Menurut majalah itu, kau tidak boleh mulai terlalu dini melakukan perawatan kulit, karena dalam beberapa tahun terakhir ini penuaan kulit dan tubuhmu telah menjadi semakin cepat karena berbagai alasan seperti peningkatan radiasi UV dan malnutrisi.

Setelah membaca artikel itu, aku merenungkan ketidakpedulianku dalam hal semacam ini.

Sudah jelas, tidak seperti dulu, sekarang ini ada berbagai macam produk kecantikan di pasaran, yang tentunya karena fakta bahwa mereka dibutuhkan.

Aku kemudian mulai membaca topik itu. Tidak hanya menyinggung dasar-dasar seperti krim dan lotion, aku juga menemukan bahwa make-up juga bertujuan melindungi kulit dari radiasi Ultraviolet dan semacamnya.

Selama ini kukira make-up hanya ditujukan untuk pamer, jadi aku tidak menganggapnya tidak diperlukan.

Aku tidak terlalu sering melihat Towako-san menaburkan make-up, tetapi dia memang hampir selalu mengenakan make-up tipis. Dan sejujurnya, ia memang terlihat lebih muda dari usia aslinya. Aku selalu menghubungkan itu dengan sifatnya, tapi ternyata aku salah. Towako-san telah melakukan usaha untuk tetap awet muda.

...Kenapa dia tidak pernah memberitahuku?

Setelah merasakan beberapa bahaya, aku cepat-cepat pergi dan membeli sendiri sederet produk-produk kecantikan, dan bertekad untuk mulai sekarang juga.

Aku masih bisa membuat perubahan.

Aku melihat lagi foto itu.

Pada penampilanku yang penuh keriput, enam belas tahun yang akan datang.

Kemudian aku berjanji:

Aku akan segera menjadi cantik.

Gadis seperti diriku pun mengenal keinginan yang dimiliki setiap gadis.

Keinginan untuk menjadi cantik.


Tiga hari telah berlalu semenjak aku mulai menggunakan make-up dan melakukan perawatan kulit.

Aku tanpa sadar mendatangi kamera itu dan mengangkatnya.

Apa sudah ada perubahan yang terlihat jika aku mengambil foto sekarang?

Tidak, jangan terburu-buru.

Di samping itu, aku pasti akan langsung menyerah kalau sampai tidak ada.

Aku meletakkan kamera itu lagi.

Satu langkah untuk satu waktu. Tidak ada buah tanpa keringat. Usahaku pasti membuahkan hasil.

Aku tidak terlalu sering menonton TV, tapi aku tahu betapa cantiknya para bintang. Mereka pasti juga melakukan usaha juga di belakang panggung, agar dapat bersinar di atas panggung.

Sebenarnya, aku juga lebih suka melakukannya diam-diam, tapi aku tidak akan sampai ke manapun dengan usaha setengah-setengah seperti itu.

Lagipula, fakta bahwa aku akan memiliki banyak keriput dalam enam belas tahun juga berarti bahwa dalam waktu dekat...mungkin bahkan dalam satu bulan, aku bisa mulai menua. Tidak, proses penuaan mungkin sudah dimulai dan berjalan selagi kita berbicara, hanya saja tidak terlihat mata.

Tidak ada jalan lain.

Di samping itu, Tokiya belum berkomentar apa-apa tentang sikapku belakangan ini.

Tentunya, sekarang ini aku hanya sedikit menggunakan make-up, tapi tidak mungkin dia tidak sadar. Ia pasti pura-pura mengabaikannya. Dia cukup sopan untuk tidak menyinggung usaha yang kulakukan.

Ngomong-ngomong, waktunya belajar mumpung ini masih waktu istirahatku!

Sesaat kemudian aku mendadak berhenti membalik-balik halaman majalah.

Aku menemukan sebuah artikel spesial.

"Untuk semua gadis yang tidak mendapat pujian dari pacar mereka meski telah melakukan berbagai usaha."

...Coba kita lihat.

B-Bukannya aku peduli kalau Tokiya tidak pernah mengatakan apa-apa tentang penampilanku. Aku cuma penasaran!

"Hei, Saki."

"A-Apapaapa?"

Aku terlalu larut dengan majalah itu sampai aku gagal ketika buru-buru menutupnya. Dengan tangan yang semakin bergetar, aku cepat-cepat menutupi majalah dengan tanganku.

