Madan no Ou to Vanadis (Bahasa Indonesia) :Volume 6 Chapter 2

From Baka-Tsuki
Revision as of 19:11, 25 January 2015 by Mizaki (talk | contribs) (→‎Dunia Biru dan Gadis Pengembara)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Dunia Biru dan Gadis Pengembara[edit]

Musim gugur berlangsung cepat di Zhcted, meski beberapa mengatakan musim dingin lah yang datang lebih awal.

Tumbuhan hijau yang bermandikan sinar matahari di musim panas, mulai layu karena angin musim gugur.

Meskipun tidak semuanya layu, musim gugur juga musimnya memanen tanaman.

Di bawah langit biru, di kiri-kanan jalan, terhampar ladang gandum yang berwarna keemasan. Saat angin berhembus, tanaman gandum berdesir dengan lembut. Sepertinya terjadi panen besar di daerah ini, wajah orang-orang yang sedang memanen juga terlihat sangat berseri-seri.

Juga terlihat pohon apel yang hijau, rantingnya terlihat berat dengan banyaknya apel hijau besar yang bergantung di dahan.

Melihat pemandangan seperti ini membuat perasaan Tigre menjadi nyaman. Angin yang berhembus juga terasa sangat menyejukkan, suasana seperti ini membuat Tigre ingin berbincang-bincang dengan orang-orang yang sedang bekerja di ladang. Namun Tigre menahan keinginannya dan terus memacu kudanya.

Di tempat dengan banyak orang seperti ini, Tigre menghindari berkuda dengan kecepatan tinggi, karena terkesan sangat arogan. Jika dia berkuda dengan santai, maka akan terlihat seperti aristokrat muda yang sedang pergi berburu. Pakaiannya yang rapi, dengan busur yang tergantung di pelana, makin memperkuat dugaan tersebut.

Saat matahari terbenam, dia singgah ke desa kecil, untuk mencari makanan dan tempat untuk bermalam.

Setelah melakukan perjalanan selama beberapa hari, Tigre akhirnya keluar dari wilayah LeitMeritz, dan setelah melewati teritorial raja, Tigre mulai memasuki Legnica.

Tiga hari setelah memasuki Legnica, Tigre akhirnya tiba di kastil di mana Vanadis Sasha tinggal. Meskipun sudah mendapatkan izin melalui surat yang ditulis Elen, Tigre baru bisa bertemu dengan Sasha dua hari kemudian.

—Dua hari ya. Sesuai perkiraan.

Tigre memang sudah mendengar dari Elen, kalau Sasha mengidap suatu penyakit yang menggerogoti kondisi fisiknya. Saat Elen menyerahkan surat tersebut kepada Tigre, dia juga mengingatkannya.

“Jika kondisi Sasha tidak terlalu buruk, kau bisa langsung bertemu dengannya. Tapi jika dalam tiga hari setelah menyerahkan surat ini kau masih belum bisa menemuinya, lanjutkan perjalananmu ke Asvarre.”

Kastil Legnica didominasi batu berwarna pasir yang tersusun satu dengan lainnya, ditambah hiasan marmer putih yang banyak tersebar. Meskipun penampilannya cukup unik, bangunan ini sangat kokoh.

Setelah menitipkan busur hitamnya, Tigre berjalan di lorong Kastil Legnica, dibimbing oleh pelayan yang sudah berumur.

—Tempat yang memberikan perasaan tenang.

Tigre hanya bisa merasa takjub setelah melihat langit-langit dan dinding kastil.

Selain LeitzMeritz, ini pertama kalinya Tigre mengunjungi sebuah kastil, dan semua yang ada di sini menarik minatnya. Tidak seperti dinding biasa, dinding kastil ini dihias dengan ukiran marmer putih. Bangunan ini merupakan hasil kerja keras arsitek sebelumnya, dan seseorang tidak akan bosan memandangi kemegahannya.

—Selama ini aku hanya berpikir kita hanya bisa mengukir dinding untuk menghiasnya. Tak kusangka cara seperti ini bisa dilakukan...

Masih takjub mengamati sekitar, Tigre sudah tiba di depan ruangan Sasha.

Pelayan memberitahukan dahulu keberadaan Tigre kepada Sasha, sebelum memasuki ruangan.

—Suasananya sepi sekali.

Kamar ini cukup terang, disinari oleh sinar matahari yang masuk melalui jendela yang terbuka lebar, begitu juga lilin yang berada di samping tempat tidur. Hanya saja, hampir tidak ada apapun di sini, dindingnya juga sangat sederhana. Kamar ini hanya dihiasi bunga aster yang berada di samping tempat tidur.

“Senang bertemu dengan anda.”

Suara jernih memanggil Tigre.

Yang menyambutnya adalah seorang wanita duduk di tempat tidur. Rambut hitamnya dipelihara sampai sepanjang bahu, dan dia mengenakan gaun tidur yang cukup longgar. Wanita tersebut memiliki wajah yang ramping dan kulit yang sangat putih. Tapi, wanita tersebut terlihat terlalu ramping, gaun yang terlihat sangat longgar bisa menjadi gambaran kondisinya.

Di atas selimut tebal menutupi bagian bawah tubuhnya, terdapat dua buah pedang. Terdapat hiasan cantik di bagian pangkal pedang, dan di atasnya, pedang bersinar dengan indah dengan warnanya masing-masing, emas dan merah. Pedang tersebut cukup pendek, dan hal yang menjadi ciri khas pedang tersebut adalah warnanya, emas dan merah.

—Jadi seperti ini ViraltSenjata Naga miliknya.

Pedang tersebut bersandar di pangkuannya, cukup kontradiksi dengan sambutannya barusan.

Meski begitu, Tigre tidak terlalu mempermasalahkannya. Elen juga meletakkan Arifal dalam jangkauannya ketika bekerja di ruangannya, dan wanita ini juga tidak jauh berbeda, secara langsung Tigre memahami alasan wanita tersebut.

Tigre memberi salam dan memasuki ruangan, dan saat dia berdiri di samping tempat tidur, Tigre kembali menunduk untuk memberi salam.

“Nama saya Tigrevurmud Vorn. Senang bertemu dengan anda.”

“Namaku Alexandra Arshavin. Sebenarnya aku ingin langsung bertemu denganmu, namun karena kesehatanku, aku baru bisa menemui sekarang, Maaf.”

Melihat wanita cantik berambut hitam yang meminta maaf dengan tulus, Tigre langsung menggelengkan kepalanya, mengindikasikan dia tidak keberatan menunggu.

“Jangan terlalu dipikirkan, kesehatan anda lebih penting, Alexandra-dono.”

Sasha tersenyum manis ketika Tigre mengatakannya, dan mempersilahkan Tigre untuk duduk.

“Kamu bisa memanggilku Sasha, Tuan Tigrevurmud.”

“Terima kasih, kalau begitu, panggil saya Tigre.”

Setelah duduk, Tigre tersenyum balik kepada Sasha. Tigre berpikir wanita ini jauh lebih cantik jika dilihat dari dekat.

Meski begitu, kecantikannya berbeda dengan Elen yang penuh semangat. Bagai bunga aster yang bergoyang karena hembusan angin sepoi-sepoi. Kecantikannya menentramkan hati, tenang seperti air.

—Jika kamu merasa kurang sehat...

Tigre hampir mengatakannya, namun membatalkan niatnya.

Penyakit ini sudah lama diderita Sasha. Hanya Sasha sendiri yang tahu apakah dia cukup fit untuk melakukan pembicaraan panjang. Terlebih lagi, pelayan yang tadi menuntunnya ke ruangan ini sudah terlebih dahulu memeriksa kondisi Sasha. Meskipun tidak aneh jika merasa khawatir, lebih baik jika Sasha tidak berlebihan.

“Kalau begitu, Tigre, ada yang ingin kutanyakan?”

Sasha tersenyum dengan manis, dengan sedikit memiringkan kepalanya. Ada pesona tersendiri dari gerakan Sasha yang membuat jantung Tigre berdetak kencang, untuk menutupi keributan di hatinya, Tigre kembali tersenyum.

“Silakan.”

“Jika memungkinkan... aku ingin berbicara dari hati-ke-hati denganmu, bagaikan teman dekat. Aku tahu formalitas itu penting, namun aku khawatir keadaan yang terlalu tegang akan memperburuk keadaanku.”

Sasha mulai berbicara dengan lebih santai, Tige, dengan senyuman canggung, mengatakan kalau dia mengerti.

—Kalau tidak salah, wanita ini sekarang berusia 22 tahun.”

Tigre sendiri sudah mendengarnya langsung dari Elen. Dengan kata lain, Sasha 5 tahun lebih tua dari Tigre. Tapi tidak terlihat seperti itu dari tindakannya barusan. Meski tindakannya tidak terlihat seperti gadis berusia 17 tahun, Sasha terlihat seperti 2-3 tahun lebih tua dari Tigre.

Sasha mengulurkan tangan kanannya. Tigre menyambutnya, berhati-hati agar tidak menggunakan tenaga berlebihan. Tigre bisa merasakan sedikit kehangatan dari tangannya yang lembut.

“Ternyata kamu memang tidak menggunakan pedang.”

Setelah melihat tangan Tigre, Sasha berbicara dengan sedikit kaget. Tigre terlihat sedikit heran dan menggenggam tangannya.

—Dia pasti memastikannya setelah melihat kondisi tanganku, dengan memeriksa ada tidaknya kapalan di tangan, padahal Sasha tidak menggenggam tanganku dengan terlalu erat.

“Jika memungkinkan, bisakah kamu menceritakan awal pertemuanmu dengan Elen?”

Melihat matanya yang dipenuhi rasa penasaran, Tigre terlihat bingung.

“Bukankah kamu sudah mendengarnya dari Elen?”

“Memang benar, tapi berdasarkan sudut pandang Elen. Aku ingin mendengarnya lagi menurut sudut pandangmu.”

Tigre bertanya di dalam hati. Meskipun dia tak punya alasan untuk menolaknya, dia bertanya-tanya apa mereka masih memiliki waktu untuk itu. Bagaimana pun, Tigre harus bergegas ke Asvarre.

Meski demikian, keraguannya tak bertahan lama. Setelah membaca surat dari Elen, Sasha pasti sadar jika Tigre dikejar waktu. Jika demikian, pasti ada maksud lain dari permintaannya.

“Baiklah, tapi saya bukan pembicara yang hebat, jadi akan memakan banyak waktu.”

“Tidak apa-apa.”

Tigre melakukan sebisanya untuk menyampaikan ceritanya dengan jelas dan padat, mulai dari statusnya sebagai tawanan perang setelah pertermpuran di Dinant, hingga pertempurannya dengan Duke Thenardier di Brune.

Dia berusaha menghindari detil yang kurang penting, meskipun tergesa-gesa, dia bisa merasakan perasaan tertentu muncul di dalam hatinya, alasan utamanya, Tigre merasakan perasaan yang kuat jika mengingat kembali peristiwa yang berlangsung setengah tahun yang lalu.

Sasha mengikuti cerita Tigre dengan semangat dan perasaan senang.

Ketika Tigre berhenti sebentar, Sasha membunyikan bell yang terletak di samping tempat tidurnya dan memanggil pelayan, memintanya untuk menyiapkan anggur. Tigre yang cukup haus karena sudah berbicara selama setengah hari, menerima niat baik Sasha. Sang pelayan meletakkan dua buah cangkir, dan mengisinya dengan anggur.

“Terima kasih, kisahmu sangat menarik, aku bisa belajar banyak.”

“Terima kasih kembali.”

“Ceritanya, apa hubunganmu dengan Elen?”

Mendengar pertanyaan yang tak terduga, Tigre hampir menjatuhkan cangkir yang baru saja diterima dari pelayan.

Sasha meneruskannya dengan gembira. “Dari apa yang kamu ceritakan, sepertinya hubunganmu dengannya tidak lebih dari sekedar rekan, tapi... apa yang kamu ceritakan sedikit berbeda dari apa yang kudengar dari Elen.”

Bulu kuduk Tigre merinding. Apa yang dikatakan Elen kepadanya?

—Meskipun bertanya apa hubungan kami, aku sendiri tak terlalu yakin...

Bohong kalau mengatakan tidak ada hubungan spesial.

Contohnya, suatu hari mereka berdua pergi ke kota untuk bermain dan berdansa bersama. Ketika Tigre meletakkan tangannya di atas pinggul indah Elen, saat itu juga wajah Tigre memerah. Bagai penyakit menular, wajah Elen juga ikut memerah, dan penari yang lain pun menggoda mereka tanpa ampun.

Hanya saja, peristiwa tersebut bukan untuk diceritakan kepada orang lain. Tigre dan Elen sama-sama memiliki posisi yang harus dipikirkan, dan mereka tidak bisa memprioritaskan perasaan pribadi. Meski ada saat di mana Tigre tak bisa lagi menahan perasaannya, tapi Tigre masih sanggup menahan dirinya.

