Oregairu (Indonesia):Jilid 5 Bab 6

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 6: Dan jadi, Yuigahama Yui menghilang ke dalam kerumunan.[edit]

6-1[edit]

Di dunia luar, kamu akan sering mendengar celotehan seperti, “Kita tidak lagi saling terhubung dengan komunitas lokal” atau “Hubungan kita dengan tetangga sudah semakin melemah”.

Ya benar, itu semua terdengar akurat. Jika kita pertimbangkan bahwa aku—hubunganku dengan tetanggaku dan sekolah itu nyaris tidak ada—yang mengatakan itu semua, tidak ada keraguan lagi mengenai semua itu.

Dahulu kala—walau aku tidak akan bilang aku mengetahuinya dahulu kala—Aku tidak pernah merasa dekat dengan sesuatu seperti komunitas lokal. Mungkin itu karena setiap kali seseorang menyebutnya, aku tidak tahu siapa ataupun apa yang mereka maksudkan. Kalau mereka berkata dia itu ketum asosiasi rukun tetangga atau walikota, aku tidak dapat mengingat satu wajahpun. Sewaktu SMP, mereka memaksamu berpartisipasi dalam kerja bakti sore dengan melafalkan slogan semacam, “Ayo kita pungut sampah demi komunitas lokal ini.” Tapi akhirnya itu menjadi tidak lebih dari waktu pribadiku untuk pergi berjalan-jalan karena terus terang, aku tidak bisa mengumpulkan sedikitpun motivasi demi orang yang bahkan tidak kukenali.

Namun, akan tiba suatu waktu dimana kita akan akhirnya merasakan keberadaan dari “komunitas lokal” ini.

Dan hari semacam itu contohnya hari ini.

Sepanjang hari, aku bisa mendengar banyak suara letusan dari kejauhan. Dan kota ini ditimpa oleh guncangan-guncangan kecil yang datang pergi seakan ia sedang terbangun dari tidur yang lelap.

Setelah aku meninggalkan rumah, aku bisa merasakan secara langsung kehebohan dan kegelisahan dari udaranya seakan mereka sedang bekerja beriringan dengan terik sinar matahari musim panas yang ganas.

Saat berjalan ke stasiun, ada banyak sekali orang yang menuju ke arah yang sama. Wanita yang mengenakan yukata sangat menyolok di dalam kerumunan ini.

Di dalam kereta api, aku dikelilingi oleh kumpulan pria dan wanita yang bersahabat serta rombongan keluarga yang membawa kotak pendingin. Aku memasang earphone-ku pada telingaku dan berdiri di sana sambil melamun, hanya untuk didorong terus menerus sampai ke sudut oleh tekanan mareka. Hanya menunggu waktu saja sebelum tekanan spiritualku menghilang. [1]

Untuk beberapa menit, aku menarik dan menghembuskan nafas dengan cukup pelan sehingga tidak ada orang yang menyadari keberadaanku. Kereta api tersebut melewati beberapa stasiun dan akhirnya stasiun berikutnya adalah tempat pemberhentianku.

Cuma aku satu-satunya yang pergi lewat pintu yang terbuka. Namun, orang yang masuk lewat pintu itu, jumlahnya jauh lebih banyak. Setelah melihat pintunya menutup dengan kalimat “pintu ‘kan seg’ra tutup”[2], aku dengan susah payah berjalan menuju palang tiket.

Astaga… ini benar-benar terasa sia-sia saja berjalan jauh-jauh kemari. Aku cuma bisa depresi saat berpikir aku harus menaiki kereta api sesak lain seperti yang tadi…

Selagi aku berpikir bagaimana aku menuangkan segala ketidak-puasanku padanya dengan keluhan saat kami bertemu, aku berjalan melawan arus manusia di balik palang tiket.

Pertemuan kami sudah lewat semenit dari jadwal yang seharusnya.

Kurasa dia seharusnya sudah datang sekarang… Aku melihat-lihat sekeliling, tapi aku tidak melihat tanda-tanda dirinya dimanapun. Aku juga tidak melihat ada Bulbasaur maupun Squirtle.

Aku bersandar pada sebuah pilar aula stasiun dan orang yang kukenal wajahnya dari sekolahku berpapasan denganku. Tentu saja, aku tidak memanggil mereka dan mereka juga tidak memanggilku karena kami tidak berkenalan.

Baik lelaki maupun perempuan mengenakan yukata dan jinbei. Saat aku mengikuti siswa-siswi SMA itu dengan mataku, aku melihat seorang gadis berjalan ke arahku dari pintu masuk utara dengan ributnya suara sandalnya yang mengetuk lantai.

Bunga kecil bermekaran yang tak beraturan mendekorasi yukata berwarna kuning persiknya dan pita pinggang merahnya terlihat cerah dan menarik. Rambutnya diikat alih-alih gaya rambut bakso biasanya.

Dia kelihatannya tidak terbiasa mengenakan sandalnya, jadi ketika dia datang berlari kemari terlihat dia nyaris sekali terjatuh, aku mendapati diriku secara refleks melangkah beberapa kali mendekatinya.

“Oh, Hikki. Ada sesuatu yang terjadi… jadi aku akhirnya agak telat…” Dia tersenyum, terlihat malu-malu dan bersalah.

“Nah, tidak usah kamu kuatirkan.”

Entah kenapa suasananya hening meskipun kami berdua saling berhadapan. Yuigahama menunduk dan memain-mainkan rambutnya. Apa kamu itu Hamtaro atau semacamnya? “Yah, uh… yukata itu terlihat cukup bagus.”

YahariLoveCom v5-161.jpg

Kenapa pula aku memuji yukatanya? Kamu seharusnya memuji orangnya. Tapi kelihatannya aku tidak perlu meralat perkataanku karena Yuigahama menyadari apa yang ingin kukatakan dan dengan matanya bergerak kesana-kemari, dia menjawab, “Te-te-te-terima kasih.”

Dan hening lagi. Apa-apaan? Satu-satunya yang bisa kupikirkan dengan segala keheningan ini adalah semua film Seagal[3]

Aku membuka mulutku untuk melakukan sesuatu soal suasana kaku ini. “…Kurasa kita sudah bisa pergi.”

“…Oke.”

Setelah aku mulai berjalan, suara langkah kaki mengikuti persis di belakangku.

Kami melintasi palang tiket dan menunggu kedatangan kereta api. Yuigahama menunduk ke bawah sepanjang waktu dan tidak mengatakan apapun.

Aku adalah tipe orang yang tidak terganggu oleh keheningan.

Tapi itu mengangguku ketika Yuigahama begitu diam. Melihat dia bisa sedikit menjengkelkan karena alasan-alasan terbodoh, aku agak kuatir bahwa dia sedang marah denganku atau semacamnya. Untuk sementara ini, aku mengungkit sesuatu yang asal untuk memulai percakapan. “Hei, kenapa kita bertemu di tengah jalan menuju festival, kenapa tidak langsung di tempat itu saja?”

“Yah… Mungkin kita akan sulit bertemu di sana karena ada begitu banyak orang.”

“Kita punya ponsel, kamu tahu.”

“Ponsel benar-benar sulit untuk terhubung, oke?”

Ahh, sekarang setelah dia mengatakannya, aku ingat pernah mendengar bahwa menelepon di tempat-tempat yang ramai itu sulit. Aku sebenarnya tidak pernah menggunakan ponselku pada situasi-situasi seperti itu, jadi aku mendapat kesan bahwa itu cuma legenda modern, walau aku juga tidak memakai ponselku di tempat-tempat yang sepi.

“Lagipula… itu juga agak membosankan bertemu di festival…”

“Siapa yang peduli bosan atau tidak? Kita tidak mendapat rumput laut yang bisa dimakan atau semacamnya…”

“As-Astaga, kenapa itu jadi masalah!? Ada yang ingin kamu keluhkan lagi?”

“Tidak…”

Aku membuatnya marah…

Sekarang kami terdiam lagi. Tapi ketika aku menyadari betapa dekatnya kami, aku mulai berjalan seperti sedang meraba-raba di dalam kegelapan meskipun sekarang masih siang hari.

“Apa kamu—“

“Apa kamu—“

Kami berdua berbicara dengan serentak.

Yuigahama dengan panik mengisyaratkanku untuk duluan.

“…Apa kamu biasanya pergi ke festival kembang api?”

“Ah, iya. Aku biasanya pergi setiap tahun dengan temanku.”

“Ohh…”

Pada saat aku menyahut, kereta api telah sampai.

Kereta api itu penuh dengan orang yang kelihatannya menuju ke festival kembang api dan di antara mereka, tentu saja, orang-orang yang mengenakan yukata, orang-orang yang membawa tikar vinyl, dan payung.

Tapi jaraknya cuma satu stasiun. Kami berdua berdiri di dekat pintu. Ketika pintunya tertutup dengan ribut, kereta api mulai melaju.

“Jadi apa yang ingin kamu katakan tadi?”

“Oh, ya… Apa kamu pernah pergi ke festival kembang api sebelumnya? Itu yang ingin kutanyakan.”

Dia memberitahuku, “Kita memikirkan hal yang sama, huh?” yang sungguh tak berarti sampai aku ingin mati. Um, bisa kamu hentikan senyuman malu-malu itu? Karena itu akan menginfeksiku juga. Seperti pandemi sungguhan.

Aku melepaskan pandanganku dan melihat waktu. Masih jam empat sore, huh…?

“Aku pernah pergi sekali dengan keluargaku ketika aku masih SD.”

“Oh, oke..”

Kemudian percakapannya berhenti lagi.

Percakapan kami yang dipotong kecil-kecil seperti seekor tuna terus berlanjut selagi kereta apinya terus melaju.

Segera setelah menara pelabuhan muncul ke dalam pandangan dari kejauhan, kereta api ini mulai menginjak remnya.

“Hyah!”

Terdengar pekikan singkat, suara ketukan sandal kayu, dan aroma manis yang samar. Aku dapat merasakan sesuatu yang lembut bersandar pada bahuku.

Kurasa itu karena dia tidak terbiasa dengan sandal itu. Dia kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke arahku. Tentu saja, aku menangkapnya.

“……”

“……”

Wajah kami amat dekat. Pipi Yuigahama merona medah dan dia segera menjaga sedikit jarak. “Ma-maaf…”

“Mm, yah, memang agak sesak di sini…”

Aku memalingkan wajahku, berpura-pura melihat pada pemandangan di luar. Dari posisi yang tidak bisa dilihat Yuigahama, aku membuat helaan panjang. Baru sekarang aku mulai berkeringat.