"Ada masalah apa?" tanyanya.

"Tidak apa-apa. Tapi ngomong-ngomong, kau ada masalah apa?"

"Ke toilet. Bisa kau awasi toko sementara aku pergi? Bukannya kupikir ada yang mampir, sih," katanya seraya berjalan ke arah kamar mandi.

Aku mungkin gagal menutup majalah itu, tapi aku berhasil menggantinya ke halaman lain berisi reportase, jadi ia mungkin tidak menyadari apa-apa. Hampir saja. Kalau dia sampai melihatku membaca artikel seperti itu, dia pasti akan mulai heran denganku.

Setelah memastikan Tokiya benar-benar sudah pergi, aku membuka artikel khusus itu lagi.

"Hati-hati! Jangan kira cowok bebal hanya karena mereka tidak bilang apa-apa tentang usahamu untuk tampil cantik! Mungkin, pacarmu sengaja diam saja karena mulai bosan denganmu!"

Dia tidak mengatakan apa-apa, sih. Apa dia sudah mulai bosan denganku? Tidak, kami tidak berpacaran, jadi tidak mungkin dia bosan denganku. Tunggu. Apa dia juga bisa bosan denganku tanpa menjadi pacarku?

Aku melihat lebih dekat ke artikel tersebut.

Cerita Nona A. Pacarku tidak mengatakan apa-apa waktu aku mengganti make-upku. Waktu kutanyai dia tentang itu, dia Cuma berkata, "Terus?" Kami putus seminggu kemudian.

Cerita Nona B. Ada cowok di tempat kerjaku. Kami punya jadwal kerja yang sama dan kami cukup dekat. Tapi waktu aku mencoba usaha lebih pada make-up-ku, dia tidak mengatakan apa-apa. Kutanyai dia dengan halus. "Kembali bekerja!" jawabnya. Setelah itu, aku baru tahu bahwa dia sudah punya pacar. Dia sama sekali tidak berminat padaku sejak awal.

"Adakah sesuatu dari cerita mereka yang bisa kau hubungkan dengan dirimu?"

Ada. Sekarang ini. Jadi apa itu artinya kami mulai bosan dengan satu sama lain? Bawa Tokiya tidak menaruh minat padaku?

"Tapi jangan takut! Ini solusinya!

Misi 'Buat Kekasihmu yang Jemu Terpana! (bagian Make-Up)' "

Artikel tersebut berisi pengenalan mendalam mengenai make-up dan sejumlah tips, yang disertai sebuah komik yang memperlihatkan seorang pria dengan mata berbentuk hati yang memuji seorang wanita hingga ke angkasa.

Terinspirasi oleh itu, aku mencoba membayangkan Tokiya menyebutku cantik.

......

......

Sepertinya aku suka itu.

T-Tentu saja aku tidak bicara tentang dipuji, tapi ide untuk memiliki tujuan yang jelas, karena aku sudah mulai muak dengan kosmetik. Bukannya Tokiya pacarku atau si-cowok-spesial atau apapun, dan aku tidak terlalu ingin dipuji olehnya.

...Tapi kalau boleh jujur, aku juga agak sedikit tertarik dengan pujian.

Gadis seperti diriku pun mengenal keinginan yang gadis manapun miliki.

Keinginan untuk disebut cantik.



Setelah menyelesaikan istirahatnya, Saki mulai menata rak, sibuk mondar-mandir di depanku.

Ia mengambil sebuah barang dari satu rak, berjalan melewatiku untuk menaruhnya di tempat lain dan kemudian melewatiku lagi , kini membawa barang yang baru saja dipindahkannya. Tapi belum selesai sampai di situ; tampak tidak puas, ia berjalan kembali dengan barang itu, menyeberangi area pandanganku lagi, dan meletakkannya kembali ke tempat asalnya, lalu memandang rak dari kejauhan untuk mendapatkan kesan.

Dia cukup berlawanan denganku; aku sudah bersantai di meja kasir, menunggui pelanggan-pelanggan kami yang tidak kunjung datang.

Aku iseng mengikutinya dengan mataku, tetapi kelihatanya Saki terlalu asyik dengan pekerjaannya sampai ia tidak menyadariku, bahkan tidak melihat ke arahku.

"Saki."