Sedikit mengulur waktu, Tigre mendekatkan cangkir ke bibirnya sambi mencuri lihat ekspresi Sasha. Meskipun senyuman di wajah Vanadis dengan rambut hitam tidak berubah, Tigre bisa merasakan ketulusan dari tatapan matanya.

Kalau begitu aku akan menjawabnya dengan jujur. Tigre menurunkan cangkir dari bibirnya dan berkata.

“Elen... dia rekan yang sangat penting untukku. Dia sudah banyak menolongku. Jika terjadi sesuatu padanya, aku akan melakukan apapun yang bisa kulakukan untuknya. Inilah perasaanku.”

“... Begitu ya.”

Meskipun singkat, Sasha tersenyum puas. Suasana tegang sudah lewat, dan setelah diam beberapa saat, Tigre bertanya dengan hati-hati kepada Sasha. “Seingatnya, ketika kamu mengatakan ceritaku sedikit berbeda dari apa yang diceritakan Elen, bagian mana yang dimaksud?”

“Oh! Saat kamu mengintip Elen yang sedang mandi, dan ketika kamu menghisap payudara Lim...”

Sasha mengatakannya tanpa perasaan bersalah. Kaget setelah mendengarnya, Tigre tak bisa berkata apa-apa lagi, dengan cepat wajahnya memerah hingga telinga.

“Yang pasti, Elen dan Lim sepertinya tertarik padamu, dan aku merasa bukan hanya itu, aku sudah memikirkannya lagi. Apa kamu tipe yang sangat manis dan orang akan mudah memaafkanmu, atau kamu orang yang aneh dan orang lain merasa sia-sia jika marah kepadamu?”

“... Dan menurut kamu, aku orang seperti apa?”

Setelah mendapatkan kembali ketenangannya, Tigre memperbaiki posisi duduknya dan kembali bertanya kepada Sasha. Daripada menjawabnya langsung, pandangan Sasha mengarah ke langit sebelum kembali lagi ke arah Tigre, dengan ekpresi yang nakal.

“Tidak mengapa kan untuk sementara ini aku menyerahkannya pada imajinasimu? Meski begitu, sia-sia saja rasanya kalau aku tidak mengatakannya sama sekali. Jadi ketika kamu kembali dari Asvarre, aku akan mengatakannya.”

Tigre hanya bisa berkedip, tak bergerak, tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Ternyata Sasha juga bisa mengeluarkan ekspresi seperti itu.

—Ternyata Sasha lebih kuat dari dugaanku semula.

Setelah mengobrol dengan Sasha selama empat jam, Tigre merasa senyuman ini jauh lebih cocok dengan Sasha dibandingkan pada saat awal pertemuan mereka. Kemiripannya dengan Elen tak diragukan lagi, meskipun sulit mengatakan apa Sasha memberi pengaruh kuat kepada Elen, atau tidak.

“Baiklah, aku akan menunggunya dengan senang hati.”

Tigre mengatakannya dengan seyuman. Tigre sadar meskipun mereka sudah menyimpang dari pembicaraan awal, tapi memikirkan ada hal yang menantinya sepulang dari Asvarre bukan hal yang buruk juga.

“Nah sekarang, mari kembali ke masalah utama.”

Meskipun senyuman belum pergi dari wajah Sasha, iris mata Sasha terlihat lebih serius. Sasha menyerahkan cangkir perak yang digenggamnya kepada pelayan dan memintanya untuk sementara keluar sambil mengucapkan terima kasih. Paham maksud Sasha, sang pelayan pun keluar dengan tenang. Setelah pintu tertutup, Sasha pun mulai berbicara.

“Berdasarkan surat dari Elen, dia sangat berharap aku bisa membantumu. Meskipun aku sudah tahu bahwa kamu harus pergi ke Asvarre, bisakah aku mendengar cerita lengkapnya?”

Tigre menenangkan diri, dan mulai menceritakan kembali permintaan raja, serta pandangan Elen dan Lim mengenai masalah ini, dengan kata lain, latar belakang penunjukan Tigre menjadi utusan, dari awal hingga akhir.

Kali ini, Sasha tidak memotong pembicaraan Tigre seperti sebelumnya, Sasha hanya diam mendengarkan bagai boneka, tidak bergerak sama sekali. Meski demikian, tatapan matanya masih tetap tajam.

Setelah selesai mendengarkan cerita keseluruhan, Sasha menghela nafas dengan duduk lebih santai.

“Aku sama sekali tidak cemburu padamu.”

“Yah... Aku paham, tak semudah itu menyelinap masuk lewat laut untuk menyerahkan surat ke negara yang sedang terjadi pertumpahan darah saat ini.”

Tigre sengaja berbicara dengan nada bercanda, dan mengangkat bahunya. Komentarnya barusan merupakan setengah perasaannya, dan setengah lagi karena mengikuti candaan Sasha. Meskipun Vanadis dengan pedang kembar tertawa, dia kembali serius tak lama kemudian.

“Apa kamu paham posisimu di Zhcted pada saat ini?”

“Sebagai tamu, aku rasa. Bisa juga sebagai tawanan dari Brune.”

Meskipun jawabannya tidak salah, Sasha tidak terlihat puas dengan jawaban tersebut. Sasha pun menggelengkan kepalanya.

“Memang ada yang memiliki niat baik terhadapmu, seperti Elen dan Mira. Bahkan dari yang kudengar, Sofy juga termasuk. Hanya saja, yang meyimpan dendam padamu dan terus mencari celah untuk mengeksploitasimu juga tidak sedikit.”

“Aku sendiri bukannya tidak sadar kalau ada orang yang ingin memanfaatkanku...”

Tigre mengerutkan alisnya, teringat pada orang-orang yang meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Tigre selama setengah tahun terakhir. Tapi, dia tak ingat ada orang yang terang-terangan memperlihatkan niat buruk. Melihat Tigre yang terlihat kebingungan, Sasha kembali berbicara dengan nada suram.

“Kamu sudah merubah peta kekuatan di Brune secara drastis. Tidak sedikit aristokrat Zhcted ikut yang mengalami kerugian, baik besar atau pun sedikit. Dan kerena dua aristokrat paling berpengaruh dan mewakili Brune hancur, tak heran mereka menyimpan dendam padamu.”

Erangan keluar dari mulut Tigre, dia sama sekali tak membayangkannya.

Jika mereka yang membencinya merupakan orang yang menjalin hubungan dengan Thenardier, Tigre bisa memahaminya. Tigre memang berhadapan langsung dengan Thenardier di medan perang dan membunuhnya dengan panahnya sendiri. Akan tetapi, Duke Ganelon kalah dari Thenardier, membakar kotanya sendiri dan kabur, Tigre sama sekali tidak terlibat. Aneh rasanya jika mereka melampiaskan kemarahan kepada Tigre untuk hal ini.

Mungkin karena menebak apa yang sedang dipikirkan pemuda tersebut, Sasha memberikan sedikit simpati padanya.

“Biar aku katakan sekali lagi, inti dari pembicaraan kita barusan adalah peta kekuatan di Brune telah berubah. Kehilangan pengaruh di Brune juga merupakan suatu kerugian. Terlebih lagi, kamu memiliki hubungan dekat dengan Elen dan Mira, menyingkirkanmu bukan hal yang mudah.”

“Tapi, yang membuat permintaan ini Raja Viktor, kan?”

Kerugian seperti itu memang mustahil dibiarkan begitu saja oleh kerajaan kecil, akan tetapi, Raja Viktor memimpin kerajaan besar seperti Zhcted, dan seharusnya dia terbiasa dengan kerugian di sana-sini.

“Usulan mungkin diberikan kepada raja melalui pegawai istana, tanpa mempedulikan negara secara keseluruhan.”

Kali ini erangan hampir keluar dari mulut Tigre, sama sekali tidak membayangkan kemungkinan tersebut, dia baru memikirkannya setelah mendengarnya dari Sasha. Tigre sendiri juga sering mempertimbangkan usul ketua kelompok dan bawahannya ketika memerintah Alsace, atau pada saat memimpin Pasukan Meteor Perak.

“Aku yakin masalah penunjukan dirimu membuat Yang Mulia susah. Bagaimana pun juga, penunjukanmu, orang asing, jelas langkah penuh resiko yang diambil orang penuh perhitungan seperti dirinya.”

“Apa Raja Viktor orang yang sangat berhati-hati?”

Tigre tak menyangka dengan perkataan Sasha barusan. Mungkin karena Elen dan Mira menilai Raja Viktor sebagai sosok yang keras. Sasha pun tersenyum canggung.

“Terus terang, beliau scukup pasif, meskipun terkadang sangat licik. Beliau sama sekali tidak mau mencampuri pertempuran antar Vanadis, memprioritaskan keselamatan dirinya sendiri. Meski demikian, dalam satu dekade pemerintahannya, tidak terjadi perang dalam skala besar, untuk hal ini aku cukup salut kepadanya.”

Tigre terdiam untuk sementara. Bukankah karena Raja Viktor tak mau menengahi konflik antar Vanadis pada musim dingin lalu, Vanadis Elizavetta Fomina bisa memasuki Legnica bersama pasukannya? Begitu juga Elen yang bertarung dengan Mira, jika dipikir lagi, bukankah semua itu kesalahannya?

Meski demikian Tigre tidak mengatakan apa yang ada dipikirannya, lebih memilih untuk menelannya sendiri.

Bagaimana pun juga, Tigre merupakan orang asing, bukan rakyat Zhcted. Terlebih, tiga tahun lagi dia akan kembali ke Brune. Dia tidak dalam posisi untuk mengkritisi kinerja raja dari negara lain.

“Kembali ke diskusi kita sebelumnya, Semua yang kamu katakan sebelumnya memang benar. Menunjukmu sebagai duta seperti melewati dua pulau dengan sekali dayung. Seperti Yang Mulia katakan, penunjukanmu mewakili dukungan dari dua negara, Brune dan Zhcted. Dengan kata lain, daripada menjadikanmu pion, mengirimkan pahlawan yang dicintai rakyat seperti dirimu ke negara yang sedang dilanda perang saudara, bisa berarti...”

“Jadi begitu. Hal ini bisa memberi kesan kepada Pangeran Germaine jika Zhcted sangat manghargainya.”

Mendengar jawaban Tigre, Vanadis berambut hitam mengangguk puas.

“Benar, dengan begitu, negara kami bisa mengambil inisiatif dalam negosiasi dengan Asvarre, selama utusan yang ditunjuk tidak melakukan kesalahan fatal atau melampaui kewenangannya. Kira-kira begitulah keuntungan mengirim dirimu.”

“Bagaimana dengan kerugiannya?”

“Apabila terjadi sesuatu padamu, sulit membayangkan dampaknya.” Sasha mengatakannya dengan dingin.

“Pertama, hubungan Zhcted dan Brune akan retak. Kemungkinan paling buruk, Asvarre akan menjadi musuh. Terlebih lagi, dalam internal negara kami, mustahil bagi Elen dan Mira untuk memaafkan Yang Mulia. Meskipun mereka tidak akan memberontak secara terbuka, tapi jelas keadaan tersebut akan merusak kerajaan ini.”

Sasha mengalihkan pandangannya pada bunga aster, kemudian melanjutkan perkataannya.

“Aku tidak menyangkal apa yang dipikirkan Elen, tak salah lagi Yang Mulia memang ingin mengujimu. Aku rasa inilah tujuannya menggunakan surat—mencegahmu menyadari motif Yang Mulia jika bertemu secara langsung. Meski begitu, firasatku memang mengatakan ada yang bermain di belakang semua ini.”

Masalah pelik memang. Setelah mengacak rambutnya sendiri, raut wajahnya menjadi tegang, tak lama Tigre menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum untuk mengganti suasana hati.

“Terima kasih, aku akan lebih berhati-hati.”

Sikap Tigre cukup mengejutkan Sasha, meskipun kerajaan jelas-jelas menyembunyikan sesuatu untuk menjeratnya. Sasha tidak merasakan ada rasa takut pada Tigre.

“Apa kamu sudah memiliki rencana?”

“Tidak.”

Dengan ekspresi tak kenal takut, Tige menjawab dengan tegas.

“Aku tidak akan melemparkan tanggung jawabku hanya karena ini. Aku juga tidak tahu siapa orang di balik semua ini atau pun tujuannya, ingin takut pun rasanya sia-sia saja. Lagi pula, tekadku sudah bulat.”

Tentu saja, ini bukan rasa pasrah menghadapi kematian yang tak dapat dihindari lagi, akan tetapi, tekad untuk bertahan hidup apa pun caranya, tekad untuk melihat semua ini hingga akhir. Setelah diberikan tugas ini di LeitzMeritz, pada saat berpisah dengan Elen dan lainnya, dia sudah memutuskan untuk menuntaskan tugasnya dan pulang dengan selamat.

Jika ada seseorang yang mencoba mengambil nyawanya, dia akan menghancurkannya.

Meskipun Tigre tidak mengatakannya, Sasha sepertinya biasa memahami tekad Tigre melalui ekspresinya. Sasha terlihat sedikit lega.