I-Itu membuatku gugup… Phew, nyaris sekali. Kalau aku pria lain, aku mungkin akan mulai menyukainya.

Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Karena, aku tidak akan pernah salah paham, keliru, atau mengira sesuatu lagi. “Lelaki tidak populer” memiliki kebiasaan buruk untuk berusaha membuat suatu kebetulan dan fenomena belaka terlihat jauh lebih berarti dari yang sebenarnya.

Itu wajar-wajar saja untuk disapa di pagi hari, satu-satunya alasan mereka menjatuhkan sapu tangan mereka di depanmu itu cuma karena kecerobohannya, dan mereka benar-benar cuma ingin alamat emailmu pada pekerjaan paruh-waktumu, supaya mereka bisa menghubungimu untuk pertukaran shift kerja.

Aku tidak mempercayai kebetulan, nasib, maupun takdir. Aku hanya percaya dengan perintah perusahaan. Aku rasa menjadi orang dewasa seperti itu tidak begitu bagus. Ya, aku sungguh tidak ingin bekerja…

Stasiun tempat kami turun dipenuhi dengan manusia dan keributan.

Menara Pelabuhan Chiba dari kejauhan menerangi dunia di bawahnya dengan dinding bagaikan-cerminnya, meningkatkan kecemerlangan matahari terbenam beberapa kali lipat sehingga digunakan untuk menyemarakkan penantian mereka yang menunggu dari awal untuk festival ini.

Semua orang tertawa dan saling memandang dengan penuh kebahagiaan.

Di jalan, terdapat stan jajanan-jajanan dengan takoyaki dan okonomiyaki yang umum, toko swalayan dan toko miras di sekitar sini yang memamerkan produk mereka di luar, serta restoran-restoran yang terus mengajak pelanggan-pelanggan potensial bahwa mereka dapat melihat kembang api dari restoran mereka.

Ini musim panas di Jepang.

Mungkin itu juga terukir di dalam genku karena bahkan aku mulai merasa bersemangat.

Tirai menuju festival kembang api bagi penduduk Chiba sudah akan dinaikkan sekarang juga.

6-2[edit]

Jarak dari depan stasiun ke festival kembang api itu singkat. Taman umum itu nyaris bersebelahan dengan stasiun ini. Tapi dengan jumlah orang sebanyak ini, kami tidak bisa bergerak maju seperti yang kami harapkan.

Alun-alun taman itu biasanya sepi manusia dan cuma memberiku kesan bahwa tempat itu luas, tapi aku bisa melihatnya dari jauh bahwa tempat itu penuh disesaki manusia.

Angin yang berhembus dari laut lewat celah-celah semua orang itu terasa menyegarkan.

Aku melirik pada waktunya dan baru jam enam sore. Kembang itu seharusnya dimulai jam setengah delapan.

Sampai saat itu, apa yang sebaiknya kami lakukan…? Aku berpaling pada Yuigahama di sampingku untuk menanyainya. “Kelihatannya kita masih ada sedikit waktu. Apa yang mau kita lakukan? Pulang?”

“Kita tidak akan pulang! Kenapa kamu bisa menyarankan itu dengan begitu santainya!?”

Ups, kebiasaan burukku muncul dimana aku akan segera berpikir untuk langsung pulang setiap kali aku keluar. Tidak peduli jam berapa, tidak peduli situasi apa, prioritas tertinggiku adalah untuk berhasil pulang ke rumah dengan sehat walafiat. Fakta bahwa aku begitu cocok menjadi seorang mata-mata atau ninja itu sedikit bermasalah, harus kubilang.

“Kalau begitu mau apa?”

Persis ketika aku akan menambahkan “Pulang, jadinya?”, Yuigahama mengeluarkan ponselnya dari tas kecilnya.

“Um, jadi Komachi mengirimkan pesan padaku yang berisi daftar barang yang dia inginkan sebagai tanda terima kasih.” Yuigahama menjalankan ponselnya dan kemudian menunjukkannya padaku. Dekorasi manik-manik berlian berkilau yang menganggu pada ponselnya sangat menjengkelkan, tapi aku memutuskan untuk memusatkan perhatian pada layarnya.


Daftar Belanja Komachi: Yakisoba – 400 yen Kembang gula – 500 yen Ramune – 300 yen Takoyaki – 500 yen Kenangan menonton kembang api – Tak ternilai[4]

Apa-apaan yang terakhir itu…?


Ketika aku membayangkan bahwa dia mungkin mengetikkan ini dengan tampang gembira, onii-chan merasa agak malu…

Yuigahama menganggap ekspresiku bahwa aku sedang jengkel dan tertawa “ahaha” dengan canggung. Sungguh memalukan! Onii-chan SUNGGUH malu sekarang ini!

Namun, mulai lagi dia ikut campur dengan taktik-taktiknya… Pikirku sejenak, tapi yah, aku tahu bahwa Komachi sedang mencoba untuk bersikap pengertian dengan caranya sendiri. Aku tidak begitu tidak peka sampai aku tidak menyadari rencana jelas yang dia pikirkan.

Malah, aku itu peka. Begitu peka dan tanggap sampai aku seringkali bereaksi berlebihan.

Lagipula, delapan puluh persen lelaki di dunia ini selalu menjalani kehidupan mereka dengan pemikiran, “Apa mungkin gadis ini menyukaiku?”

Dan persis saat itulah kamu perlu menegur dirimu sendiri. Kamu perlu tenang dan kalem, sehingga kamu bisa melihat pada dirimu sendiri dengan sikap acuh tak acuh dan berkata, “Mustahil.”

Aku tidak begitu percaya dengan orang lain, tapi aku sama sekali tidak percaya dengan diriku sendiri.

Aku menghela dan menenangkan suasana hatiku. “Baiklah, kurasa kita akan membelinya selagi kita pergi…”

“Oke.”

Yuigahama berjalan memakai sandalnya dan mengikutiku dengan riang, mungkin karena pesan Komachi menghilangkan ketegangan suasananya atau karena semangat festival itu mempengaruhinya.

Aku bisa mendengar dia bersenandung dalam setiap langkahnya dengan sangat jelas dalam kerumunan ini.

Gelombang-gelombang manusia terus bergerak ke arah alun-alun.

Sejumlah stan terletak saling berdampingan, banyak stan yang bisnisnya laris manis.

Kupikir aku tahu selezat apa makanan itu, tapi sekarang setelah aku berdiri di depan stan makanan itu, cara makanan itu disorot dengan lampu bohlam yang terbuka merangsang selera makanku. Contoh, saus dan minyak di atas yakisoba itu membuatnya terlihat amat lezat. Untuk sejenak tadi kupikir aku sedang melihat Kabaya[5].

Yuigahama menarik lengan bajuku, matanya berbinar-binar. “Hei, hei, mana yang sebaiknya kita makan dulu? Permen apel? Permen apel dulu, kan?”

“Itu bahkan tidak ada di daftarnya…”

Kelihatannya tujuannya bukan untuk membeli sesuatu lagi; sekarang, tujuannya untuk makan…

Yuigahama menatap ke arah permen apel dan mengerang dengan enggan, tapi kemudian menghadapkan ponselnya padaku dengan tangannya. “Baik, jadi apa yang sebaiknya kita beli dulu?”

“Pertama, kita sebaiknya membeli barang yang tetap bagus dalam suhu normal. Jadi itu artinya kita—“

“Oh wow! Kamu bisa memenangkan PS3 di sini!”

Persis saat aku mulai bergerak, dia menarik lengan bajuku. Perhatian Yuigahama dicuri oleh stan memancing harta karun. Selain PS3, ada barang-barang bagus lain yang tertumpuk bersamanya.

“Tidak, aku ragu itu… Omong-omong, dengarkan apa yang kukatakan.”

“Huh? Tapi ada benang yang terhubung padanya.”

“Ya, mungkin terhubung. Tapi kita tidak tahu yang mana terhubung ke yang mana.”

Benang memancing harta karun itu terhubung pada setiap hadiah dan di tengah-tengahnya semua benangnya diikat menjadi satu dan kemudian benangnya dijulurkan lagi ke segala arah. Persisnya mekanisme apa yang telah mereka siapkan saat melakukan semua itu, tidak kami ketahui.

“Ingat saja, cara mereka menyiapkan semua barang yang terlihat bagus ini untuk dipajang adalah jebakan yang pertama. Selalu ada sisi buruknya kalau ada sesuatu yang memudahkan untukmu. Cukup masuk di akal?”

“Uh, masuk akal dari mana persisnya…? Rakyat bawah tanah?”

Selagi kami mengadakan percakapan itu, pria tua dari stan memancing harta karun melotot padaku.

Aku diam-diam kabur dari stan tersebut dan bergegas ke stan lain.

Kurasa kami sebaiknya mulai dengan kembang gula.

Pada stan kembang gula, sebuah mesin mengepul sambil menghasilkan bau yang manis ke udara, memintal benangan kembang putih dan menekannya bersama.

Kembang itu kemudian dibungkus dalam sebuah kantung plastik dan disegel pada bagian ujungnya. Itu agak mirip dengan kantung Toei yang dicetak dengan karakter anime dan pahlawan yang berisi uang di dalamnya.

Tidak ada yang berubah meski dengan perubahan generasi; Kurasa inilah yang kurasakan ketika aku masih kecil. Sama usianya denganku, Yuigahama jelas terlihat merindukannya dan melihat ke arah kembang gula itu dengan mata yang manis. “Oh wow, bukankah ini sungguh membuatmu rindu!? Hei, kita sebaiknya beli yang mana?”

“Itu semua sama saja isinya. Aku pilih yang ini. Aku ingin yang ini, pak.”

Aku menunjuk ke arah plastik pink di depanku dan menyerahkan lima ratus yen.

Ya, benar, aku sama sekali tidak tertarik dengan anime yang ditujukan pada gadis kecil dan aku juga tidak menontonnya. Tapi Komachi itu seorang gadis dan, supaya kamu tahu saja, aku sebaiknya memberinya sesuatu dari P-P-Precure itu atau semacamnya, kan? Yep, aku sama sekali tidak tertarik. Aku begitu acuh dengannya sampai aku tidak bisa membedakan antara Jewel Pets dengan Pretty Rhythm.

