Oregairu (Indonesia):Jilid 5 Bab 5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 5: Tiba-tiba, Hikigaya Komachi Memikirkan Hari Abangnya Pergi[edit]

5-1[edit]

Sekarang setelah kami memasuki pertengahan kedua Agustus, perasaan liburan musim panas mulai memudar.

Ketika aku menghitung jumlah hari yang tersisa pada bulan ini, aku diterjang oleh perasaan sedih yang menyebabkanku membuat suara yang mengerikan seperti suara dari Rumah Piring di Bancho[1]. Satu haaaari, dua haaaaaari … dua buuuuuulan tidak cukuuuuuuuuup. Jika aku boleh meminta lebih, aku ingin tiga bulan.

Berpikir, “Akhir Bumi cuma tinggal x hari lagi!”, Aku menandakan sebuah “X” pada kalender yang ditempel pada kulkas. Kalau aku menambahkan lingkaran di sana [2], itu akan menjadi Takoyaki Manto Man.

Masih sekitar lebih dari dua minggu lagi yang tersisa pada liburan musim panas. Hei, tunggu apa kamu baru saja melompati waktu? [3]

Oh, kamu pasti sedang bercanda. Apa aku salah menghitung harinya? Aku mengecek kalendernya lagi dan sesuatu telah merangkak ke sekitar kakiku.

“…Ada apa?”

Ketika aku melihat ke bawah, kucing rumah kami Kamakura sedang melihatku dengan wajah tidak senang.

Adu tatap kami berlangsung selama beberapa detik. Kemudian, Kamakura mendengus dari hidungnya dan menggelinding ke atas kakiku. Benar-benar menggangguku.

Kelihatannya dia ingin aku memberinya sedikit perhatian.

Berbicara soal beberapa hari belakangan ini, Komachi benar-benar dekat dengan Sabure… Aku rasa dia bersungut-sungut karena itu dan sayangnya, hanya bisa datang padaku.

Aku duduk ke atas lantai dengan lesu dan menepuk tubuh Kamakura.

Pertama-tama, aku mengikuti arah bulunya, dengan perlahan menggosoknya dari kepala sampai ekornya. Aku melakukannya untuk beberapa saat sampai dia mengerang kemudian aku memberinya pijatan ringan, menggerakkan jariku di sekitar titik-titik vitalnya.

Kamakura menutup matanya sambil menghembuskan nafas lewat hidungnya. Dia terlihat sangat letih.

Kurasa dia akan letih, dengan Sabure terus mengejarnya kesana-kemari setiap kali mereka berada pada ruangan yang sama.

Sabure menunjukkan kegirangan yang umum bagi ras anjing kecil di dalam rumah kami dan berlari mengelilingi tempat ini. Ditambah lagi, dia akan menerjang ke arah Kamakura dengan rasa penasaran yang kuat untuk memintanya, “Ayo main~!” seakan ini yang pertama kalinya dia bertemu seekor kucing. Setiap kali Sabure mengejarnya, Kamakura akan mencari tempat perlindungan di lokasi-lokasi yang tidak bisa dicapai Sabure seperti di atas kulkas atau di balik laci.

Dan sekarang setelah Komachi yang biasanya akan memanjakannya dengan apapun telah dirampas darinya, Kamakura tidak ada pilihan selain datang padaku sebagai komprominya. Yah, maaf kamu hanya bisa bersamaku.

“Yah, kamu tahu. Tahankan saja dan biarkan dia mendapatkan Komachi untuk hari ini… Lagipula, kamu itu abangnya di sini,” kataku pada Kamakura, mengulangi kalimat sama yang diucapkan padaku ketika aku masih kecil.

Aku tidak tahu usia Sabure, tapi dalam sejarah keluarga Hikigaya, Kamakura lebih lama tinggal di sini dan menurut sistem tersebut, dialah abangnya.

Setelah penjelasanku, ekor Kamakura memukul lantai dan dia menyahut balik dengan enggan. Maaf soal itu.

Aku terus menggosoknya, meremas kaki-kakinya dan menepuk perutnya lalu pintu ruang tamu terbuka.

“Onii-chan… Oh? Jarang sekali melihat kalian berdua bersama-sama.”

Aku mendongakkan kepalaku ke arah suara itu dan Komachi sedang memegangi Sabure di dalam pelukannya. Tunggu, apa yang jarang soal pemiliknya bersama dengan kucingnya…?

“Afinitasku dengan kucing lumayan tinggi, kamu tahu.”

“Karena Onii-chan menyerupai kucing.”

Aku tidak tahu apa yang dia maksudkan, tapi mungkin dia sedang membicarakan tentang diriku yang menjadi begitu protektif dengan wilayahku. Tapi aku bisa mengubah itu menjadi sesuatu yang positif.

“Kurang lebih. Kurasa aku cukup mirip raja hewan.”

“Uh huh… Tentu, kenapa tidak.”

“Ada apa dengan jeda itu? Berhenti melihatku dengan mata lembut seperti itu. Tahu tidak kamu? Singa sama sekali tidak bekerja.”

“Wow onii-chan, kamu memang raja hewan!”

“Iyakan?” kataku, tersenyum bangga. Seakan merespon pada kata tersebut, Sabure yang berada dalam pelukan Komachi menggonggong balik.

Ketika dia melakukannya, Kamakura yang sedang tergeletak di bawah kakiku mendengus dan bangkit. Dia membuat kuap “fueeh” seperti seekor kucing bus dan segera melesat ke suatu tempat.