“Tak heran jika Elen sangat mempercayaimu.”

Setelah mengatakan hal tersebut, Sasha sekali lagi melihat bunga aster. Hanya saja, Sasha terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu.

Kira-kira dalam hitungan kesepuluh, Sasha mengembalikan pandangannya kepada Tigre.

“Menurut surat yang ditulis Elen, setelah ini kamu akan pergi ke kota pelabuhan Prepus... Bisakah kamu mengganti tujuanmu ke kota pelabuhan Lippner?”

Meskipun Tigre mengerutkan alisnya mendengar usul tersebut, keraguannya segera hilang.

“Apa kamu ingin menggantung orang tersebut?”

Kota pelabuhan Prepus merupakan rencana raja. Jika kecurigaan Sasha benar, orang yang ingin menjebak Tigre pasti sudah mengetahuinya. Karena itu, Sasha mengusulkan untuk memperdaya orang tersebut.

Sasha ingin Tigre menemui seseorang yang bernama Matvey yang berada di Lippner.

“Datanglah ke pelabuhan dan tanyakan Matvey dari Górdyj BelugaProud Beluga. Yah, kamu akan paham setibanya di sana.”

“Terima kasih untuk bantuannya, tapi benar tidak apa-apa?”

Seseorang yang seharusnya menemani Tigre mungkin mempunyai informasi yang berguna untuk negosiasi dengan Germaine. Ketika Tigre bertanya mengenai hal tersebut, Sasha menggelengkan kepalanya dan mengatakan tak perlu khawatir.

“Yang Mulia tidak akan melakukan hal tersebut. Sebab negosiasi akan jadi membingungkan, dan nilaimu akan turun. Orang yang ditunjuk raja untuk menemanimu mungkin akan mengatakan apa yang perlu kamu ketahui sebelum negosiasi berlangsung. Aku rasa dia pun sangat paham kalau dia bisa mati jika ikut campur dalam negosiasi.”

“Benar juga, terima kasih.”

Setelah menundukkan kepala dengan senyuman, wajah Tigre sepertinya sedikit bingung akan sesuatu.

“Ceritanya, seperti apa beluga yang kamu katakan tadi?”

Vanadis berambut hitam tidak langsung mengerti apa yang dikatakan pemuda tersebut. Sasha menatap ekspresi bingung pemuda tersebut dan setelah mengatakan “Eh!” dengan ekspresi kaget, Sasha bertanya.

“Kamu, beneran tidak tahu beluga itu apa?”

Tigre mengangguk.

“... Apa kamu pernah melihat laut?”

Kali ini Tigre menggelengkan kepalanya.

Sasha terbelalak, dia memandangi Tigre dengan ekspresi tidak percaya. Sasha tersenyum dan bergumam apa semuanya baik-baik saja. Sasha benar-benar tidak menyangka orang belum pernah melihat laut diserahi tugas sebagai utusan rahasia di negeri yang terletak di seberang lautan.

Tak lama kemudian, terdengan suara ketukan dari luar. Setelah suara “permisi” terdengan, pelayan paruh baya memasuki ruangan. melihat pelayang tersebut, kekecewaan terpancar di mata Sasha.

“... Bisakah memberi kami waktu sedikit lagi? Aku merasa lebih baik hari ini.”

Ekspresi Sasha seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu, meskipun dia tahu tidak akan mendapatkannya. Pelayan tersebut langsung menjawab tanpa keraguan.

“Justru karena anda merasa lebih baik, anda jangan terlalu memaksakan diri.”

Dari percakapan dua orang tersebut, Tigre menyadari sekarang sudah saatnya mereka berpisah. Dia berdiri dengan tenang dan menundukkan tubuhnya kepada Sasha.

“Kalau begitu aku pergi dulu, terima kasih atas semuanya.”

“Tidak, aku juga ingin mengucapkan terima kasih, pembicaraan tadi benar-benar menyenangkan.”

Sasha mengulurkan tangannya, dan sekali lagi mereka berdua berjabat tangan dengan tenang.

Ketika Tigre hendak keluar, Sasha memanggilnya secara tiba-tiba. Sasha yang membelakangi tembok, tidak tahu kalau sinar matahari yang masuk dari jendela membentuk bayangan.

“Tigre, aku menyerahkan Elen kepadamu, jadilah kekuatannya.”

“Akan kulakukan semua yang bisa kulakukan.”

Ketika Tigre memberikan pernyataan yang membuatnya tenang dengan tersenyum, Sasha juga ikut tersenyum.


Pada pagi keesokan harinya, Tigre meninggalkan kastil Legnica. Dia memacu kudanya dengan kencang ke jalan utama yang terhubung dengan kota pelabuhan Lippner.

—Pada akhirnya, aku tidak bisa menemui Sasha hari ini.”

Tigre ingin mengucapkan salam perpisahan, tapi dia hanya bisa menyerahkan surat kepada pelayan paruh baya tersebut karena kondisi Sasha kembali merosot. Pelayan tersebut juga menyerahkan sepucuk surat yang berisi peta menuju Lippner, dan ciri-ciri Matvey.

—Apakah aku bisa bertemu lagi dengannya?

Sasha merupakan seorang Vanadis. Tak ada penyakit yang tak bisa disembuhkan.

Walau pun Tigre berpikir seperti itu, dia mengingat kembali perasaan sewaktu mereka berjabat tangan, kulit tipis dengan jari yang ramping, memang tangan orang yang sedang sakit.

Ketika Tigre keluar dari kastil, dia berdoa kepada Dewa. Meskipun Zhcted dan Brune memiliki Dewa yang sama, Tigre tidak seperti Titta yang rutin berdoa setiap hari.

Tigre sering menyebut nama Eris, Dewi Angin dan Badai, ketika sedang berburu dan sesekali dia berdoa ke kuil ketika panahnya terbang dengan indah. Tapi Eris bukan Dewi yang menyembuhkan penyakit. Ini masuk wilayah Moshia, Dewi Kesuburan, atau Vors, Dewa Ternak.

—Aku harus berkonsentrasi pada hal yang ada di depan mata.

Tigre mengusir keraguannya, gagal menjalankan tugas ini sama saja dengan menginjak-injak kebaikan hati Sasha, tapi jika dia berhasil dan pulang dengan selamat, dia memiliki kisah petualangan yang bisa diceritakan. Menggenggam tali kuda, Tigre menyusuri jalan besar.


Pada saat Sasha terbangun, matahari hampir berada di puncaknya.

Dia mengalami deman, tubuhnya terasa berat. Tabib sedang memeriksa kondisinya, dan menyarankan untuk beristirahat setelah meminum obat dan makan sedikit.

Setelah melakukan semuanya, Sasha sedang memandang langit-langit dengan tatapan hampa pada saat pelayan datang.

“Bagaimana kondisi anda sekarang?”

“Sedikit kelelahan... Sepertinya aku memang terlalu bersemangat semalam, meski tak berniat seperti itu—sudah lama tidak ada tamu yang datang mengunjungiku.”

Sasha tersenyum kecut kepada pelayan ketika berbaring di tempat tidur. Sasha bahkan tak bisa mengucapkan semua yang ada di pikirannya.

“Tuan Vorn menitipkan pesan kepada saya, isinya: ‘saya mengucapkan terima kasih atas kebaikannya. Semoga kita bisa bertemu lagi setelah saya kembali dari Asvarre. Saya berdoa kepada Dewa untuk kesembuhanmu’.”

Pelayan tersebut mengatakannya dengan khidmat, Sasha sedikit tertawa mendengarnya.

“Apa pendapatmu tentang dirinya?”

“Bagi saya, dia terlihat seperti anak remaja seusianya. Tapi, Vanadis-sama sepertinya memiliki kesan yang berbeda.”

Walau tidak memiliki maksud buruk, Sasha merasa sedikit lucu ketika pemuda tersebut menggunakan kata ‘remaja’. Sasha sendiri, sekarang berusia 22 tahun, mungkin masih terlihat seperti gadis remaja di mata pelayan paruh baya ini.

“Aku tak akan bilang kamu akan mengerti hanya dengan berbicara dengannya... Tapi, aku cukup mengerti kalau dia sangat tulus, dan juga memiliki kemauan kuat.”

Bagaimana Tigre bertemu Elen, bagaimana dia melalui perang saudara di Brune. Sasha meminta Tigre menceritakan kembali cerita yang sudah didengar dari Elen sebelumnya, untuk mengetahui bagaimana sifat Tigre.

Jika seseorang hanya berbicara tentang kehebatannya di medan perang, atau hanya mengatakannya dengan keberuntungan, Sasha akan mengerti bagaimana orang orang tersebut bersikap di hadapan Elen dan lainnya.

Tigre berbicara apa adanya tanpa mendramatisir ceritanya, bahkan setelah mengetahui niat Sasha, Sasha juga berpikir Tigre orang yang pengertian.

—Tapi, sepertinya dia tidak memikirkannya sampai sedalam itu.

Berarti, Tigre memang memiliki sifat apa adanya.

“Meskipun aku mengerti setelah bertemu dengannya, dia orang yang menarik... tidak heran Elen ingin sekali membantunya.”

“Apakan Vanadis dari LeitMeritz menyukai orang seperti itu?”

“Aku juga tidak membencinya. Jika orang itu berada di LeitzMeritz, di sisi Elen, aku rasa Legnica juga akan lebih aman.”

Dua Vanadis yang berbatasan langsung dengan Legnica adalah Eleanora Viltaria dan Elizavetta Fomina. Terjadi konflik dengan Elizavetta Fomina musim dingin lalu, dan Elen membantunya untuk mengusirnya, dan sampai saat ini hubungan mereka masih renggang. Meski begitu, belum ada tanda-tanda konflik di masa depan.

Jika LeitMeritz stabil, maka Elizavetta tidak akan berpikir untuk mengganggu Legnica.

Mekipun Elen tidak mungkin menolongnya setiap saat, akan lebih baik jika Elen bisa menjadi semacam pencegah.

“Kalau begitu, beristirahatlah.”

Pelayan tersebut mengatakannya dengan suara lembut.

“Anda akan bertemu kembali dengan Earl Vorn. Mungkin pada musim dingin dia sudah kembali dari Asvarre. Pada saat itu, anda akan menyelesaikan pembicaraan anda dengannya.”

“... Baiklah, terima kasih.”

Tersenyum, Sasha perlahan mulai memejamkan matanya.

Meski pun belum berbicara terlalu lama, dan angin musim gugur sekarang belum terlalu dingin, tapi masih bisa mengancam kesehatannya. Penting untuk mempersiapkan diri sekarang untuk melewati musim dingin tahun ini.

Pelayang menunduk memberi salam dan keluar.

Tak lama, suara nafas Sasha yang sedang tertidur bisa terdengar keluar dari bibirnya yang tipis.



Saat matahari semakin tinggi dan panas terasa semakin menyengat, kota pelabuhan Lippner mulai terlihat oleh Tigre. Di bawah cerahnya langit biru, dinding yang tak terlalu tinggi terbentang dari utara ke selatan, apa yang ada di baliknya bisa sedikit terlihat. Menyeka keringat yang mengucur di keningnya, Tigre mendekati gerbang utama dan memperlambat laju kudanya.

Dua hari telah berlalu sejak Tigre meninggalkan kastil Legnica, sejauh ini perjalanannya berjalan lancar tanpa adanya halangan berarti.

Sesaat setelah melewati gerbang utama, Tigre terkejut dengan apa yang dilihatnya. Pria dan wanita dengan warna kulit dan karakteristik wajah yang berbeda-beda berkeliaran di jalanan, dan bahasa dari beberapa negara terdengar silih berganti.

—Banyak sekali orang di sini, tidak hanya orang-orang dari Zhcted dan Brune, ada juga orang dari Muozinel dengan kulit cokelat, orang dari Asvarre dan Sachstein juga ada.

Orang dari negara berbeda saling berbicara bukan lagi pemandangan yang aneh, jika bahasa menjadi kendala, mereka akan menggambar dan menunjukkannya, mereka juga berkomunikasi dengan gestur tubuh.

Bahkan setelah pulih dari rasa kagetnya, Tigre berjalan dan melihat sekeliling dengan takjub. Papan penunjuk, seperti pada tempat penginapan dan bar, juga diekspresikan dengan gambar yang langsung dapat dikenali.

—Di tempat seperti ini, gambar memang lebih mudah dimengerti daripada tulisan.

Kemudian, Tigre juga tertarik dengan aroma tempat ini. Dari orang Muozinel yang berada di kerumunan, bisa tercium wangi parfum minyak dan rempah-rempah. Aroma keju dari orang Brune dan Zhcted, juga aroma yang mirip seperti daging asap dari orang Asvarre.

—Kota yang sangat ramai.

Mirip dengan kota LeitMeritz, namun lebih bergairah. Saudagar dari Muozinel membentangkan karpet lusuh di sisi jalan, dan menjual berbagai perhiasan.