Setelah kami membeli kembang gula, kami membeli ramune dan takoyaki.

“Jadi, selanjutnya yakisoba?”

“Ya. Kurasa aku melihatnya di sekitar sana tadi…”

Saat aku berpaling ke belakang, aku menyadari ada orang yang melihat ke arah kami. Mereka melambaikan tangan mereka dan mendekati kami.

“Oh hei, Yui-chan.”

“Oh, Sagamin.” Yuigahama menjawab balik sambil melambai kecil dan berjalan beberapa langkah ke arah mereka. Mereka melakukan tindakan yang serupa.

Oh ho, jadi ini yang mereka sebut “mirroring”. Dengan mengikuti tindakan pihak lain, membuat mereka lebih mudah untuk saling berhubungan; ini adalah teknik yang kulihat dalam Mission Research.[6]

Jadi… siapa?

Pada saat-saat seperti ini, lebih baik berbaur ke dalam latar untuk mengaburkan keberadaanku. Aku akan menjadi pohon. [7]

Tapi tahukah kamu? Ketika gadis saling memanggil satu sama lain, terdapat perbedaan yang aneh ini dalam tingkah laku mereka terhadap satu sama lain. Yuigahama sikapnya kurang lebih ramah. Di sisi lain, rasanya Sagamin atau apalah namanya tidak seakrab itu dan terlihat agak sedikit dingin.

Jadi, siapa pula ini?

Mereka kelihatannya sepemikiran denganku ketika mereka melihat pada Yuigahama untuk meminta penjelasan.

“Um…”

“Ah, ya. Dia itu Hikigaya-kun sekelas dengan kita. Dan ini Sagami Minami-chan di kelas kita.”

Ohh, jadi dia di kelas kami. Sekarang setelah dia mengatakannya, aku samar-samar mengingatnya. Pikirku, membungkuk kecil padanya.

Dan seketika itu juga, mata kami bertemu.

“Pfft”.

Untuk sejenak, Sagami memasang ekspresi menyeringai.

“Oh, jadi begitu ya! Jadi kalian berdua datang bersama, huh? Astaga, lihat saja kami, kami cuma ikut festival kembang api dengan sesama gadis[8]! Enak sekali kamu, aku ingin menjalani masa mudaku juga!”

“…Ahaha! Apaan yang kamu katakan, kita bukan di pertandingan berenang atau semacamnya! Kita benar-benar tidak melakukan sesuatu seperti itu~” Yuigahama sejenak merasa ragu, tapi segera menyahutnya dan tertawa.

Tapi aku tidak ada sedikitpun keinginan untuk tertawa.

Beberapa detik barusan, senyuman Sagami itu. Itu adalah sesuatu yang sangat kukenali.

Itu bukanlah senyuman dan juga bukanlah tawa.

Itu adalah tawa angkuh yang mencemooh.

Gadis ini, setelah melihat “lelaki yang dibawa Yuigahama Yui” ,tidak diragukan lagi sedang mencemoohnya.

“Ehh, oh ay’lah, memangnya kenapa? Ini musim panas, sama sekali tidak masalah.”

Bentuk senyumannya tetap dipertahankannya, tatapannya mengambil saat tersebut untuk menilaiku. Itu sudah cukup untuk membuatku paham bahwa kehangatannya barusan adalah suatu kebohongan, suatu hawa dingin yang membuat jantungku membeku.

Semakin keras jantungku membeku, semakin jernih kepalaku dibuatnya.

Pikiranku semakin lama semakin jelas seakan nitrogen cair baru saja dituangkan ke dalam sumsumku. Nalarku, logikaku, dan pengalamanku semuanya menyatu dan membentur emosiku. Emosiku segera menyerah, tidak repot-repot menunggu sebuah hasil yang baik.

Sekali lagi, aku nyaris salah paham.

Sagami Minami dan aku tidak akan akrab. Kami sama-sama tidak tahu apapun tentang satu sama lain.

Jadi apa cara tercepat untuk memahami orang yang tidak kamu kenal dengan baik?

Caranya adalah memberi mereka label.

Bahan yang dia perlukan untuk memahami seseorang sepertiku adalah “kasta tempatku berada”. Tentu saja, itu tidak hanya terbatas pada Sagami saja; itu berlaku pada semua orang.

Bahkan sebelum mencoba mengenal seseorang secara pribadi, mereka akan mulai dengan kelompoknya, lokasinya, posisinya, dan gelarnya dulu. Di dalam sekolah dan di dalam masyarakat, itu lumrah bagi kualitas dirimu untuk dinilai cuma dengan berdasarkan hal-hal tersebut saja. Belakangan ini, aku berhenti mendengar tentang hal-hal ini, tapi ketika kamu pergi mencari kerja, kamu akan terus diperas dengan saringan mengenai rumor tentang keaslian ijasahmu.

Aku sudah benar-benar lupa bahwa Yuigahama adalah seseorang yang bisa melakukan komunikasi antar-kelompok, tapi dia sebenarnya adalah seseorang yang berada di kasta teratas di kelas, di sekolah ini bahkan.

Dan di sinilah aku; Aku berada di kasta terbawah. Mengesampingkan Yukinoshita yang berada di luar kasta-kasta tersebut, dengan melihatnya dari samping saja akan memberitahumu bahwa kecuali ada semacam acara amal, Yuigahama tidak akan pernah berinteraksi dengan seseorang sepertiku. Sial… Pada suatu festival kembang api yang terkenal seperti ini, siswa-siswi dari SMA di dekat sini pasti akan berkumpul kemari. Aku tidak cukup perhatian.

Situasi sekarang ini adalah sesuatu yang mirip acara arisan nona-nona. Pria yang mereka bawa bersama mereka wajar akan berperan sebagai simbol status mereka. Pada waktu yang sama, tas yang mereka tenteng dan merek baju yang mereka kenakan akan dipakai untuk mengukur nilai mereka.

Kurasa kalau aku itu Hayama, mungkin reaksi mereka akan sepenuhnya berbeda. Mungkin saja mereka akan memanggil Yuigahama untuk jumpa pers malam ini. Tapi denganku, aku hanya akan diperlakukan seakan tidak hadir di pengadilan militer.

Aku tidak akan berpikir bahwa dunia yang kami jalani ini berbeda. Bayangkan betapa nyamannya itu kalau kita melakukannya. Dunia ini menjengkelkan karena kita menjalani hidup di sana dengan begitu setengah-setengah.

Aku bisa senyum-senyum saja, tapi kalau aku tetap di sini, cuma Yuigahama yang tersenyum yang akan terlihat kasihan.

“Kelihatannya ada antrian orang di yakisoba, jadi aku akan pergi ke sana.”

“Ah, oke. Aku akan kesana nanti.” sahut Yuigahama dengan senyuman yang terlihat bersalah. Aku meninggalkan tempat itu dan segera berjalan ke sana.

Semakin cepat aku bisa menyingkirkan segala faktor-faktor yang mungkin akan membuat Yuigahama ditertawai, semakin baik. Walau aku masih bisa mendengar Yuigahama dan Sagami berbicara di belakangku, aku tidak menghiraukan mereka dan terus menggerakkan kakiku.

Dari yang kuingat dari kata orang dan sumber baunya, aku sampai di depan stan yakisoba.

Ketika lampu bohlam terbuka itu menerangi yakisoba di dalam bungkusan plastik yang diikat dengan karet, entah kenapa itu membuat selera makanku naik.

Setelah membayar untuk yakisoba itu, Yuigahama datang kemari.

“Maaf…” kata Yuigahama, terlihat sedikit canggung. Namun, dia tidak ada alasan untuk meminta maaf padaku. Karena itulah, aku tidak yakin bagaimana aku menjawabnya.

“…Permen apel.”

“Huh?” mata Yuigahama mengedip sambil bergugam bingung.

Aku menekankannya lagi untuk menegaskan. “Kamu ingin beli permen, kan?”

“Y-Ya! Aku ingin sekali! Aku akan bagi setengah padamu, Hikki!”

“Aku tidak mau.”

Ya, sebenarnya, aku akan senang sekali menerima setengah permennya kalau dipotong dengan pisau atau semacamnya, kalau tidak, membagi permen itu agak sedikit, kamu tahu…

Yang penting, seharusnya semua barang di daftar itu sudah dibeli.

Sudah hampir waktunya kembang api itu diluncurkan. Aku tidak perlu repot-repot melihat waktunya karena aku bisa mengetahuinya dari keributan yang bertambah dari semua orang di sekeliling kami.

6-3[edit]

Ketika matahari akhirnya terbenam ke dalam Teluk Tokyo, ujung langit direndam dalam kegelapan berwarna biru nila. Bulan naik setinggi yang dia bisa seakan tidak sabar menunggu kembang apinya untuk ditembakkan.

Alun-alun tersebut, dari jalan yang berjajar dengan barisan stan-stan, dipakai sebagai lokasi utama dan dipadati orang.

Ketika aku berpikir tentang tikar-tikar plastik yang diletakkan di segala penjuru tidak menyisakan tempat, ada orang yang telah di sini dari awal dan sedang bertukar cangkir sake, serta anak-anak yang menangis di kejauhan, ada suara keras yang terus datang pergi di dekatku.

Jadi, tidak ada tempat yang tersedia untuk kami tempati.

Kalau aku sendirian, aku akan bisa menemukan suatu tempat untuk duduk dan menonton kembang api itu dari jauh, tapi karena aku bersama dengan seseorang, lain ceritanya.

Kami memutuskan untuk berkeliling mencari tempat kosong dimana kami berdua bisa duduk karena tidak mungkin terus berdiri sepanjang waktu.

Meskipun begitu, kami tidak ada tikar plastik, apalagi koran. Aku tidak mungkin membiarkan Yuigahama duduk di atas lantai karena dia sedang mengenakan yukata. Aku berpikir untuk duduk di bangku di dekatku, tapi semuanya sudah terisi seakan pemikiran yang sama terlintas pada pikiran semua orang.

Tidak bisa pergi kemanapun. Bukankah ini persis seperti acara sekolah bagiku?

“Wow, ramai sekali, huh?” kata Yuigahama, tertawa canggung. Kamu benar sekali.

“Kalau sebelumnya aku sudah tahu akan segila ini, aku pasti akan menyiapkan tikar plastik.”

“As-Astaga. Kamu membuatnya seperti ini salahku… Maaf, aku seharusnya memberitahumu, huh?”