Saat dia berjalan pergi, ekornya mengibas-ngibas layaknya lambaian tangan. Aku melihatnya pergi sambil tersenyum getir.

“Jadi, ada yang kamu perlukan?” tanyaku, seraya berdiri.

Komachi kemudian menjawab setelah tersadar. “Ohh, iya, iya. Onii-chan, kasih aku pinjam ponsel pintarmu.”

“Oke… Mau kamu apakan?”

“Ya, jadi ini, ada satu app yang dinamakan Lingo Anjing atau semacamnya ini. Kalau anjing mengonggong pada app ini, kita akan bisa tahu apa yang sedang dirasakannya!”

“Oh, masa. Mereka punya app semacam itu, huh?”

Praktis sekali. Aku heran apa mereka akan merilis Lingo Manusia juga? Toh, manusia tidak selalu mengatakan apa yang sedang mereka rasakan.

Komachi mendesakku dengan berkata “Cepatlah, cepatlah!” dan aku pergi mengambil ponsel yang kulempar ke atas meja.

Aku mengetuk layarnya dengan jariku sehingga aku bisa mengunduh app-nya. Pada laman ikhtisar berbagai aplikasi, ada app Lingo Anjing dan juga app Lingo Kucing.

“Oh, boleh kamu unduh Lingo Kucing juga?”

“Yep.”

Sesuai yang diminta, aku mengunduh app Lingo Anjing yang diminta sebelumnya beserta app Lingo Kucing itu.

“Nah.”

Setelah app Lingo Anjing selesai diunduh, aku menyerahkan ponselku pada Komachi. Komachi meletakkan Sabure ke atas lantai sehingga dia bisa segera mencoba app tersebut.

“Nah, nah, Sabure. Coba katakan sesuatu.”

“Gong!” (Main denganku!)

“Yah, sudah kuduga begitu.”

Pesan yang tertampil pada app Lingo Anjing itu tidak melewati apa yang kubayangkan dan sebenarnya memang sesuai dengan yang biasanya diinginkan anjing.

Kami mencoba menghadapkan app Lingo Anjing itu ke arah Sabure untuk beberapa saat lagi. Serupa dengan pemiliknya dalam membaca suasananya, Sabure berpaling pada ponsel tersebut dan menggonggong.

“Gong!” (Main denganku!)

“Gong!” (Main denganku!)

“Gong!” (Main denganku!)

“Gong!” (Main denganku!)

…Huh? Apa ini cuma main copy paste?

“Onii-chan. Apa kamu yakin ponselmu tidak rusak?”

“Tidak, seharusnya tidak karena aku tidak banyak memakainya…”

Aku akan mencoba menggonggong dan memakainya pada diriku sendiri. Jika kata-katanya berubah, maka Lingo Anjing itu bekerja seperti yang seharusnya.

Aku segera menyalak untuk melihat masa depanku.

“WONGWONG!” (Aku berharap untuk tidak bekerja!)

Sungguh akurat sekali. Aku rasa mesin penerjemah Excite saja tidak seakurat ini.

“Kelihatannya tidak rusak.”

“Benar. Kelihatannya yang rusak itu kamu, onii-chan…” Saat ini Komachi sudah pasrah denganku dan membuat ekspresi yang mirip seorang bhiksu yang mendapat pencerahan. Bahkan aku merasa sedikit sakit mendapati seorang saudara kandung melihatku dengan begitu kasihan sampai aku ingin memberitahu semua orang dalam keluarga ini.

“…Jadi, dia ingin kamu bermain dengannya.”

“Mm. Oke, kalau begitu kurasa aku akan jalan-jalan dengannya.”

“Ya, kamu lakukan itu.”

Sekarang aku tidak perlu menghadapi rengekannya untuk beberapa saat. Hewan imut itu imut, tapi agak sedikit menganggu kalau dia siang malam terus berlari kesana-kemari.

“Oke, pergi ambilkan rantainya untukku ♪!”

“Ya, ya.”

Seperti yang diminta oleh Komachi, aku mengambil rantainya dari kumpulan peralatan yang diberikan Yuigahama pada kami untuk mengajak Sabure jalan-jalan.

“Terima kasih. Bisa kamu pasangkan pada Sabure? Aku akan menjaganya supaya tidak bergerak.”

Komachi menahan Sabure, menyerahkan tugas itu padaku. Melihat celah itu, aku segera memasangkan rantainya pada Sabure.

“Nah, sudah cukup bagus?” tanyaku, menggoyang-goyang ujung rantainya.

Komachi mengangguk puas. “Yep, jadi ayo kita pergi!” Dia menunjuk ke arah pintu masuk.

“…Kamu ingin aku berjalan-jalan dengannya?”

“Sebenarnya, aku yang berjalan-jalan denganmu, onii-chan. Maksudku, kalau aku tidak melakukannya, kamu tidak akan pernah meninggalkan rumah.”

Yah, kamu benar soal itu… Bukan tanpa alasan aku dipanggil Hikki.

Aku menghela dalam dan mencoba untuk mengisyaratkan dengan seluruh tubuhku bahwa aku tidak ingin pergi, tapi Komachi tidak peduli dan mendorongku dari belakang.

“Ayo, ayo. Aku akan pergi denganmu, oke?”

5-2[edit]

Matahari sudah mulai terbenam dan bulan membentuk sebuah sabit di atas langit yang diselimuti biru nila yang pekat seperti tinta.