"Ya?" tanya Saki, menghentikan tangan-tangannya yang sibuk.

"Kelihatan bagus."

"M-Menurutmu begitu?"

"Ya, jelas aku suka apa yang kulihat."

"A-Apa benar perbedaannya begitu besar?"

"Ya. Aku tidak menyangka efeknya sebesar ini hanya dengan menata ulang barang di rak-rak."

"Ya, ya. Sedikit sentuhan make-u... eh? Rak-rak? Barang?"

"Ya. Apa kau mulai belajar desain interior baru-baru ini?"

"Y-Ya! Menurutku kesan itu penting!"

"Oh, begitu," kataku.

"......"

"......"

"Itu saja?"

"Mm?"

"T-Tidak, jangan dipikirkan."

Meski nampaknya ia ingin mengatakan sesuatu, Saki kembali menata barang tanpa mengatakan apapun.

Ketika Saki berjalan melewatiku, aku mencium sebuah aroma.

"Saki."

"Ya?" tanyanya seraya menghentikan langkahnya menuju rak.

"Baunya enak."

"M-Menurutmu begitu?"

"Ya, baunya lumayan merangsang."

"M-Merangsang? Wow... b-benarkah? Tapi aku tidak mencoba melakukan apapun yang mencurigakan!" kata Saki, sekilas terlihat sedikit melebarkan matanya kebingungan.

"Ya. Kalian akan makan semur untuk makan malam? Baunya benar-benar merangsang nafsu makanku."

"Ya, ya. Sedikit sentuhan parfu... eh? Semur? Nafsu makan?"

"Ya. Kau sudah menyiapkan makan malam, ya? Ada bau enak tercium dari dapur. Rasanya sekarang aku jadi lapar."

"Y-Ya! Kami akan makan semur malam ini!"

"Oh, begitu... apa aku harus beli semur microwave juga, ya?"

"......"

"......"

"Itu saja?"

"Mm?"

"T-Tidak, jangan dipikirkan."

Meski nampaknya masih ingin mengatakan sesuatu, Saki pergi ke dapur untuk mengatur kompor tanpa mengatakan apapun.

"Hari ini tingkahnya benar-benar aneh."

Ia terlihat agak kecewa meski aku sudah memujinya. Atau cuma perasaanku saja?

Ngomong-ngomong tentang hal yang aneh, aku penasaran, apa ini soal artikel yang itu? Dia mungkin langsung menutupinya, tapi aku bisa melihat sekilas.

Jujur, aku tidak mengira dia tertarik dengan hal semacam itu.

Yah, dia tetap saja seorang cewek. Rasanya, sih, itu normal-normal saja.

Tapi kalau itu masalahnya, akan kucarikan sesuatu dari perpustakaan sekolah dalam beberapa hari ini.




Beberapa hari kemudian.

Ini aneh. Meski aku sudah menaruh usaha pada make-up-ku, Tokiya tidak juga memberikan tanggapan apapun. Aku bahkan sudah mencoba parfum dan masih kalah dari semur.

Bukan hanya tidak memujiku, dia bahkan tidak menyinggung topik itu.

Apa dia benar-benar tidak menyadari apa-apa? Tidak, itu tidak mungkin. Dia pasti sudah sadar. Lalu apa dia memang sudah bosan denganku? Tapi kalau itu, dia masih berbicara denganku seperti biasanya...

"Mm?" gumamku ketika melihat sebuah buku di atas meja, yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Buku itu bukan milikku. Apakah Tokiya lupa membawanya pulang?

Aku sedikit tertarik dengan selera buku Tokiya, jadi aku mengambil dan melihatnya.

Dari sampul tebalnya, kukira buku itu adalah sebuah novel, namun ternyata itu adalah naskah teater.

Aku tidak tahu Tokiya tertarik dengan teater.

Ceritanya sangat mirip dengan suatu dongeng.

Disebut-sebut sebagai wanita tercantik di bawah mentari, setiap hari wanita itu selalu berusaha menjadi lebih cantik. Ia telah mendapat banyak sekali lamaran, namun ia menolak setiap dari mereka karena ia pikir tidak ada pria yang pantas dengan kecantikannya.