“…Bukan begitu. Aku tidak terbiasa dengan ini, jadi aku tidak berpikir sejauh itu. Maaf.”

Kalau saja aku lebih memikirkannya, aku seharusnya bisa mengantisipasi ini, aku merasa sedikit depresi dengan ketidak-becusanku.

Aku yakin mereka yang disebut-sebut pria populer itu adalah pria yang mampu pengertian sekali dengan orang lain dan mempersiapkan seluruhnya untuk situasi seperti ini. Menangani detail-detail kecil seperti ini jauh lebih penting dibanding betapa gantengnya wajah mereka dan sebagainya.

Contohnya, mengirimkan pesan yang tulus, mengumpulkan info sebelum pergi berjalan-jalan, atau mampu membuat percakapan yang menghibur saat menunggu di antrian.

…Ehh, ada apa dengan itu? Kedengaran menjengkelkan sekali.

Kalau kamu harus melakukan itu hanya supaya kamu bisa populer, aku lebih baik tetap tidak populer. Serius. Juga, kenapa selalu harus lelaki yang merayu? Kemana perginya kesetaraan gender?

…Tunggu! Apa itu karena mereka merayu sehingga mereka populer!? Wow, sungguh tak berarti. Tapi aku menyukai diriku untuk bisa mengatakan hal semacam ini.

Yah, kamu tahu. Bukankah itu hanya akan menjadi suatu kebohongan kalau aku memaksa diriku untuk menjadi seseorang yang biasanya bukan diriku ketika aku sendirian?

Apa kamu benar-benar bisa menyebut semua rasa sayang yang kamu dapat dari semua usahamu itu rasa sayang yang sesungguhnya untuk dirimu dan juga untuk dirimu yang sebenarnya?

Entahkah itu masalah atau tidak untuk mengatakan kamu masih tetap “kamu” setelah berubah sehingga kamu bisa disukai dan dicintai, aku tidak yakin. Kalau itu sesuatu yang kamu ciptakan dengan berbohong dan berpura-pura, mungkin sekali akhirnya semua akan hancur lebur. Jika sesuatu yang penting berubah dalam dirimu, kamu tentu tidak bisa lagi menyebut itu dirimu yang sebenarnya.

Pemikiran tak berguna itu melintas di dalam kepalaku dan aku menghela letih. Aku kembali sadar tidak mengetahui kapan aku menundukkan pandanganku, dan mendongak.

Mataku bertemu dengan Yuigahama yang bertampang bodoh dengan mulut yang menganga.

“Apa…?”

“…Kamu tahu Hikki, kamu bisa cukup pengertian, huh?”

“Huh? Kamu bodoh? Aku super pengertian. Aku begitu pengertian sampai aku tidak menganggu siapapun dengan berdiri dengan hening di sudut.”

Aku tidak berbicara pada siapapun, aku berjalan di belakang semua orang alih-alih di samping mereka, dan aku tidak mengundang orang, jadi aku tidak menganggu rencana mereka. Aku begitu ahli dalam bersikap pengertian sampai aku bisa menembakkan Spirit Ball[9] dengan mudah sekarang juga.

“Ahaha, bukan itu yang kumaksud… Maksudku, seperti, kamu itu baik hati atau semacamnya?”

“Oh benarkah? Baguslah kamu sadar. Kamu benar, aku itu baik. Aku telah merasakan segala jenis penderitaan dalam hidupku, tapi aku sama sekali tidak pernah ingin membalas dendam pada satu orangpun. Kalau aku orang biasa lain, dunia ini sudah akan kiamat. Kamu bahkan bisa menyebutku sang penyelamat dunia.”

“Manusia biasa tidak bisa menghancurkan dunia! Mereka juga tidak merasakan segala jenis penderitaan!”

Wow, dia benar-benar masuk akal.

“Ya, terserahlah. Omong-omong, kelihatannya disana kosong, jadi ayo kita kesana.”

“Oke.”

Walaupun kami duluan mulai berjalan, ada kerumunan orang-orang yang pergi ke stan-stan dan kamar kecil pada menit-menit terakhir sebelum kembang api dimulai, jadi kami akhirnya harus berjalan melawan kerumunan.

Di dalam kerumunan orang yang tak beraturan, aku berjalan seakan menyelip melalui celah yang ada.

Ini telah menjadi kebiasaanku; yaitu, aku berjalan dengan menghilangkan semua suara yang kubuat.

Aku adalah seorang fantasista dengan cukup kemampuan untuk menjadi perwakilan Jepang, jadi kalau soal mencari celah, kerumunan kecil ini enteng sekali. Ha! Kalau soal melawan apa yang orang sangka, aku hebat sekali! Toh, aku selalu melawan tren dunia yang meninggalkanku di belakang ini!

Aku menghadapi gelombang-gelombang manusia seakan aku sedang berlatih dengan boneka kayu dan ketika aku berhasil keluar ke suatu tempat yang sepi, aku menyadari bahwa Yuigahama mungkin tidak akan mampu melakukan hal yang sama sepertiku.

Sial, aku terlalu banyak memakai kemampuanku. Pikirku dan berpaling ke belakang, tapi keprihatinanku itu tidak diperlukan.

Yuigahama berjalan melewati kerumunan itu sambil meminta maaf seperti, “Maafkan aku”, “Maaf”, “Permisii”.

Ohh, kemampuan keresahannya cukup menabjubkan…

“Ada apa?”

Ketika dia berhasil keluar dan sampai ke sisiku, dia memiringkan kepalanya dengan tampang kebingungan.

“Tidak apa-apa…”

Dipikir lagi, orang yang terbiasa dengan ini lebih mampu menghadapi mereka. Tempat ini bukanlah area tak tertandingi bagi Siluman Hikki.

“Jadi kelihatannya kita berhasil menemukan tempat yang sepi orang.”

“Ini bukannya area bayar…?”

Ketika dia mengatakannya, aku melihat sekeliling dan memang benar, terikat tali kuning yang jelas memisahkan area tersebut.

Seluruh alun-alun ini dikelilingi dengan pohon, jadi kalau kamu duduk di tempat biasa, mungkin akan sedikit sulit untuk menonton kembang apinya. Tapi area bayar ini berada di sebuah bukit kecil, jadi pemandangannya luar biasa.

Pengamanannya terlihat sempurna dengan adanya pekerja paruh-waktu yang berpatroli di area itu.

Biasanya kami akan diusir karena berhenti begitu dekat dengan area bayar tersebut.

“Kurasa kita sebaiknya mencari ke tempat lain…”

Jalur di sepanjang tali itu terlihat kurang ramai, jadi aku mengangguk pada Yuigahama dan mulai berjalan.


“Huuuh? Hikigaya-kun.”


Suasana elegan menyelubungi tempat biru tua yang menyolok di dalam kegelapan itu dan di sana, sepotong yukata menyegarkan yang menampilkan desain dengan bunga lili dan dedaunan musim gugur.

Di sanalah Yukinoshita Haruno berada.

Dia berada di dalam area yang dibatasi dengan jelas oleh tali tersebut.

Dilayani oleh orang-orang di sekelilingnya, tempat duduk yang dia tempati itu bagaikan takhta yang diduduki oleh seorang ratu.

6-4[edit]

Pada jam tujuh empat puluh, ada pengumuman bahwa jadwal dimulainya festival kembang api akan ditunda selama sepuluh menit.

Tepuk tangan bermunculan dan orang yang mudah-gembira akan bersiul dengan jari mereka dari suatu tempat. Kalau mereka lebih dekat denganku, aku mungkin akan menghajar mereka. Umumnya lima puluh persen yang bersiul dengan begitu sombong seperti itu seringkali memberikan kesan bahwa mereka biasanya pendiam, tapi cuma mulai ribut di saat-saat seperti ini.

Di dalam aliun-alun ini, area bayar ini terletak di atas sebuah bukit kecil yang menghadap langsung pada area dimana kembang api itu ditembak, membuatmu bisa melihatnya secara keseluruhan tanpa halangan pohon di sekelilingnya.

Kamu cuma boleh memasuki area ini kalau kamu membeli tiket, tapi arahan Haruno-san mengizinkan kami masuk.

“Aku di sini sebagai perwakilan ayahku dan aku sedang bosan dengan semua penerimaan tamu yang harus kulakukan. Aku senang sekali kamu muncul, Hikigaya-kun.”

“Ya. Perwakilan, huh? Itu menabjubkan.” Aku melihat sekeliling dengan risih selagi mengabaikan sebagian besar dari yang dia katakan pada pertengahan kedua dialognya.

Haruno tersenyum. “Ufufu, kurasa ini bisa kamu bilang tempat duduk VIP. Kamu biasanya tidak akan bisa masuk.”

Haruno-san memamerkannya dengan kepolosan seorang anak kecil. Ada kalanya ketika terang-terangan pamer tidak membuatmu terlihat bahwa kamu itu sombong.

Keterus-terangannya itulah yang kurasa berkaitan dengan karismanya. Beberapa saat sebelumnya, ketika dia memberitahu orang yang berkumpul di sekelilingnya, “Maafkan aku, temanku tadi terlambat dan kelihatannya sekarang sudah sampai.”, itu sudah cukup untuk membuat mereka mundur.

Ditambah lagi, ketika dia mengundang kami masuk, petugas paruh-waktu itu menerimanya tanpa syarat dan tidak repot-repot memastikan itu dengannya. VIP sesungguhnya benar-benar hebat.

“Whoa, selebritis…” kata Yuigahama, membuat helaan yang berada di tengah-tengah garis pembatas antara terkesan atau tercengang.

Haruno-san tertawa kecil. “Yep. Kamu tahu apa pekerjaan ayahku, bukan? Dia cukup berpengaruh dalam acara-acara kota seperti ini.”

“Apa DPRD benar-benar memiliki pengaruh sebesar itu terhadap kota seperti ini?”

“Oh, kamu tajam sekali. Kamu sungguh hebat, Hikigaya-kun. Tapi kalau harus kukatakan, ini lebih berkaitan dengan perusahaan dibanding dengan DPRD.”

Kalau aku tidak salah ingat, perusahaannya itu semacam suatu industri konstruksi. Kalau itu meliputi fasilitas publik, maka tentu saja mereka akan berpengaruh. Dalam pemilu dulu, mereka menekankan pentingnya tiga tema utama yaitu fondasi, periklanan, dan tas yang kurasa semuanya berkumpul di sini. Omong-omong, sebenarnya tema artinya uang; kamu bisa menyebutnya uang tunai. Juga, tiga hal bagi seorang istri itu “gaji”, “memasak”, dan “ibu”. Apa kita sedang membuat pidato upacara pernikahan atau semacamnya?