Aku hidup di sebuah kota yang tentram—sebuah tempat yang melingkupi satu generasi dan dapat ditemukan di kota-kota lain dimanapun—dan yang mengalir seiring dengan jalan besar itu adalah suatu sungai tunggal dan di sepanjang sungai itu terdapat ladang-ladang tanaman serta banyak perkebunan milik orang yang menjalankan bisnis perkebunan.

Menurut cerita ibuku ketika dia masih muda, dahulu kala, ada kerumunan kunang-kunang di sungai dan ladang. Jadi itu artinya mereka sudah tidak ada di sini lagi. An-chan, kenapa kunang-kunang cepat sekali mati? [4]

Selagi aku mengenang kenangan-kenangan tersebut, aku melihat ke arah ladang sawah berpikir bahwa bahkan sekarang kami mungkin sudah tidak bisa melihat mereka lagi.

Whoosh.

Batang padi dibuat merunduk oleh angin yang berhembus lewat.

Angin tersebut terus berhembus, bersenandung di sela-sela padi ranum indah yang menyerap air dan unsur hari sepanjang hari saat mereka terpapar di bawah sinar matahari.

Ketika aku masih kecil, aku selalu berpikir itu adalah hasil kerja yokai yang tidak terlihat.

Tapi sekarang, aku tidak bisa lagi melihat kunang-kunang ataupun yokai.

Kenapa orang menjadi merasa bernostalgia? Dengan mengatakan hal seperti, “Dulu itu menyenangkan”, “Masa lalu yang indah”, “Ini tidak seperti zaman dulu”, dan sebagainya, jadinya mereka cenderung melihat dengan positif hari-hari yang telah lama lewat itu.

Mungkin mereka ingin merenung kembali pada hari-hari tersebut, dengan rindu dan dengan sayang. Atau mungkin mereka cuma meratapi sesuatu yang telah berubah dan bahwa mereka telah berubah.

Kalau begitu, bukankah itu berarti perubahan alamiah seharusnya merupakan sesuatu yang menyedihkan bagi kita?

Apakah melalui proses pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan itu suatu hal yang menyenangkan, tepat, dan mengagumkan?

Meskipun kamu tidak berubah, duniamu dan sekelilingmu akan berubah. Orang yang tidak ingin tertinggal akan mati-matian mengejar untuk mengikuti perubahannya.

Jika kamu tidak berubah, tidak akan ada kesedihan. Meskipun tidak ada yang terjadi, kurasa itu adalah suatu manfaat besar bahwa tidak ada sesuatu yang negatif darinya. Ketika kamu membandingkan neraca keuanganmu dan ternyata tidak ada angka merah, kebijakan manajemenmu sudah pasti tidak salah.

Itulah alasannya kenapa aku tidak akan menolak fakta bahwa aku belum berubah. Aku tidak berniat menolak diriku dari masa lalu maupun diriku pada masa kini.

Karena pada akhirnya, perubahan itu tidak lebih dari cuma berlari dari status quo. Kalau pilihanmu adalah untuk tidak berlari, disanalah kamu seharusnya berdiri teguh tanpa berubah.

Bahkan ada hal yang bisa didapat dengan tidak berubah. Konsepnya mirip dengan konsep dimana kamu terus menekan tombol B untuk membatalkan evolusi karena kamu bisa mempelajari kemampuan baru dengan lebih cepat.

Suatu hari atau mungkin, kapan-kapan nanti? Walau itu terasa masih agak jauh di masa depan, aku telah melalui pertanyaan tersebut dengan sebuah jawaban sebelumnya.

Komachi mencengkram rantainya, menikmati perlawanan saat menarik. “Hei, hei, bahaya mobilnya lalu lalang.”

Sebuah mobil melintas lewat persis di samping kami seakan sedang mengores kami.

Sabure mencium udaranya dan kemudian membaui rumput dan mulai melahapnya. Anjing dan kucing memiliki kecenderungan untuk memakan rumput dan kemudian memuntahkan gumpalan bulu bersama dengan rumput itu, jadi ketika mengajak mereka keluar untuk berjalan-jalan, ini adalah proses yang penting. Jadi, Komachi dan aku berdiri di sana dan menunggunya. Sabure benar-benar sedang memakan rumputnya.

Setelah melihat antara Sabure dan aku, Komachi tersenyum senang. “Wooow, rasanya seperti sudah lama sekali sejak terakhir kali aku pergi jalan-jalan dengan onii-chan.”

“Benar.”

Dia memang benar. Sudah cukup lama sekali semenjak aku pergi berjalan berkeliling. Aku selalu memilih untuk menghabiskan waktu di rumah, jadi kalau aku ingin pergi keluar, aku memerlukan tujuan yang jelas seperti berbelanja atau pergi ke pameran hewan peliharaan. Itulah alasannya sudah cukup lama semenjak terakhir kali aku pergi keluar bersama Komachi.

Sabure menarik-narik rantainya dan Komachi tersenyum padanya. “Anak pintar, anak pintar. Ayo kita pergi.”

Menjawabnya dengan satu gonggongan, Sabure mulai berderap pergi dengan gaya yang serupa dengan anjing dascshund miniatur.

Aku berjalan mengikuti mereka.

Sisa sinar matahari terbenam pada langit barat. Cahaya sepanjang jalan dari lampu jalan yang diletakkan berselang-seling. Penerangan yang bervariasi antara satu rumah dengan rumah yang selanjutnya. Semua cahaya-cahaya yang berbeda tersebut bercampur bersama-sama.

Di dalam kota yang perlahan menggelap, terdapat gelombang manusia di setiap arah.