Suatu hari, ia bertanya pada cermin ajaibnya, siapa wanita tercantik di dunia, tetapi cermin itu menjawab dengan nama orang lain. Meskipun wanita itu meningkatkan usahanya untuk tampil lebih cantik, cermin itu tidak pernah menjawab dengan namanya lagi.

Wanita litu menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk berusaha tampil cantik dengan make-up dan perhiasan, dan menjadi tua tanpa mendapatkan apa-apa.

Seiring berjalannya waktu, lamaran yang didapatkannya semakin berkurang, dan pada akhirnya, ia mati sebatang kara.

"Apa ini..."

Pesan dari cerita itu tertulis di akhir naskah.

"Sebaiknya jangan melakukan usaha yang sia-sia."

Sesuatu menusuk hatiku.

Apa artinya ini? Arti kalimat yang bergema aneh ini?

Kenapa Tokiya harus meninggalkan buku ini hari ini di sini?

"Ah! Mungkin... apa dia mau bilang kalau...?"

Aku bergegas ke kamarku dan membuka almari bajuku.

Aku menyimpan foto itu di sana agar tidak ada yang menemukannya. Aku ingin sekali membuangnya saja, tetapi aku sengaja menyimpannya untuk memperbaharui tekadku ketika aku sudah hampir menyerah.

Foto itu masih ada di sana. Tetapi, aku tidak bisa tahu pasti apakah belum ada yang melihatnya.

Tidak, Tokiya pasti sudah melihat foto ini. Mungkin dia sudah tahu sejak awal. Mungkin dia sudah pernah melihatnya waktu aku memotret.

Dia tahu bagaimana penampilanku enam belas tahun yang akan datang.

Dan setelah mengetahui hal itu, dia ‘’sengaja’’ meninggalkan naskah ini di tempat yang bisa kutemukan.

Untuk mengatakan bahwa usahaku sia-sia.

Tanpa sadar, aku sudah membuang naskah itu.

Aku mengerti. Itu yang ingin kau katakan padaku.

Tentunya kau sadar, kan?

Tentunya kau tidak akan bosan padaku kalau sejak awal kau tidak tertarik, kan?

Wah, terima kasih, ya, sudah membuka mataku!

Aku mengambil krim dan lotionku, dan menepukkannya ke atas mukaku, menggunakan dua kali lipat dan dua kali pakai dari jumlah biasanya.

Tapi aku yakin, itu masih belum cukup.

Sambil menaburkan make-up, aku menetapkan tekadku.

Ini waktunya senjata rahasiaku! Meski mungkin aku sudah menyegelnya karena tingkat kesulitannya...

Aku menyingkirkan majalah yang selama ini kubaca, dan mengeluarkan sebuah buku lain dari kedalaman rak bukuku.

Baiklah, Tokiya! Akan kuterima tantanganmu.

Akan kita lihat apakah aku memang melakukan usaha yang sia-sia di sini.

Aku akan membuatmu tak bisa berkata-kata lagi.

Tunggu saja!

Aku akan menjadi hal tercantik yang pernah kau lihat!



Ketika berjalan menuju Toko Barang Antik Tsukumodo sepulang sekolah, aku menabrak seseorang yang meninggalkan toko dengan muka cemberut. Karena kuduga Saki berulah lagi, aku memasuki toko sambil menghela nafas.

"Selamat datang, Tokiya."

"Hei, apa yang kamu lakukan pada pela... HUWAAA!"

Aku berteriak seraya melangkah mundur.

"Ada yang salah?"

"Salah...? Harusnya aku yang bilang begitu... ah, tidak..."

Yang mengejutkanku, Saki telah memakai make-up.

Tentu saja, aku tidak akan begitu terkejut kalau itu hanya make-up.

Tidak, sekarang dia memakai make-up yang luar biasa tebal. Sangat mirip anggota suatu kelompok teater yang sekarang sedang popular di kalangan para gadis. Kelompok itu menjadi tenar karena anggotanya yang mengenakan kostum mencolok yang cocok dengan make-up tebal mereka, dan karena penulis naskah mereka adalah ahli dalam menafsirkan kembali cerita dongeng.

Eye shadow ungu menyala, alis yang seperti digambar dengan spidol, bulu mata diperpanjang dua kali dari panjang aslinya, pipi yang lebih merah daripada penduduk negara terdingin, lipstik semerah darah, dan kelap-kelip glitter di seluruh permukaan wajahnya.