Selagi walikota atau siapapun itu menyambut setiap pihak yang terkait dengan kata-kata apresiasi dan ucapan selamat, Haruno-san meminta kami untuk duduk di sampingnya. Yuigahama dan aku memutuskan untuk menerima tawarannya dengan ucapan terima kasih.

Kami membungkukkan kepala kami padanya dan duduk.

Aku ingin duduk dengan nyaman, tapi dengan Haruno-san di sampingku, aku tidak bisa tenang; rasa itu lebih disebabkan oleh betapa menakutkannya kedok lebih-dari-sempurna miliknya daripada rasa gugup karena duduk di samping wanita dewasa cantik. Caranya terasa seperti ada sesuatu yang semakin gelap berpusar di dalam dirinya bukanlah sesuatu yang pandai kuhadapi.

Tiba-tiba, Haruno-san berbisik di dekat telingaku. “Bagaimanapun… Berselingkuh itu tidak begitu terpuji, kamu tahu.”

“Tidak, ini bahkan bukan selingkuh…” jawabku.

Ketika aku menjawab, kehangatan dari ekspresi Haruno-san membeku. “Jadi kamu serius…? Semakin banyak alasan bagiku untuk tidak bisa memaafkanmu.”

“O-O-Ow!”

Dia menarik telingaku seperti cara Katsuo ditarik telinganya oleh Sazae. Aku berhasil menghindari luka yang berlebih dengan segera melarikan diri darinya, tapi kalau dia menarik lebih kuat lagi, aku mungkin akhirnya akan mengajak Nakajima untuk bermain bisbol.

“Aku juga tidak serius…”

Astaganaga, aku benar-benar tidak suka sakit, oke? Mana mungkin aku bisa selingkuh ataupun serius? “Motivasi! Energi! Iwaki!”[10] juga bukan minatku, sungguh. Aku tidak tahu apa yang sedang coba dia katakan padaku, tapi itu t’dak akan berhasil, Iwaki![11]

Setelah aku menepis serangan Haruno-san, orang penting itu atau siapapun itu menyelesaikan sambutannya dan mereka akhirnya akan memulai babak pertama kembang api.

Diiringi dengan musik, kembang api starmine ekstra besar itu bermekaran menjadi suatu bunga yang besar di atas langit malam. Sejumlah lapisan merah, kuning, dan oranye jeruk membentang tiada henti selagi terus menerangi kegelapan ini.

“Hoh…”

Lingkaran cahaya yang bermekaran tersebut dipantulkan dengan cemerlang dari kaca setengah cermin menara pelabuhan itu, melipat-gandakan kecemerlangan lingkaran cahaya tersebut. Dengan ini sebagai permulaannya, kelihatannya mereka berencana melanjutkannya dengan delapan ribu tembakan kembang api beragam-warna lagi.

Sejumlah suara gemuruh berderu lagi dan lagi. Ini hampir serasa aku sedang mendengarkan Tao Pai Pai[12].

Selagi suara ledakan tersebut terus bergema, Haruno-san menyesuaikan posisi duduknya.

“U-Um!”

Seakan sedari tadi dia sedang mencoba untuk mencari waktu yang tepat untuk berbicara, Yuigahama berbicara pada Haruno-san dengan diriku di antara mereka. Haruno-san mengedipkan sepasang mata besarnya padanya. “Umm… Kamu Siapa-gahama-chan?”

“Na-namaku Yuigahama.”

“Ah, benar. Maaf, maaf.”

Haruno-san sama sekali tidak terlihat berniat buruk. Tapi itu pastilah disengaja… Dia bukan tipe orang yang bisa melupakan nama setelah mendengarnya. Lagipula, kemampuannya setara dengan kemampuan Yukinoshita; malahan, mungkin melampauinya. Aku hanya bisa berpikir bahwa bahkan di balik kesalahan sepele ini ada semacam maksud yang tersembunyi.

Aku menatap ke arah Haruno-san untuk melihat apa aku dapat mengetahui apa maksud tersebut dan dia membuat suatu tawa kecil.

Hawa dingin menjalari sumsumku. Dia tersenyum seakan dia tahu persis apa yang sedang kupikirkan dan fakta bahwa itu cantik membuatnya terasa semakin menakutkan.

“Apa Yukinon tidak di sini bersamamu hari ini?”

“Kalau kamu mencari Yukino-chan, kurasa dia mungkin ada di rumah sekarang ini. Biasanya ini tugasku untuk tampil di depan publik seperti ini. Ingat aku bilang aku perwakilan ayahku? Aku tidak berada di sini untuk bersenang-senang.” canda Haruno-san sambil menunjuk ke arah dirinya dan tersenyum. “Itu tugasku sebagai putri sulung untuk menghadiri acara seperti ini. Itu apa yang ibuku putuskan dulu.”

Aku mendapat firasat Yukinoshita mengatakan hal yang sama sebelumnya, bahwa itu tugas kakak sulungnya untuk berpartisipasi dalam acara ini dan bahwa dia hanyalah seorang pengganti.

Jadi dengan kata lain, apa itu berarti Haruno-san adalah penerus resmi ayahnya? Yah, memang wajar bahwa putri sulung yang mengambil alih bisnis keluarga.

Tapi dengan cuma itu saja, masih ada sesuatu yang kurang.

“Apa ini, seperti, sesuatu yang tidak bisa dihadiri Yukinon?”

Benar, Haruno-san sebagai penerus tidak masalah. Namun, itu tidak menjadi suatu alasan kenapa Yukinoshita tidak bisa datang.

Haruno-san tersenyum canggung. “Mm. Yah, itu apa yang diputuskan ibuku… Lagipula, ini lebih mudah untuk dipahami dengan itu, bukan?”

“Yah kalian berdua memang terlihat mirip, jadi kalau cuma salah satu dari kalian yang hadir, orang tidak akan salah mengenali kalian, tapi…” kata Yuigahama, tapi mungkin bukan itu masalahnya.

Masalahnya adalah cara mereka dipandang. Menunjukkan bahwa ada seorang penerus tunggal berarti lebih sedikit masalah yang merepotkan. Akan lebih banyak negatifnya untuk memberikan orang kesan bahwa sedang ada perselisihan keluarga di antara mereka karena masalah penerus. Mereka itu seperti suatu keluarga samurai atau semacamnya…

Haruno-san meletakkan jarinya pada pipinya dan menghela berat. “Kalian tahu, ibu kami itu sungguh memaksa dan menakutkan.”

“Huh? Bahkan lebih menakutkan dari Yukinoshita?”

“Yukino-chan? Menakutkan?”

Setelah melihatku dengan sungguh-sungguh, dia tertawa senang, “Ahahaha!” Dibandingkan dengan keriangannya sepanjang ini, dia sungguh terlihat sedang tertawa.

Haruno-san menyeka air mata pada matanya selagi dia menghela puas. Kelihatannya sadar dengan sekelilingnya, dia menggosongkan tenggorokannya. “Astaga, kamu kasar sekali, Hikigaya-kun. Itu yang kamu pikirkan pada gadis semanis itu?”

Dia tertawa sejenak, mendekatkan wajahnya pada wajahku, dan berbisik ke dalam telingaku, “Ibuku lebih menakutkan dariku.”

“…Apa dia manusia?”

Yukinoshita okelah, tapi dia lebih menakutkan dibanding Haruno-san? Itu buruk, kan? Kita tidak sedang membicarakan level sebuah eksoskeleton yang diperkuat di sini, itu sudah level gundam.

“Ibuku adalah tipe orang yang memutuskan segalanya dan memaksa orang untuk mengikutinya, jadi kami akhirnya harus berkompromi… Dan Yukino-chan sedikit buruk soal itu.”

Buruk bukanlah kata yang tepat. Lebih baik menegaskannya dengan mengatakan, “Sedikit dan sedikit dan sedikit buruk.”

“Makanya kami semua sangat kaget ketika dia bilang dia ingin tinggal sendirian setelah dia masuk SMA.”

“Jadi Yukinon mulai tinggal sendirian setelah dia masuk SMA?”

“Yep, yep. Dia bukan tipe anak yang mengatakan hal-hal egois seperti itu, tapi ayah kami begitu senang sampai dia menyewa sebuah apartemen untuknya.”

Ahh, kenapa ayah di dunia begitu manis sekali dengan putri mereka?

“Ibu kami menentangnya sampai akhir dan aku yakin dia masih tidak mengakuinya sampai sekarang…”

“Dia pastilah berhubungan baik dengan ayahmu.”

“Oh, mungkin kamu tertarik dengan bapak mertuamu?”

“Um, kamu bilang Gifu[13], tapi jujur saja aku tidak bisa membedakannya dengan Shiga dan aku juga tidak tertarik dengannya.”

“Mmhmm, dua belas poin.”

Tidak seperti penampilannya yang lemah lembut, penilaiannya begitu ketat.

“Kurasa ‘berhubungan baik’ bukan cara yang tepat untuk menyebutnya. Ibuku benar-benar keras kepala, jadi kurasa ayahku cuma ikut saja dengannya.”

Aku heran apa ini semacam “polisi baik, polisi buruk”. Walau, kurasa pendekatan “hukuman dan imbalan” mungkin sedikit lebih mudah untuk dipahami.

“Tentu saja, Yukino-chan dan aku mengerti itu, jadi kami cuma menjaga kedamaian.”

“Sungguh kakak-beradik yang tak mengenakkan…”

Haruno-san mempertahankan senyumnya tanpa memperdulikan jawaban kesalku, tapi kemudian berbicara pada Yuigahama. “Jadi, apa kalian berdua berkencan? Kalau iya, maaf menganggu kalian.”

“O-Oh bukan, bukan seperti itu…”

Pandangan Haruno tidak melewatkan kesempatan untuk mengamati Yuigahama dengan cermat.

“Ohh… agak curiga kalau kamu bersikap semalu itu. Tapi kalau benar-benar kencan…”

Nada bercanda.

Sekeliling kami semakin menggelap dengan berada di bawah bayang-bayang kembang api. Aku tidak bisa melihat mata Haruno-san. Namun, tidak diragukan lagi binar di dalam matanya lebih gelap dibanding langit malam ini.