Tepat di sampingnya, penyair dari Brune menyanyikan puisi perjuangan, lebih jauh lagi, pedagang dari Sachstein menjual cermin besar dan kecil. Tigre berjalan, menikmati pemandangan langka seperti ini, lalu ada yang menepuk bahunya dari belakang.

Ketika dia menoleh ke belakang, wanita cantik dengan rambut merah yang panjang hingga ke pinggul berdiri di sana. Dia terlihat masih berusia 20an, dan mengenakan pakaian yang sedikit menggoda dengan menonjolkan payudaranya yang cukup berisi, kemudian dia berjalan mendekati Tigre.

“Apa kamu baru pertama kali ke tempat ini? Kalau kamu mau, aku bisa menjadi pemandu, bagaimana?”

Wanita tersebut berbicara dengan aksen Sachstein, meski pada awalnya sedikit kaget, Tigre bisa langsung menenangkan dirinya.

“Terima kasih, tapi ada yang ingin kutemui di sini.”

“Ara, benarkah? Sayang sekali.”

“... Oh ya, apa kamu tahu tempat yang menyediakan makanan enak? Kalau bisa lokasinya dengan pelabuhan.”

Wanita tersebut terlihat bingung dan tersenyum senang ketika Tigre menanyakan hal tersebut kepadanya.

“Apa kamu mengajakku makan malam?”

“Aku tak keberatan makan ditemani seseorang. Kalau memang enak, tak masalah kalau sedikit mahal.”

Mendengar jawaban Tigre, wanita tersebut mengangkat bahunya sambil tersenyum.

“Terima kasih ajakannya, tapi aku baru saja selesai memasak makan malam, jadi aku hanya bisa memberitahukan padamu tempat yang menyajikan makanan enak yang kutahui.”

Karena telah memberi tahu tiga tempat makan di dekat pelabuhan, Tigre memberikan satu keping besar perunggu sebagai imbalannya. Setelah menerimanya dengan senyuman, wanita tersebut menghilang di tengah keramaian sambil melambaikan tangan. Melihatnya pergi, Tigre kembali melanjutkan perjalanannya sambil membawa tas besar di pundaknya.

—Apa dia memang benar-benar ingin menolong?

Mereka yang tiba-tiba datang menawarkan jasa, tidak semuanya seperti wanita tadi. Ada juga yang membujuk pelancong dengan kata-kata manis, kemudian membawanya ke lorong kecil dan merampas barang bawaan dengan uang mereka.

Tigre pernah melihat orang-orang seperti itu, entah di Alsace atau leitzMeritz. Tapi kali ini, Tigre berpikir kalau dia terlalu agresif dan mungkin terkesan sedang menggodanya.

—Biar begitu... mungkin aku terlalu gelisah.

Dia meyakinkan dirinya untuk lebih berhati-hati. Dalam perjalanannya, Tigre berhenti di suatu stan untuk membeli buah, memilihnya dari dalam satu barrel besar yang berisi air untuk mendinginkan apel, delima, dan daun ara—dan beberapa botol keramik yang mungkin berisi alkohol.

Meski musim panas sudah berlalu, tapi hari ini cukup panas. Tigre membeli apel, membersihkannya dengan lengan baju, dan menggigitnya sambil berjalan.

Sekali lagi, Tigre melihat banyak orang dari berbagai negara di pelabuhan ini.

Bukan hanya itu, tapi mereka juga berasal dari latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda. Ada beberapa tentara bayaran yang mengenakan rompi kulit lusuh dengan pedang di pinggangnya, ada juga pengembara dengan pakaian yang hampir sama. Terkadang Tigre mendengar bahasa dari negara tidak dikenalnya, bahkan melihat tulisan yang belum pernah dilihat sebelumnya.

—Jadi seperti ini kota pelabuhan.

Tigre tiba-tiba berhenti, orang yang berjalan di belakang melihat Tigre dengan heran setelah berjalan melewati Tigre. Tiger berhenti mendadak, karena dia mencium bau yang aneh. Bukan hanya baunya, angin yang berhembus juga terasa lembab.

—Apa angin berhembus dari arah sini?... dan bau aneh ini juga?

Tigre khawatir telah terjadi sesuatu, akan tetapi, Tigre memperhatikan orang di sekitar sini tidak mempedulikan bau tersebut.

—Seharusnya aku juga menanyakan beberapa hal kepada wanita tersebut.

Ketika memikirkan hal tersebut, Tigre berjalan melewati kerumunan dan akhirnya tiba di pelabuhan.

Sekali lagi Tigre berhenti, tapi kali ini dia cukup terkejut.

Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah kapal besar, beberapa bahkan sangat besar, orang bisa saja menganggapnya sebagai kuil atau mansion. Tiap kapal merapat di dermaga, ada juga yang baru saja berlayar.

Ada iring-iringan kapal kecil yang membentuk formasi huruf V, ada juga perahu dengan layar putih yang dihiasi motif seperti anak anjing.

Tigre belum pernah melihat kapal sampai saat ini. Tigre tahu jika kapal merupakan alat yang dibuat untuk menyeberangi sungai besar atau danau. Tapi baru kali ini dia melihat langsung kapal sebesar ini.

Di sekitar kapal yang sedang merapat, pelaut dengan tubuh kekar dan kulit keemasan karena terbakar matahari, sedang terlihat sibuk.

Ada yang sedang membersihkan kapal, ada yang sedang bongkar muat barang, ada yang memeriksa muatan. Ada juga yang sedang mengisi waktu istirahat dengan memanggang kerang dan ikan.

Tigre yang terpana melihat kapal untuk pertama kalinya, mulai berjalan dengan cepat menghilangkan rasa kagetnya. Kemudian berdiri beberapa langkah dari dermaga.

“... Jadi laut seperti ini ya?”

Tigre terdiam, setelah mengatakan hal tersebut. Tigre menatap laut biru yang terhampar di hadapannya, terpesona. Permukaan laut yang bergelombang dan memantulkan sinar matahari terlihat sangat menakjubkan, gemuruh ombak yang terdengar terus-menerus dan burung laut yang menari di angkasa. Kapal yang meninggalkan dermaga perlahan terlihat semakin kecil.

Tigre akhirnya menyadari bau yang tadi dikhawatirkannya, bau laut. Angin yang berhembus dari laut juga terasa dingin. Arti ‘ujung daratan’ menjadi jelas.

Tigre sudah diberitahu kalau dia akan bertemu ‘ujung daratan’ kira-kira setelah dia tiba di pelabuhan. Asvarre berada di seberang lautan, di ujung horizon.

Kalau begitu, ada apa lagi setelah Asvarre?

Berapa banyak negara yang berada di tanah yang belum pernah dilihatnya? Apa ada naga yang mendiami tanah tak bertuan di ujung laut ini? seberapa jauh laut ini membentang, atau laut ini tidak memiliki batas?

Suara lonceng menyadarkan Tigre, yang terus berdiri dan memandangi laut selama seperempat koku. Kalau dipikir lagi, dia hanya memakan apel sejak tiba di kota ini. Tigre berbicara kepada pelaut, yang sedang memasak dan memakan laut dan juga kerang di sekitar sini. Tigre memberikan sekeping koin perunggu untuk mendapatkan sedikit porsi.

Ikan panggang, ditusuk dari ekor hingga kepala, ikan tersebut kira-kira sebesar dua kali roti besar. Ketika Tigre menggigitnya, kulitnya terasa cukup renyah.

Sop kulit kerang juga terasa enak, meskipun masih sangat panas dan lidah Tigre sendiri hampir terbakar, sup tersebut dibumbui dengan garam dan rumput laut yang sudah dibakar terlebih dahulu, sehingga menciptakan rasa asin yang perlahan mulai menyebar di lidahnya. Sambil menikmati rasa yang menyegarkan, Tigre bertanya kepada pelaut tentang Matvey. Namun pelaut tersebut menggelengkan kepalanya untuk mengatakan kalau mereka tidak mengetahuinya, tak lama dia teringat sesuatu.

“Matvey dari Górdyj BelugaProud Beluga? Kalau memang benar, biasanya dia berada di dermaga sebelah utara.”

Pelabuhan Lippner berbentuk melengkung setengah lingkaran, dan ada lima dermaga dengan masing-masing ukuran dari utara hingga ke selatan. Menurut pembicaraan dengan pelaut, sepertinya kapal yang memasuki pelabuhan akan berlabuh di tempat yang sama selama tidak ada kejadian khusus.

Setelah mengucapkan terima kasih, Tigre pergi ke dermaga utara. Setelah menuntaskan rasa laparnya, sekarang dia mengkhawatirkan angin laut yang berhembus dari samudera. Tigre mengarahkan pandangannya ke busur hitam yang digenggamnya.

—Aku tak yakin busur ini akan terpengaruh oleh angin yang bercampur garam, tetap saja...

Ini bukan busur biasa, ini warisan keluarga Vorn. Meskipun Tigre tidak tahu apa-apa tentang busur ini, tapi busur ini memiliki hubungan dengan dewa. Tidak terlintas di pikirannya ini bisa menjadi masalah saat dia melakukan perjalanan menyeberangi laut.

—Aku akan lebih memperhatikannya saat berada di atas kapal.

Setelah berbagai pertimbangan, Tigre memutuskan hal tersebut, meski pun Tigre melakukannya bukan karena rasa hormat atau takut terhadap busur tersebut. Sepertinya, kenyataan bahwa busur tersebut merupakan warisan keluarga Vorn dan instingnya sebagai pemburu yang mendorong membuat keputusan tersebut Tigre.

Tak lama kemudian, Tigre menghampiri seorang pelaut dan bertanya apa dia bisa bertemu dengan Matvey.

“Ada keperluan apa denganku?”

Orang tersebut terlihat berada di pertengahan usia 30an. Meskipun semua pelaut yang Tigre lihat sebelumnya memiliki tubuh kekar, namun tinggi Matvey melebihi pelaut yang berada di sini, sehingga sosoknya terlihat lebih mengintimidasi.

Rambutnya pendek, dengan kulit terbakar matahari yang keemasan, matanya yang bulat manatap tajam. Topi sutra bewarna hitam dan jaket merah darah dengan sulaman emas membuatnya terlihat lebih garang, dan perawakannya terlihat mendominasi hanya dengan berdiri tegak. Meski kata-katanya cukup sopan, namun terdengar suram.

“Senang bertemu denganmu, aku Tigrevurmud Vorn.”

Sepertinya tak terintimidasi oleh sosok di depannya, Tigre meletakkan tasnya dan mengambil surat dari Sasha. Setelah menerima surat tersebut, Matvey membuka segel dan langsung membacanya.

“Oh! Apa kau tahu isi surat ini, Tuan Tigrevurmund?”

Matvey tersenyum melihat Tigre yang menggelengkan kepala, meskipun ekspresinya terlihat menyeramkan, seperti hiu yang menemukan mangsanya.

Di sini tertulis permintaan untuk menemani dan menolongmu sebisa mungkin. Aku tak bisa menolak permintaan dari Alexandra-sama, naiklah ke kapalku, Górdyj BelugaProud Beluga.

Setelah mengucapkan terima kasih, Tigre terkesan dengan sikap Matvey. Meski tahu keadaan Asvarre sekarang, Matvey tidak terlihat gentar. Seperti yang diduga, orang yang dipercaya Sasha sangat bisa diandalkan.

“Aku mengandalkanmu. Ceritanya, kapan kapal ini akan berangkat?”

Setelah mendengar ‘kurang lebih setengah koku lagi’, mata Tigre hampir saja melompat keluar.

Górdyj BelugaProud Beluga rencananya memang akan menuju Asvarre. Kau beruntung, andai saja kau sedikit terlambat, kita tak akan bertemu.”

Matvey tertawa setelah mengatakannya, kemudian melanjutkan penjelasannya.

“meskipun Górdyj BelugaProud Beluga merupakan kapal dagang, kami juga sering membawa berbagai jenis penumpang, jadi orang sepertimu sama sekali tidak mencolok.”

“Maaf, tapi aku sama sekali belum melihat beluga tersebut...”

Ketika Tigre mengatakannya dengan sedikit menyesal, Matvey langsung membalikkan badannya. Di belakang jaket yang dikenakan Matvey, terdapat ukiran yang cukup indah, beluga[1] yang sedang melompat. Meski Tigre merasa ukiran tersebut tidak cocok dengan Matvey yang terlihat cukup menyeramkan, namun Tigre cukup bijaksana dengan menelan sendiri apa yang ada di pikirannya.

Dengan gambar ini sebagai dasarnya, aku memberi nama kapal ini Górdyj BelugaProud Beluga.”

“... Begitu.”

“Aku akan naik seperempat koku lagi, bagaimana denganmu? Apa ingin menungguku di sini?”

“Terima kasih atas kebaikannya. Jika memungkinkan, aku ingin naik terlebih dahulu. Aku tak ingin mengganggu pekerjaanmu.”

Tigre mengatakannya sambil menundukkan kepala. Matvey mengambil sesuatu dari jaketnya dan memberikannya kepada Tigre.

