Hakomari (Indonesia):Vol 7 Epilog

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Hakomari7 t006.jpg





—Apa kamu punya keinginan?


+++ 10 April, Mogi Kasumi(19) +++[edit]

Cinta pertamaku mungkin sudah kandas di kala dia muncul.

Aku tidak pernah berpikir untuk menyerah, sih, tapi... ah, sial! Aku tau ada sesuatu yang kuat di antara dia dan Hoshino-kun! Aku sudah cukup lama jatuh cinta sama Hoshino-kun hingga tau.


Mentari bersinar dan warna merah muda dari bunganya membuat pohon sakura sangat berbeda. Seperti hari biasanya, aku berlatih di tempat latihan memanah yang berada di suatu tempat dalam pusat rehabilitasi ini.

Tanganku sudah cukup terlatih ketimbang saat sebelum kecelakaan, tapi aku masih sulit menarik busurku. Karena aku susah menembakkan panah dengan lurus, apalagi membidik, tembakanku biasanya meleset.

Aku mendesah pelan. Karena aku bukan orang yang bagus di bidang olah raga, aku ragu aku akan bagus dalam memanah. Mana mungkin aku bisa masuk ke Paralympic Games dalam waktu dekat... meskipun aku berkata begitu ke dokter fisioterapi-ku, Ryouko, justru bilang aku bisa. "Takanashi-san dapat medali emas padahal awalnya ia jauh lebih parah dari kamu!" atau "Gotou-san memenangkan turnamen tenis kursi roda setelah coba bunuh diri." Aku kesal dengan cerita-ceritanya... Semangat, gadis muda! Usaha yang serius akan mewujudkan mimpimu! Jangan menyerah, kerahkan semua kekuatanmu! 'Duh, dia terlalu semangat! Dan ketat. Dia seharusnya lebih baik ke gadis yang cacat kayak aku.

Aku tidak diberikan pelayanan khusud di rumah sakit besar ini. Ada banyak pasien lain yang pakai kursi roda. Sebenarnya, Ryouko-sensei kelihatan cemburu sama masa mudaku dan bukannya mengasihani aku. Aku rasa dia emang agak aneh, sih.

"Kasumi-chaaan!"

Aku mengangkat kepalaku dan melihat Ishizaki-san, seorang pemain tenis lapangan, dengan senang melambaikan tangannya padaku.

Aku melambai balik dengan sedikit senyum canggung. Wajarnya, aku berusaha untuk tidak berekspresi seperti ini, tapi percobaanku tidak menumbuhkan hasil baik selama ini. Aku bingung harus gimana, ya, sikapku sama orang yang nembak aku...?


Supaya tidak memikirkan hal tidak penting ini, aku menarik busurku lagi.

Tepat setelah kecelakaan, aku selalu mengira tidak akan ada orang yang mau menjadikan aku rekan kalau akunya saja begini. Aku yakin orang-orang yang kondisinya sama seperti aku pun berpikiran sama. Tapi di sini, di rumah sakit? Aku tidak bermaksud sombong, tapi orang-orang di sini menyukai aku. Beda ceritanya kalau orang-orangnya sama-sama cacat, tapi orang-orang sehat pun sering jumpai aku—lebih sering malah daripada waktu aku masih sehat dan bisa sekolah.

Awalnya aku bingung kenapa orang-orang mau dekat dengan cewek (yang secara fisik) menyusahkan seperti aku, tapi perlahan aku mengerti dasar dibalik pikiran mereka. Banyak orang ingin bisa diandalkan, jadi menikahi seseorang yang seperti aku akan menjadikan hidup si lelaki itu jadi berguna. Ketertarikan aku pada mereka juga tumbuh karena aku pasti bakal mengandalkan mereka.

Apa mungkin aku terima saja, ya, orang-orang dengan selera aneh begitu? Tapi jujur saja, aku masih tidak bisa menerima niat baik mereka begitu saja; aku hanya bisa berkesan kalau mereka cuma tertarik pada disabilitasku, dan bukan aku secara keseluruhan. Kesan (salah) mereka barangkali memberikan aku semacam kecantikan yang tidak bisa didapat dari gadis biasa. Atau mungkin mereka cuma ingin sama orang yang lemah supaya si lemah ini bisa mematuhi mereka? Jahatnya aku karena punya pikiran negatif begini.

Tapi hanya satu ide yang tidak bisa aku lepas.

—Hoshino-kun akan memperlakukan aku dengan sama, mau kakiku lumpuh atau tidak.

Waktu aku memikirkannya, panahnya meleset dari sasaran.

Ada banyak insiden buruk yang mengikut sertakan kami—lebih parah daripada kecelakaanku—tapi entah kenapa, aku tidak ingat. Semuanya misterius dan absurd.

Aku ingat, sih, tapi sedikit: kurungan dalam dunia lain yang berakhir dengan penolakkan dari Hoshino-kun; insiden yang disebabkan Miyazaki-kun; kematian misterius Kamiuchi Koudai; fenomena Manusia Anjing yang disebabkan Oomine-kun; dan—Hoshino-kun yang kehilangan dirinya.

Tapi hal-hal penting hilang dari ingatanku. Memoriku rasanya seperti plastik yang dirobekkan. Insiden ini saling berhubungan, tapi aku tidak ingat bagaimana. Kebenaran dibalik insiden-insiden ini seperti ditutupi oleh kekuatan yang hebat.

Ada banyak hal yang buat aku aneh; misalnya, ada sesuatu soal Yanagi Nana dan Kijima Touji yang bersekolah di tempat yang sama dengan Hoshino-kun, juga mereka saling berteman. Hubungan kami baik, tapi anehnya, aku tidak mengerti kenapa mereka bisa begitu berbaur dengan sekolahnya. Aku ingat bagaimana kami jadi teman. Aku juga ingat aku ini kesal sama Nana-san karena selalu menemui Hoshino-kun padahal dia sendiri sudah punya pacar. Tapi entah kenapa, ingatan-ingatan ini rasanya palsu dan terasa beda—seperti ada untuk mengisi kekosongan dalam ingatanku.

Aku pikir aku—bukan, kami kelupaan sesuatu yang penting.

Apapun itu, konsekuensi dari masalah yang aku lupakan ini jelas sekali:

Hoshino-kun menghilang dari kelas yang ingin ku tempati lagi.

Dokterku selalu bilang padaku untuk pindah ke rumah sakit untuk ke tempat rehab yang lebih besar dan lebih baik lagi. Aku menolaknya dan terus tinggal di rumah sakit itu karena aku ingin kembali ke sekolah dan menemui Hoshino-kun. Tapi, karena ia sudah tidak lagi di sana, motivasiku pun hilang.

Alhasil, aku meninggalkan kampung halamanku.

Dan begitulah, masih ada masalah yang harus diselesaikan.


Di hari aku memilih untuk pindah ke tempat rehabilitasi, aku menelepon Otonashi-san ke rumah sakit. Setelah dapat izin dari suster, aku menemuinya secara empat mata di atap. Aku tidak ingin bicara dengannya di ruangan karena aku tau aku tidak akan bisa mengendalikan diri.

Di saat angin dingin dari musim gugur membuatku gemetar sampai ke tulang-tulang, aku menatapi Otonashi Maria yang berada di depan pemandangan indah dari pegunungan nan jauh yang berwarna musim gugur, yang hampir terlihat seperti lukisan cat minyak. Yah, tanpa latar itu pun, dia akan jadi lukisan luar biasa.

Dia memotong rambutnya sampai seukuran pundak dan sudah tidak ada lagi hawa-hawa misterius darinya, juga dia jadi lebih bisa didekati. Tapi aku yakin itu bukan cuma gara-gara rambutnya.

Sambil menatapi gadis cantik di depanku, aku berpikir, aku tidak bisa seperti dia.

Aku yakin Hoshino-kun dan aku akan berpacaran kalau bukan dia. Dia juga jadi penyebab Hoshino-kun yang sekarang. Atau setidaknya, kalau aku bisa kembali ke dalam kesehariannya, Otonashi-san pasti akan menjauh, dan Hoshino-kun akan tetap seperti dulu.

Tadinya aku yakin akan ada masa depan di mana aku memanggilnya "Kazuki-kun". Semuanya gara-gara dia.

Otonashi Maria membawa kekacauan dalam hidup kami.

"Aku akan meninggalkan kota ini dan pindah ke pusat rehabilitasi yang lebih besar."

Karena dia, aku harus meninggalkan Hoshino-kun.

Setelah mendengar omonganku, dengan gamblang Otonashi-san berkata, "Oh." Setelah cukup lama, dia menambahkan, "Aku akan sampaikan ke Kazuki."

Saatku dengar namanya, perasaanku langsung meledak. Apa kamu ngerti perasan aku setelah bilang itu?! pikirku, berharap bisa melampiaskan kemarahanku, penyesalanku, dan semua emosi negatif yang kupunya pada dia. Aku ingin menghina dia dengan kata-kata kotor yang belum perrnah aku keluarkan. Aku ingin dia minta maaf karena merusak hidup Hoshino-kun dan teman-temannya. Aku ingin menampar dia sampai kedengaran jelas suaranya.

Semakin keraslah aku kepal tanganku, seakan aku menyalurkan amarahku.

Akhirnya, aku keluarkan kata-kata yang sudah aku persiapkan sebelumnya.


"Tolong jaga Hoshino-kun."


Aku membungkukkan punggung dengan dalam sambil menggigit bibirku.

Aah, aku tidak ingin melakukan ini. Serius,, pikirku, tapi aku sudah memutuskan akan menyerahkan Hoshino-kun pada cewek ini meskipun aku benci dia.

"Aku ingin membantu Hoshino-kun... aku ingin ada di sisinya dan membantunya! Tapi aku sendiri masih harus mengandalkan orang lain, dan aku tau itu. Aku tidak bisa apa-apa sendiri. Aku lemah... aku hanya akan jadi beban untuk Hoshino-kun...!"

Aku tidak mampu mengangkat kepalaku. Aku sangat malu, sangat sedih, sangat tidak ingin mengakui kekalahan; air mata ini tidak mau berhenti.

"Aku yakin aku bisa memenangkan Hoshino-kun dengan tubuh seperti ini!" Kataku.

"Mm."

Itu bohong. Aku tau persis kalau ada hubungan spesial di antara mereka yang aku tidak mungkin bisa putuskan. Meskipun aku sangat sehat, aku tidak mungkin bisa menang. Otonashi-san juga tau dan hanya mendengarkan gertakkan bodohku tanpa bersuara.

"Aku cinta Hoshino-kun, dan aku yakin akan merasa begitu meskipun ia masih tidak bisa bicara!"

"Mm."

"Ini satu-satunya cinta yang aku rasakan. Ini berarti banyak buatku!"

"…Mm."

"Hoshino-kun juga punya perasaan padaku. Ya... aku masih belum kalah. Pasti belum!" kataku dan menggigit bibirku lagi. "...Tapi... tapi...!"

Hoshino-kun tidak membutuhkan aku

"Bukan aku!"

Ia tidak membutuhkan aku, Mogi Kasumi—ia membutuhkan Otonashi Maria!

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!" Aku menangis dengan keras karena tak bisa menahan rasa sakitku lebih lama lagi.

Otonashi-san tidak melakukan hal yang percuma seperti memelukku atau menyeka air mataku; dia hanya diam di sana menunggu aku dengan sabar supaya lebih tenang.

"Mogi," dia berkata dengan tegas setelah aku berhenti menangis, "aku yakin Kazuki akan mendapat kembali kesehariannya."

Aku melihat Otonashi-san dengan mata yang berkaca-kaca.

"Perasaanmu padanya pasti akan memberi pengaruh positif pada Kazuki. Itu pasti akan membantunya untuk kembali. Ini masa depan yang pasti datang. Jadi biar kukatakan ini dulu:"

Otonashi Maria membungkuk padaku.

"Terimakasih karena mempercayai Kazuki."

Sikapnya membuatku percaya diri lagi. Kenyataannya, tawaan keluar dari mulutku.

"Aku tidak bisa menandingimu, ya?"

Ya, aku tidak bisa menandinginya.

Maksudku, Otonashi-san percaya dengan sepenuh hati kalau Kazuki-kun akan pulih dari kondisinya sekarang. Di sisi lain, aku lebih suka kalau ia tetap tidak bisa bereaksi. Itu benar-benar apa yang aku rasakan, juga bukti akan kelemahanku.

Soalnya, itu berarti aku sudah menyerah percaya ia akan kembali.

Akan tetapi, Otonashi Maria, tidak meragukannya sama sekali. Dia mempercayainya dan menanti kedatangannya.