“…Yukino-chan tidak dipilih lagi, huh?”


Gugaman.

Kembang api meluncur ke atas, meledak seakan untuk menutupi bisikan Haruno-san.

Deru gemuruh dan kelap-kelipan langit yang berselang, tapi terus-menerus.

Bau mesiu yang melayang-layang dibawa angin dan jejak-jejak pada layar hitam tersebut.

Dan terkadang, senyuman Haruno-san yang diteranginya.

“Um, barusan…”

Yuigahama mencoba untuk berbicara, tapi kembang api diluncurkan pada waktu yang sama. Haruno-san bertepuk tangan padanya dengan riang. Dia kemudian berpaling ke arahnya.

“Hm? Apa tadi?” tanyanya, seakan dia tidak pernah menyadari bahwa dia terpana oleh kembang api itu sepanjang waktu, dan tersenyum.

“Ah, tidak, um… tidak ada apa-apa.” Yuigahama menelan kata-katanya dan percakapannya berhenti di sana.

Suara tembakan yang singkat terus berlanjut dan cahaya membentang di angkasa. Haruno-san bertepuk tangan padanya dengan polos.

Tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang Yukinoshita lakukan… Yah, aku tidak yakin apa itu karena cara tampilnya di luar or bahwa dia melakukannya dengan terlihat wajar dan disengaja.

Walaupun dari luar mereka menyerupai satu sama lain, jauh di dalam, mereka itu berbeda. Tapi sesuatu mengenai kedua kakak-beradik itu terasa seakan mereka sama-sama melihat ke suatu tempat pada arah yang sama. Aku rasa itu sedikit aneh.

“Ahh… Yukinoshita-san, kamu—“ Aku berpikir bagaimana sebaiknya aku memanggil Haruno-san, tapi untuk sementara ini, aku memakai nama keluarganya. Kami tidak cukup dekat sampai aku bisa memanggilnya dengan nama depannya.

Ketika aku memanggilnya, Haruno-san tersenyum. “Hm? Kamu boleh panggil aku Haruno. Atau mungkin onee-chan. Malah, aku sangat menyarankan itu.”

“Ha, ha, ha…” secara insting aku tertawa datar. Dalam mimpi aku akan memanggilmu itu.

“…Yukinoshita-san, kamu—“

“Haha, oh kamu keras kepala sekali. Sungguh manis.”

Sialan, orang ini benar-benar sulit untuk dihadapi…

Orang yang cuma sedikit lebih tua darimu itu yang paling menakutkan. Perbedaan usia dengan seseorang seperti Hiratsuka-sensei itu seluruhnya lain cerita karena aku dapat memandangnya sebagai seorang orang dewasa, tapi kalau itu cuma seseorang yang dua atau tiga tahun lebih tua, entah kenapa mereka hanya terlihat berbeda budayanya.

“Yukinoshita-san, kamu tamatan dari sekolah kami, kan?”

“Mmhmm, benar. Aku tiga tahun lebih tua darimu Hikigaya-kun,” kata Haruno-san dengan nada santai.

Yuigahama mengangguk tertarik. “Jadi apa itu berarti usia Yukinon onee-san dua puluh?”

“Hampir. Aku masih sembilan belas tahun. Ulang tahunku lebih lama—juga, kamu boleh memanggilku Haruno. Yang tadi terlalu panjang. Atau kalau kamu mau, kamu juga boleh memanggilku Harunon♪!”

Kamu terdengar seperti sebuah sarung tangan penghangat Harunon. Yuigahama tersenyum masam padanya.

“O-Oke, kalau begitu Haruno-san…”

Acara kembang api telah beralih ke program selanjutnya dalam jadwal.

Kembang api yang diluncur beriringan dengan musik yang diputar membentuk semacam bentuk hati, kelihatannya ada suatu maksud.

Suatu musik klasik—musik yang sama sekali tidak kuketahui dan kelihatannya memuncaki tangga lagu terkini—diputar dengan semangat, terkadang diputar dengan pelan dan khidmat.

YahariLoveCom v5-193.jpg

Bola-bola kembang api tersebut kelihatannya berkurang seakan periode waktu santai ini terus berlanjut dan orang di sana-sini yang menuju ke kamar kecil atau pergi membeli sesuatu terlihat menyolok.

Suara-suara yang ikut berbincang-bincang di dalam area bayar tersebut juga mulai terdengar.

Di atas meja-meja, tersaji makanan-makanan ringan seperti yang bisa kamu duga untuk tempat duduk VIP.

Yuigahama dan Haruno-san sedang menikmati percakapan mereka selagi aku terjebak di tengah-tengah.

“Jadi itu artinya kamu seoraang mahasiswi, Haruno-san?”

“Yep. Aku memasuki universitas negeri untuk sains dan teknologi di dekat sini.”

“Wow… Pintar sekali… Seperti yang bisa diduga dari Yukinon onee-san.”

“Aku benar-benar ingin masuk ke tempat yang lebih bagus, tapi orangtuaku berkata lain padaku, tahu.”

Selagi Yuigahama terlihat kaget karena kekagumannya, Haruno-san memasang senyuman yang sedikit pelik.

Memang. Kalau kamu akan memegang jabatan di sebuah perusahaan lokal, memasuki universitas lokal kelihatannya pas.

Tapi memang aneh. Ketika suatu percakapan melibatkan lebih dari tiga orang, topik-topik seperti ini biasanya diangkat. Kalau aku, kecuali untuk menyuapkan makanan ke dalamnya, aku rasa aku tidak akan membuka mulutku seperti yang kulakukan tadi. Untuk sekarang, rencana terbaiknya adalah untuk terus makan tanpa bersuara. Mmm, yakisoba enak sekali. Yep, saus sudah pasti rasa untuk kaum lelaki[14].

“Oh, tapi, tapi, kalian kakak-beradik sama-sama memilih jurusan sains, huh?”

Ucapan yang dituturkan Yuigahama sambil lalu membuat Haruno-san memperlambat gerakannya. Di dalam keributan letusan kembang api yang terus berlanjut, itu mengangguku melihat betapa diamnya dia di sampingku.

“…Ahh, jadi Yukino-chan mengincar universitas sains negeri atau swasta, huh…?”

Senyumannya, entah kenapa, terlihat seakan itu adalah senyuman mengolok.

Mungkin itu karena aku melihat Yukinoshita Haruno dengan pandangan sensitif sehingga aku merasa demikian. Kenyataannya Haruno-san mungkin saja menyukai Yukinoshita.

Mata Yuigahama terpaku pada senyumannya.

“Dia tidak berbeda dari sebelumnya, huh…? Selalu berusaha untuk mengikutiku, selalu berusaha untuk menyerupaiku…”

Mata rindu dan mengenang serta nada yang lembut. Tapi di dalam kata-katanya, aku dapat merasakan sejenis ketidak-pastian yang menakutkan.

Aku heran apa itu kebiasaan burukku untuk secara insting mencoba untuk melihat di balik sesuatu.

Tapi dalam momen singkat ini, meskipun itu bukan aku, seharusnya ada sesuatu yang bisa dirasakan.

Kepalan tangan yang diremas Yuigahama di atas lututnya bergetar pelan. “Um …”

“Mm?”

Selagi Yuigahama terlihat seakan dia sedang merenungkan pemikirannya, Haruno-san memiringkan kepalanya dengan sikap kalem.

“…Haruno-san… apa kamu tidak akur dengan Yukinon?”

“Oh, apa yang kamu katakan? Tentu saja tidak. Aku sangat mencintai Yukino-chan.”

Bahkan tidak berpikir sesaatpun, dia langsung menjawab. Setelah menyelesaikan kalimatnya, dia menampilkan senyuman yang sedikit hangat.

Kata-kata tersebut diucapkan dengan momen yang begitu tepat sampai tidak diberi kesempatan untuk menyela bersamaan dengan isyarat tubuhnya.

Dan persis karena itulah kenapa hal tersebut memberikan kesan bahwa dia telah memprediksi serangan itu dengan kata-kata miliknya.

“Bagaimana bisa aku tidak merasa adik kecilku itu manis ketika dia selalu mengejarku?”

“Selalu mengejarnya.” Apa itu berarti Yukinoshita selalu kalah pada Haruno-san?

Itu adalah suatu kekejaman yang mirip seorang pemenang absolut yang melihat ke bawah pada penantangnya yang bodoh dan mencemoohnya, seakan menghadapi seorang anak kecil.

Dengan wajah cantik yang amat sempurna yang tidak menunjukkan tanda-tanda kekejaman, Haruno-san tersenyum pada Yuigahama. “Bagaimana denganmu, Yuigahama-chan? Apa kamu suka Yukino-chan?”

Yuigahama terlihat bingung ketika dia ditanya secara langsung. Tapi berusaha sebisanya, dia menjawab, “A-aku benar-benar suka dia! Dia sangat keren, sangat jujur, dan sangat bisa diandalkan. Oh, tapi dia juga bisa sangat aneh dan manis kadang kala dan seperti, ketika dia mengantuk, aku merasakan sensasi aneh ini. Juga, dia agak sulit untuk dipahami, tapi dia benar-benar baik… Umm, dan, dan. Ahh, ahaha. Aku mengatakan sesuatu yang agak aneh, ya?”

Yuigahama tersenyum malu selagi kembang api menerangi pipinya.

“Oh… Aku senang mendengarnya.”

Hanya untuk sekilas, Haruno-san menunjukkan ekspresi yang mungkin saja bisa disebut menyayangi. Tapi untuk orang ini, ekspresi itu kelihatan anehnya janggal.

Tapi—atau sebaiknya kukatakan, seperti yang diduga—sesaat selanjutnya, matanya berubah menjadi mata seorang yaksha[15].

“Awalnya itu yang dikatakan semua orang. Tapi mereka semua akhirnya melakukan hal yang sama. Mereka cemburu dengan Yukino-chan, membencinya, menolaknya, dan kemudian mulai mengucilkannya… Kuharap kamu akan berbeda dari mereka.”

Ekspresi tersenyumnya begitu manis sampai terlihat ganas, sampai terlihat menakutkan.

“…Aku,“ kata Yuigahama, tertekan, tapi melanjutkan. “Tidak akan melakukan sesuatu seperti it.”

Dia menatap balik, tidak melepaskan tatapannya.