Jika dilihat sekilas, terlihat seperti koin perak, namun desainnya berbeda dengan koin perak yang beredar di Brune dan Zhcted. Koin tersebut terdapat ukiran beluga, ukiran yang sama pada jaket Matvey.

“Ambillah, anggap saja sebagai izin menumpang, jika kau menunjukkannya kepada orang di kapal, mereka akan membiarkanmu lewat dengan senyuman.”

Setelah mengucapkan terima kasihnya dan menerima koin tersebut, Tigre beranjak dari sana. Saat berjalan dan melihat kapal berukuran sedang, rasa tegang dan gembira menyelimuti dirinya disaat yang bersamaan. Tigre akhirnya akan menaiki kapal untuk pertama kalinya.

“Bisa minta waktumu sebentar?”

Tiba-tiba ada yang memanggil Tigre dari belakang. Tigre melihat ke arah suara tersebut sambil berpikir hari ini cukup banyak yang memanggil dirinya, Tigre melihat anak laki-laki pengembara dengan tas kecil berdiri di sana.

Tubuhnya, cukup pendek, dan ditutupi dengan mantel yang cukup lusuh, dan hanya sebagian wajahnya saja yang bisa terlihat saat dia mengangkat wajahnya untuk menatap Tigre, karena bayangan dari kerudung menutupi matanya.

“... Aku mencari kapal bernama, Proud, Beluga, apa kamu tahu?”

Suaranya terdapat aksen yang belum pernah Tigre dengar sebelumnya. Ada sedikit interval pada saat dia menyebutkan nama kapal tadi.

Kelihatannya dia kesulitan mengucapkan nama kapal ini.

Tigre melihat anak laki-laki tersebut dengan heran. Tingginya kira-kira setinggi dada Tigre.

Andai dia seorang pengembara, sepertinya dia masih berumur di mana seseorang seharusnya masih dibimbing orang tua.

“Karena aku juga menumpang kapal yang sama, apa kau ingin pergi bersama-sama? Dan, apa kamu sendiri atau bersama—“

—Teman? kata terakhir dimentahkan oleh suara gertakan keras. Ketika Tigre melihat sambil mengerutkan alisnya, ada tiga orang yang mungkin belum genap berusia 20 berjalan ke mari.

“Bedebah, kami kan sudah bilang akan menunjukkan jalan, jadi mengapa kau lari dari kami?”

Satu dari tiga orang menatap anak laki-laki tersebut dengan marah, juga berteriak sambil menunjukkan jarinya. Entah dia sedang marah atau memang begini sikapnya, orang ini sepertinya cocok dengan sebutan berandalan.

“Tolong jangan mengejarku terus, menyusahkan.”

“B-Bedebah!”

Orang ini menjadi sangat marah, dan dengan wajah memerah, dia mengeluarkan pukulannya. Tigre, yang masih menggenggam busur di tangan kiri, meletakkan tas yang dipegang tangan kanan, dan maju ke arah mereka dan Tigre berhasil menangkap tangan pria tersebut.

“Dia temanku. Bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?”

“Mereka awalnya setuju untuk mengantarku ke pelabuhan, tapi mereka malah mencoba membawaku keluar pelabuhan.”

Meski mencoba menenangkan keadaan, tapi yang pertama mengatakan sesuatau adalah anak laki-laki. Tiga orang ini pun tidak menyangkalnya, dan terlebih lagi, dua orang yang berada di belakang menutup mulutnya, dan mulai maju. Satu diantara mereka langsung menyerang Tigre dengan agresif, sisanya mengarah ke anak laki-laki tadi.

Hanya saja, reaksi Tigre lebih cepat. Orang yang berada di sekitar mengira Tigre akan melepaskan tangan berandal yang ditangkapnya tadi, akan tetapi, Tigre dengan cepat memelintir tangan berandal tersebut tanpa ampun. Berandal tersebut menjerit kesakitan.

dengan menggunakan berandal tersebut sebagai perisai, kemudian melempar orang tersebut ke arah orang yang menyerangnya. Dua berandal tersebut saling bertubrukan dan di tanah.

—Aku harus cepat menolong anak itu.

Ketika dia melihat anak tersebut, pertarungan sudah hampir berakhir. Berandal tersebut hanya mampu membuka kerudung anak tersebut, dan ketika anak tersebut melesat di depan tubuh berandal, dia melepaskan pukulan tajam ke arah perut berandal tersebut.

Berandalan tersebut langsung terkapar tanpa mengeluarkan suara. Tigre yang terlihat terkejut dan kagum, mendekati anak tersebut.

“Baiklah... Sekarang apa yang ingin kalian lakukan?”

Suara Tigre terdengar dingin saat melihat ke arah berandalan yang terkapar di tanah.

“Kami pun sedang terburu-buru. Jika kalian membiarkan kami pergi, kami tak akan memperpanjang masalah ini lagi.”

Meski terlihat sangat marah kepada Tigre, tapi dia menyadari dia tak akan bisa mengalahkan Tigre. Meski menyerang dengan dua orang, dan hanya menggunakan satu tangan, mereka tetap kalah.

Mereka berdiri, dan membantu teman mereka yang sedang memegangi perutnya, dan pergi meninggalkan Tigre.

Mereka menghilang di tengah kerumunan sambil memaki orang di sekitar. Merasa keributan ini sudah teratasi, mereka yang berhenti untuk melihat juga membubarkan diri.

Aktifitas di pelabuhan pun kembali seperti semula. Pada saat Tigre melihat ke arah anak tersebut, disaat yang bersamaan anak tersebut juga melihat ke arah Tigre.

—Anak perempuan?

Tigre membuka matanya lebar-lebar, dari awal dia mengira kalau pengembara tersebut anak laki-laki, namun ternyata dugaannya salah.

Mungkin masih berusia 13, atau 14 tahun, dengan rambut merah muda dengan potongan pendek terurai, dan mata lebar bagaikan mutiara hitam.

Wajahnya sedikit ternoda oleh debu, wajahnya sendiri agak sedikit bulat, sesuai dengan umurnya. Jika dilihat lebih dekat, gadis ini cukup cantik, cukup untuk membuat orang kagum. Maski gadis ini terkesan seperti kebingungan dengan wajah tanpa ekspresi, tapi entah mengapa dia terlihat sangat menggemaskan.

“Terima kasih banyak karena telah menolongku.”

Setelah mengucapkan terima kasih dengan suara yang monoton, gadis tersebut dengan cepat menundukkan kepalanya.

“Tidak masalah, meski pun aku merasa kamu tidak baik-baik saja, tapi apa kamu terluka?”

Ketika Tigre menanyakannya sambil mengambil tasnya, gadis tersebut melihat Tigre dan memberikan pertanyaan sambil memiringkan kepala penuh karena penasaran.

“Aku tidak terluka, —Mengapa kamu menolongku, orang yang tidak kamu kenal? Mungkin saja orang tadi yang benar?”

“Mungkin... karena ada-ada saja orang seperti itu di tiap kota, kamu akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah setelah melihat kejadian tersebut beberapa kali. Walaupun bukan karena ini, setelah melihat orang dewasa yang mengejar anak kecil, dan mereka menyerangmu tanpa mengatakan apa-apa, bukankah itu dianggap perbuatan yang tak pantas? Ditambah lagi, kamu tidak lari setelah saat aku mencoba menengahi kalian.”

Mendengar jawaban ini, gadis tersebut menyipitkan matanya, kelihatannya sedang memikirkan sesuatu. Kali ini, mata hitamnya mengarah pada busur hitam milik Tigre.

“Mengapa kamu tidak melepaskan busurmu untuk sementara? Tanpa ragu, kamu menggunakan satu tangan untuk—“

“Walaupun terlihat seperti ini, benda ini merupakan warisan keluargaku. Tergangung situasinya, tapi sebisa mungkin aku tak ingin memperlakukannya dengan buruk.”

Saat mengatakannya, Tigre berpikir dia sama sekali tidak mengerti anak ini. meskipun dia tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya pada saat kebingungan, gadis ini sangat tenang, tidak seperti anak kecil. Dan pertanyaannya juga cukup jelas. Setelah cukup yakin dengan jawaban Tigre, gadis tersebut menganggukkan kepala dan memberikan namanya.

“Maaf terlambat memperkenalkan diri, namaku Olga, jadi, Proud... U-Uh, Proud... Beluga...”

Gadis tersebut terlihat kesulitan mengatakannya, membuka matanya sedikit lebih lebar, yang tadinya setengah terbuka, Olga terus berjuang mengulang kata tersebut. Wajahnya yang memerah karena kebingungan dan malu-malu terlihat sangat cocok untuk gadis seusianya, dan tanpa sadar Tigre tersenyum melihatnya. Tigre sedikit membungkuk untuk menyamai pandangan matanya dengan gadis tersebut.

Górdyj BelugaProud Beluga, kan? Ayo pergi bersama, namaku Tigrevurmud.”

Ada dua alasan mengapa Tigre tidak memberikan nama keluarganya, pertama untuk berjaga-jaga, yang terakhir karena pertimbangannya kepada Olga, jika hanya memberikan namanya saja, besar kemungkinan Olga merupakan rakyat biasa dan bukan aristokrat. Tigre berhati-hati untuk tidak membuatnya takut. Tentu saja, Tigre juga mempertimbangkan Olga hanya memberikan namanya juga untuk berjaga-jaga.

“Tig, revurvur... Tig, vurm...”

“Kalau sulit diucapkan, panggil saja Tigre.”

Tigre hanya bisa tersenyum kecut melihat Olga yang kesulitan mengucapkan namanya.





Ketika berdiri di geladak kapal, Tigre merasa angin laut menjadi lebih kuat.

“Lebih bergoyang dari perkiraanku.”

Mengikuti ombak di permukaan laut, kapal ini terus bergoyang ke atas dan ke bawah. Sensasi seperti ini cukup menyegarkan bagi Tigre, tapi cukup aneh. Dia masih membutuhkan waktu untuk membiasakan diri dengan sensasi ini. ‘Proud Beluga’ termasuk ke dalam golongan kapal besar yang bersandar di pelabuhan.

Terdapat dua tiang besar, layar terlipat di bagian yang paling atas, pada bagian bawah deck terdapat tiga tingkat, termasuk bagian paling dasar kapal. Geladak kapal ini lebih sempit dari dugaannya, dan anak buah kapal terlihat sangat sibuk saat ini.

Mereka memiliki tubuh yang cukup besar, sudah berapa kali mereka hampir bertabrakan dengan Tigre.

“Mari kembali ke kabin.”

Pada saat Tigre mengatakannya, Olga yang berjalan di sampingnya, mengangguk setuju. Dia memakai kembali penutup kepala ketika dia berada di kapal, dan Tigre merasa semakin sulit melihat ekpresi Olga saat itu.

Olga tak berbicara terlalu banyak. Awalnya Tigre berpikir Olga sedikit malu karena tidak bisa mengucapkan namanya dengan benar atau mungkin karena aksennya, tapi dilihat dari sikap dan perkataannya, sepertinya bukan karena itu.

Olga juga tidak mencoba untuk sekedar basa-basi. Mengenai Olga, Tigre hanya tahu jika dia mengembara seorang diri.

Ketika mereka menuruni tangga dan memasuki badan kapal, dia berjalan di lorong kecil yang dipenuhi oleh bau laut yang bercampur dengan kayu. Tigre menunduk memasuki ruangan yang diberikan kepadanya selama berada di kapal ini.

Ketika dia membuka pintu, kamar ini benar-benar kecil. Selain tempat tidur yang menempel pada dinding, hanya ada tiga atau empat langkah di kamar tersebut. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain meletakkan bawaannya dan tidur. Ceritanya, kunci kamar ini diberikan padanya pada saat Tigre memasuki kapal.

Olga berkata dengan monoton, kepada Tigre yang kelihatan bingung.

“Kalau begitu, sampai nanti.”

Setelah mendengar Olga, Tigre memikirkan sesuatu, tidak seperti dirinya yang menerima bantuan dari Sasha dan Matvey, Olga membayar biaya perjalanan sebagai penumpang biasa. Pada saat memasuki kapal, izin menumpang yang diberikan kepada Olga mirip seperti yang diberikan Matvey kepada Tigre, namun dalam bentuk koin perunggu.

“Kalau kamu tidak keberatan, bisa aku melihat kamarmu?”

Tigre bertanya karena penasaran, Olga menganggukkan kepala pertanda setuju.

Ketika berjalan di lorong yang sempit, Tigre mengamati sekitar sambil melihat ke kiri dan kanan. Tingkat ini terdapat ruangan untuk tamu dan anak buah kapal, sepertinya di lantai ini juga terdapat gudang senjata dan beberapa ruangan lainnya.

Saat mereka tiba di sekitar haluan kapal dan menuruni tangga untuk ke tingkat selanjutnya, di sini cahaya sedikit lebih redup, dan bau yang aneh khas cukup kuat, lorongnya juga cukup sempit. Olga berhenti setelah berjalan sekitar sepuluh langkah dan berhenti di depan suatu pintu.