Tsukumodo V2 259.jpg

Yang mungkin terlihat indah di atas panggung dari jarak sepuluh-dua puluh meter, menjadi terlihat menyeramkan ketika dilihat dari dekat.

Tidak heran pelanggan itu pulang dengan with a grimace. Kami mestinya sudah senang dia tidak menjerit keras-keras. Aku penasaran apa yang pelanggan itu pikirkan tentang toko kami setelah kejadian ini.

"Ada apa?" tanyanya.

"Ah, ti, tidak apa-apa. Um, kenapa kau tidak istirahat saja?"

"Aku tidak perlu."

"Tidak, aku yakin kau perlu. Kau sudah agak capek, ‘kan? Ya, kau pasti capek."

"Menurutmu begitu? Aku istirahat sebentar kalau begitu."

Setelah kalah dengan kengototanku, Saki meninggalkan konter menuju ruang tamu.

Aku mengganti pakaianku, dan duduk di belakang konter, tetapi aku tidak bisa menahan desakan untuk melirik pada Saki.

Ada apa ini? Tidak, yang lebih penting, apa benar tidak apa-apa kalau aku menanyainya tentang hal ini? Atau aku harus pura-pura kalau semuanya berjalan biasa dan baik-baik saja? Tapi dia membuatnya terlalu kentara untuk pura-pura tidak tahu.

Tiba-tiba, buku yang ia baca menarik perhatianku.

"Menjadi Akris itu Mudah! (Make-Up untuk Pertunjukan)"

Itu judulnya.

"S-Saki?"

"Apa?"

"A-Apa buku ini juga membantu meningkatkan layanan pelangganmu?" tanyaku.

Dengan muka datar... tidak, wajah itu terlalu menyeramkan untuk disebut datar, Saki menjawab, "Kamu bicara apa? Apa hubungannya make-up dengan layanan pelanggan?"

"Y-Ya, benar juga. Maaf tanya yang aneh-aneh."

Benar, benar. Lagipula kami bukan toko kosmetik...Tunggu. Sepertinya aku mengatakan hal yang aneh sekarang! Rasanya peran kami jadi terbalik. Tentu saja, Saki yang aneh.

Ngomong-ngomong, bagaimana aku harus mengartikan sikapnya?

O-Oh iya, mempunyai hobi adalah hal yang baik.

Meski aku tidak setuju dia memakai dandanan seperti itu saat bekerja— bagaimanapun tertariknya dia— untuk sementara mungkin aku akan diam dan melihat saja.

Ya, itu ide yang bagus.

Towako-san, tolong cepat pulang!

"Tokiya."

Aku mengerjap karena kaget.

"A-Apa?"

Saki berjalan lurus ke arahku sambil memegang sebuah buku.

Saat itulah, aku merasa seperti tersambar petir.

Make-up yang aneh itu ternyata seperti milik kelompok teater yang Saki baca beritanya di majalah beberapa hari lalu. Tentu saja, setelah tahu bahwa ia tertarik dengan hal-hal seperti itu, aku membawakannya salah satu naskah mereka dari perpustakaan dan meletakkannya di meja, tapi aku tidak pernah bermimpi bahwa ia sangat mengagumi aktris-aktris itu sampai ingin menirunya. Tidak, mungkin ia bercita-cita menjadi aktris sungguhan jika tiruannya sangat mirip dengan aslinya? Tidak, tidak, dia tidak akan...

"Terima kasih bukunya."

"K-Kamu suka?"

"Wah, iya. Aku cinta."

Kelihatannya ini bukan "minat" biasa; wajahnya masih tanpa ekspresi seperti biasa, namun matanya tidak.

Aku merasa ada api di matanya, nyaris seolah-olah dia mendelik padaku.

Ngomong-ngomong, buku ini adalah penafsiran kembali dari sebuah cerita yang berpesan moral "Jangan hanya memoles bagian luarmu, poles juga bagian dalam dirimu," dan "Jangan iri pada orang lain karena penampilan mereka; kau adalah kau, dan mereka adalah mereka."

Aku belum membaca sendiri buku itu, tapi siswa yang membantu di perpustakaan memberitahuku begitu. Rupanya, pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah hanyalah candaan kecil dan tidak untuk dianggap serius.