Haruno-san menerima tatapannya secara langsung dan mengangkat bahunya lalu melihat ke arahku. “Hikigaya-kun, kamu paham apa yang sedang coba kukatakan, bukan?”

“Ya, kurang lebih.”

Tidak mungkin aku tidak mengerti.

Aku sudah lebih dari cukup menyaksikannya. Bukan cuma Yukinoshita; semua orang yang berada di atas orang lain dikucilkan dari kelompok-kelompok. Pancang yang menjulur tidak dihancurkan ke dalam. Pancang itu akan ditarik keluar dan dilempar ke samping, hanya untuk ditinggal busuk oleh hujan dan angin.

“Ya, ya. Aku suka sekali mata itu,” kata Haruno-san.

Aku berpaling ke arah Haruno-san dan mata kami bertemu. Matanya cukup dingin untuk mengirimkan hawa dingin menjalari sumsumku. Tiba-tiba, dia tersenyum. “Hehe, kamu benar-benar hebat sekali, Hikigaya-kun. Aku suka caramu melihat sesuatu dengan penasaran dan menyerah.”

Itu sama sekali tidak terasa dia sedang memujiku.

Tidak usah ditebak lagi karena ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua yang dikatakan orang ini.

Kamu sebaiknya tidak percaya pada orang yang mengambil bagian positif darimu, membandingkannya dengan yang lain, dan berkata mereka menyukainya. “Aku suka sekali seleramu~” and “Aku suka itu. Seleramu, juga…” itu sama sekali berbeda. Sumber: masaku sewaktu SMP. Aku tidak akan tertipu oleh trik kata-kata seperti itu lagi saat ini.

“Jadi bagaimana denganmu, Hikigaya-kun. Apa kamu suka Yukino-chan?”

“Aku telah diajari oleh ibuku untuk tidak memilih-milih mana yang kusuka dan mana yang tidak.” Jawabku dan Haruno-san tertawa ramah.

Waktu berjalan semakin larut di malam hari ini dengan perlangsungan festival kembang api yang lamban.

Tirai emas beranjak turun dari atas langit.

Penutupan festival kembang api itu adalah suatu pancaran kembang api emas dan diberi tepuk tangan yang meriah.

“Oke, kelihatannya festival kembang api sudah usai,” kata Haruno-san, seraya berdiri. “Aku akan pulang sebelum mulai ramai.”

Matanya menanyakan kami apa yang akan kami lakukan. Melihat kembali ke arahnya, Yuigahama berdiri dan berpaling ke arahku. “Kita sebaiknya pulang juga.”

“Ya.”

Ketika aku membayangkan bahwa kami tidak bisa bergerak dan dikelilingi kerumunan orang, bulu kudukku merinding. Pilihan yang benar di sini adalah untuk mengikuti Haruno-san dan segera beranjak pulang ke rumah.

Dan entah kenapa, kami bertiga mulai berjalan bersama-sama.

Kami terus menyusuri jalan setapak ke arah lapangan parkir dari samping area bayar. Kelihatannya kami akan bisa menghindari kerumunan dengan melewati jalan ini untuk pergi dari lokasi ini.

Ketika kami sampai ke lapangan parkir, sebuah mobil limousine mendekati kami.

Apa Haruno-san memanggilnya sebelumnya? Apa dia itu supir kelas-atas yang mengantisipasi tindakannya dan bergerak lebih dulu?

Limousine itu terparkir persis di samping trotoar tempat kami berjalan.

“Aku bisa memberi kalian tumpangan pulang kalau kalian mau?”

“U-Um…” Yuigahama melihat ke arah wajahku saat ragu-ragu untuk memutuskannya.

Aku sedang menatap ke arah limousine itu, tidak memberikan jawaban. Mobil itu kukenal dan aku mungkin tidak keliru; ini adalah limousine itu.


“Kamu tidak akan menemukan goresan yang tampak sekeras apapun kamu mencarinya, kamu tahu.”


Haruno-san tersenyum sambil tertawa kecil.

Namun, Yuigahama dan aku tidak tersenyum sedikitpun. Bingung dengan keheningan tersebut, Haruno-san menghentikan tawanya. “H-Huh? Yukino-chan tidak memberitahumu? Apa aku sudah melakukan hal yang buruk untuk dia.”

Suara yang bersalah. Kelihatannya dia tidak berbohong, tapi tetap saja suasananya berat.

“Kalau begitu… jadi…”

Aku dapat mendengar bisikan kecil Yuigahama.

Aku tahu dengan mudah apa yang akan dia katakan. Jadi, ternyata, Yukinoshita tahu.

Haruno-san kelihatannya tidak menduga reaksi kami dan mencoba untuk menengahinya, menambahkan, “Ah, tapi jangan salah sangka dengannya. Bukan Yukino-chan yang salah.”

Aku… tahu itu. Tidak ada satu hal pun yang Yukinoshita salah lakukan. Itu karena Yukinoshita selalu benar.

“Dia cuma ada di dalam mobil itu, jadi dia tidak melakukan apapun yang salah. Apa itu tidak masalah, Hikigaya-kun?” kata Haruno-san seakan memastikannya denganku.

Itu adalah sesuatu yang baru pertama kali kudengar, tapi itu tidak mengubah apapun. Tidak peduli tingkat keterlibatan Yukinoshita, kebenarannya tidak akan bergeming.

“Kurasa begitu. Memang bukan dia yang menyebabkan kecelakaan itu. Dia sebenarnya tidak berkaitan.”

Suaraku terdengar lebih kasar dari yang kusangka. Malam ini begitu panas dan lembab, namun aku dapat merasa panas tubuhku menurun.

Terdengar suara ketukan dari sandal kayu dan melangkah sekali ke arahku. Seakan langkah kaki itu mendorongku pergi, aku memaksa untuk menaikan kehangatan suaraku. “Lagipula, itu sudah masalah yang berlalu! Prinsipku adalah untuk tidak terus memikirkan masa lalu dan kalau aku melakukannya, hidupku akan benar-benar suram, jadi sungguh…”

H-Huh? Bukankah suaraku malah semakin kasar di akhir tadi!? Trauma masa lalu memang harus ditakuti.

“Oh oke. Karena itu sudah berlalu, tidak ada masalah sekarang, kan?” Haruno-san terlihat lega, mengelus dadanya dengan berlebih-lebihan. Tapi berkat itu, suasananya menjadi lebih ceria.

“…Oke, kami jalan dulu sekarang,” kataku.

“Oke.”

Dia segera membiarkan kami pergi, tidak repot-repot menghentikan kami.

Ketika supirnya menyadari percakapannya sudah usai, dia datang untuk membukakan pintunya. Haruno-san mengucapkan terima kasih padanya dengan suara kecil dan menaiki limousine itu. “Oke, Hikigayakun, sampai jumpa nanti.”

Dia melambai padaku dengan riang, tapi jujur saja dia bukanlah orang yang ingin sering kujumpai.

Setelah supir itu menutup pintunya dan kembali ke kursi pengemudi, limousine itu dengan perlahan melaju pergi.

Kemudian, Yuigahama dan aku mulai berjalan dengan hening. Kami mungkin ingin sedikit lebih banyak waktu lagi sebelum kami dapat mengatakan sesuatu.

6-5[edit]

Kami meninggalkan lokasi itu lebih awal, tapi banyak orang lain yang kelihatannya sepemikiran dengan kami, jadi stasiun itu lumayan padat.

Karena festival kembang api, kereta api tiba agak telat pada peron perjalanan awal. Ketika kami menaiki kereta api itu, kereta itu sudah diisi cukup penuh sehingga kami tidak bisa duduk, jadi Yuigahama dak aku berdiri di depan pintu.

Stasiun terdekat dari rumah Yuigahama hanya berjarak satu stasiun. Kalau aku, tempat pemberhentianku sekitar tiga stasiun dari sini. Jaraknya tidak begitu jauh.

Kurang dari lima menit, terdengar pengumuman yang menyatakan kami akan tiba ke stasiun berikutnya.

“…Hei.”

Kami berdua telah diam sepanjang waktu sampai Yuigahama membuka mulutnya. Aku melihat ke arahnya sebagai balasannya dan setelah jeda sejenak, dia berkata, “Hikki… Apa kamu mendengarnya dari Yukinon?”

Pertanyaannya adalah jenis pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya, tapi tetap harus ditanyakan.

“Tidak, aku tidak mendengar apapun.”

“Oh, oke. U-Um… Ah.”

Kereta api itu tiba-tiba berhenti. Pintunya tergeser dan udara sejuk malam hari mengalir ke dalam kereta api tersebut.

Yuigahama merenung selagi dia melihat ke luar dan ke arahku. Tapi sebuah lonceng berbunyi yang menandakan pintu akan segera tertutup.

Sama sekali tidak ada waktu untuk berpikir ataupun menguatirkan apapun. Aku menghela pendek dan turun dari kereta api. Yuigahama ikut turun denganku dan bertanya dengan wajah yang sedikit kaget, “Apa kamu yakin kamu turun ke sini?”

“Agak canggung untuk menghentikan percakapannya di sana… Kenapa itu? Apa kamu sengaja menunggu saat tersebut?”

“Te-tentu saja tidak! Cuma sulit untuk mengatakan sesuatu!”

Kelihatannya itu tidak disengaja dinilai dari alasannya yang gugup. Sungguh licik. Kamu licik sekali, Yuigahama-san.

“…Aku akan mengantarmu pulang.”

“Terima kasih…” dia menuturkan ucapan terima kasih.

Kelihatannya rumah Yuigahama tidak begitu jauh dari stasiun. Tapi karena dia kelihatannya tidak terbiasa mengenakan sandal kayu itu, laju berjalan kami telah melamban.

Kami berjalan dengan santai, suara langkah kaki dua orang menyela kota yang hening tersebut.

Malam semakin larut, dan walaupun kami berjalan di luar—mungkin karena anginnya—kelembaban dan panasnyaa tidak terasa menyiksa.

“Apa kamu mendengar sesuatu darinya?” tanyaku padanya, melanjutkan dari percakapan kami barusan.

Yuigahama menggelengkan kepalanya dengan lemah. “…Tapi tahu tidak? Aku rasa ada beberapa hal yang memang tidak bisa kamu utarakan. Dan ketika kamu melewatkan kesempatanmu, akan semakin sulit untuk… Maksudku, aku juga begitu…”

Tentu. Mengenai kecelakaan itu, Yuigahama baru mengakuinya satu tahun setelahnya, tapi hanya ketika itu telah diberitahu padaku.