Setelah Olga membuka pintu, tak ada yang khusus di dalamnya, hanya saja ruangan ini cukup besar. Bila dibandingkan dengan ruangan Tigre yang seperti ruangan khusus di penginapan, ruangan ini cukup luas, namun diisi oleh beberapa orang, di dalamnya terdapat 12 atau 13 orang.

Setengah dari mereka membawa pedang dan memakai zirah, dan mereka bersandar di dinding atau duduk di lantai. Meksi yang lainnya tidak bersenjata, namun tak bisa disangkal kalau aura berbahaya memancar dari tubuh mereka. Mereka saling menjaga jarak dan masing-masing saling memperhatikan satu sama lain.

Pandangan yang tidak bersahabat tentu saja juga mengarah ke Tigre dan Olga yang baru saja membuka pintu.

—Sudah kuduga akan seperti ini.

Walaupun Tigre tidak menunjukkannya lewat ekspresi dan perkataannya, tapi dia sudah menyadarinya. Kapal ini akan menuju Asvarre, yang tengah bergejolak karena perang saudara. Tentu saja, hanya orang-orang tertentu yang mau pergi ke sana sekarang. Kalau bukan tentara bayaran, berarti saudagar, atau orang yang memiliki alasan khusus seperti Tigre.

“Apa kamu ingin di kamarku saja?”

Tigre menanyakannya dengan suara pelan kepada Olga yang berdiri di samping. Pada saat Olga melihat Tigre, ada sedikit rasa kaget pada wajahnya yang seperti melamun.

“Benar tidak apa-apa?”

“Seperti yang kamu lihat tadi, ruanganku kecil, tapi aku menjamin keselamatanmu. Di sana juga ada kunci.”

Tigre tidak mengerti alasan Olga ke Asvarre. Bukannya Tigre tidak peduli, tapi dia tidak punya niat untuk bertanya karena posisinya sekarang, sangat merepotkan jika ada yang menanyakan hal yang sama kepada Tigre.

Oleh karena itu, meski Tigre tidak tahu apa-apa tentang gadis itu, dia ragu membiarkan seorang gadis yang lebih muda darinya tinggal di sini.

Tak lama kemudian, Górdyj BelugaProud Beluga berangkat dari pelabuhan Lippner.


Layar putih mengumpulkan angin dan Górdyj BelugaProud Beluga berlayar dengan tenang di laut biru. Tigre dan Olga berdiri di deck kapal, memandangi laut tak berujung dan pulau yang terlihat semakin mengecil.

“Bagaimana rasanya berada di kapalku?”

Matvey berjalan mendekati mereka, jaket merahnya berkibar diterpa angin laut. Setelah mengarahkan pandangannya ke arah Olga, matanya terlihat lebih tajam.

“Oh! Apa dia kenalanmu?”

Tigre menjawab ‘ya’ dengan senyuman dan Olga juga menundukkan kepalanya. Tigre terkesan karena Olga tidak terlihat gelisah bahkan setelah berhadapan dengan Matvey yang cukup menyeramkan.

“Kira-kira berapa hari lagi kita tiba di Asvarre.”

“Jika angin terus bagus seperti ini, aku rasa dalam tujuh atau delapan hari. Karena sekarang bukan musim kering dengan sedikit angin, setidaknya tak lebih dari sepuluh hari.”

Tigre lega setelah mendengarnya, dia tidak punya pilihan lagi selain membiarkan Olga tidur pada satu-satunya tempat tidur di kamarnya, dan dia sendiri berniat untuk tidur di lantai. Sepertinya dia hanya perlu menahannya selama delapan hari.

“Matvey-san, sejak usia berapa kamu mulai melaut?”

“Waktu aku lebih kecil darimu sekarang. Bagi kami yang lahir dan besar di Lippner dan memutuskan untuk hidup dengan laut berpikir, kami harus memiliki kapal sendiri. Dan untuk mengejar tujuan tersebut, aku bekerja dan mengumpulkan uang di kapal milik kerabatku, aku juga mempelajari banyak hal seperti berdagang dan cara membawa kapal.”

“Apa kau tidak takut sewaktu berlayar di laut?”

Kalau mau jujur, saat ini Tigre merasa sedikit takut. Matvey membusungkan dada dengan bangga, dan menjawabnya sambil tertawa.

“Itu hal yang wajar di sini. Aku sendiri tidak terlalu khawatir karena pernah melihat kapal karam di pesisir kota sewaktu aku bermain-main saat masih kecil. Dan seperti yang diduga, banyak yang merasa gugup ketika menaiki kapal untuk pertama kalinya. Meski demikian, aku mengatasi rasa takut dengan berbagai pengalaman.”

“Pengalaman?”

Olga sedikit memiringkan kepalanya.

“Badai, kapal karam, perompak... ditambah lagi, dalam kapal yang sempit, pertarungan jarak dekat yang mengharuskan untuk membunuh bisa saja terjadi, sehingga mustahil untuk melanjutkan pelayaran. Ada juga hal seperti hiu dan naga laut.”

“Naga laut?”

Meskipun kata terakhir terdengar sedikit didramatisir, kata ‘naga laut’ menarik perhatian Tigre. Mendengar Tigre yang menirukan suaranya, Matvey tersenyum kecut dan berkata.

“Dahulu, aku pernah satu kali melihatnya dari kejauhan. Seperti ini, tubuhnya seperti tali yang panjang, seperti ular.

“Makhluk seperti itu... ada di laut.”

“Tak perlu terlalu khawatir, bahkan diantara para pelaut yang sudah melaut selama 40 atau 50 tahun, hanya sedikit yang pernah melihatnya, makhluk yang sangat langka. Sulit membayangkan kau akan melihat naga laut dalam pelayaran pertamamu, kecuali jika kau benar-benar tidak beruntung.”

Mendengar perkataan Matvey yang coba menenangkan, Tigre menghela nafas.

Kemudian, Tigre yang awalnya menanyakan hal seperti kapal dan laut, tiba-tiba menanyakan sesuatu yang ada di pikirannya.

“Matvey-san, apa kau tahu tentang Asvarre?”

“Ya, karena ada pelanggan penting di sana. Apa ada yang mengkhawatirkanmu?”

“Maaf kalau pertanyaanku kurang jelas, tapi... Kerajaan seperti apa Asvarre? Misalnya, aku tidak tahu dewa yang dipercaya di Asvarre.”

Pada awalnya Tigre bermaksud menanyakan hal tersebut kepada Sasha, tapi sayangnya dia melewatkan kesempatan itu. Tigre tahu situasi terkini di kerajaan Asvarre dan juga peperangan antara dua pangeran. Tapi selain hal tersebut, tidak salah jika mengatakan Tigre tidak tahu apa-apa tentang Asvarre.

“Baiklah, karena tidak ada masalah di kapal sekarang, aku bisa berbicara panjang lebar denganmu?”



Asvarre dikenal dengan sebutan negara kabut dan hutan.

Pada awalnya, wilayah Asvarre hanya sebatas pulau di Laut Selatan—pulau Asvarre, dan ada lima suku yang bersaing untuk memperebutkan supremasi di pulau tersebut. Asal mula nama kerajaan ini berasal dari pulau tersebut. Meski hanya memiliki sedikit gunung, namun banyak terdapat bukit di sana, sungai dan juga hutan.

Angin panas yang terus menerus berhembus dari barat laut, mendingin pada saat mencapai tengah pulau, oleh karena itu, setiap tahun pulau tersebut diselimuti oleh kabut.

“... Begitulah ceritanya, tapi seperti yang diduga, sedikit berlebihan jika mengatakan setiap tahun pulau tersebut diselimuti kabut. Wilayah di sana juga bervariasi, contohnya perbatasan antar kota. Meski begitu, bukan hal yang aneh jika kabut tiba-tiba muncul di mana saja.”

Pulau tersebut terus berada dalam ancaman perang, disamping konflik yang terjadi diantara lima suku, negara-negara dari pulau utama juga mencoba menginvasi mereka lewat laut, dan hampir setiap hari perompak berkeliaran di pantai mereka.

“Mungkin ini terdengar ironis, tapi bisa dikatakan di mana ada manusia, di situ ada konflik, dan memang seperti inilah kenyataannya. Ada yang mengatakan, tak ada hari tanpa pertumpahan darah di Asvarre. Akan tetapi, situasi tersebut berubah berkat seorang pahlawan. Namanya adalah Artorias, dia pendiri kerajaan Asvarre.”

Suatu hari, Artorias mengatakan bahwa dia bermimpi jika dia berubah menjadi naga merah.

Naga merah merupakan simbol raja yang mengikat lima pemimpin tiap suku. Artorias yang sebelumnya hidup sebagai prajurit biasa, percaya pada ramalan tersebut, dan memutuskan untuk menjadi raja. Meskipun semua orang menertawakannya, 12 orang rekannya memutuskan untuk mengikutinya,

Selanjutnya, Artorias yang terus bertempur di garis depan dengan pedangnya, telah melalui banyak pertarungan dan mendapatkan kemenangan. Beberapa suku mulai bersumpah setia kepadanya, perompak juga berhasil disapu bersih, dan mengusir negara yang mencoba untuk menjajah mereka. 12 orang yang mengikuti Artorias diberikan gelar [Knight of the Round Table].

“... Kedengarannya sedikit mirip dengan mitos yang ada di Brune dan Zhcted, bukan begitu?”

Tigre mempunyai kesan tersebut. Pada mitologi Brune, Charles, yang menjadi penerus raja yang mendirikan kerajaan, memulai pertempurannya setelah menerima wahyu dari rahib agung di kuil gua suci. Dan menurut mitologi Zhcted, seorang pria yang mengaku sebagai jelmaan naga hitam muncul di hadapan beberapa suku yang sedang berseteru, kemudian memimpin pengikutnya dan memulai penaklukan.

Matvey sepertinya tidak terganggu oleh interupsi dari Tigre, dan tersenyum sambil berkata.

“Meskipun aku tak terlalu fasih dengan mitos negara lain, aku rasa memang ada beberapa bagian yang mirip.”

Tigre setuju dengan pendapat tersebut dan Matvey melanjutkan ceritanya.

“Meskipin Artorias dan 12 [Knight of the Round Table] bukan dewa di Asvarre, mereka menjadi objek pemujaan. Karena suatu pandangan bahwa semua kejayaan yang diraih Artorias karena berkah dari Dewa, mereka juga berpendapat setiap [Knight of the Round Table] juga menerima perlindungan dari malaikat—sepertinya roh yang mematuhi perintah Dewa.”

Setelah Artorias wafat, kerajaan Asvarre melalui hari yang damai tanpa konflik. Akan tetapi, pada suatu hari kedamaian tersebut hilang. Kerajaan Cadiz yang berasal dari pulau utama, yang memiliki armada laut yang besar, menyeberangi laut dan menginvasi Asvarre.

“Asvarre bertahan sekuat tenaga, namun pada akhirnya tunduk di hadapan armada yang sangat besar. Ada yang mengatakan Asvarre kehilangan setengah wilayahnya di pulau tersebut dalam beberapa hari. Setelah raja pada saat itu jatuh sakit, orang yang mengusulkan untuk menyerah dan mereka yang melarikan diri mulai bermunculan, dan kerajaan tersebut berada diambang kehancuran.”

Hanya saja, dia antara orang-orang tersebut, seseorang muncul. Membentak penasehat raja dan prajurit yang ketakutan, orang tersebut terlihat sangat tegar. Dia bernama Putri Zephyria.

“Meskipun menurut beberapa kisah Putri Zephyria memiliki kecantikan tak ada tandingannya, dia juga memiliki keberanian. Dia mengambil pedang dan turun langsung ke medan perang, menunjukkan keberanian, bahkan sulit membayangkan dirinya adalah seorang wanita. Selanjutnya, dia memperoleh kejayaan yang sebanding dengan pendiri kerajaan Asvarre, Artorias. Konon dia mempunyai slogan: ‘baju zirah adalah suamiku, dan medan perang adalah istanaku’.”

Setelah itu, raja wafat setelah kalah dari penyakitnya, setelah satu tahun konfrensi yang diadakan istana, Zephyria menjadi ratu pertama di kerajaan Asvarre. Dampaknya kepada negara-negara di pulau utama tidak kecil, karena sulit membayangkan seorang ratu memimpin di Brune atau Zhcted.

“Ratu Zephyria juga seorang penguasa yang baik. Kerajaan yang terguncang karena kematian raja perlahan mulai bersatu dengan kelahiran seorang ratu, kemudian ratu memberantas perompak di pesisir, menstabilkan internal dan eksternal kerajaan, dan kemudian, menyerang kerajaan Cadiz.”

Kerajaan Cadiz akhirnya hancur di tangan Ratu Zephyria.