Itu kenapa dia yang seharusnya berada di sisinya Hoshino-kun.

Beban pikiran sudah terangkat dari ingatanku, menyisakan sensasi kebebasan yang sulit aku jelaskan. Awalnya aku kaget sama apa yang aku rasa, namun kemudian semangatku terpatahkan; aku belum menyadarinya saat itu, tapi ternyata, cinta yang pernah menyelamatkan aku, justru menjadi beban.

"Aah—"

Cinta pertamaku berakhir.


—Akankah aku jatuh cinta lagi?

—Akankah aku diandalkan orang lagi?

—Akankah aku bisa menemukan tempat yang khusus hanya untukku?


Sementara aku masih terpelosok dalam sayu, seseorang menaburiku segenggam penuh bunga sakura ke atas kepalaku. Aku berbalik karena kaget.

"Hei, idol kita baik-baik saja, 'kan?"

Aku menarik nafas dalam-dalam setelah mendengar panggilan bodoh itu, dan menaruh busurku.

Si wanita berkulit belang karena terbakar sinar matahari, yang tidak pakai makeup apapun dan kelihatan parah banget dengan gaun putihnya, adalah dokter fisioterapis-ku.

"…Jangan panggil aku begitu, Ryouko-sensei."

Melihat wajahku yang tidak senang, dia senyum jahat dan bilang, "Maaf, tapi kami tidak bisa memanggilmu dengan panggilan lain!"

"Kenapa...?"

"Soalnya kamu dapat permintaan untuk interview lagi! Dan sekarang dari TV terkenal yang siaran 24 jam setiap harinya! Pastinya kamu terima, 'kan?"

Suaranya sangat keras seperti biasanya.

"...Aku tidak mau! Tolong tolak permintaannya."

"Apa? Hei… ingin dengar pendapat pribadiku soal ini?"

"Silahkan..."

"Menurutku kamu harus mencobanya!" kata dia dan menunjuk-nunjuk ke atas. "Kalau kamu muncul di TV, orang-orang di Jepang bakal tergerak sama senyumanmu! Kamu punya hadiah terindah berupa tidak akan kelihatan menyedihkan meski situasimu begini. Kamu bisa mengubah persepsi orang-orang soal mereka-mereka yang cacat! Kalau kamu terus muncul di TV, mereka jadi bakal menerima orang-orang cacat! Orang-orang dari media masa bisa mencium hal begini, dan mereka menginginkan kamu. Kamu akan mulai bernyanyi, berdansa, acara salam-salaman, dan akan divoting jadi perempuan paling populer dari girlband yang kamu geluti! Pasien-pasien di sini dan kami para dokter fisioterapis akan lebih diterima orang-orang, dan hanya kamu yang bisa melakukan semua ini!!"

"…aku sudah dengar," kutolak dia dengan kasar.

"Hm? Lagi?"

"Aku bilang aku sudah sering dengar ini. Pendapatmu? 'Duh, apanya yang pribadi?"

Tapi Ryouko-sensei serius mempercayai aku.

"...Tapi..."

Terimakasih.

Aku tidak bisa mengeluarkan rasa terimakasihku keras-keras.

Dia jelas-jelas cuma berlebihan; aku ragu semuanya akan berjalan dengan mulus, tapi mengejutkannya, benar meski kondisiku begini, aku bisa mengubah dunia menjadi lebih baik. Ini memberiku harapan.

Ada banyak hal yang tidak bisa aku lakukan lagi. Dan memang seharusnya begitu. Namun di saat yang sama, mungkin ada juga hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh aku. Bukan yang terlalu menonjol seperti jadi idol, tapi yang lebih kecil lagi—lebih sederhana lagi.

"…Aku akan pikirkan lagi setelah batinku sehat lagi."

Sekarang ini aku sibuk beradaptasi dengan situasiku yang sekarang.

"Hmm? Kamu tertarik? Kalau begitu, aku akan tunggu."

"Uh… tidak, serius, aku tidak tertarik sekarang ini..."

Aku tau Ryouko-sensei: kalau aku tidak menjelaskan kalau aku serius menolak, tiba-tiba aku bakal dibawa ke atas panggung.

"Serius, aku belum siap sekarang ini!"

"Belum siap untuk apa?"

"Yah, maksudku... kalau aku jadi terkenal di TV, aku bakal diganggu sama banyak penggemar dan semacamnya..."

Waktu aku mengatakannya, aku sadar aku membuat kesalahan. Aku melihat Ryouko-sensei dan melihat wajahnya mengedut-ngedut karena jengkel.

"Aku sebal karena kamu serius. Cuma peringatan buat kamu, cewek, setelah masa muda kamu habis, kamu tidak akan spesial lagi! Cowok-cowok Jepang semuanya lolicon!"

"Um… aku yakin di sini juga ada laki-laki yang suka dengan perempuan sepertimu."

"Kalau bilang begitu seharusnya kamu merendah dan lebih tulus!"

Yah… aku ragu kalau wanita seperti dia sangat...

"Lihat saja matamu! Kamu lagi berpikiran yang jelek! Dasar kurang ajar! Ya, ya, aku tau! Kamu ingin latihan rehab yang lebih kejam sekarang!"

"Tunggu! Jangan jadi kekanakan begini, Ryouko-sensei!"

"Idol tidak komplain."

"Sok tau! Akun Twitter rahasia mereka dipenuhi komplain soal fans mereka!"

"Contoh yang sangat baik... omong-omong, kamu baru saja mengaku kalau kamu memang idol."

"Tidak!"

Begitulah. Ini kehidupanku sekarang, Hoshino-kun. Seperti yang kamu lihat sendiri, aku baik-baik saja.

Aku yakin Otonashi-san juga bersamamu sekarang. Aku dengar dia membuat pengumuman yang mengejutkan waktu dia berpidato setelah diterima menjadi ketua OSIS?

Di satu sisi, aku sangat menanti hari itu, tapi di sisi lain, aku cemburu banget.

Satu tahun lagi sampai hari yang dijanjikan Otonashi-san.

Sampai saat itu, aku ingin tumbuh lagi—jadi lebih lepas dan lebih kuat untuk bisa membantu orang lain. Semoga, kamu tidak akan kecewa dengan perkembangankum

Ini keinginan sederhanaku.




+++ 6 Juli, Yanagi Yuuri (19) +++[edit]

Aku butuh hobi.

Itulah hal pertama yang aku pikirkan sewaktu diterima oleh Universitas Tokyo. Kita ikut klub, Yuuri! kataku pada diri sendiri dan pergi untuk mencarinya. Yang paling menarik minatku adalah klub fotografi. Ada foto imut di ruang klubnya yang menampilkan seorang anak kecil tersenyum dibawah langit biru. Ini membuatku yakin kalau ada banyak hal indah di dunia ini, dan aku ingin menemukannya. Aku ingin merekam dan memelihara hal-hal yang kuanggap indah.

Aku meminta orang tuaku membeli kamera SLR yang agak mahal sebagai tanda selamat dari diterimanya aku ke kampus dan ikut sertanya aku ke dalam klub fotografi. Dan ternyata anggota klubnya hampir semua laki-laki, tapi mereka baik padaku. Aku hanya perlu bilang tipe foto apa yang ingin aku ambil, dan mereka mau menjelaskan padaku rincian secara teknisnya. Mereka bahkan mau meminjami aku lensa yang mahal pas aku butuh. Entah kenapa, mereka selalu membawa aku ke kamar gelap[1] padahal aku pakai kamera digital, tapi yah, aku sangat diterima oleh mereka meskipun aku hanyalah pemula.

Aku juga membuat penemuan yang memalukan saat aku memasuki universitas. Kelihatannya, pakaian yang kecewekan, berjumbai-jumbai—gaya yang biasa aku kenakan—bukanlah hak biasa bagi siswi di sini dan membuatku jadi sedikit berbeda dari yang lain. Tapi membosankan kalau semua orang memakai pakaian yang sama, dan aku tidak mau tatanan rambutku jadi coklat dan digelombangkan begitu. Aku ingin tetap punya rambut lurus berponi, dan masih terus memakai rok. Aku juga suka pakai pita dan belakangan ini, aku jadi mulai mengenakan kaus kaki selutut.

Aku sekarang dikenal dengan panggilan ini:

"Ratu Culun"


"Aku ingin menangis."


Aku duduk di Starbucks dekat kampus, berkeluh-kesah pada temanku.

"Yah... Ratu Culun nggak begitu buruk, 'kan? Yah, gini, ratu itu tetap saja ratu."

Teman lamaku ini adalah Shindou Iroha. Dia gagal menghiburku dan sedang sibuk mengunyah es batu dari Iced Coffee yang dia pesan. Dia juga memasuki universitas yang sama.

Bayangan yang redup dapat terlihat di matanya—dia tidak punya tatapan yang tajam dan galak lagi. Luka mentalnya masih belum sepenuhnya sembuh. Sampai sekarang, setahun setelah insiden itu, dia masih sering menemui psikiater. Dia menyebutnya "istirahat dari kehidupan." Dan memang, sih, aku cukup yakin kalau dia perlu istirahat cepat atau lambat; sudah saatnya dia sedikit lebih tenang.

Begitulah, aku tidak begitu kuatir padanya. Soalnya, dia adalah orang berbakat yang berhasil lulus dari ujian sains tersulit di SMA—di waktu dia "istirahat"—dan memasuki fakultas kedokteran. Dia berhasil mengalahkan murid-murid lain.

"Soha, Yuuri... bukannya kamu sama cowok-cowok, tadi?"

"Anggota klub aku menemani aku soalnya bahaya kalau aku sendirian."

"Kalau malam, tapi siang bolong begini...? Hah, kalau begitu nggak sepantasnya kamu mengeluhkan julukanmu tadi."

Tapi aku tidak meminta mereka untuk menemani aku... dan juga, membuat mereka kecewa justru bakal memperburuk suasana...

"Bukan itu. Aku bukan mengeluh karena dipanggil Ratu Culun~. Awalnya aku nggak suka, tapi aku jadi terbias."

"Jadi ada masalah lain?"

"Ya. Jujur saja, senior di kampus 'nembak aku. Cowok ini populer di kalangan cewek di kampus, tau? Tapi aku nggak pernah merasa begitu..."

"Ya ampun! Jadi kamu membuatnya kecewa, ya?" kata Iroha. "Yah, aku tau sulit untuk kamu bilang 'tidak' ke orang-orang. Jadi gara-gara itu kamu ingin menangis?"

"Nggak, aku terima, kok."

"Kamu apa?!" seru Iroha sambil dia gedorkan meja dan berdiri.

Um, Iroha? Kamu menarik perhatian orang. Bukankah kamu agak berlebihan? Ini malu-maluin.

"Tunggu, Iroha, dengar dulu. Gini, aku... masih belum bisa melupakan, yah, ia, padahal aku ingin... jadi aku mungkin bisa move on kalau aku pacaran dengan orang lain..."

"…Oke, aku mengerti," Iroha mengangguk dengan wajah masam. Hubungan dia dengan Kazuki-san, yang telah mengalahkannya namun juga membuatnya kembali ke jalan yang benar.

"Tapi aku nggak bisa melupakannya, dan aku nggak jatuh cinta dengan seniorku ini. Akhirnya, kami putus setelah 2 minggu pacaran, jadi... maaf…."

"Hm… aku mengerti, tapi orang itu patut aku kasihani. Yah, ini salahmu, jadi aku mengerti rasa bersalahnya. Aku juga ingin menangis, menggantikanmu."

"Ah, putusnya hubungan kami, sih, nggak masalah buatku."

"Enggak apa-apa?" Buk! Dia menggedorkan mejanya lagi.

Kamu buat aku malu... pelayannya melihat kami.

"Ceritanya masih belum selesai di sana. Salah satu perempuan di klub ku suka sama si laki-laki itu juga dan mulai menjauhi aku... aku tau itu. Aku ragu dia baik-baik saja waktu aku mengambil orang yang dia suka hanya untuk memutuskannya beberapa hari kemudian."

"Yaaah... aku bisa membayangkannya."

"Tapi itu loh, dia, ‘kan, salah satu teman perempuanku di klub, tau, ‘kan? Jadi aku mencoba menyenangkan dia."

"Caranya?"

"Menurutku dia akan memaafkan aku kalau dia dapat pacar, dan aku tau kalau ada cowok lain yang suka dia. Aku pikir semuanya akan baik-baik saja kalau aku menyatukan mereka, jadi aku coba mendekatkan mereka."

"Ya, ya... aku bukan tipe orang yang suka beginian, tapi menurutku itu masuk akal," kata Iroha.