Sebenarnya, petugas perpustakaan itu sudah memberiku buku lain yang terus-menerus ia rekomendasikan padaku. Aku tadinya berencana untuk mengembalikannya tanpa kubaca, tapi kalau Saki sangat tertarik dengan hal seperti itu, kupikir lebih baik aku pinjamkan saja padanya.

Akan kutinggalkan buku itu di meja untuknya.

Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?



Aku menemukan sebuah buku lain hari ini.

Itu adalah naskah grup yang sama dengan yang pertama, dan lagi-lagi ini adalah cerita mirip dongeng dengan pesan moral.

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita muda di sebuah desa. Keluarganya miskin, pakaiannya compang-camping, wajah dan tangannya kotor karena sehari-hari ia bekerja di ladang. Karena penampilannya yang lusuh, ia selalu ditertawakan.

Meski keadaannya seperti itu, gadis itu berusaha menikmati hidupnya sepenuhnya. Suatu ketika, seorang pria datang ke tempatnya untuk berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan ketika ia terjatuh di jalan.

Pria itu sebetulnya adalah seorang bangsawan. Pria itu melamarnya, menghadiahinya dengan pakaian dan perhiasan yang lebih indah dan mahal dari yang pernah ia ketahui.

Setelah ia membersihkan diri dan mengenakan pakaian-pakaian barunya, ia berubah menjadi gadis yang paling cantik di negeri itu. Ia menikah dengan sang pria dan hidup bahagia selamanya.

Pesan moral cerita itu tertulis di akhir naskah.

"Betapapun cantiknya wajahmu, kalau kau tidak memperhatikan pakaian dan kebersihanmu, semuanya sia-sia saja."

Sesuatu menusuk hatiku.

Tokiya menertawakan usaha usaha mati-matianku pada make up, menyindir bahwa make-upku pun tidak akan mengubah penampilan lusuhku dalam enam belas tahun.

Tanpa sadar, aku sudah membuang naskah itu.

Baiklah, Tokiya! Akan kuterima tantanganmu.

Akan kutunjukkan padamu hasil dari “usaha sia-siaku” ini, dan akan kubuat kau tak bisa berkata-kata lagi.

Aku akan membuatmu tak bisa berkata-kata lagi.

Tunggu saja!

Aku akan menjadi hal tercantik yang pernah kau lihat!



Saat aku tiba di toko pada hari berikutnya, Saki mengenakan gaun hitam yang mewah.

Di tangannya, ia memegang sebuah buku berjudul "Menjadi Aktris itu Mudah! (Kostum untuk Panggung)". Memang, gaun yang ia kenakan sama seperti seorang ratu di teater, dan mungkin hanya dapat ditemukan di toko kostum. Aku terkejut saat tahu bahwa ia sampai sudah mencari toko khusus seperti itu.

Mungkin, ia memang sungguh-sungguh bercita-cita menjadi seorang aktris.

Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasanya, namun matanya tidak.

Aku merasakan api yang sangat dahsyat, seolah-olah ia ingin menikam seseorang hanya dengan tatapannya sendiri.

"Oh, kamu di sini?" katanya.

"Ya, aku ambil alih di sini, jadi kamu bisa istirahat."

"Terima kasih bukunya."

"Kamu suka?"

"Wah, iya. Aku cinta."

Nampaknya ia sudah menyelesaikan buku yang kubawakan untuknya. Itu baru namanya semangat, membaca habis buku seperti itu dalam satu hari.

Ngomong-ngomong, buku itu adalah reinterpretasi dari sebuah cerita yang berpesan moral "Jangan menilai sesuatu dari kesan pertamanya, karena mungkin kau akan menemukan bahwa mereka sebenarnya sangat indah ketika dilihat lebih dekat."

Aku belum membaca sendiri buku itu, tapi siswa yang membantu di perpustakaan memberitahuku begitu. Pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah hanyalah candaan kecil dan tidak untuk dianggap serius.

Akan kutinggalkan buku itu di meja untuknya.

Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?



Aku menemukan lagi sebuah buku lain hari ini.

Itu adalah naskah grup yang sama dengan dua buku sebelumnya, dan lagi-ini adalah cerita yang mirip dongeng dengan pesan moral.

Pada zaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan dengan ratu yang mengenakan rambut palsu. Pada suatu ketika saat makan malam, rambut palsu Sang Ratu miring, dan semua orang kecuali sang ratu mengetahuinya. Karena rambut palsunya adalah sesuatu yang dirahasiakan, tidak ada yang berani mengingatkannya.