Pegawai yang menuju ke rumahnya, ibu rumah tangga yang pergi membeli bahan makanan untuk makan malam, anak-anak SD yang menaiki sepeda bersama teman-teman mereka, siswa-siswi SMP yang berbincang dengan riang di toko swalayan sewaktu pulang dari klub, dan siswa-siswi SMA yang keluar saat ini untuk bersenang-senang. Dan terakhir, ibu-ibu yang pergi menjemput anaknya.

Ada sesuatu yang membuat kangen dan hangat dari pemandangan yang umum ini.

Dengan pelan, Komachi berbisik, “Itu suatu berkah untuk memiliki seseorang yang menyambut kepulanganmu di rumah, huh?”

“Ya, kurasa. Walau aku tidak akan mengatakan itu berlaku untuk semua situasi.”

“Woow, orang ini sungguh menjengkelkan,” kata Komachi, terlihat murung.

Maksudku, lihatlah, selalu ada pengecualian pada setiap aturan… Tidak peduli sesering apapun mereka berkata, “Tidak ada orang yang menyambut kepulanganku…”[5], mendapati suatu maskot aneh menyapaku dan menyarankanku untuk berkumur-kumur sama sekali tidak akan membuatku senang…

“Tapi onii-chan menjengkelkan yang menyambut kepulanganku masih membuatku senang.” Komachi mengalihkan pandangannya dariku dan menghadap Sabure.

Aku melewati Komachi yang menurunkan lajunya. Toh, dengan punggungku menghadapnya, dia tidak akan bisa melihat mulutku menganga.

“Tidak seperti aku melakukan itu untukmu atau semacamnya. Kamu cuma pelengkap. Pelengkap.”

Setelah aku menjawabnya dengan blak-blakan karena malu, timbul keheningan singkat.

“Meski begitu, itu masih membuatku senang.”

Aku mendapati diriku berpaling kembali padanya ketika dia berbicara dengan suara yang hangat.

Komachi meletakkan tangannya pada dadanya dengan mata tertutup seakan untuk mengamati kehangatan yang perlahan bertambah. Satu per satu, dia menuturkan kata-katanya dengan perlahan, “Adik kecil mengagumkan dan gagahmu itu sedang membuat pesona imut padamu barusan.”

Senyumannya itu adalah yang paling mencurigakan di musim panas ini.

“Oke, baiklah…”

Menjengkelkan…

Aku mengangkat bahuku yang melemas dan berjalan maju terlebih dulu, meninggalkan Komachi dan Sabure di belakangku. Astaga, dia tidak pernah imut ketika dia perlu bersikap imut. Biasanya dia itu imut, super imut malah.

Komachi menendang sebutir kerikil dengan ujung sandalnya dan melihat ke atas bintang yang samar-samar mulai berkerlap-kerlip. “Ketika onii-chan dirawat di rumah sakit, Kaa-kun ada disana untukku. Dia bahkan juga menyambut kepulanganku di pintu.”

“Dia tidak melakukan itu untukku. Dia malah merendahkanku dari atas balkon.”

“Kaa-kun itu kucing manis yang sinis, makanya begitu,” canda Komachi sambil tertawa. “Dikelilingi oleh makhluk manis yang sinis memang sulit.”

“Itu lagi…? Aku sama sekali tidak bersikap manis…”

Aku juga sama sekali tidak sinis. Malahan, mungkin tidak ada satu orang pun yang menjalani hidup mereka sepolos diriku. Mungkin itu karena dunia ini aneh sehingga seseorang sepertiku yang menjalani kehidupan yang jujur terlihat sinis.

“Tapi hei, memiliki orang manis sinis sepertimu untuk menyambut kepulanganku membuatku senang.”

Kali ini aku menampilkan senyuman nihilistik padanya. “Ha. Aku tidak akan selalu ada di sana untukmu. Kamu sebaiknya berdikari dari abangmu suatu hari nanti.”

“Huh…? Onii-chan, jangan bilang kamu akan meninggalkan rumah ini?” Komachi segera berhenti dan berpaling ke arahku. Tidak seperti senyuman mengejeknya barusan, dia terlihat seakan dia baru saja dihantam dengan sesuatu yang keras.

“Tentu saja tidak. Aku tidak akan meninggalkan rumah kalau tidak ada alasan.”

“…Syukurlah.”

“Lagipula, sangat nyaman bisa berada di rumah, paling nyaman. Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak bekerja. Itulah keadilanku.”

“Atau mungkin tidak… Sekarang aku super kuatir tentang masa depanku…” Komachi memasang tampang tercengang.

Aku menepuk kepalanya seakan aku meletakkan tanganku di sana. “Aku sudah bisa berangkat ke sekolah dari rumah dan aku berencana begitu juga untuk berangkat kuliah. Jadi kecuali ada alasan kuat, aku tidak akan pergi dalam waktu dekat ini.”

Universitas di kota Chiba memerlukan waktu sekitar sejam untuk sampai, jadi universitas itu sudah cukup bagus. Tentu saja, untuk universitas di Kanagawa atau Tama, aku mungkin perlu lebih mempertimbangkannya lagi… Kalau tempatnya di suatu tempat seperti Tokorozawa, aku mungkin harus menyiapkan alat berat sebelumnya karena tempatnya di pelosok pedalaman…

“Kelihatan sedikit aneh untuk lelaki seusiamu untuk berpikir seperti itu… Bukankah itu wajar untuk ingin meninggalkan rumah?”