"Ya. Jadi aku buat situasi di mana mereka bisa saling ngobrol berdua, buat mereka berkencan, dan semacamnya. Si perempuan menyadari ini dan perlahan mulai memaafkan aku, tapi kemudian..."

"Masalah?"

"Ya. Um... si cowok marah sama aku. ‘Ini nggak lucu, tau. Kenapa kamu mau mencocok-cocokkan aku?’ ia meneriakki aku. Aku takut banget..."

"Kenapa ia marah sama kamu?"

"Ternyata, ia suka sama aku..."

"Kamu gila! Yah... mungkin kamu belum tau perasaannya, jadi ini wajar."

"Oh, aku tau, kok, perasaannya ke aku."

"Lo tau?!" Buk! Dia menggedorkan mejanya lagi.

Bahkan sekarang pengunjung di luar juga melihat kami...!

"Bukan, gini... maaf. Tapi hei, aku baru saja putus, tau? Aku masih punya masalah lain. Ah, tapi tidak mungkin ia tau situasi aku sekarang, ‘kan? ...Aku jahat banget..."

"Hm... sikapmu di sini nggak sepenuhnya salah meskipun kamu sama sekali nggak mau menjawab perasaan laki-laki itu, mungkin? Nggak... tapi di sini memang kamu yang salah, Yuuri."

"Ya... aku tau. Ngomong-ngomong, orang itu lansung minta aku pacarang dengannya. Aku mencari jalan untuk menenangkannya dan menjelaskan ke ia kalau aku nggak mau, tapi... ia tipe orang bandel yang selalu dapat yang ia mau... jadi ia nggak sabar lagi gara-gara aku terus buat ia kecewa, sampai satu hari—"

"S-Satu hari...?"

"Ia menyerang aku."

Mata Iroha membelalak karena kaget. "Ia menyerang kamu...? Serius?"

‘Ya... Ah! Jangan kuatir! Aku berteriak minta tolong dan berhasil lari tanpa ada luka! Yuuri masihlah suci!"

"Yah, kita singkirkan dulu masalah kamu suci atau nggak, Yuuri..." Jahat! Aku masih 100% perawan! "Kamu memetik apa yang kamu tanam, tapi nggak ada yang pantas bernasib seperti kamu. Ya, kamu dapat simpati dari aku. Kamu boleh ‘nangis."

"Bukan, bukan itu..."

"Masih bukan juga?! Ayolah, nangis aja! Kamu berhak menangis!"

Kenapa?!

"Tolong dengerin aku dulu! Jadi, si professor yang menye—"

"PROFESOR!" teriak Iroha dengan gedoran lain ke meja sambil berdiri. "ProfesorIroha yells with another thump on the table and stands up. "Professor! Kamu nggak bilang itu tadi! Profesor! Seorang profesor...!" Dia terus-terusan menggedor-gedorkan meja.

"I-Iroha! Jangan buat bising...!"

Semua orang di sini melihat kami... aku sangat malu.

"Umm... gini, aku yakin kamu sudah liat papan buletin, ‘kan?" Hey, you skipped that part! A professor! A freaking professor…!" She continues pounding on the table. "I-Iroha! Stop making such a fuss…!" All people in here are watching us … I’m so embarrassed… "Umm … look, I’m sure you’ve read our bulletin boards, right?" jelasku. "Ada pengumuman soal tindakkan pendisiplinan untuk seorang profesor. Ini tersebar juga di berita!"

"Itu ulah kamu?!"

"A-Aku nggak salah! Aku korbannya!"

"Yah, itu benar, sih, tapi..." Dengan desahan dalam Iroha duduk lagi dan mulai menyeruput Ice Coffee miliknya. "Terus?"

Oh, kelihatannya dia kelelahan.

"Jadi insiden ini jadi terkenal gara-gara ada sangkut-pautnya sama profesor, ‘kan? Pasti, rumor yang bertebaran mengatasnamakan aku sebagai si cabe yang menggoda seorang profesor, atau aku ini si jalang yang memanfaatkan cowok-cowok di klubnya. Ini buruk, Iroha! Itu cuma fitna doang!"

"Aku nggak akan menganggap ini ‘fitnah’, loh."

"Y-Ya, aku memang begini, sih. Pokoknya... suasana di klubnya masih suram dan cewek yang aku sebut tadi meninggalkan aku karena dia benci aku... tapi kalaupun aku mau tanggung jawab dan keluar dari klub, anggota yang lain menahan aku. Aku sudah nggak tau lagi..."

"Kamu bukan Ratu Culun—kamu Cuma penghancur klub," dengan dingin dia membantahnya. "Tapi aku ‘ngerti sekarang. Siapapun yang ada di situasi seperti kamu pasti ingin menangis."

"..."

"Yuuri...?"

"…Jangan anggap aku jahat, ya?"

"Maaf, tapi aku sudah terlalu banyak dengar cerita kamu sampai pikir kamu jahat."

"Jangna dong!"

"Tapi itu benar! Hah... jadi? Sebenarnya, apa yang bikin kamu mau ‘nangis?"

"Yah... kamu sendiri tau, ‘kan, aku dipengaruhi banyak hal. Ada beberapa mahasiswa yang bukan cuma ingin aku keluar dari klub, tapi juga dari kampus."

"Terus...?"

Aku mengumpulkan keberanianku dan mengungkapkannya:

"Rasanya hebat."

"Eh?"

"Perasaan yang seperti bisa mengendalikan orang ini hebat. Sedikit bohong di sini, sedikit kata-kata manis di sana, dan aku bisa merusak orang-orang elit yang berhasil masuk ke universitas terkenal begini. Memikirkan apa yang terjadi saja sudah buat aku senang dan bikin aku geli."

Aku memegang kepalaku.

"Sifatku ini bikin aku mau ‘nangis!"

Iroha melempar cangkir plastiknya padaku. Aku pantas mendapatnya, ya? Tee-hee!



Setelah berpisah dengan Iroha, aku membawa kamera SLR-ku dan mengunjungi taman luas untuk mengambil beberapa foto mentari tenggelam. Harum rerumputan mengisi lokasi ini dan suara nyaring tonggeret nampaknya menggetarkan udara.

Ruang lingkupku sudah meuas sejak aku memasuki SMA; aku mulai masuk kuliah, hidup sendiri dan bahkan membeli skuter matik.

Perlahan aku mulai mengerti diriku dengan lebih baik. Dulu di SMA, aku mengincar posisi puncak tanpa ada tujuan apapun, tapi pasti saja ada murid yang lebih baik dari aku. Aku merasakan adanya penghalang yang tidak akan bisa dilewati di antara kami yang membuatku merasa sedih. Aku sangat cemburu dan merasa lebih lemah dari Iroha, contoh terbaik dari murid yang tidak bisa aku tandingi.

Iroha lahir sebagai revolusioner; dia tidak pernah merasa cukup dengan keadaannya. Dia selalu mendorong dirinya dan dunia ini. Alasan dia memasuki Fakultas Kesehatan di Universitas Tokyo adalah dia ingin mengubah dunia melewati ilmu kedokteran. Dia memiliki kepintaran dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengejar cita-citanya.

Hari ini, aku mengerti kalau tidak mungkin aku bisa mengalahkan seseorang yang seperti Iroha dengan hanya belajar. Iroha sudah sedikit lebih tenang karena kemunduran yang dia derita, tapi setelah dia selesai beristirahat, dia pasti akan terus berusaha merevolusi dunia.

Ada perbedaan secara fundamental antara aku dan Iroha. Aku tidak bisa seperti dia, juga tidak ingin seperti dia. Aku tidak begitu peduli pada dunia. Aku senang asalkan keluargaku dan aku bisa punya kehidupan yang baik. Karenanya, aku tidak akan pernah bisa menyaingi Iroha.

Begitulah, aku sudah bisa menerimanya.

Iroha dan aku punya ketertarikan yang berbeda. Sekarang setelah dia menaikkan (menurunkan?) pangkatku jadi "penghancur klub", aku menemukan ketertarikanku.

Aku ingin memanipulasi orang lain, aku ingin mengendalikan mereka seperti boneka.

Dan, ya, ini hasrat yang rada berbelit. Singkat kata, aku tidak bisa menyebut ini indah. Tapi kelihatannya aku punya bakat mengendalikan orang lain, dan aku bisa menggunakan bakat ini untuk digunakan di masyarakat.

Ada beberapa Humas industri yang mempekerjakan strategi radikal dengan 10 prinsip.


1.Manipulasi orang agar banyak membeli

2. Manipulasi orang agar cepat-cepat membuang

3. Manipulasi orang agar menghabiskan uangnya

4. Manipulasi orang agar mengabaikan musim

5. Manipulasi orang agar lebih banyak membeli hadiah

6.Manipulasi orang agar membeli lebih banyak produk yang serangkai

7. Manipulasi orang agar mengambil setiap kesempatan untuk membeli

8. Manipulasi orang agar mengikuti tren

9. Manipulasi orang agar langsung membeli produknya

10.Manipulasi orang agar tetap semangat ingin membeli

Waktu aku baca isinya, aku pikir, ini dia.

Ini artinya aku bisa meningkatkan ekonomi dan membantu masyarakat kalau aku mempergunakan kemampuanku dan memberikan keleluasaan pada hasratku. Masiha da tempat untuk orang seperti aku.

Aku ini adalah seorang penghasut. Aku ingin melihat sekumpulan orang tak berotak mengikuti iramaku.

Hidupku jadi lebih mudah setelah menemukan jalanku. Aku tau ke mana aku harus pergi dan tidak perlu membuang-buang waktu juga tenaga. Aku pun sudah mulai mencari pekerjaan di Humas industri atau media massa.

Kalalu aku sukses menjadi penghasut, mungkin aku bisa bekerja sama dengan Iroha untuk revolusi. Kalau itu terjadi, kami akhirnya akan sejajar dan aku bisa ambil bagian dalam mengubah dunia. Aku pastinya tidak akan punya masalah lagi dengan masalah kelemahanku lagi.

Tapi—

"Aku tidak perlu sesukses itu."

Aku sudah cukup asal bisa membuat seseorang jatuh cinta padaku, dan membangun keluarga bahagia. Hanya itu yang kuinginkan.

"Kazuki-san..."

Orang itu tidak akan menjadi cinta pertamaku, sih.

"Hah..."

Senyuman tampil di bibirku selepas aku mendesah.

Kazuki-san milik Otonashi Maria seorang, tapi tiadk tau kenapa, aku merasa memang sebaiknya begitu. Aku berfirasat kalau perasaanku padanya tidak perlu terbalaskan.

Aku langsung tertawa waktu aku dengar pengumuman yang dibuat Otonashi-san setelah Iroha dan aku lulus. Kazuki-san, kamu mendapat ikan yang besar! Aku ikut senang!

Tapi aku yakin kamu membutuhkan kekuatannya sekarang.

"Ah."

Mentari yang terbenam mulai mewarnai langit dengan indah. Pantulan dari air inilah yang aku cari-cari. Aku memilih untuk mengambil fokus pada sepasang kekasing yang berendeng di atas perahu dan mengambil fotonya. Setelah diambil beberapa jepretan dari beberapa sudut dan pencahayaan yang bedam aku akhirya berhasil menemukan yang bagus.

"Mm!"

Aku bisa mengambil foto-foto yang indah, dan aku akan bisa mengambil lebih banyak lagi.


Masih dua tahun lagi sampai datangnya hari yang dijanjikan Otonashi-san.

Aku ingin lebih dekat lagi dengan mimpiku sebelum saat itu. Aku ingin lebih percaya diri juga.

...Kalau mungkin, aku juga ingin menemukan seseorang yang lebih tampan darimu, Kazuki-san!

Ya, itu mungkin adalah keinginanku.








+++ 14 Agustus, Usui Haruaki (19) +++[edit]

Hingga titik balik dalam hidupku, hatiku dikabuti kegelapan total.

Pilihanku untuk menyerah menjadi pemain baseball profesional demi bisa memasuki SMA yang sama dengan Oomine Daiya dan Kirino Kokone berakhir dengan ending yang terburuk. Daiya jadi sombong dan tertusuk, Kiri shock berat yang mungkin tidak akan bisa tersembuhkan, dan Hoshii tidak bisa bicara lagi. Aku kehilangan semua teman-temanku.

Keseharianku sudah hancur.

Di saat-saat yang sangat buruk itu, aku jadi sangat menyendiri. Aku melihat semuanya melalui kabut yang terlampau padat hingga tiada ada yang kelihatan berarti. Entah kenapa aku berhasil memaksa diriku untuk menghadiri kelas, tapi tidak ada gunanya aku melakukan itu; yang aku lakukan cuma terus bergerak macam serangga tak berotak. Ada kalanya aku pulang ke rumah tanpa mengatakan apapun seharian.