Semua orang yang hadir mulai berhati-hati untuk tidak melihat ke arah rambut Sang Ratu dan tidak menggunakan kata-kata yang akan mengingatkan beliau akan rambut di kepalanya.

Akan tetapi, kemudian terjadi sesuatu : rambut palsunya tersulut api dari lilin. Namun, Sang Ratu masih belum menyadarinya. Para peserta makan malam lainnya ingin memadamkan api dengan menginjak atau menyiramnya, tapi akan terjadi bencana apabila rambut palsu tersebut sampai terjatuh. Jika mereka tidak bertindak cepat, Sang Ratu akan terbakar. Tetapi jika sang ratu menyadari bahwa para peserta makan malam mengetahui tentang rambut palsunya, mereka semua akan dihukum mati. Suasana menjadi tegang ketika para bangsawan mulai mengguncang-guncangkan beberapa botol anggur dan meletupkan sumbat-sumbatnya. Anggur-anggur tersebut menyiram semua peserta makan malam termasuk Sang Ratu. Mereka basah kuyup, namun bencana terburuk berhasil dihindarkan. Ini adalah asal mula dari kejadian yang kini kita kenal sebagai "Perang Sampanye."

Pesan moral cerita itu tertulis di akhir naskah.

"Rambutmu juga sedang terbakar. Sebaiknya cek rambutmu sebelum hilang. Apalagi, kisah ini belum selesai. Lanjutannya sedang dalam tahap pengerjaan."

Sesuatu menusuk hatiku.

Tokiya menertawakan usaha mati-matianku dalam make up dan fashion, menyindir bahwa rambutku—simbol kecantikan setiap wanita—yang tidak terawat tidak hanya akan menjadi kusut namun juga akan rontok semuanya.

Dia bahkan mengeluarkan sindiran ironis bahwa aku belum menyalakan api semangat dalam diriku, namun malah menyalakannya di atas kepalaku. Dan dengan memberikanku buku setengah jadi, dia menyindir bahwa usahaku pun seperti setengah jadi.

Tanpa sadar, aku sudah membuang naskah itu.

Baiklah, Tokiya. Akan kuterima tantangan itu.

Akan kita lihat apakah usahaku akan berakhir setengah-setengah.

Akan kubuat kau tak bisa berkata-kata lagi.

Tunggu saja.

Aku akan menjadi hal tercantik yang pernah kau lihat.



Ketika aku tiba di toko pada keesokan harinya, Saki langsung berkata padaku, "Aku mau ke tempat potong rambut hari ini."

Ia memegang buku berjudul "Menjadi Aktris itu Mudah! (Wig untuk Panggung)." Dia sudah sampai sejauh ini, batinku. Secara pribadi, menurutku rambutnya sudah cantik apa adanya. Namun sepertinya ia berpendapat lain.

Mungkin, ia memang bercita-cita mendapatkan peran utama dan ingin menjadi yang paling mencolok.

Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasanya, namun matanya tidak.

Aku merasakan api di matanya, nyaris seolah-olah ia hendak mengutuk mati seseorang.

"Oh, kau di sini?"

"Ya, aku akan ambil alih, jadi istirahatlah."

"Terima kasih untuk bukunya."

"Kamu suka?"

"Wah, iya. Aku cinta."

Nampaknya ia sudah menyelesaikan buku yang kubawakan untuknya. Itu baru namanya semangat, bisa membaca habis buku seperti itu dalam satu hari lagi.

Ngomong-ngomong, buku itu adalah reinterpretasi dari cerita yang berpesan moral "Kau terlihat paling cantik saat kau menjadi dirimu sendiri," dan "Jangan bingungkan orang di sekitarmu dengan kebohongan yang absurd."

Lagi-lagi, aku belum membaca sendiri buku itu, tapi aku hanya diberitahu begitu. pesan yang ditulis pengarang di akhir naskah pun hanyalah candaan kecil lagi dan tidak untuk dianggap serius.

Akan kutinggalkan buku yang kubawakan untuknya hari ini di atas meja.

Hmm, apa yang harus kubawakan untuknya besok?





Mundur ke Mata Kematian Kembali ke Halaman Utama Maju ke Penutup