“Mmph, tidak begitu. Keluarga kita menganut prinsip laissez-faire[6] dan karena kedua orangtua kita bekerja, aku bisa menghemat waktuku. Dan juga sama sekali tidak ada yang menyulitkan.”

“Atau begitulah katanya dengan segenap alasannya, tapi sebenarnya meninggalkan Komachi akan membuatnya super kesepian…”

“Narasi aneh macam apa itu…?”

Hahaha, sungguh bodoh yang kamu katakan, hahaha.

“Sebenarnya tidak ada manfaat untuk hidup sendirian. Itu menghabiskan uang dan aku harus membuang waktuku untuk mengerjakan tugas rumah. Dan aku tidak akan melakukan tugas apapun kecuali aku mendapatkan imbalannya. Kamu pernah dengar pertukaran setara sebelumnya?”

Keluarga Hikigaya bukanlah tidak harmonis. Ayah, yah, memang bangsat, tapi sebenarnya itu cuma berlaku pada caranya berbicara dan cara pikirnya; yang lain bukanlah suatu masalah. Karena aku tidak pernah berpikir untuk meninggalkan rumah, aku tidak ada keinginan untuk hidup mandiri.

Tentu saja, kecuali aku ada alasan untuk mandiri. Yah, kurasa orang yang memang hidup sendirian memilik semacam alasan atau semacamnya…

“Oh ay’lah, kamu pasti merasa kesepian tanpaku.”

“Huh? Apa kamu bilang sesuatu sedang kesepian? Seperti benda yang bisa membantumu melihat dan menemukan sesuatu di lingkungan Akihabara?”

Aku tidak memiliki perasaan semacam itu. Karena aku adalah seseorang yang menghargai waktu menyendiriku, sesuatuku yang menabjubkan[7] itu sendiri adalah isolasi.

“Tapi aku akan kesepian.”

Dia mengabaikanku sepenuhnya. Tch, kurasa “kesepian” dan “sesuatu” memang tidak memiliki hubungan yang sejelas itu.

Itu terasa seperti aku diizinkan untuk melewatinya seperti seorang atlet sepak bola profesional dan mencetak gol, jadi aku melanjutkan percakapan Komachi. “…Yah, kurasa kamu akan kesepian, tapi aku—“

“Aku tidak cuma membicarakan tentangmu, onii-chan. Katakan saja, Yukino-san, dia juga tinggal sendirian, kan? Aku ingin tahu apa yang Yukino-san rasakan tentang itu… Apa dia baik-baik saja?”

Itu terdengar seakan secara tersirat dia mengatakan bahwa bahkan Yukinoshita Yukino merasakan semacam kesepian di dalam hidupnya. Selalu menjaga tingkah lakunya tetap sempurna, terkadang dia akan terlihat rapuh, atau mungkin mudah menghilang, tapi memang begitulah hal-hal yang kurasakan darinya. Tapi persisnya apa maksud dari itu semua, aku masih belum bisa mengerti.

“Juga,” kata Komachi, meneruskan. “—Kurasa pihak yang ditinggal pergi juga merasa kesepian.”

…Ya, pasti begitu.

Persisnya kenapa aku berpikir cuma mereka yang meninggalkan yang merasa kesepian? Sudah jelas bahwa orang yang ditinggal pergi akan merasakan hal yang sama. Aku cukup yakin aku akan menangis tersedu-sedu jika suatu hari nanti Komachi menikah dan meninggalkan rumah ini.

Komachi menarik rantai Sabure seakan sedang memerintahkannya. Aku mengambil rantainya dari dia seakan sedang menerima tongkat dari tangannya.

“Onii-chan?”

“Kamu lelah, bukan? Aku akan memegangnya untukmu.”

Tentu saja, tidak mungkin dia bisa lelah karena berjalan-jalan dengan seekor anjing berukuran-kecil seperti Sabure. Hanya gadis tak bertenaga yang akan kelelahan.

Komachi melihatku dengan aneh, tapi kemudian tersenyum lebar. “Oke, kalau begitu kamu boleh menanganinya. Kalau begitu, aku akan memastikan onii-chan tidak lari kemanapun,” kata Komachi. Dia kemudian mencengkram tanganku.

“Aku tidak akan pergi kemanapun. Aku akan tetap di rumah sampai aku menjadi seorang pengantin.”

“…Apa itu yang seharusnya kamu katakan sebagai seorang bapak rumah tangga?”

“Kalau begitu, sampai aku menjadi seorang suami.”

“Oke, baiklah. Aku agak merasa itu tidak begitu penting lagi…”

Berjalan di jalan setelah waktu yang cukup lama.

Setelah mengelilingi kota yang telah berubah dari yang seharusnya, ayo kita pulang.

5-3[edit]

Ketika kami sudah hampir selesai menyiapkan makan malam, terdengar dengungan dari interkom. Mewakili Komachi yang sedang sibuk dengan pancinya, aku pergi melihat interkom tersebut.

Pada layar interkom, Yuigahama sedang merapikan rambutnya dengan risih. Kelihatannya dia datang untuk menjemput Sabure. Setelah melihatnya, aku pergi ke pintu masuk depan.

YahariLoveCom v5-143.jpg

Ketika aku membuka pintunya, dia melambaikan tangannya padaku.

“Ah, yahallo.”

“Hei.”

“Ambilah, ini oleh-oleh.” Dia menyerahkan sebuah kantung kertas padaku dengan berisik.

Menilai dari ukuran dan berat kantung tersebut, ini mungkin bukan pedang kayu. Sial… Kalau ini semacam gantungan kunci berbentuk pedang yang dijalin dengan sejenis naga aneh atau gantungan kunci tengkorak yang berpendar dalam kegelapan, aku mungkin akan agak senang.