Waktu berlalu seperti ini dan angkatan Shindou Iroha sudah lulus, Kiri keluar sekolah, orang tua Hoshii memilih untuk mengabsenkannya sampai waktu yang belum tentu, dan Kasumi pindah. Saat aku kelas tiga, aku sendirian. Ingatanku di saat itu samar.

Tetapi, kegelapan yang mencekik aku dihilangkan oleh kata-katanya Otonashi Maria.


Tanggal 15 Juli, Otonashi Maria dilantik sebagai ketua OSIS. Aku menjadi murid kelas 3 dan ini sudah 9 bulan sejak teman-temanku pergi.

Semua murid dipanggil ke gedung olahraga—anggota kepengurusan OSIS menyerahkan tugas mereka pada generasi selanjutnya. Tidak seperti biasanya, murid-murid menunggu upacaranya dimulai dengan nafas yang tertahan, dengan tatapan yang terfokus pada podiumnya.

Tentunya mereka tidak sedang melihat ketua yang lama, yang lengser. Perhatian mereka tertuju pada ketua yang baru, Otonashi Maria.

Dia sering mengunjungi kelasku untuk melihat apa yang sedang aku lakukan, tapi aku selalu mengabaikannya. Aku tau dia tidak sepenuhnya jadi biang masalah, tapi aku tidak bisa baikan lagi dengan dia.

Tanpa sadar, aku pasti merasa kalau dia, si orang luar, adalah orang yang mendatangkan malapetaka dalam hidup kami.

Si Otonashi Maria yang kulihat di podium sudah kehilangan sifat misteriusnya. Di sisi lain, karismanya masihlah belum terkalahkan: dia memenangkan suaranya dengan perbedaan yang sangat signifikan, yang jadi alasan kenapa dia jadi begitu tersorot. Terlebih, tidak ada yang lupa bagaimana dia menerobos masuk murid-murid seperti Musa yang membelah Laut Merah dan menemui Hoshii di upacara penerimaan murid baru.

Situasinya hampir mirip, jadi orang-orang berharap ada sesuatu yang tidak biasa, terjadi.

Otonashi Maria memulai pidato pelantikannya dengan sikap yang biasa dan sopan. Dia berhasil mencapai hati para pendengar.

Untuk waktu yang cukup lama, hawa-hawa kegelisahan telah menutupi seantero sekolah; hawa kegelisahan ini kelihatannya disadari oleh setiap orang di sana. Beberapa insiden buruk terjadi (seperti insiden pembunuhan misterius atau Manusia Anjing), tapi kami juga merasa kalau sesuatu yang jauh lebih kelam telah menimpa kami—karena ada sesuatu yang keliru dengan ingatan kami.

Kami tengah dikendalikan seseorang namun kemudian dilepaskan.

Sulit untuk dijelaskan karena tidak ada alasan yang konkrit mengenai perasaan ini, tapi ini selalu menghantui kami bagai kutukan. Setiap orang bisa merasakan kesesakkan, ketegangan dari atmosfir yang mengisi sekolah. Ada perjanjian tidak tertulis yang tidak pernah kami bicarakan; yaitu pembicaraan yang tabu karena tidak ada seorangpun yang mau membicarakannya.

Tetapi, Otonashi Maria memecah keheningan itu dengan kata-katanya. Dia menjelaskan perasaan ini dengan jelas dan langsung sambil dia rincikan, dan bahkan mengusulkan cara-cara untuk menghilangkannya. Pidatonya dapat dimengerti dan dilaksanakan.

Itu memang adalah apa yang murid-murid inginkan. Mereka mendengarkan pidatonya dengan nafas tertahan dan meyakinkan diri supaya tidak ketinggalan satupun kata.

Wow, dia luar biasa, kataku pada diriku sendiri. Tapi itu saja tidak bisa mengembalikan teman-temanku, pikirku setelahnya. Jadi, pidato cemerlangnya tidak berkesan banyak buatku.

"—Saya akan berusaha semampu saya supaya murid-murid di sekolah ini bisa menikmati keseharian di sekolah yang bermanfaat. Saya Otonashi Maria, ketua OSIS yang baru."

Para hadirin mulai bertepuk tangan, mengira kalau pidatonya berakhir, tapi dia mengangkat tangannya dan memberi isyarat pada mereka untuk berhenti.

"Terakhir, aku ingin membuat satu pengumuman."

Dengan perubahan nada dan ekspresi yang tiba-tiba, dia meneruskan:


"Hoshino Kazuki dan aku akan menikah setelah umurnya 20 tahun."


"...Apa?" gumamku, bingung akan pernyataannya yang tiba-tiba.

Semua yang ada di sini, termasuk guru-gurunya keheranan.

"Kami akan menikah dan bahagia. Lebih bahagia dari siapapun."

Namun meski kata-katanya begitu, dia menangis.

Hampir semua orang tau soal keadaan Hoshii sekarang. Hampir semua orang juga tau kalau Otonashi Maria adalah pacarnya dan mengurusinya setiap hari.

"Ini demi kebahagiaanku sendiri!"

Apa dia menangis karena sedih? Tidak. Pengumumannya bukanlah keegoisan, karena bisa dilihat dari ekspresinya yang kelihatan berat hati.

Kalau begitu

Perasaanku mengatakan padaku apa sebenarnya itu.

Itu—permintaan maaf untuk kami semua.

Tidak tau kenapa, Otonashi Maria merasa bersalah atas atmosfir aneh yang menyebar seantero sekolah. Dia meminta maaf pada kami. Dia berusaha menebus dosanya.

Hoshii pasti jadi orang yang paling menderita karena atmosfir aneh ini, sehingga kesehariannya sangat sulit untuk kembali. Untuk menikah dan bahagia, itu adalah syarat yang memang diperlukan supaya ia kembali normal lagi.

Dengan kata lain, Otonashi Maria mengumumkan kalau dia mau bertarung untuk mengembalikan keseharian yang sudah sangat koyak.

Kalau dia berhasil, pasti dia juga akan melepas kami dari perasaan yang tidak mengenakan ini.

Dia menganggap ini jalan terbaik untuk dia menebus dosanya. Itu kenapa dia pasti akan berhasil.

Aku yakin hadirin di sini tidak bisa alasan dibalik pengumumannya ini, tapi hanya dengan melihat wajah dan mendengar suaranya saja sudah cukup untuk mengungkap pesan sebenarnya—yang mana tidak ada egoisnya sama sekali.


—Keseharian kami akan kembali.


Dengan tangan yang mengepal dan mata yang berkaca-kaca, Otonashi Maria menundukkan kepalanya di depan semua orang, dan para hadirinnya pun bertepuk tangan. Itu adalah titik balik begiku. Di saat tepukan tangannya berlangsung, kabut yang menutupi diriku langsung terangkat. Dadaku merasa lega dan kehangatan ini membuat hatiku yang beku bergerak kembali.

Deg! Deg! aku belum mendengar jantungku yang berdetak lagi sejak lama.

Ah, aku mengerti...

Aku juga ingin dimaafkan. Selama ini aku tidak bisa memaafkan diriku karena mengecewakan temanku di saat mereka membutuhkan aku. Itulah alasan dari kabug kegelapan di hatiku.

Aku jadi sadar kalau aku pun harus mencari cara untuk menebus dosaku—kalau aku ini tidak akan bisa maju sampai aku memaafkan diriku sendiri.

Aku jadi memutuskan untuk mencari cara agar bisa menebus dosaku dengan baik.


Otonashi Maria mungkin telah membuat atmosfir yang mencekik di sekolah, tapi tidak ada satupun temanku yang kembali di waktu aku masih SMA. Tapi meski masih sendiri, aku berhenti menghabiskan waktuku seperti mayat hidup.

Bekerja keras untuk menebus dosaku, aku mengerahkan segala kemampuanku untuk segala hal yang aku lakukan. Aku ingin menghabiskan waktuku dengan baik, meskipun tidak ada manfaatnya. Sebagai hasil dari keputusan baruku dan sebagai kartu as dalam timku, aku membawa tim baseball sekolahku ke posisi runner-up di turnamen baseball lokal kala musim panas itu.

Setelah lulus SMA, aku memasuki universitas. Aku memilih Universitas Waseda[2]; nilaiku tidak begitu bagus, tapi aku dapat rekomendasi dari tim baseballku, mungkin karena performaku di turnamen musim panas.

Tapi meski diterima, aku ini hanyalah salah satu anggota yang inferior di tim baseballku. Yang lainnya, yang sudah berlatih dan membentuk tubuhnya dari sejak SMA, dengan mudah mengalahkan aku dari segi kekuatan. Alhasil, dengan berlatih pun aku tidak bisa mengejar mereka. Malah, aku sangat payah, sampai-sampai supervisor tim ku diam-diam menyuruhku menjadi manager timnya. Dilihat dari kemampuanku saja, mungkin aku akan menghabiskan waktu empat tahun di sini tanpa sekalipun bermain dalam pertandingan resmi.

Tapi tidak masalah buatku. Aku akan mengabdikan waktu empat tahun dalam universitas ini untuk baseball, meskipun aku tidak akna sukses.

"Usui! Pakai tubuh bawahmu waktu melempar!" pelatih kami, Miyashiro tiba-tiba saja berteriak sewaktu aku berlatih di bullpen[3]. Ia bukanlah orang yang bisa ditemui di tempat balap kuda ataupun lapangan baseball, jadi kau tidak mungkin tau ia adalah seorang pelatih kalau bukan karena seragamnya. Ia adalah satu-satunya yang punya ekspektasi positif padaku.

"...Pak, boleh tanya sebentar?"

"Ya? Apa?

"Kenapa bapak menominasikan saya untuk rekomendasi? Ya, ‘gini, masih banyak pemain lain yang bisa papak pilih."

"Siapa bilang saya yang menominasikan kamu? Yah, tidak penting, sih. Kenapa saya memilih kamu? Tidak maulah saya kasih tau kalau kamu cuma mau menghibur diri dair permainan jelekmu itu!" tegasnya.

"Enggak, saya cuma mau tau kekuatan saya ini bagaimana. Kalau memungkinkan, saya ingin menguatkannya lagi."

"Hmm... oke, kalau ‘gitu." balasnya dengan garukkan kepala. "Yah, untuk orang yang lembek seperti kamu, lemparan kamu sudah sangat bagus. Boleh saya bilang, kamu punya potensi di bidang ini."

"Tapi karena saya lembek, saya jadi sulit untuk ‘ngejar yang lain waktu latihan."

"Kamu cukup kritis sama diri sendiri, ya? Tapi kamu tidak begitu depresi, tuh. Hm... bukan itu. Matamu."

"Mata? Karena mata saya menyilaukan gara-gara antusias?"

"Dengkulmu. Kalau iya pun, masih banyak pemain lain yang antusias di balik batu. Sebenarnya, saya tidak bisa melihat ambisi apa-apa dari matamu, meskipun itu seharusnya jadi sesuatu yang dimiliki setiap profesional. Tapi, kamu tidak kelihatan begitu srek dengan baseball. Kamu sampah."

"Sampah...?"

"Tapi," timbalnya sembari menggaruk janggutnya, "kamu punya mata seperti orang yang tau penderitaan."

Aku terdiam.

"Itu akan menjadikan kamu tidak putus asa waktu sedang di saat-saat terakhir, dan kamu tidak akan mudah hilang ketenangan saat turnamen. Sebenarnya sudah kelihatan dari waktu pemilihan, ingat? Masih banyak pemain yang lebih hebat di sekeliling kamu, tapi kamu justru masa bodoh."

Memang benar aku tidak begitu memerhatikan kemampuan orang lain; karena akhirnya, kita cuma bisa melakukan yang terbaik yang kita bisa.

"Saya kenal dengan seseorang yang punya mata sama dengan kamu. Ia juga seorang pitcher tapi harus keluar karena masalah dengan pundaknya waktu bertanding di Stadium Koushien[4].. Ia langsung sangat down sampai saya takut ia bakal bunuh diri, jadi aku membujuknya untuk ikut tim baseball di sini. Orang itu, ia berlatih ‘tiap hari sampai titik penghabisan, tapi sekalinya ikut pertandingan, ia memukul bola seperti orang gila. Pukulannya terlalu kuat sampai-sampai saya sendiri menanyakan rahasianya. Menurutmu apa katanya?"

Pak Miyashiro menyeringai.