“Asvarre mengambil alih wilayah kerajaan Cadiz di pulau utama. Hal itu merupakan cita-cita pendiri Asvarre, Artorias, namun gagal mewujudkannya. Ratu Zephyria, yang bisa mewujudkannya, memperoleh gelar terhormat ‘Raja Tertinggi’. Ratu Zephyria terus memerintah tanpa pernah menikah, kemudian mengusulkan seseorang yang memiliki hubungan darah terdekat dengan ayahnya, almarhum raja, sebagai penerusnya, kemudian Ratu Zephyria meninggal.”

“Ratu ya...”

Tigre menunjukkan kekagumannya. Olga, yang masih mengenakan penutup kepala, mengajukan pertanyaan di belakang.

“Aku pernah mendengar cerita jika Ratu Zephyria sebenarnya memiliki kekasih.”

“Tentu saja, kisah-kisah seperti itu selalu ada, aku juga pernah mendengar beberapa. Seperti, pengikutnya yang terus mendukungnya, ksatria pengembara, pemburu... Karena kisah tentang kehidupan pribadinya tidak ada, orang-orang pun larut dalam imajinasi tersebut.”

Tigre dan Olga sepertinya sependapat dengan Matvey.

“Dan setelah itu, tak ada lagi peristiwa besar yang bisa diceritakan. Bahkan hingga saat ini, Artorias dan Zephyria merupakan pahlawan yang mewakili Asvarre, bahkan petani lokal pun sangat bangga kepada mereka.”

“Terima kasih, nah sekarang... Bagaimana perkembangan perang saudara di Asvarre?”

Tigre bertanya dengan hati-hati.

“Dari informasi yang kudapat sepuluh hari lalu—pertempuran dalam skala kecil masih sering terjadi, tapi tak ada perang besar, dan sekarang masing-masing pihak mengalami kebuntuan.”

—Berarti yang paling menderita akibat perang antar dua pangeran adalah rakyat Asvarre itu sendiri.

Amarah yang tak tertahan terlihat dari ekspresi Tigre. Jika situasi mengalami kebuntuan, berarti harapan konfliks agar segera berakhir semakin jauh. Sebenarnya tidak masalah jika prajurit dari kedua kubu tidak bergerak dan hanya saling mengamati, tapi tidak begitu bagi penduduk yang berada di wilayah konflik.

Tidak tahu kapan mereka akan terseret dalam perang, juga tidak tahu kapan perang ini akan berakhir. Walaupun ini bukan perang yang mereka inginkan.

Seakan mengetahui apa yang dipikirkan Tigre, Matvey berbicara seperti seorang saudagar.

“Mengenai jumlah pasukan, Pangeran Elliot lebih unggul, namun di pihak Pangeran Germaine ada seorang pemimpin yang sangat luar biasa yang sering membalikkan keadaan dan memperoleh kemenangan. Sepertinya, perang ini tak akan berakhir dalam waktu dekat.”

“Apa ada orang seperti itu? Siapa namanya?”

“Kalau tak salah, dia bernama Tallard Graham. Ada rumor yang berkembang, jika orang itu tidak berada di sana, Pangeran Germaine sudah kalah.”

Walaupun Tigre tertarik dengan sosok bernama Tallard Graham, dia akan memikirkannya nanti dan mengingat sesuatu. Kelihatannya situasi sekarang tak jauh berbeda jika dibandingkan dengan penjelasan yang diberikan Elen.

Apakah dengan menemui Pangeran Germaine akan merubah situasi?

Tigre berdiri terdiam dengan wajah kecewa, dan Olga yang sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang Tigre pikirkan, menatap Tigre dengan tatapan seperti orang melamun.



Ketika matahari terbenam, kapal buang sauh di dekat pulau kecil.

Tigre berada di kamarnya, duduk di atas tempat tidur, sedang merawat busurnya. Hanya ada satu lentera yang tergantung di langit-langit, bergoyang mengikuti kapal yang sedang mengapung.

Ada yang mengetuk pintu kamarnya. Tigre meletakkan busurnya, berdiri, dan membuka pintu. Tigre berdiri di hadapan Olga dengan ekspresi kosong dan sedang membawa air panas. Uap putih membumbung dari belanga tersebut. Sebelum kemari, Olga membeli air panas di dapur.

“Berapa harganya?”

“Dua koin perunggu.”

Belanga tersebut hanya diisi setengah. Meskipun tidak akan tumpah karena kapal yang bergoyang, Tigre merasa dua koin perunggu sedikit mahal untuk air dalam jumlah seperti ini.

Setelah Olga meletakkan belanga ke lantai, dia melepaskan jubahnya. Untuk pakaian yang dikenakannya, kerahnya cukup longgar, dan terdapat hiasan yang disulam pada bagian kerah dan lengan. Terdapat sabuk yang melingkar di pinggangnya, bukan sesuatu yang sering di lihat di Brune atau Zhcted.

Hanya saja, perhatian Tigre tertuju pada kapak yang tergantung di pinggangnya, mata kapak tersebut berwarna abu-abu, ujung kapak dan gagangnya juga cukup kecil, jadi Olga yang memiliki tubuh kecil bisa dengan mudah membawanya.

Yang terlihat tak lazim adalah, bentuknya yang cukup rumit.

Topaz, kira-kira sebesar kepalan tangan, tertanam di antara gagang dan mata kapak, mata kapak juga diukir dengan pola yang cantik. Sepertinya, sebagian besar akan setuju jika ada yang mengatakan kalau senjata itu dibuat khusus untuk aristokrat terpandang untuk memperindah kediaman mereka.

Hanya saja, Tigre mempunyai kesan yang berbeda. Tigre teringat akan senjata tertentu saat melihat kapak tersebut.

Pedang yang digunakan Elen, tombak Mira, tongkat milik Sofy dan pedang kembar Sasha. Senjata tersebut melintas seketika di pikiran Tigre.

—Tak mungkin... ViraltSenjata Naga?

Senjata yang memiliki kekuatan supranatural dan hanya dimiliki oleh tujuh orang Vanadis.

“Apa kamu tertarik dengan ini?”

Tigre cukup kaget mendengar suara Olga, dan menenangkan dirinya kembali. Sepertinya Tigre terlalu serius melihatnya, dan meskipun ekspresi Olga masih sama seperti sebelumnya, kewaspadaan mulai terpancar dari matanya.

“Oh! Bentuk kapak itu terlihat sangat indah.”

Tigre berkata seperti itu sambil mengacak rambutnya. Tigre membuang semua ingin ditanyakan ke dalam pikirannya yang terdalam. Memang benar kapak tersebut terlihat sangat indah, tapi tak mungkin seorang Vanadis berada di sini.

“Karena ini warisan.”

Olga menyandarkan kapaknya ke dinding, dan menjawabnya dengan suara yang terdengar monoton. Olga membuka ikatan obi dan melepaskan pakaian yang dikenakannya. Tubuh bagian atas Olga terlihat sangat ramping, dan tonjolan di dada cukup sedang. Olga memiliki tubuh yang sangat lembut dan sangat sehat, dan juga sangat cantik, walaupun masih jauh dari kata dewasa.

Di hadapan Tigre yang tercengang, Olga duduk di lantai, mengambil kain dari tasnya, merendamnya ke dalam air panas dan memerasnya, kemudian Olga membersihkan tubuhnya dengan lembut.

“... Sudah kuduga, aku rasa bukan ide yang bagus memperlihatkan tubuhmu di depan laki-laki.”

Tigre dengan wajah memerah, menegur gadis berambut merah muda dengan lembut, Olga menghentikan tangannya yang sedang membersihkan debu di tubuhnya, menatap Tigre, kemudian menjawab sambil merendam kain tersebut ke dalam air panas.

“Apa boleh buat, tak ada tempat lain.”

“Meski begitu, bukan seperti ini caranya. Kamu seharusnya membiarkanku berbalik badan terlebih dahulu...”

“Ini kamar yang kamu pinjamkan, dan aku di sini karena kamu mengizinkannya.”

—Anak yang baik.

Tigre menarik nafas dalam dan membalikkan badannya.

Tigre berpikir untungnya Olga masih sangat muda, dia akan lebih panik andai Olga seumuran dengan Elen atau Mira.

Tigre menunggu, dia setelah selesai melakukan perawatan kepada busurnya.

Tak lama kemudian, suara kain yang direndam di air panas sudah tak lagi terdengar, dan Tigre pun mendengar suara pakaian bergesek.

“Sudah selesai.”

Melihat ke belakang ke arah suara tersebut, Olga, sudah mengenakan mantel, dan sekarang sedang duduk di lantai. Sambil menunjuk ke arah belanga, Olga berkata.

“Meskipun sudah tidak panas lagi, kamu bisa menggunakannya kalau kamu tak keberatan.”

“Benarkah. Kalau begitu, aku akan senang hati menggunakannya.”

Karena terlalu lama berdiri di deck kapal, bahkan tubuh Tigre pun gerah karena terkena angin laut. Rasanya merepotkan sekali jika pergi ke dapur sekarang untuk membeli air.

Setelah bertukar tempat dengan Olga, Tigre membersihkan tubuhnya dengan cepat. Setelah mengenakan mantel yang sama dengan Olga, Tigre menggeser belanga tersebut ke sudut ruangan.

“Baiklah kalau begitu, mari kita tidur. Aku akan tidur di sini, kamu bisa menggunakan tempat tidur itu.”

“Mustahil untuk menerima kebaikanmu sampai sejauh itu.”

Tigre yang hampir merebahkan dirinya ke lantai terlihat kebingungan mendengar penolakan Olga. Meskipun ekspresinya masih sama seperti biasanya, tapi ada sedikit kemarahan pada suara Olga.

“Aku mengerti kalau kamu berbuat seperti itu karena aku lebih muda darimu. Hanya saja, Aku... Aku ingin mandiri, dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.”

Walaupun pada awalnya Olga ragu dengan wajah tertunduk, kemudian mengangkat kepalanya dan menyatakannya dengan tegas. Merasa telah melukai harga dirinya, Tigre mengacak rambutnya dan meminta maaf.

“Aku minta maaf, tapi aku sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Di sini cukup dingin, meskipun kamu sepertinya sudah terbiasa mengembara, tapi...”

Mungkin karena mereka berada di atas laut, udara di dalam kapal terasa sangat dingin pada malam hari. Karena itulah Tigre dan Olga mengenakan mantel.

“Kalau begitu, mari tidur di atas kasur.”

Olga mengatakan hal tersebut tanpa perasaan malu.

“Hanya ada satu selimut. Kalau tidur di atas lantai, dengan kapal yang bergoyang, udara dingin ini akan langsung menyerang tubuhmu. Memang lebih baik meski jika tidur di tempat tidur, meski sedikit sempit. —Kamu ternyata lebih keras kepala dari yang terlihat”

Meski Tigre berpikir mereka berdua sama-sama keras kepala, dia merasa lari dari pembicaraan jika tiba-tiba mengatakan hal tersebut, dan memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Dan masih ada yang ingin dikatakan Tigre.

“Aku mengerti apa yang kamu katakan, aku mengerti, tapi... bagaimana ya mengatakannya, kamu seharusnya lebih berhati-hati atau lebih memperhatikan sekelilingmu.”

“Jika aku terlihat seperti menggodamu, biar aku jelaskan. Jika kamu berniat melakukan hal yang tidak-tidak, aku akan menghajarmu.”

“... Baiklah. Mari tidur bersama.”

Alasan Tigre berkompromi karena Olga ternyata cukup keras kepala, dan Tigre merasa jika dia terus memperpanjang masalah ini, Olga akan memilih tidur di lantai. Ketika Tigre melihat tubuhnya, meskipun dia berpikir Olga memiliki tubuh yang sangat sehat, tapi Tigre tidak mempunyai pikiran lain. Alasan mengapa Tigre berpikir seperti itu karena Olga masih terlalu muda.

Mereka merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Setelah mematikan lilin, Tigre tidur dengan membelakangi Olga.

Menaiki kapal untuk pertama kali, Tigre merasa mulai mengantuk karena terlalu bersemangat bercampur tegang tadi pagi.

Tak lama kemudian, suara nafas mereka yang tertidur bisa terdengar.



Ada seorang Vanadis di kota pelabuhan Prepus, pelabuhan yang seharusnya disinggahi Tigre.

Dia sudah berada di kota tersebut selama beberapa hari, menyamar sebagai aristokrat wanita yang sedang dalam perjalanan, dan menghabiskan hari-hari tersebut di dalam kamar dalam sebuah tempat penginapan. Tempat tersebut lebih mahal dari penginapan biasa, memiliki dinding tebal dan fasilitas tambahan seperti kereta kuda bagi tamu yang ingin mengelilingi kota, serta pemilik yang tak banyak bicara dan hebat dalam menyediakan makanan lezat.

Banyak aristokrat kaya dan saudagar terpandang, serta duta negara tetangga yang memilih tinggal di penginapan ini. Hal tersebut karena banyaknya kapal dagang dari Brune dan Asvarre yang terus datang ke Prepus, sehingga hotel seperti ini bisa sukses seperti sekarang.