“Itu makanan khas lokal!”

“Ohh…”

Aku melirik ke dalam kantung kertas itu dan di sana terdapat manisan lokal seperti yang Yuigahama katakan padaku. Yah, manisan khas lokal ini cukup lazim dijajakan di sana.

Dia memilih pilihan yang aman, mempertimbangkan walaupun itu memberitahu orang kemana dia pergi, orang juga lebih cenderung menyukainya daripada membencinya. Manisan itu juga dibungkus ke dalam porsi-porsi kecil, jadi mudah untuk membaginya dengan orang lain di tempat kerja atau di sekolah. Itu adalah oleh-oleh yang mempertimbangkan orang lain.

Tapi saat melihatnya, aku diterjang oleh sebuah kenangan masa lalu.

“Ini, huh…?”

“Huh? Kamu tidak suka itu?” Yuigahama melirik ke dalam kantung kertas pada tanganku dengan tampang cemas.

“Tidak, bukan itu maksudku… Bukankah semua gadis selalu membeli oleh-oleh semacam ini? Hah, semua gadis di kelas begitu.”

“Oh, kurasa itu benar. Namun, ada beberapa yang tidak. Seperti Yumiko.”

Miura, huh? Begitulah sang Ratu. Aku harus menghormati fakta bahwa dia memandangnya sebagai hak yang wajar-sejak-lahir untuk diberikan sesuatu.

“Dahulu kala, orang biasanya melemparkan bungkusan manisan khas lokal seperti ini di dalam kotak sepatuku… Maksudku, pelakunya sudah jelas salah satu gadis di kelasku dan fakta bahwa mereka bahkan tidak berusaha untuk menyembunyikan tindak kriminal mereka membuat itu terasa semakin menyakitkan…”

Tawa datar membumbung dari dalam diriku.

Ketika Yuigahama melihat itu, dia berusaha dengan panik untuk membuatku merasa lebih baik. “Ti-tidak masalah sekarang, tak usah kuatir! Itu tidak akan terjadi padamu lagi!”

“Aku harap sekali begitu.”

“Tidak masalah! Bahkan tidak ada orang yang cukup mengenalmu untuk melakukan itu, Hikki!”

“Betul.”

Yuigahama mengepalkan tangannya dalam usaha untuk meyakinkanku.

Tapi dia benar-benar tidak pandai menghiburku sampai akhirnya itu berhasil menghiburku, jadi aku memutuskan untuk membiarkannya. Aku senang aku memutuskan untuk mengembangkan kemampuan bersembunyiku. Pada level ini, aku mungkin bisa mengendap melewati Raja Semut Chimera.[8]

Selagi aku merasa lega mengetahui aku akan bisa menghabiskan semester kedua sekolahku dengan damai, Yuigahama melihat ke dalam rumahku, penasaran dengan keadaan kami. “Jadi, Sabure bagaimana?”

“Ya, dia baik-baik saja. Komachi.” panggilku ke dalam rumah dan Komachi datang ke pintu masuk sambil memegangi Sabure.

Sabure menyalak dalam pelukannya. Melihat itu, Yuigahama tersenyum. “Terima kasih banyak, Komachi-chan!”

“Oh tidak, tidak apa-apa,” kata Komachi.

Yuigahama membelai Sabure dan bertanya, “Apa dia menyusahkan?”

“Tidak, sama sekali tidak. Kami bermain-main dengan app Lingo Anjing dan sebagainya, jadi kami senang sekali.”

“Lingo Anjing? Ahh, yang itu. Mereka punya itu dulu, kan?”

“Mereka membuat app untuk itu.”

Karena akan lebih cepat untuk menunjukkannya padanya, aku menghidupkan appnya dan Yuigahama melihat pada ponselku untuk melihat app apa itu. Untuk mencobanya, Yuigahama memanggil Sabure. “Nah, Sabure. Onee-chan ada di sini untukmu!”

Sabure memiringkan kepalanya dengan tampang kebingungan.

“Arf?” (Siapa orang ini?)

“Sabure!?” Yuigahama berteriak putus asa. Seakan takut karena itu, Sabure menyalak dan berlari di sekitar kakiku. Aku menangkapnya dan kemudian mengangkatnya.

Aku meletakkannya dengan hati-hati ke dalam tas jinjing yang Komachi bawa ke pintu masuk. Setelah menutup reselting tas itu, Aku menyerahkannya pada Yuigahama. “Nah. Aku yakin dia akan mengingatmu dalam sekitar beberapa hari.”

“Uuurgh… Aku benar-benar harap dia sama sekali tidak melupakanku…” kata Yuigahama dengan suara di ambang meneteskan air mata dan menerima tas tersebut.

Sabure meletakkan ujung hidungnya pada kain tas tersebut dan merintih.

“…Baiklah, sampai jumpa nanti.”

Walaupun aku tidak banyak bermain dengannya, sekarang setelah kami berpisah, aku merasa sedikit emosional, terlebih lagi ketika dia terlihat begitu enggan.

“Yui-san, tidak usah sungkan untuk membawa Sabure datang lagi.”

Mata Komachi berkaca-kaca, sebagai orang yang mengurus Sabure selama tiga hari belakangan ini, selagi dia mengenggam tangan Yuigahama.

“Pasti, pasti! Aku pasti akan mampir lagi~!”