"’Aku tidak akan mati kalaupun meleset."

Ia menghela nafas panjang.

"Menurutmu bagaimana? Saya sebenarnya tidak begitu paham, tapi saya rasa kamu mengerti, ya?"

"...Sekarang orang itu ‘gimana?"

"Coba saya pikir, kira-kira setahun ia dapat berapa ratus juga yen, ya?"

Aku mengerti. Ia punya harapan tinggi padaku karena ia mengingat pemain itu dari dalam diriku, bukan karena kemampuanku semata. Tapi aku tidak akan terlena karenanya.

Aku jongkok dan mengambil bolaku.

"Pemain itu punya bakat," timbalku.

"Mungkin. Toh kamu boleh jadi bisa, siapa tau. Entah kamu ini punya bakat atau tidak. Kamu kecewa?"

Aku menyandarkan tanganku yang dibaluti sarung tangan pada bolanya.

"Pak... masih ada satu orang yang belum bisa saya tandingi seumur hidup saya."

"Hm? Mungkin saja orang itu monster karena kamu bilang begitu. Maksud saya, kamu tidak pernah berpikir kalau kamu ini sama payahnya dengan Yoshino, ‘kan?"

Yoshino adalah seorang pitcher yang menolak jadi profesional demi memasuki klub kami dan main di baseball antar kampus.

"Seorang pro? Siapa namanya?"

Aku jawab:

"Oomine Daiya."

"...Belum pernah dengar."

"Wajar. Tapi ia selalu jadi panutan aku."

Setelah menenangkan nafasku, aku mengayunkan tanganku dan menerjang ke bawah dengan kaki kiriku. Impuls yang kuat terlontar dari tubuhku, lurus sampai ke ujung jari tangan kananku. Otot-ototku bergetar saat tubuhku mengurus semuanya; tanganku melakukan lemparan menurun yang kuat.

"Oh, tinggal memberi lemparanmu sedikit putaran! Ini baru lemparan!"



Sejak saat pengumuman Otonashi Maria, aku sudah memberikan segalanya. Aku telah lari lurus tanpa tau ke mana aku pergi.

Sekarang aku mulai mendapat hasilnya. Akhirnya aku mengerti apa kekuranganku.

Kenapa aku tidak bisa menolong siapapun?

—Karena aku tidak memiliki "determinasi".

Aku selalu menonton dunia dari luar dan menghindari kontak langsung. Aku juga tidak begitu ingin berhubungan langsung dengan hubungan Daiyan dan Kiri. Aku percaya adalah hal yang bernar untuk memberi jarak supaya tidak menyakiti siapapun. Aku berkesan kalau aku bisa saja menghancurkan segalanya kalau aku tetap jauh-jauh.

Yah, mungkin saja hal ini baik, tapi masa bodoh! Mungkin saja aku harus menghancurkan semua!

Mungkin saja aku seharusnya mengambil Kirino Kokone dari Oomine Daiya.

Kamu tidak bisa membuat perubahan tanpa keberanian dan determinasi. Tidak menyadarinya sewaktu dibutuhkan adalah kesalahanku.

Oomine Daiya—ia selalu memiliki determinasi ini. Aku tidak bisa bilang menolak kebahagiaannya sendiri adalah hal yang benar, tapi ia sudah punya determinasi untuk tetap di jalan yang telah ia pilih. Masih ada banyak hal yang bisa kudapat darinya.

Dari saat kami bertemu, aku masih belum bisa mengalahkannya.

"Aku tidak akan mati kalaupun meleset."

Aku bisa mengerti arti kata-kata ini. Kita tidak perlu mati hanya karena mimpi dan usaha kita sia-sia, dan kita pun tidak perlu bersedih hati. Kita sama-sama akan menghadapi kesedihan yang lebih buruk lagi, jadi kita tidak takut akan halangan yang menghadang kita. Kita bisa dengan mudah ambil bagian dari taruhan melempar koin sementara yang lain justru ketakutan untuk memilih angka atau gambar.

Daiyan, akhirnya aku mengerti cara agar aku bisa setara denganmu. Tapi tidak sepertimu, aku tidak akan mengorbankan diriku. Aku akan mencari determinasiku sendiri.

Hanya setelah menemukan jawaban dari pertanyaan inilah aku bisa memaafkan diriku karena kelambananku.

Masih ada sekitar setahun lagi sampai hari yang dijanjikan Otonashi Maria datang.

Sampai saat itu aku pasti bisa menemukan determinasiku sendiri. Saat itu akan menjadi saat di mana keinginanku menjadi kenyataan.




+++ 23 September, Kirino Kokone (16)+++[edit]

Saat Daiya datang ke rumah sakit di mana aku tengah memulihkan diri dari luka yang kubuat sendiri, ia sudah keluar dari sekolah. Ia melepas anting-antingnya dan mencat rambutnya menjadi hitam lagi. Waktu ia melihatku di kasur rumah sakit, ia memberiku senyum kecil dan mengelus pipiku.

Tapi, aku tidak bisa merasakan hawa lelaki yang penuh kasih dan riang darinya lagi. Daiya sudah tidak lugu lagi.

Perlahan kau menggenggam tangannya. Mm... aku tidak ingin melupakan sentuhan ini.

Saatku lepas tangannya, ia menarik tanganku lagi. Itu saja sudah memberitau padaku apa yang akan ia lakukan.

"Kamu mau meninggalkan aku lagi."

Dengan mata yang membelalak, Daiya memberikan senyuman yang miring. "Aku tidak bisa menyembunyikan apapun darimu, ya?"

"Apa yang kamu rencanakan sekarang?"

Daiya tersenyum dengan kurang jelas. "Entahlah."

"Kamu enggak tau...?"

"Sekarang aku tau apa yang penting buatku: berada di sisimu. Kazu mengajariku hal ini dengan cara yang keras."

"Kalau begitu di sini saja bersamaku, bodoh..."

Dengan pelan ia menggelengkan kepalanya.

"...Aku yakin kau mengerti, Kokone. Aku sudah melakukan banyak dosa. Aku bermain-main dan merusak masa depan banyak orang. Kalau aku tidak menebusnya, aku tidak bisa berada di sisimu. Tapi aku tidak tau cara menebusnya. Itu kenapa aku harus pergi mencari cara untuk bertanggung jawab," jelas Daiya dan perlahan menurunkan pandangannya. "Aku ‘kan terus mencari. Mungkin butuh setahun, mungkin sepuluh tahun, dan mungkin aku tidak bisa mencari tau caranya. Tapi intinya, aku harus bisa membawa beban ini untuk seumur hidupku."

"Daiya..."

"Tapi aku bisa menjanjikan padamu satu hal."

Ia menciumku.


"Aku akan kembali padamu, Kokone."


Saat bibir kami berpisah, aku hanya bisa menangis.

"Janji!" kataku.

"Ya."

"Kamu harus kembali padaku."

"Ya."

Daiya menghapus air mataku dengan jari-jarinya.

"Aku tidak akan mengecewakanmu lagi."


Ia bilang ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Ia berjanji bertemu denganku lagi.

Tapi saat aku melihat Daiya lagi, ia sedang berbaring di kasur rumah sakit dan terpasang padanya sejumlah alat-alat pengobatan.

Punggungnya telah ditusuk oleh seorang fanatis yang masih SMP (yang mana langsung ditangkap) dan berakhir di ICU. Meski tidak meninggal, banyaknya darah yang keluar menyebabkan kerusakan di otak dan mematikan kesadarannya.

Daiya koma. Sebuah ventilator[5] mengisi udara ke dalam paru-parunya melalui tenggorokannya, dan dua buah selang oksigen ke hidungnya. Aku bisa mendengar suara ventilator yang mengembang dan mengempis juga suara tiit-tiit dari Elektrokardiogram[6].

Di saat aku melihatnya, aku langsung menangis. Meskipun dadanya masih bergerak ke atas-bawah dan matanya terkadang berkedip-kedip, ia tidak terlihat seperti manusia bagiku. Itu hanyalah makhluk hidup yang dikenal sebagai Daiya.

Sebulan telah berlalu tetapi ia masih belum sadar. Orang tuanya Daiya hampir selalu mengunjunginya setiap hari, meskipun mereka jarang bicara dengannya karena insiden yang berkenaan denganku dan Karino Miyuki. Banyak orang datang ke sini juga: Haru, Kasumi, teman sekelas kami yang lainnya, Otonashi Maria, Yanagi Yuuri, Shindou Iroha, Karino Miyuki, dan bahkan Asami Riko yang tengah bekerja di perkebunan daerah Hokkaido. Beberapa yang juga pemujanya menjenguknya, tapi tidak seperti si perempuan yang menusuknya, mereka semua telah kembali normal. Tetapi, tidak peduli siapa yang datang, kondisinya tidak membaik. Ia tidak memberikan reaksi apapun.

Meski berlawanan dengan kehendak orang tuaku, aku keluar sekolah untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama Daiya. Aku percaya kalau membuatnya mendengarkan perkataanku adalah cara terbaik untuk bisa mengembalikannya.

Tetapi, Daiya tidak kunjung pulih tak peduli berapa lama aku bicara dengannya. Waktu menontonnya sepanjang hari, akusadar kalau ada kalanya ia tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kehidupan, hanya tanda lemah dan tidak ada yang nyata. Tidak ada yang berubah; ia masih hanya cangkang manusia.

Waktu berlalu, kemungkinan ia akan pulih perlahan menurun dan ketakutanku akan kematiannya berangsur-angsur meningkat. Kegelisahan menggerogoti harapanku seperti monster yang kelaparan.

Perlahan aku jadi lumpuh... sampai aku perasaanku pun lenyap.


Sebulan berlalu dan sekarang ini bulang November. Aku sudah jadi sangat kurus sampai akupun menyadarinya. Malah, dokternya Daiya menyuruhku untuk konsultasi ke psikiater.

Aku menyeka air mata Daiya dengan gerakkan halus. Tentunya, tangisan itu hanyalah refleks dan tidak ada hubungannya dengan perasaan. Tiba-tiba, sewaktu aku menyeka wajahnya, aku memikirkan satu hal.

Apakah ini cara ia menebus semuanya? Apakah ia sudah menentukan hukuman ini supaya bisa menebus segala dosanya?

Kalau benar, ia orangnya egois, pikirku. Ia mengabaikan aku.

Aku memegang tubuh bagian bawahku dan menyentuh bekas luka yang mungkin akan terus mengiringku untuk seumur hidup. Itu adalah letak tempatku menusuk diriku sendiri dengan pisau karena aku percaya aku bisa menyelamatkan Daiya.

"Aku tidak peduli kalaupun aku mati asalkan Daiya bahagia."

Dulu, aku berpikir begitu dari lubuk hatiku. Dan aku masih berpikir begitu. Aku mau mengorbankan diriku demi Daiya kapanpun.

Mungkin ia seorang pendosa. Mungkin ia harus memikul doa ini. Tapi apa memang ia harus memikulnya sendirian? Bukankah ia bisa memberikan sedikit dosanya ini pada orang lain seperti aku? Memangnya tidak ada cara lain supaya ia diampuni?

Begitukah? Gara-gara itu ia berakhir begini?

"Cukup."

Kita sudah cukup melihat dunia ini.

Dengan melepas peralatan medis dari tubuhnya, aku bisa menghentikan gerak tubuhnya. Ayo, pikirku. Ayo kita melangkah. Mungkin nyawanya sudah menungguku di surga.

Kalau begitu, lakukan saja!

Aku memegang selang yang terhubung dengan hidupnya.

Tarik saja dan tamat sudah. Tidak ada yang akan menyalahkan aku. Tidak, meskipun mereka menyalahkan aku, aku hanya akan mengikuti Daiya.

...Kamu sendirian, ‘kan, Daiya? Maaf, tapi aku akan bersamamu sebentar lagi!

"Uh...gh..."

Tetapi, aku tidak bisa memaksaku melakukannya, dan melepas tanganku dari selangnya.

Tidak peduli betapa kosongnya cangkang ini, ini masih tetap terlihat seperti Daiya. Tidak mungkin aku bisa mengakhiri hidupnya kalau masih ada kemungkinan untuknya bangun, tidak peduli serendah apapun kemungkinannya.

Aku tau kalau aku memperpanjang masalahnya karena aku takut mengakhirinya, tapi aku tidak bisa apa-apa lagi.

Aku sangat lemah.

Tidak ada lagi hal yang bisa aku lakukan.

Aku memendam wajahku pada tubuh kurus Daiya dan menangis sampai lelah.