Vanadis tersebut, Valentina Glinka Estes, saat ini menerima berita mengecewakan dari bawahannya.

“... Jadi begitu, Tigrevurmud Vorn tidak singgah ke pelabuhan Prepus, tapi pelabuhan Lippner.”

Di ruangan yang terdapat di bagian terdalam penginapan, hanya cahaya dari lentera yang tergantung di langit-langit yang menyinari ruangan ini. karena sumber penerangan yang cukup redup, cahaya tidak menjangkau sudut ruangan, dan kegelapan menyelimuti sudut ruangan. Di dalam kegelapan, bersandar sabit yang sangat besar.

Valentina merebahkan tubuhnya pada sofa lembut yang terbuat dari kapas dan bulu dalam jumlah banyak sambil mendengarkan laporan bawahannya. Rambut hitamnya yang panjang, terlihat seakan menyatu dengan kegelapan. Valentina memberikan senyuman yang indah, yang membuat orang merasa mustahil untuk tidak terpikat oleh kecantikannya yang mempesona. Valentina mengenakan gaun putih yang dihiasi bunga mawar, dengan buku yang ada di pangkuannya.

Bawahannya sedang berlutut di depan pintu, melanjutkan laporannya.

“Meskipun saya, pelayanmu, berpikir Earl Vorn, yang merupakan seseorang yang berasal dari Brune, mungkin mengambil jalan yang salah, tapi sepertinya Earl Vorn mengubah rencananya dengan pergi ke Lippner tanpa mengubah tujuannya.”

“Terima kasih untuk usahamu. Aku sebenarnya ingin bertemu dengan Earl Vorn untuk memberikan salam perkenalan, tapi kalau sudah begini, apa boleh buat.”

“Perlukah saya menyusulnya?”

“Tidak usah. Sekarang dia mungkin sudah berlayar menuju ke Asvarre. Salam perkenalan dariku bisa menunggu setelah Earl Vorn kembali dari Asvarre.”

Setelah pelayannya pergi, Valentina melihat ke arah kegelapan sambil menghembuskan nafas dalam-dalam.

—Kabur ya.

Valentina yang mengajukan proposal kepada raja untuk menunjuk Tigre sebagai duta rahasia ke Asvarre, namun secara tidak langsung. Ada dua pegawai istana yang menyampaikannya langsung, dan Valentina memastikan tak ada yang boleh tahu jika ide tersebut berasal darinya.

Meski ada beberapa alasan, yang paling utama karena Valentina ingin menemui Tigre di suatu tempat tanpa kehadiran Vanadis lain.

Berdasarkan perjanjian, Tigre tidak boleh keluar dari LeitzMeritz, kecuali dia memiliki alasan khusus.

Dengan begitu, Valentina harus melalui berbagai prosedur jika dia ingin menemui Tigre di LeitzMeritz, dan tentu saja Elen akan mencurigai Valentina. Hal inilah yang paling dihindari Valentina.

—Aku ingin berbicara dengannya mengenai berbagai hal, juga mengetahui sifatnya lebih dalam.

Jika kepentingan mereka cocok dan ada kemungkinan untuk saling menguntungkan, maka ada peluang kerjasama bagi mereka berdua. Tapi andai Tigre menjadi penghalang ambisinya, dia akan mencari cara untuk menyingkirkannya. Jika kemungkinan yang pertama, Valentina berencana membantu Tigre agar dia dapat menuntaskan misinya sebagai utusan rahasia dengan selamat, tapi kenyataan tidak berjalan seperti keinginannya.

—Apa Eleanora...? Tidak, tidak mungkin. Dia tidak memiliki pengetahuan yang luas mengenai kondisi geografi Legnica. Kalau begitu, sepertinya memang Alexandra.

Valentina mendengar kabar kalau Tigre sempat singgah ke kastil Legnica.

Bagaimana sekarang? Pikir Valentina.

Tidak masalah kalau pun Tigre tewas dalam perang saudara di Asvarre. Sekarang ini, setelah Elen dan Mira, Tigre juga mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Sasha. Kematiannya pasti mengguncang mereka, dan pasti akan memperburuk hubungan Brune dan Zhcted.

Bahkan Raja Viktor pun akan dimintai pertanggung-jawaban andai hal tersebut sampai terjadi. Tapi, jika Tigre kembali dengan selamat, kemungkinan besar dia akan langsung ke Istana Kerajaan. Penting untuk segera melaporkan hasilnya. Raja Viktor juga akan mengucapkan terima kasih kepada Tigre atas jasanya, dan memberikan penghargaan, tergantung hasilnya.

—Pada saat itu, andai aku mengunjungi ke Istana Kerajaan, ada kemungkinan untuk bertemu dengannya.

Tergantung sikap dan kepribadiannya, Valentina mungkin akan menceritakan bahwa dirinyalah yang mengusulkan Tigre sebagai utusan, demi memperoleh perhatian Tigre, atau mungkin saja Valentina akan mengkritik kebijakan raja secara tidak langsung demi membuktikan kalau dirinya merupakan teman.

Valentina mempelajari jadwal Tigre untuk mengetahui kapan Tigre akan kembali, dan juga memikirkan alasan untuk mengunjungi Istana Kerajaan pada saat itu. Masalahnya, Valentina seharusnya sakit dan memiliki tubuh yang lemah.

—Misalnya, andai aku ditugaskan untuk mengerahkan pasukan, sebisa mungkin aku akan menundanya karena alasan sakit dan mundur setelah bertempur sedikit, dan aku bisa mengontrol kerugian yang dialami pasukanku. Lagi pula, aku bisa mengatakan alasan sakit ketika dipanggil ke Istana Kerajaan, mengumpulkan informasi sebanyak mungkin sebelum menghadapi krisis yang memerlukan tenagaku. Dari dulu sampai sekarang, inilah yang Valentina lakukan.

Valentina sengaja melakukan itu agar orang disekitarnya meremehkannya, membiarkan mereka santai dan tak menanggapi kehadirannya.

Setelah memikirkan beberapa rencana di kepalanya, Valentina mengalihkan pandangannya untuk memeriksa buku yang berada di pangkuannya. Pada bagian depan buku, terdapat judul yang ditulis dengan tinta emas, ‘Catatan Perang Zephyria’.

Ratu Zephyria yang memperluas teritorial Asvarre. Dalam catatan tersebut sejarah perang ditulis secara lengkap, dan popularitasnya yang mengimbangi pendiri kerajaan Asvarre, Artorias. Setelah menemukannya secara tidak sengaja di kediamannya pada saat Valentina masih kecil, buku ini langsung menjadi buku kesayangan Valentina.

Akan tetapi, Valentina tidak hanya menikmati ceritanya, buku itu juga mempengaruhi impian dan ambisinya.

—Suatu hari, aku juga akan menjadi ratu.

Valentina akan menunjukkan suatu hari dia akan menjadi sosok yang memimpin kerajaan Zhcted. Setelah melakukan penyelidikan, Valentina menemukan fakta jika darah yang mengalir dalam tubuhnya masih berhubungan dengan keluarga kerajaan.

Hanya saja, darah tersebut sangat tipis, sangat sulit bagi Valentina menuntut haknya sebagai pewaris takhta, karena nenek moyangnya hanya merupakan keluarga jauh dari raja sebelumnya. Dan Valentina juga sama sekali tidak mengandalkan hal tersebut.

Dengan kecerdasannya sendiri, karena terlahir dan tumbuh di keluarga Estes, dan keberuntungannya karena terpilih sebagai Vanadis, Valentina bertekad akan duduk di singgasana. Meskipun Valentina sendiri tak tahu kapan, namun dia yakin saat itu akan tiba.

Valentina sudah sering membaca buku tersebut, bahkan sudah sangat menghafal isinya. Akan tetapi, dia tidak bisa berhenti membacanya setelah membuka buku tersebut.

Cahaya dari ruangan Valentina belum redup hingga larut malam.




Tigre melihat pemandangan mengerikan.

Lima orang gadis berdiri di hadapannya. Titta dengan Elen, Lim dan Putri Regin dari Brune, serta Mira. Elen dan Lim, ditambah Mira mengenakan pakaian tempur yang sering mereka gunakan, Titta dengan pakaian pelayan yang biasanya. Pakaian resmi Regin sebagai putri memiliki dasar putih, dihiasi dengan emas dan perak di banyak tempat.

Entah mengapa, mereka semua terlihat marah.

Elen menatapnya dengan tajam sambil melipat tangannya. Lim terlihat heran sambil menghela nafas beberapa kali. Titta menahan kegusarannya sambil mengerutkan alis mata. Mira terlihat sedang mengukur saat yang tepat dengan meletakkan tangan di pinggulnya, dan sepertinya sudah siap untuk melepaskan kemarahannya kapan saja.

Regin juga tidak menyembunyikan rasa tidak puasnya, tapi terlihat bingung entah harus marah atau tidak.

“Ada apa?” karena mulai gelisah, Tigre menanyakan hal tersebut, dan Elen dengan marah menjawab.

“Mengapa tidak pegang saja dadamu dan jawab sendiri pertanyaanmu?”

Tigre, dengan panik, langsung melihat dadanya setelah mendengar perkataan Elen, ada Olga di sana. Dia menempelkan tubuhnya pada Tigre, telanjang dari pinggang ke atas. Dengan suara tanpa intonasi Olga berkata.

“Kamu harus bertanggung jawab...”

Setelah itu, Tigre terbangun. Dinding kayu yang sedikit kotor merupakan hal pertama yang dilihatnya.

Tubuhnya merasakan sedikit goyangan.

—Mimpi ya...

Tigre menarik nafas, sambil berkata di dalam hati “Sudah jelas kan?”, hanya sekali lima gadis tersebut berkumpul dalam satu tempat. Yaitu pada saat mengalahkan Thenardier dan kembali ke Istana Kerajaan Brune dengan kemenangan. Pada saat itu pun, mereka berlima tidak berbaris bersama.

—Pasti karena kelelahan yang menumpuk. Dalam perjalanan ini aku dituntut untuk tiba secepat mungkin.

“Kalau kamu memang sudah sadar, aku harap kamu bisa melepaskanku.”

Tigre mendengar suara monoton dari samping. Pada saat itu Tigre sadar kalau tangan kanannya sedang menyentuh sesuatu yang lembut dan juga sesuatu yang mirip dengan rambut pada tangan kirinya. Yang lebih penting, Tigre merasakan sesuatu yang hangat pada tubuhnya.

Ketika Tigre mengarahkan pandangannya, ada tatapan dari Olga. Tangan kiri Tigre memegangi kepala Olga, sedangkan tangan kanannya memeluk pinggulnya. Tanpa disadari, Tigre tidur sambil memeluk Olga.

“Dan... Itu menyentuhku.”

Tigre melepaskan tangannya dengan cepat. Kelihatannya tidak semuanya mimpi. Untungnya, Olga mengenakan pakaian, tidak seperti mimpinya.

“Bukan begitu, bagaimana ya... Aku minta maaf.”

Dengan nafas terengah-engah, Tigre menutupi wajahnya dengan tangan sambil menunduk karena malu. Olga sendiri, bangun dengan tenang dengan ekspresi kosong seperti biasanya, sepertinya sama sekali tidak malu karena kejadian ini. Menurunkan pandangannya dari wajah Tigre, Olga melihat ke arah pinggang Tigre.

“Aku diberitahu oleh ibu dan kakakku, apa boleh buat kalau laki-laki lepas kendali seperti ini di pagi hari.”

Bagus jika Olga mengerti, tapi tetap saja memalukan. Tigre hanya punya tenaga untuk mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Olga melanjutkan.

“Dan juga, aku paham kalau kamu tidak bermaksud memelukku, karena aku sudah memastikan kalau kamu masih tidur. Tubuhmu mencari sesuatu yang hangat karena udara malam yang dingin, bukan begitu?”

Ada alasan mengapa Olga tidak menyalahkan pemuda tersebut. Gadis dengan rambut merah muda juga sedang memeluk Tigre pada saat dia bangun.

Olga yang terkejut pada awalnya ingin mendorong Tigre, tapi kakinya yang keluar dari selimut merasakan betapa dinginnya ruangan ini. Pada saat yang bersamaan, Olga merasakan kehangatan dari tubuh Tigre. Selimut yang menutupi tubuhnya sama sekali tidak bisa menyediakan kehangatan seperti ini.

Karena itulah Olga berkompromi, tentu saja Olga tidak mengatakan itu kepada Tigre.

“Aku sangat berterima kasih kalau memang begitu, aku... aku akan lebih berhati-hati lagi.”

Tigre menunduk sekali lagi dengan wajah bersalah. Meski begitu, ada beberapa hal yang tidak bisa diselesaikan dengan kesungguhan hati.

Pada akhirnya, hingga mereka tiba di Asvarre, tidak ada pagi di mana Tigre terbangun tanpa memeluk Olga.

Referensi[edit]

  1. Beluga paus beluga atau paus putih.
Kembali ke Chapter 1 Menuju ke Halaman Utama Lanjut ke Chapter 3