“Ya, silahkan mampir. Jadi silahkan mampir dengan sekotak kue ketika orangtua kami ada di rumah jadi kamu bisa bertemu dengan mereka.”

“Oh, ya, aku sebaiknya menyapa orangtu—eh, ehhh!? Aku tidak akan mampir untuk itu! Cuma bercanda, aku tidak akan datang!”

Mata Komachi berbinar dengan mencurigakan untuk sesaat, tapi setelah mendecakkan lidahnya, ekspresinya kembali normal.

“Jadi, silahkan mampir lagi, aku akan menantikanmu.”

“Oke, terima kasih,” kata Yuigahama, menyuarakan perasaan terima kasihnya. Dia kemudian mengangkat barang lainnya dengan Sabure.

Mungkin sudah waktunya dia pulang. Kemudian, aku mengingat sesuatu.

“Oh ya, soal Yukinoshita. Dia mungkin hadir di festival kembang api. Hiratsuka-sensei bilang itu acara yang disponsor secara lokal, jadi ada banyak orang penting yang akan hadir dengan keluarga mereka atau semacamnya.”

“Oh begitu ya… Oke. Aku akan coba pergi—“ Yuigahama berhenti sejenak seakan sesuatu terbersit dalam benaknya. Dia kemudian menghela kecil dan dengan pelan memalingkan pandangannya ke arahku. “U-Um… Hei, apa kamu ingin pergi ke festival kembang api bersama-sama? Er, itu akan jadi tanda terima kasihku untuk menjaga Sabure, aku traktir.”

“Itulah yang dibilangnya, Komachi. Ayo kita pergi.”

“Pergi dengan cuma kami berdua” adalah pilihan yang segera kusingkirkan dari awal. Dan karena itu caranya untuk berterima kasih pada kami, kurasa itu wajar bahwa Komachi juga ikut serta karena dia yang melakukan sebagian besar tugasnya.

Komachi meletakkan tangannya pada pinggangnya mengetahui niatku dan menghela pasrah. Kedengarannya dia bergugam, “Astaga, apa yang salah dengan sampahnii-chanku?”, tapi aku tidak menghiraukannya.

Dia kemudian memalingkan wajahnya ke arah Yuigahama dengan tampang bersalah. “Ahh, Aku senang sekali atas ajakanmu, tapi ini, aku sebenarnya masih di tengah-tengah ujianku. Aku senang sekali untuk menerima ajakanmu, tapi aku sungguh tidak bisa pergi kemanapun sekarang ini …”

“Oh oke… Apa boleh buat.”

“Yea. Maafkan aku. Oh! Tapi ini! Tapi ini, ada banyak yang ingin kubeli, tapi… Argh, Aku benar-benar tidak ada waktu! Ini yang kuinginkan, tapi sama sekali tidak ada waktu untuk pergi dan membeli itu semua! Apa yang sebaiknya kulakukan, huh? Juga ada banyak sekali, jadi mungkin terlalu sulit bagi Yui-san sendirian, kamu tahu?”

Setelah dia mengatakan semua itu dengan nada monoton, dia langsung melirik ke arahku…

Menyadari maksud di balik sikapnya, Yuigahama condong ke depan. “Oh! Sungguh! Hikki! Kalau begitu bagaimana kalau kita beli barang Komachi!? Maksudku, aku memang berhutang banyak pada kalian berdua untuk bantuan kalian!”

“Ah, ahh… tidak, uh…” Aku mencoba untuk menyelesaikan kata-kataku, tapi Yuigahama terus menatap padaku.

“Itu sedikit menguatirkan kalau seorang gadis pergi ke festival kembang api sendirian … Toh, dunia sekarang ini sudah semakin berbahaya… Oh astaga, kalau ada seorang lelaki di sini yang tidak ada kerjaan…”

Aku bisa mendengar bisikan Komachi dari belakangku.

“U-Um… Maksudku, kalau Hikki sibuk atau ada rencana untuk pergi dengan orang lain, kalau begitu… ti-tidak masalah…” Yuigahama melihat ke arahku sambil salah tingkah.

Aku tidak menetapkan jadwal. Yang berarti pada hari festival kembang api tersebut, aku senggang.

Belum dibilang, caranya dia memintaku seperti itu membuatnya sulit untuk menolaknya, kalaupun kutolak. Dengan parit dalam dan parit luar diduduki sepenuhnya, ini seperti kampanye musim panas dari Pengepungan Osaka.

“…Yah, itu untuk Komachi, jadi telpon saja aku kapanpun kamu mau,” kataku, dan kembali ke ruang tamu.

“Oke, aku akan mengirimu pesan nanti!”

Sebelum aku menutup pintu, suara bersemangat itu sampai padaku dari belakang.

5-4[edit]

Setelah Sabure pergi sekarang, rumah ini penuh kedamaian.

Tempat ini begitu hening sampai gonggongan siang dan malam itu terasa seperti sebuah ilusi. Dentingan piring-piring yang sedang dicuci mengisi ruangan ini dengan cukup nyaring. Ketika aku menutup keran air di dekat tanganku, aku bisa mendengar suara serangga dari jauh.

Sampai orangtua kami pulang ke rumah, waktu tentram biasa dalam keluarga Hikigaya akan terus berjalan.

Komachi, yang bisa kulihat dari dapur, terlihat tak bernyawa saat dia bersandar di atas sofa. Aku mengeluarkan sebotol teh jelai dan menuangkan secangkir selagi aku mendengarkan helaan panjangnya dan menyodorkannya pada dia.

“Kerja bagus.”