Dua bulan belalu dan tahun baru datang, tapi masih belum ada tanda-tanda kepulihan dari Daiya. Ia masih terus bernafas sendiri, mereka bilang kalau ini ada hubungannya dengan kepulihan Daiya. Awalnya dokternya Daiya sudah pesimis, tapi ia jadi lebih terbuka. Orang tuanya Daiya masih percaya ia akan kembali, tapi mereka juga mulai ragu. Mereka bahkan meminta padaku untuk sebaiknya memberi Daiya kematian yang tidak ada rasa sakitnya.

Aneh, ‘kan? Pikirku. Mereka berkata begitu seakan-akan tubuhnya Daiya hidup hanya karena keegoisanku. Meskipun aku adalah yang sangat ingin melepasnya!

"Aku akan melakukan segalanya untukmu."

Itu bukan kebohongan, tapi percobaan bunuh diriku saja gagal. Aku tidak tau apakah boleh menghabisi hidupnya dengan tanganku sendiri. Tidak, meskipun memang boleh, aku tidak bisa melakukannya.

Tapi ada sesuatu yang aku sadari.

Meski aku tidak bisa mengakhiri hidupnya Daiya, aku masih bisa mengakhiri hidupku dengan mudah.

Aku yakin Daiya sedang menungguku di surga, dan kalaupun ia tidak di sana, artinya ia masih hidup, dan itu jauh lebih baik.

Ide yang bagus! Kenapa, ya, tidak aku pikirkan lebih dulu?


Keesokan harinya, aku membawa pisau waktu mengunjunginya.

Kali ini, aku tidak akan menusuk perutku; aku akan mengiris tenggorokanku dan pergi menemui Daiya.

Renacan bunuh diriku muncul di pikiranku karena adanya sesuatu. Otonashi Maria bilang dia akan kemari untuk menjenguk Daiya.

DIa adalah orang yang membuat Daiya masih hidup karena memberinya pertolongan pertama dan menelepon ambulan waktu ia tertusuk. Dia mungkin lupa, tapi tidak akan hilang.

Aku berterimakasih karenanya. Tapi tidak tau kenapa, aku tidak baik dengannya seperti dulu.

Otonashi Maria membawa kotak musik dan menaruhnya di dekat telinga Daiya. Kelihatannya, ada kejadian di mana kotak musik menyadarkan kembali pasien. Yah, itu percuma, kiraku karena aku ragu ia akan bereaksi pada hal begituan kalau suaraku saja tidak didengarnya.

Enyah saja dari sini supaya aku bisa mati.

"...Kirino."

Tiba-tiba, Otonashi Maria memeluk aku dengan erat.

"Eh?"

Apa aku kelihatan begitu depresi?

...Bukan, dia tidak sedang memelukku—dia memeriksa sedang memeriksa poketku.

"Ah..."

Dia mengeluarkan pisauku dengan memegang salut kulitnya dan menghela nafas saat melihatnya.

"Aku heran kenapa kamu begitu gelisah, tapi aku tidak mengira hal ini... Apa yang kamu—Tidak, tidak usah bilang. Aku sudah tau."

Sikap sok taunya bikin aku naik pitam.

—Sok mengerti perasaanku!

"Kembalikan!" teriakku dengan histeris. "Kembalikan, kembalikan, kembalikan!"

Aku tau suara sekeras ini bisa membawa susternya ke sini kapanpun, tapi aku tidak bisa sabar lagi dan menyerang Maria.

Seranganku sia-sia saja. Dengan cepat dia bergerak ke belakangku dan membekuk dan mengunciku dengan mengunci sendirku.

"Lepaskan! Lepaskan aku! Kembalikan pisauku!" teriakku dan karena tak dapat menahan letupan emosinya, menajutkan kata-kataku di ambang tangisan. "Ini satu-satunya cara! Satu-satunya cara untuk bisa melihat kematian Daiya!"

"Ya apun! Kenapa kalian ini begini, sih?!"

"Apa?!" sahutku.

"Aku respek pada ketetapan hatimu dan Oomine, tapi mengorbankan dirimu untuk satu sama lain itu salah besar. Percuma. Itu hanya akan membuat kalian berdua sedih, karena Daiya hanya memikirkan kebahagiaanmu seperti kamu yang memikirkan kebahagiaannya. Apa kamu lupa kamu ini sangat menderita ketika posisimu ada di posisinya?! Kenapa kamu menutup telinga dari hal ini, ya ampun!"

Nada tegasnya membuatku tersentak, tapi aku masih membalasnya:

"Justru kamu! Yang sekarang mengorbankan diri untuk Kazu-kun, ‘kan?!"

"Tadinya aku adalah perwujudan dari pengorbanan diri, tapi yang dulu ya dulu. Aku bersama Kazuki demi diriku sendiri. Kazuki juga butuh aku dan tidak bisa bahagia tanpa aku. Aku tidak mengorbankan diriku lagi, aku tidak bisa," tanggapnya.

Aku masih memandang marah dia.

"Apa kamu tau kenapa kamu membuat kesalahan seperti mengorbankan diri sendiri?" tanya dia. "Dulunya aku seperti kamu. Itu kenapa aku tau." Lalu dengan santai dia menjelaskan:

"Itu karena kamu lemah. Karena kamu tidak bisa menghadapi kenyataan."

"M-Memang aku tidak bisa menghapadi kenyataan! Mana bisa aku hidup kalau Daiya—orang yang aku cintai ini hanyalah seorang sayuran?! Ia segalanya bagiku! Dunia ini telah mengambil semua dariku! Apalagi yang masih tersisa untukku?!" aku menjerit: "Apalagi yang harus aku lakukan?!"

Aku kira dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Aku kira tidak ada jawaban pada pertanyaan ini.

Tetapi, Otonashi Maria menjawab tanpa ragu.

"Percaya Oomine akan pulih."

Aku menggigit bibirku.

Ngomong doang gampang!

"Memangnya untuk apa percaya?!" seruku. "Aku tau betapa buruknya dunia ini, ya aku tau. Memang seberapa kehilangannya kamu? Masa iya aku harus percaya keajaiban?!"

"Aku tidak pernah bilang untuk percaya pada dunia ini. Aku juga tau kalau dunia tidak mendengarkan doa-doamu."

"Iya, ‘kan! Kalau begitu kasih aku—"


"Tapi aku percaya pada Kazuki."


"Apa? Apa yang kamu—"

"Aku tau kalau Kazuki tidak akan meninggalkan aku sendiria, aku percaya dari lubuk hatiku kalau ia akan kembali ke dalam kehidupanku lagi."

"...K-Kenapa... kenapa kamu bisa begitu percaya...?"

Ya. Otonashi Maria juga ada di situasi yang sama denganku. Dia seharusnya sama sedihnya denganku, tapi dia kelihatan begitu penuh harapan.

Kenapa? Apa bedanya dia dengan aku?

—Aah, perbedaan kami sudah jelas sekali.

‘Apa kamu tidak percaya kalau Oomine mau meninggalkanmu dengan cara seperti ini?"

Dia percaya pada orang yang dia cintai.


"Aku akan kembali padamu, Kokone."


Daiya telah berjanji.

Tetapi, aku tidak percaya kata-katanya sedikitpun. Bahkan lebih buruk lagi, aku, yang sangat ia hargai lebih dari apapun, mencoba bunuh diri.

Seburuk apa aku telah mengkhianati Daiya?

"Aku... Aku—"

Tapi kalau aku benar, aku tidak bisa begitu optimis. Aku tidak percaya kalau perasaannya saja bisa membawanya kembali padaku.

"...Daiya...apa yang harus aku—eh?"

Daiya menangis. Ia menangis tanpa suara.

Hanya refleks? tanyaku. ...Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi dengan timing yang begitu pas.

"Ah..."

Suaraku tersampaikan padanya. Tapi ia hanya bisa melihat dan menyalahkan dirinya sendiri saat aku jadi ingin bunuh diri. Betapa buruknya, betapa memalukannya hal itu?

Aku tidak menyadarinya dan hampir mengambil sesuatu yang sangat ia pendam, tidak sadar akan betapa kejamnya aku.

Tanpa aku, benang yang hampir tidak menghubungkannya dengan dunia akan putus. Ia tidak akan bangun lagi.

Akhirnya kusadari itu.


"Daiya membutuhkan aku."

Seperti aku yang membutuhkannya.


"Maaf," maaf karena tidak mengerti hal sesimpel ini. "Maaf...!"

Aku memeluk tubuh Daiya dan menangis.

Otonashi Maria dengan tenang menungguku reda. Dia sudah menyalakan kotak musik yang telah dia bawa untuk mengelilingi kami dengan irama yang menenangkan.


My suicidal plans caused on thing to completely slip my mind. Maria Otonashi had said that she’d come by to visit Daiya that day.

She’s the one who kept Daiya’s body alive by providing frst aid and calling the ambulance when he was stabbed. She seems to have forgotten about that, but the records don’t lie. Setengah tahun berlalu. Sekarang bulan Juli.

Aku dengar Otonashi Maria dipilih menjadi ketua OSIS dan dia telah mengumumkan pernikahannya dengan Kazu-kun.

Tidak akan ada yang menyadari hal ini, tapi aku tau kalau dia harus sangat kuat supaya tidak kehilangan kepercayaannya pada Kazu-kun. Begitulah, melihatnya seiap hari dan tidak mendapat respon apapun itu menyakitkan.

Jadi, aku rasa pengumumannya cukup menginspirasi buatku.


Tiba-tiba, aku melihat mata Daiya tengah melihat senyumanku. Ada pikiran yang tergunakan di balik tatapannya untuk pertama kalinya sejak lama sekali.

"Eh...?"





+++ 3 Oktober, Hoshino Kazuki (19)+++[edit]

───────────────────────────────── ─────────────────────────────────── ─────────────────────────────────── ──────────────Pikiranku berlanjut. Tiba-tiba. Informasi dari luar belum bisa aku terima hingga saat ini. Kepalaku kacau. Aku di sini, tapi kesadaranku jauh. Mencoba mengendalikan tubuh, tapi tubuh tidak bereaksi. Tubuh bergeral sendiri dan lepas dari kendali pikiran.

Tapi sekarang aku bisa menggerakkan tubuhku. Tapi tidak sesukaku. Seperti mengendalikan remot kontrol. Kadang aku menekan tombol yang salah.

Meskipun pikiranku kacau, aku masih bisa mendapat pengetahuan tentang bahasa lagi. Karena seseorang berbicara padaku. Pengetahuan umum juga kembali aku dapatkan. Tetapi, ingatanku berpecahan dan tidak seperti punyaku. Terpencar seperti puzzle, dan aku tidak bisa menyatukannya kembali. Entah bisa atau tidak.

Aku mencoba berjalan mengitari rumah. Tidak ada siapa-siapa di sini. Kakak, Luu-chan juga tidak di sini. Omong-omong, dia sering menangis dan bilang kalau aku bukan aku. Jadi, aku selalu mengira kalau tubuh ini tidak ada hubungannya denganku. Aku pikir aku sedang menonton video yang aneh. Itu salah. Aku ya aku. Akhirnya aku menyadarinya.

Aku pergi ke dapur, kubuka lemari di sana dan memakan kue yang sudah dibeli. Aku bisa makan waktu aku bukan aku. Kurasa ibu selalu menanyakan padaku apakah rasanya enak, tapi entahlah. Aku hanya tau kalau makanan pedas menyebabkan aku jadi aduh. Aku tidak suka rasi yang harus aku makan setiap hari. Nasi itu basah dan tidak ada rasanya. Aku Cuma makan yang manis-manis. Karena "manis" adalah rasa yang bisa aku mengerti. Di satu hari, ibuku menaburi "Furikake"[7] di atas nasiku. Tiba-tiba jadi ada rasanya dan aku jadi suka nasi. Bumbu itu bagaikan sulap.

Waktu kutunggu di pintu masuk, pintunya terbuka. Orang yang berdiri di sana melihat aku dengan rasa kaget—mungkin gara-gara aku jarang keluar kamar—tapi kemudian dia tersenyum.

Itu wanita yang tinggal di kamar yang sama denganku. Dia harum dan aku jadi senang saat aku melihatnya. "Aku pulang, Kazuki. Aku mengunjungi Usui hari ini. Kamu tidak akan percaya otot-ototnya sudah luar biasa sekarang!" aku tidak tau apa ‘Usui’ itu, tapi aku mengangguk-ngangguk beberapa kali. Tiba-tiba, wanita itu menyipitkan matanya. "...Aku mengerti sesuatu dari mata kamu. Kamu mengerti apa yang aku bilang tadi?" Aku mengangguk lagi. Dengan wajah yang memerah, wanita ini memanggil keluargaku. Tapi mereka tidak sedang di sini. Apa aku harus beritau dia? Aku mencoba namun gagal karena pikiranku tidak bisa diubah ke dalam kata-kata. Aku hanya bisa membuat suara-suara yang tidak berarti.

Rasanya kepalaku bercampur aduk, seperti isinya dimasukkan ke dalam mixer. Mengembalikannya ke tempat awal sangatlah sulit.

Tapi aku mengingat kata-kata yang sangat penting.

Maria.

Itulah nama wanita ini.

Keluargaku senang karena pikiran sadarku kembali. Maria juga senang. Tapi aku masih belum bisa bicara.

Mereka makin sering bicara dengank. Sebelumnya, semua kecuali Maria merasa jengkel waktu bicara denganku, tapi belakangan mereka jadi sedikit lebih senang. Aku pun turut senang.

Aku menghabiskan waktuku diam di kamar. Selama tidak ada yang memanggilku, aku tidak keluar kamar. Maria dan aku tinggal di kamar yang sama, tapi aku tidak ingat sejak kapan. Aku mengira tidak wajar untuk seseorang yang bukan dari keluargaku tinggal bersamaku, tapi keluargaku tidak berkomentar apapun, jadi kurasa ini baik-baik saja. Tapi setiap kali aku mendengar nafasnya di kasur yang ada di atas kasurku, jantungku mulai berdegup kencang dan aku rasa kami tidak seharusnya tidur di kamar yang sama.

Maria dan keluargaku sering membawaku keluar ke rumah, terutama karena sekarang aku bisa berpikir lagi.

Tapi aku benci keluar. Terlalu bercahaya. Terlalu berwarna. Informasi dari hal-hal itu memasuki mataku dan mengisi kepalaku. Cepat atau lambat, aku akan kewalahan dan kepalaku akan sakit. Setiap kali Maria memaksaku keluar dan aku mengerang dengan keras, dia membolehkan aku kembali ke kamar. Tapi setiap kali aku melakukannya, Maria kelhihatan sangan sedih. Dia seharusnya jangan membawaku keluar kalau itu membuat dia sedih.

Ada satu hal yang selalu Maria katakan padaku setiap hari.

"Aku akan menikahimu."

Menikah. Aku mengerti maksud kata-kata itu. Orang yang saling mencintai melakukannya. Tapi aku tidak mengerti; kalau kami hidup bersama, kenapa harus menikah?

"Tapi aku tidak akan memaksamu. Kita tidak akan menikah sampai kamu yang memintanya sendiri."

Dia berkata begitu juga setiap hari.

"Kita juga tidak akan menikah sampai kamu dapat keseharianmu lagi."

Itu juga. Aku bosan.

Aku tidak begitu mengerti apa yang dia katakan, tapi itu membuatku marah. Dia memerintah aku tanpa alasan, meminta aku melakukan sesuatu yang sangat sulit.

Sewaktu aku menolaknya, tiba-tiba Maria terlihat sangat sedih. Lebih sedih dari sebelumnya.

Untuk seharian, entah kenapa dadarku rasanya sakit. Sangat sakit sampai aku tidak bisa tidur dan tangisan meleleh dari mataku. Maria menyadari kalau aku menangis dan turun dari kasur atas lalu memelukku. "Ada apa?" aku menenang. Dia hangat. Aku ingin begini terus.

Akhirnya, aku jadi tau aku merasa sangat sedih karena ekspresi sedihnya Maria tadi. Aku tidak mau melihat dia begitu. Waktu Maria sedih, aku juga sedih.

Apa yang harus aku lakukan supaya dia tidak sedih? Mungkin aku harus mendengarkan setiap kata-katanya. Kalau aku mendengarnya, kami mungkin akan menikah seperti yang dia inginkan. Kalau kami menikah, Maria mungkin akan selalu tersenyum padaku.

Waktu membayangkannya, tiba-tiba saja aku merasa bahagia. Kalau begitu, aku ingin menjauhi hal-hal yang menyakitkan.


Aku mulai sering keluar. Karena Maria ingin aku keluar.

Waktu Maria dan aku berjalan keluar bersama, banyak tetangga kami yang menghampiri. Aku rasa aku kenal mereka, tapi aku tidak ingat pernah bicara dengan mereka. Mereka bilang mereka merasa kuatir dan berharap yang baik-baik untukku, tapi kata-kata mereka tidak seperti apa yang Maria dan keluargaku katakan. Mereka tidak jujur. Dan mereka melihatku dengan mata yang menganggapku jijik. Aku yakin mereka akan melihatku dengan tatapan yang sama kalau aku berdansa sambil telanjang di depan mereka. Itu membuatku marah, dan seringkali saat aku tidak bisa menahan kemarahanku, Maria menatap mataku dan bilang, "Kita pulang saja, ya?"

Aku tidak hanya takut oleh orang yang kukenal; orang asing pun menakuti aku. Kebanyakan hanya mengabaikan kami atau memalingkan mukanya, tapi ada juga yang memberikan tatapan yang aneh. Rasanya tidak enak setiap kali itu terjadi. Tidak seperti saat Maria dan keluargaku melihatku, aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Bisa saja mereka mencoba membunuhku atau Maria kapanpun. Setiapkali aku berpikir begitu, aku tidak bisa bergerak lagi. Lalu dengan lembut Maria berkata, "semua baik-baik saja."

Orang-orang bukan satu-satunya yang menggangguku di luar. Aku juga takut benda besar yang ditembak dengan kecepatan tinggi karena aku pasti akan mati kalau aku kena. Kenapa tidak ada yang peduli? Setiap kali ada mobil atau motor yang lewat di dekatku, aku memegang erat-erat tangannya Maria. Biasanya dia balik mengeratkan pegangannya ke tanganku sambil tersenyum.

Tapi kereta jauh lebih mengerikan daripada jalanan. Kereta adalah kotak besar yang diisi banyak orang. Sangat banyak sampai tubuh kami saling bersentuhan. Aku dihancurkan oleh informasi yang meluap-luap. Pikiranku tidak bisa menahannya. Aku tidak bisa memikirkan banyak orang di saat yang sama. Apa aku kenal sama orang itu tapi aku lupa? Apa smartphone itu semenarik itu? Mereka pasti memikirkan hal yang bermacam-macam seperti aku. Mereka pasti punya kehidupan sendiri. Setiap kali aku memikirkannya, kepalaku rasanya mau meledak. "Jangan hiraukan orang lain," mungkin Maria bilang begitu, tapi itu mustahil. Aku selalu berusaha menahan keinginan ntuk berteriak, tapi aku punya batas. Setiapkali aku hampir tidak kuat lagi, Maria menurunkan aku di stasiun selanjutnya dan mengelus-elus punggungku sampai aku tenang lagi.

Maria selalu tau apa yang aku mau meskipun aku tidak bisa bicara. Dia luar biasa. Aku mulai mengira dia sebenarnya bisa membaca pikiranku


Hari demi hari berlangsung dengan kami belajar keluar rumah. Maria bilang kalau itu memberikan dorongan buatku. Itu memang benar karena aku jadi makin bisa mengendalikan diriku, pikiranku telah lebih tertata pula. Ingatanku juga jadi menyambung dan makin sering kembali.

Tetapi, jalan-jalan biasa di setiap harinya bukanlah satu-satunya tujuan Maria. Dia mencoba membawaku ke suatu tempat, tapi kami selalu kembali karena batas yang kumiliki.

Akhirnya, Maria berkata:

"Kita sampai!"

Rumah sakit. Aku juga sering pergi ke rumah sakit, tapi yang ini lebih besar dari yang sebelumnya. Maria mengeluarkan smartphone miliknya dan menelepon seseorang. Tak lama, seorang wanita dengan rambut panjang muncul.

"Kazu-kun!" kata dia sambil senyum padaku.

Kelihatannya, kami saling kenal... Hm? Aku rasa aku sangat kenal dia. Dia kelihatan lebih kurus dari yang aku ingat, tapi lipatan kelopak mata yang ganda itu sudah menjelaskannya.

Ini Kirino Kokone.

Di saat aku mengingat namanya, rasa sakit yagn tajam menusukku. Aku pasti sudah melakukan hal buruk padanya.

"Kelihatannya ia mengingatmu. Ia merasa bersalah," kata Maria.

"Masa? Aku kagum kamu bisa paham padahal ekspresinya enggak berubah sama sekali."

"Aku bisa banyak mengerti apa yang ia pikirkan," kata Maria sambil dia tepuk punggungku. "Jangan takut, Kazuki. Aku sudah melihat dia di rumah karena dia sudah pernah menengok kamu. Omong-omong, belakangan kamu belum ke rumah kita lagi, ya, Kirino?"

Benar juga—orang yang mirip dengan Kokone datang menjenguk aku sewaktu aku masih belum begitu sadar. Mungkin aku juga sudah melihat wajahnya satu atau dua kali setelah mendapat kesadaran. Oke, sepertinya ingatanku masih belum kembali normal.

Kokone sedikit menekukkan lututnya dan melihatku.

"Hei. Jangan merasa bersalah, Kazu-kun. Aku sebenarnya justru berterima kasih."

Berterimakasih? Meskipun aku sudah melakukan hal yang buruk padanya?

Aku bingung. Kokone memegang pergelanganku dan mulai berjlana. Untuk beberapa kali dia melihat aku, tapi selalu saja ada senyuman yang cerah dari wajahnya.

‘Dia senang karena kamu berhasil kemari. Dia menyemangatimu, Kazuki. Terlebih—" Maria meneruskan kata-katanya sambil dia mengangkat kepalanya, melihat sebuah ruangan di rumah sakitnya. "Ada seseorang yang hanya bisa kamu temui di sini."

Lalu Kokone bilang:

"Kazuki-kun, temui Daiya!"


Aku tidak kenal siapa orang yang tengah duduk di kasur, tapi Kokone menyebutnya "Oomine Daiya."

Aku ingat orang dengan nama ini yang pintar, berambut perak dan ditindik. Tapi orang ini beda. Rambutnya hitam dan tidak ditindik. Perbedaannya sangatlah jauh.

Sesaat, aku ragu kalau ia memanglah "orang". Aku tidak tau ada "orang" yang sangat diam. Meskipun ia tenang setenang tanaman, kekuatan yang ada dalam dirinya lebih kuat dari siapapun yang aku tau. Aku tidak pernah ingat pernah menjadi teman dari seseorang yang seperti ini.

Dengan pelan ia menggerakkan kepalanya.

"..."

Suaranya sangat lemah hingga tidak kedengaran apapun. Aku masih ketakutan sama orang asing ini. Maria memberikan dorongan lembut ke punggungnku dan telah mendekatkan telingaku pada mulutnya.

"...Lama tidak bertemu, Kazu," katanya dengan suara sayup seperti kakek-kakek.

Aku merasakan emosi yang campur-aduk, tapi aku masih belum bisa menerima "Oomine Daiya" dengan orang ini dalam pikiranku.

"Maaf, tapi ia tidak mengingatmu, Oomine."

"Oh. Hubungan kita rumit, ya? Jujur, aku cukup terkejut akan apa yang terjadi padanya, meski telah kamu peringatkan. Rasanya seperti ia telah dilahirkan kembali sebagai orang yang berbeda."

"Perbandingan yang kamu buat itu tidak akurat," balas Maria. "Kazuki akan kembali. Ia akan mendapat lagi kesehariannya."

"Ah, ya... Kau benar..."

Ekspresi orang asing ini hanya berubah sedikit. Mungkin ia masih kesulitan menggerakkan ototnya.

"Kalau begitu, aku tidak akan kalah darinya. Aku yakin akan jalan ke depan aula dengan kakiku sendiri di upacara pernikahan kalian.

Sambil mengatakannya, ia mengulurkan tangannya yang kurus, gemetaran, dan sedang tak sehat. Aku juga langsung mengu;urkan tanganku.

Tiba-tiba, bekas luka di tangan kananku menarik perhatianku.

"—Ah."

Sontak aku dibanjiri oleh emosi. Sebuah gambar menerobos masuk kepalaku; aku melihat diriku melihat Daiya di bawah, terus menerus menginjaknya hingga ia tidak bisa bangun lagi. Aku tidak perlu begitu ingat apa yang telah aku lakukan.


Akulah yang sudah membuatnya jadi begitu.


"Ah … AAAAAAAAAAH…!" aku mulai mengerang dengan keras. Aku tidak bisa berhenti meskipun aku tau tidak ada gunanya aku melakukan ini. Selagi aku terus menangis, aku berlutut dan menggesek-gesekkan kepalaku ke lantainya.