Dia mengambil gelas yang kusodorkan padanya dan dia meneguknya. Setelah mendesah puas, dia menyerahkan kembali gelasnya sambil mengerang.

“Kamu sebaiknya percaya aku lelah… Rasanya seperti aku baru saja mengirim pergi anakku.”

“Sungguh…”

Komachi terlihat seakan dia sudah menua, menyerupai wanita tua yang sedang duduk melamun pada serambi dan memasang ekspresi penuh kedamaian.

“Tapi kalau itu Yui-san, aku bisa tenang dan menyerahkan semuanya pada dia…”

“Sedari awalpun dia bukan punyamu… Setebal apa mukamu…?”

Aku mendapati diriku menghela dan kemudian Komachi melihat ke arahku dan memiringkan kepalanya. “Huh…? Ohh, maksudmu Sabure.”

“Huh? Kita bukan sedang membicarakan Sabure? Kalau begitu apa yang sedang kamu bicarakan?”

“Tiiiiiiiiidak ada apa-apa,” kata Komachi, terlihat patah semangat dan dia berbaring ke atas sofa. Dia merentangkan tangannya pada bantalan sofa untuk membawanya lebih dekat, tapi Kamakura sedang tertidur di sana.

Kamakura tidak terlihat waspada seperti biasanya karena dia sedang merentangkan badannya dengan pose seperti “kerbau suci”, meringkuk dan tertidur. Dengan kepergian Sabure, kelihatannya dia akhirnya bisa bersantai.

Dia menunjukkan seluruh perut berbulunya dan sama sekali tidak berdaya. Sikap tidak-waspadanya bahkan akan membuat malu si Kumbang Hitam Selatan, Ray Sefo.

Melihat itu, mata Komachi berbinar. “Kaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa-kun!”

Dia melompat ke arahnya dan membenamkan wajahnya pada perutnya, meremas kakinya, dan ketika mereka bersama, dia mulai mendengkur.

“Oh! Mungkin kita akan bisa mendengar apa yang Kaa-kun katakan sekarang! Onii-chan, Lingo Kucing! Cepat pakai Lingo Kucing! Cepat, cepat!”

“Ba-baik…”

Seperti yang dia instruksikan, aku bergegas mengeluarkan ponselku. Setelah aku menghidupkan app Lingo Kucing, aku menyerahkannya pada Komachi. Dia kemudian meletakkan ponsel itu pada leher Kamakura.

“Grgrgrgr.” (Sakit, tolong… Gatal. Lezat.)[9]

“Kaa-kun!?”

Hei, apa kucing ini baik-baik saja? Tepatnya, apa orang yang membuat app Lingo Kucing ini baik-baik saja? Dia jelas sekali terinfeksi, bukan?

Setelah itu, seakan untuk mengalihkan dirinya dari rasa kesepiannya, Komachi menyodok Kamakura tanpa ampun dan tanpa berpikir panjang. Walaupun hanya untuk sesaat, dia cukup suka dengan Sabure.

Saat aku melihat Komachi dan Kamukar saling menyodok satu sama lain dengan gembira, dia melihat ke arah layar ponselku dan meninggikan suaranya. “Ah, onii-chan. Ponselmu sudah mau mati.”

“Mm, oke.”

Aku mengambil ponselnya ketika dia mengulurkannya.

Tampilan daya menunjukkan sisa beberapa persen. Ponsel itu akan segera mati. Jam pada sisi atas layar itu juga memasuki lapangan pandangku. Sudah waktunya.

“Pas sekali. Cepat kembali belajar.”

“Okeee.”

Setelah menggosok-gosok Kamakura untuk kali terakhir, Komachi berdiri dari sofa dan meninggalkan ruang tamu. Dia mungkin akan pergi belajar di dalam kamarnya.

Setelah dia akhirnya terbebas dari Komachi sekarang, Komachi terlihat selelah seperti saat Sabure masih di sini dan berjalan ke arahku. Kerja bagus, pak kecil.

Saat aku mengobrak-abrik mencari pengisi baterai untuk mengecas ponselku, Kamakura mendengkur.

App Lingo Kucing yang masih berjalan pada ponselku bereaksi dan menampilkan suatu tanggapan.

Ketika aku membacanya, aku tersenyum. “Ya, kamu benar sekali.”

Kamakura menyahutku sekali lagi, tapi pada saat dia melakukannya, layar ponselku telah mati.

Mundur ke Bab 4 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 6

Catatan Translasi[edit]

  1. Suatu kisah hantu dimana hantunya akan menghitung satu sampai sembilan kemudian memekik, versi Inggris.
  2. Lagu Takoyaki Manto Man.
  3. Endless Eight, judul anime Haruhi Suzumiya Season 2 bercerita tentang musim panas dari tanggal 17 sampai 31 yang terus berulang. Ada 8 episode semuanya hampir sama dengan cuma sedikit perubahan, berlangsung pada bulan Agustus (bulan 8), Dan angka 8 terlihat seperti ∞.
  4. Dari film animasi drama perang, Grave of the Fireflies (Kuburan Kunang-Kunang).
  5. Iklan Isodine di Jepang, diperankan oleh Godzilla.
  6. adalah sebuah frasa bahasa Perancis yang berarti "biarkan terjadi" (secara harafiah "biarkan berbuat")
  7. Iklan sebuah perusahaan elektronik bernama Sato Musen yang menggunakan slogan – “Ayo kita lihat, ayo kita temukan, sesuatu yang menabjubkan.”
  8. Referensi Hunter X Hunter.
  9. Referensi Resident Evil.