"...Otonashi. Apa ini sering terjadi?" tanya ia saat ia meliahtku dengan bingung.

"Tidak... ini kali pertama ia begini."

Aku tidak dapat dimaafkan. Aku merusak hidup orang ini demi keinginan egoisku. Bukan, bukan hanya hidupnya. Aku mengorbankan banyak orang. Sebagai bukti, aku ingat telah membantai orang dengan jumlah yang tak terhitung. Aku ingat telah menjadi sendirian sebagai batunya.

Aku melakukan semua itu demi bisa bersama dengan seseorang yang aku cintai.

Aah... aku adalah pendosa yang terburuk di bumi ini.

"Kelihatannya ia begini karena ia merasa bersalah."

"Begitu, ya..." gumam si orang asing dan kemudian ia bertumpuan pada pegangan tangan dari kasurnya. Ia menggertakkan giginya saat ia memusatkan tekanan pada tangannya. "Kau punya prinsip yang tak tergoyahkan. Prinsip egoisme, jadi aku bisa mengerti kalau kau menyalahkan dirimu sendiri karena terlalu mengikutinya. Tapi jika dilihat kembali, prinsipmu memberikan keuntungan bagi kami juga. Aku ragu ini hanya kebetulan. Sebenarnya, prinsipmu adalah sifat yang positif."

Sembari diiringi kata-katanya, ia berdiri. Meskipun goyah, ia berdiri dengan kedua kakinya.

"D-Daiya... berdiri...?" ucap Kokone dengan mata berkaca-kaca.

"Seperti yang kau lihat, aku bisa berdiri. Aku bisa berdiri lagi dan lagi. Ini berkatmu, Kazu. Aku sudah memaafkanmu sejak lama."

"Aku juga," timbal Kokone seraya menghapus air matanya.

Memaafkan?

Mereka sudah memaafkan aku?

Apa aku boleh begitu saja mempercayai mereka? Apa boleh mereka memberiku hati?

Saatku angkat kepalaku, ia mengulurkan tangannya lagi.

Tangannya masih sekurus sebelumnya, pun masih gemetaran, tapi aku bisa melihat kekuatan dari tekadnya terpancar dari matanya.

Dengan ragu aku menerima salamnya dengan tangaku. Ini tangan dari Oomine Daiya yang aku tau.

Akhirnya, aku bisa menghubungkan orang ini dengan Oomine Daiya.

Aah—

Ia Daiya.

Daiya sudah memaafkan aku.


Setelah hari itu, pikiranku sudah menjadi makin tertata—hampir semua kabut yang berkumpul dalam pikiranku telah terangkat. Aku juga mulai mengerti cara menyaring informasi dari luar dan juga sudah terbiasa dengan banyaknya warna dari dunia luar. Aku juga bisa keluar dari rumah sendiri asal aku telah mengumpulkan keberanian.

Aku juga telah bertemu dengan banyak orang. Misalnya, aku menemui Mogi Kasumi di tempat yang besar, yang disebut dengan pusat rehabilitasi, di mana terdapat banyak orang dengan kursi roda. Dia senang menceritakan hidupnya yang sekarang, meskipun satu-satunya hal yang kuingat darinya adalah kalau dia pernah menjadi teman sekelasku. Tetapi, waktu aku gugup karena senyuman imutnya, Maria memukul kepalaku meskipun dia biasanya lembut padaku. Kami juga pergi ke universitas yang tersohor untuk menemui Usui Haruaki. Ia kelihatan lebih berpendirian ketimbang dulu, yang membuatku agak kebingungan. Aku menemui Yanagi Yuuri di kafe dekat Universitas Tokyo. Dia kelihatan lebih memancarkan feromon[8] ketimbang sebelumnya dan juga menggandeng beberapa lelaki yang tidak kukenal. Yuuri-san memaksa mengambil setiap foto dari Maria, katanya dia adalah subjek yang sangat hebat untuk dijadikan foto, ini membuat Maria merasa sangat malu. Di taman dekat rumahku, aku bertemu dengan Yanagi Nana dan Kijima Touji. Yanagi-san senang dengan perkembanganku lalu mencium pipiku. Maria memukul kepalaku lagi padahal aku tidak melakukan apapun yang buruk.

Aku diterima dengan hangat oleh mereka. Kenapa? Bukankah aku sudah melakukan hal buruk pada mereka? Bagaimana mereka bisa begitu baik padaku? Pada seseorang yang padahal sama sekali tak bisa bicara

Tapi ada sesuatu yang aku sadari setelah bertemu dengan mereka: mereka adalah orang yang penting kalau aku kembali normal. Mereka adalah kunci dari ingatanku yang berpecahan. Dengan bicara pada mereka, perlahan aku bisa menyatukan pecahan itu lagi dan mengingat keseharianku yang seperti biasanya.

Setiap kali ingatanku dikuatkan lagi, aku mendapat bagian dari diriku yang dulu.

Tetapi, meski aku tidak begitu kebingungan sekarang ini, aku masih belum bisa bicara. Pasti masih ada sesuatu yang menyebabkan aku tidak bisa bicara.

Aku mungkin hanya takut. Aku takut aktif ikut berkomunikasi dengan orang lain. Pernah aku memencilkan diriku sendiri karena aku pikir hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku masih tidak bisa menghilangkan ide kalau aku pantas mendapat kesendirian.

Daiya mungkin sudah memaafkan aku, tapi dosaku sangatlah berat. Aku hanya bisa berpikir kalau aku harus mengunci diriku ke kandang kecilku sendiri.

Ah, tapi hal yang tidak bisa aku tahan adalah terpisah dari Maria. Aku yakin dia pun merasakan hal yang sama denganku.


Upacara perpisahan Maria berlangsung hari ini.

Aku menyiapkan makanan untuknya. Aku telah membuat beberapa Karage[9] yang merupakan favoritnya, dan juga salad alpukat. Tentunya, aku juga sudah membeli tart stroberi karena dia tidak pernah mau berhenti memakannya. Tadinya aku takut saat melihat pisau dan api, tapi saat setelah mendapat kesadaran, rasa takut itu pun menghilang. Indera perasaku masih hanya merasakan hal-hal yang manis, tapi karena anggota keluargaku yang lain tidak begitu suka kalau semuanya manis, aku mulai memberikan bumbu pada makananku. Belakangan aku pun dapat respon yang baik.

Awalnya Maria berniat untuk mencari pekerjaan setelah lulus SMA, tapi orangtuaku menyuruhnya untuk kuliah, jadi dia mengubah pikirannya. Maria tidak biasanya mengubah pilihannya setelah dia memutuskan sesuatu, jadi dia mungkin ragu soal pilihan pertamanya, atau mungkin karena tidak mau menolak pendapat dari orang yang telah menyediakan segalanya untuknya. Atua keduanya? Akhirnya, dia lulus dari ujian masuk dan akan memasuki fakultas yang digeluti Iroha-san mulai musim semi tahun ini.

Aku sudah tenang sedikit. Mungkin, hidupku akan berlangsung dengan begini.

Tetapi—

Hal itu terjadi saat aku memasukkan paha ayamnya ke dalam minyak.


"—Ah."

Tiba-tiba, dunia ini ditutupi oleh kabut.

Aku kehilangan hubunganku dari dunia ini dan aku merasa diasingkan. Semuanya jadi tidak relevan. Tidak ada yang berarti lagi. Tidak ada lagi yang penting. Semua ingatanku berpencar ke segala arah dan pikiranku kehilangan fokusnya. Aku menghilang, menghilang, menghilang menghilang— —— (Ah, aku sudah kembali ke kesadaran yang ini.)

Tak ada warna, tak ada kata-kata, tak ada latar. Ini dunia yang lebih tidak jelas daripada mimpi. Aku merasa aku tengah dirantai dan tenggelam ke dalam rawa yang tak berdasar. Aku tidak bisa bernafas.


Aah... tidak seharusnya aku lepas dari rawa ini; aku seharusnya tenggelam di dalam sini. Aku berusaha kembali ke permukaan, tapi tubuhku tidak bisa bergerak lagi. Aku tidak tau lagi yang mana yang atas atau bawah. Aku hanya terus tenggelam ke dalam kekosongan di mana kata-kata "menderita" pun tidak ada.

Tapi dulu, dia tidak pernah menyerah dan terus bicara padaku. Dia masih mau terus memanggil namaku. "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", dengan setiap ekspresi di wajahnya."Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", dengan setiap suaranya. "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", "Kazuki", namun juga selalu dengan cinta dan harapan.

Itu kenapa aku bisa kembali.


"Kazuki!"


Tiba-tiba, kabutnya menghilang dan aku kembali ke dapur. Maria dengan wajah yang kuatir berdiri di sebelahku. Dia telah melempar buket bunga merak mudanya ke meja dan masih memegang wadah tabung yang berisi ijazahnya.

Saatku sadar kembali, aku dengan cepat mematikan kompor tempat aku menaruh wajannya

"K-Kamu tidak kenapa-napa, Kazuki?"

Aku menatap matanya dan menangguk, "Aku baik."

Kelihatannya masih ada "kekosongan" yang bersarang dalam diriku. Aku bisa saja diserang kapanpun saat waktu yang hampir tak ada ujungnya berwujud dan mencoba menghancurkan aku dengan beratnya—berat yang tidak mungkin bisa aku pikul. Kegilaan yang disebut "kekosongan" ini selalu bersembunyi supaya membawaku ke dalam kekosongan lagi.

Tapi aku tidak takut.

Aku tau kalau hal itu terjadi, Maria akan memanggilku kembali.


Maria, satu-satunya keinginanku adalah dengan bisa bersamamu selamanya.

Bagiamana bisa aku mengungkap perasaan ini padamu?

Ah, tapi aku rasa aku tau bagaimana cara mengungkapkannya dengan sepatah kata: aku hanya perlu melakukan hal yang sama seperti kamu yang memanggilku.


Aku membuka mulutku untuk mengatakan hal yang sangat kucintai.

" "

Sudah sangat lama tidak kukatakan sampai aku ragu sudah mengatakannya dengan benar atau tidak, tapi aku yakin dia mengerti.

Karena Maria menangis dengan sangat bahagia.










+++ 8 September, Hoshino Maria (18) +++[edit]

Aku sudah menumbuhkan rambutku hingga panjang seperti dulu demi hari ini. Rambutku diikat dan tertutup kudungku.

Biasanya aku sedikit mirip dengan dia kalau punya rambut panjang, tapi sekarang karena kau sudah 18 tahun, sudah tidak penting lagi. Kemiripannya sudah menghilang.


"Ayo, Maria."


Pintu kapel terbuka dan disambut oleh senyuman teman-teman kami ditengah cahaya mempesona dari latar biru.

Saatku berdiri di sampingnya dengan mengenakan gaun putih, ia menggenggam tanganku dan melihat lurus ke depan.


Kami sangatlah menginginkan keabadian, tapi janji suci ini adalah langkah untuk menuju masa depan.


TAMAT



















Catatan Penerjemah[edit]

  1. Darkroom / Kamar Gelap, adalah tempat untuk fotografer mengurusi urusan fotografis yang sangat sensitif pada cahaya.
  2. Waseda Daigaku/Soudai, adalah universitas swasta yang terkenal dengan wibawanya selain Universitas Keio, namun juga setara dengan Universitas Negeri seperti Universitas Tokyo.
  3. Tempat pitcher/si pelempar bola melempar.
  4. Adalah lapangan baseball yang terletak di Nishinomiya, Perfektur Hyougo. Stadiumnya dibuat untuk melangsungkan pertandingan baseball SMA nasional Jepang dan bisa dianggap sebagai kiblatnya pemain baseball Jepang.
  5. alat bantu pernafasan
  6. Elektrokardiogram/ECG, adalah alat yang digunakan untuk merekam dan mendeteksi denyut jantung.
  7. Bumbu khas Jepang untuk nasi yang dibuat dari potongan ikan teri, rumput laut, abon ikan, Katsuoboshi (makanan awetan dari ikan cakalang, bentuknya serutan), dan makanan laut lain, lalu ditumbuk sampai agak haluscdan diberi bumbu berupa nori, biji wijen, atau sayur yang dikeringkan.
  8. Sejenis zat kimia yang berfungsi merangsang dan memiliki daya pikat seksual pada jantan maupun betina. (Source: Wikipedia). In case ada yang salah paham, yang dimaksud Kazuki bukan zat kimianya, tapi daya pikatnya.
  9. Ayam goreng, biasanya fillet/tak bertulang, dan dibaluti tepung roti seperti Nugget.


Bab 4 Halaman Utama Catatan Pengarang