“Ketika kamu mencoba untuk mempersiapkan dirimu atau terus memikirkannya, kamu akhirnya hanya akan terus menundanya semakin dan semakin lama.”

Ya, aku dapat memahami situasi itu. Itu jauh lebih mudah terjadi ketika kamu ingin mengatakan sesuatu secara formal.

Dan untuk meminta maaf atau bertobat, itu jauh lebih sulit. Bukan hanya itu sudah sulit untuk dikatakan, tapi juga semakin lama kamu menunggu, semakin banyak masalah yang kamu dapat untuk mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi ada juga hal yang bisa kamu katakan tanpa berpikir panjang di tengah panasnya suasana.

“Lagipula, mungkin Yukinon tidak bisa mengatakan apapun karena situasi dengan keluarganya. Walau aku tidak begitu yakin apa yaang sedang terjadi. Haruno-san juga agak menakutkan…”

Dia bukannya sedang membelanya.

Namun, memang benar melihat lingkungan Yukinoshita yang tertutup, biasanya akan sulit untuk mengatakan apapun. Kedudukan keluarganya yang tinggi, kakaknya, dan bahkan melampaui kakaknya yang telah dia singgung, ibunya.

Aku rasa pasti ada sesuatu yang sedang terjadi.

Itu apa yang kurasakan, tapi, yah, itu bukan masalah orang lain untuk menguatirkan tentang masalah keluarga orang lain.

“Kurasa kita sebaiknya jangan ikut campur dengan masalah domestik orang lain,” kataku.

Yuigahama berpikir. “D-Dome, stik… Oh, maksudmu seperti DV.”

“Jangan katakan sesuatu yang kamu tidak tahu punya. Kupukul nanti.”

“Jadi itu DV[16]!?”

Bukan, sama sekali bukan DV. Itu cuma V, visualnya saja.

“Yaa, nah. Bukankah kita sebaiknya pura-pura saja kita tidak tahu soal kecelakaan itu atau keluarganya?”

Artinya, kita sebaiknya jangan buka-bukaan soal itu. Kalau Yukinoshita tidak ingin menyinggung permasalahan tersebut, maka sebaiknya tetap seperti itu saja.

Kami tidak dapat memahami satu sama lain, dan kalau kami berpura-pura paham, itu cuma akan terasa menjengkelkan. Ada segala jenis situasi dimana acuh tak acuh itu adalah sesuatu yang patut disyukuri.

Persis seperti terpeleset jatuh saat hujan dengan banyak barang bawaan atau diceramahi di depan kelas, kamu benar-benar ingin semua orang tidak berbicara padamu setelahnya.

Semua orang sebaiknya cepat menyadari bahwa memanggil orang itu dengan baik hati dan ramah hanya akan melukai mereka, jangankan tidak menyelamatkan mereka.

Ada, juga, kalanya dimana belas kasihan dan iba itu dapat menjadi serangan penghabisan.

“Apa kita benar-benar sebaiknya tetap seperti ini dan pura-pura tidak tahu…?” Yuigahama melihat ke arah kakinya, terlihat tidak yakin.

Aku tetap berdiri untuk tetap sejajar dengan Yuigahama yang telah berhenti berjalan.

“Aku tidak merasa hal yang tidak kamu tahu itu buruk. Semakin banyak yang kamu tahu, masalahnya bisa semakin menjengkelkan.”

Untuk tahu hanyalah untuk mengangkat beban resiko. Ada banyak situasi dimana kamu bisa senang-senang saja selama kamu tidak mengetahui itu semua. Dan salah satu yang paling jelas dari semuanya adalah apa yang sebenarnya dirasakan orang.

Semua orang menjalani hidup mereka dengan sedikit banyak berbohong dan menipu orang lain.

Itulah kenapa orang terus menerus dilukai oleh kebenarannya. Tujuan satu-satunya adalah untuk menghancurkan kedamaian seseorang.

Beberapa detik keheningan.

Hanya menggunakan waktu itu untuk berpikir, Yuigahama memberikan jawabannya sendiri. “Tapi… Aku ingin tahu lebih… Aku ingin kita saling memahami satu sama lain dan aku ingin kita semakin dekat. Kalau kita mendapat kesulitan, aku ingin bisa membantunya.”

Yuigahama berjalan duluan seakan untuk menuntun jalannya.

Telat selangkah, aku berjalan setelahnya.

“Hikki. Kalau Yukinon mendapat kesulitan, bantu dia, oke?”

“……”

Aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjawab permintaan itu.

Beberapa detik, kali dua, atau bahkan kali sepuluh, aku rasa aku tidak akan pernah bisa mendapatkan jawaban yang sama seperti Yuigahama.

Itu karena aku tidak berniat bertindak di luar batasanku. Aku tidak pernah melakukannya sampai hari ini dan aku tidak akan melakukannya mulai sekarang ini.

“Tidak, aku rasa itu tidak akan terjadi.”

Entahkah itu Yukinoshita mendapat kesulitan, dia meminta bantuan, atau aku melangkah melewati batasan itu atas kehendakku sendiri.

Ketika aku mengatakan ucapanku yang dipenuhi dengan beragam arti, Yuigahama melihat ke atas langit yang berbintang. Sandal kayunya mengetuk dan dia menendang sebutir batu di dekat kakinya. “Meski begitu, kamu pasti akan membantunya, Hikki.”

“Tidak mungkin kamu tahu itu.”

Sebelum aku bisa menanyakan bagaimana dia bisa begitu yakin dengan itu, Yuigahama berpaling ke belakang menghadapku.

“Maksudku, kamu membantuku, bukan?”

“Sudah kubilang sebelumnya. Itu cuma kebetulan. Aku melakukannya tanpa mengetahui itu akan membantumu. Itulah kenapa, aku sama sekali tidak membantumu.”

Itulah kenapa. Ucapan terima kasih itu, rasa percaya itu, atau apapun di luar semua itu.

Itu semua hanyalah kesalah-pahaman dari ilusinya.

Penilaian sesuatu yang dapat dilakukan semua orang selain diriku bukanlah sesuatu untuk menimbangku. Menilai tindakan dan kepribadian seseorang itu dua hal yang sama sekali berbeda. Persis seperti orang yang baik tidak akan dinilai baik dengan satu perbuatan baik saja, melandaskan kepribadianku pada satu tindakan saja merupakan suatu masalah bagiku. Maka dari itu, rasa percaya Yuigahama yang dipengaruhi perasaannya itu keliru.

“Jangan harap sesuatu seperti itu dariku.”

Karena kamu pasti akan kecewa. Itulah kenapa kamu jangan mengharapkan sesuatu dariku sedari awal.

Yuigahama dan aku terus berjalan dengan jarak yang tetap di antara kami. Suara langkah kaki kami mengetuk tanah menggema berselang-seling di dalam kota malam ini.

Ketidak-sesuaian gema tersebut terus berlanjut, jarak kecil sebuah langkah itu tidak pernah semakin mengecil.

Dan tiba-tiba, jarak itu memendek.

Yuigahama tiba-tiba berhenti di tempat dan aku tersandung, tubuh kami menjadi semakin dekat.

Dia berpaling ke belakang padaku dan diterangi oleh cahaya lembut dari bulan.

“Meskipun kecelakaan itu tidak terjadi, Hikki pasti akan membantuku. Dan juga, kurasa kita masih akan pergi melihat kembang api bersama-sama seperti ini.”

“Tidak… tidak akan… Tidak akan ada alasan bagiku untuk membantumu.”

Tidak ada arti pada sebuah pengandaian yang tidak terjadi.

Tidak ada “andai” dalam hidup.

Hidup hanya ada “maka”.

Namun, Yuigahama menggelengkan kepalanya dengan lembut. Pada sudut matanya yang berair, aku dapat melihat pantulan cahaya lampu jalan.

“Tidak, itu tidak benar. Kamu mengatakannya sendiri, Hikki. Bahwa meskipun kecelakaan itu tidak terjadi, kamu masih akan sendirian… Dan kamu tahu bagaimana diriku ini. Aku akan mulai menguatirkan sesuatu suatu hari nanti dan kemudian aku akan dibawa ke Klub Servis dan itulah saat aku bertemu denganmu, Hikki.”

Angan-angan yang mungkin saja bisa terjadi itu begitu anehnya terjalin dengan kenyataan sehingga aku tidak bisa menolaknya begitu saja atau membantahnya. Kalau Yukinoshita, Yuigahama, dan aku semua bertemu dengan cara yang lain, apakah kami akan mampu membentuk sejenis hubungan yang lain?

Selagi aku sedang berpikir, Yuigahama meneruskan, suaranya penuh dengan semangat. “Setelah itu, Hikki akan memikirkan solusi yang bodoh dan tak berguna lagi. Kemudian kamu pasti akan membantuku. Dan kemudian—“

Suara yang menyela.

Mungkin saja itu dariku ataupun mungkin darinya. Suara menelan atau mungkin saja debaran yang meningkat.

Untuk waktu sesaat, hampa dengan kata-kata.

Penasaran dengan suaranya yang disela, aku mendongak dan mataku bertemu dengan mata Yuigahama.

“Dan kemudian, aku yakin aku akan…”

Bzzzz.

Aku dapat mendengar suara getaran. Ponselnya sedang bergetar.

“Ah…” Yuigahama melirik ke arah tas kecil di tangannya. Tapi dia mengabaikannya dan mencoba untuk meneruskan. “Aku yakin aku akan…”

“Apa kamu yakin kamu tidak mau mengangkatnya?” kataku, membuatnya berhenti melanjutkan.

Yuigahama menundukkan matanya ke bawah pada tas kecil di dekat tangannya dan meremasnya. Tapi dia hanya melakukannya untuk sejenak sebelum dia mengeluarkan ponselnya dan tertawa malu-malu selagi dia mengangkat wajahnya.

“…Ini dari ibuku.”

Dia memberitahuku untuk menunggu sejenak, melangkah pergi beberapa kali, dan mengangkat teleponnya.

“Uh huh. Uh huh. Aku sudah hampir sampai ke rumah. Uh huh. Oke. Huh? Tidak apa-apa! Aku tidak perlu itu! Aku akan segera sampai, ya!”

Yuigahama terus menerus berbicara di ponselnya mengenai sesuatu dan kemudian menutupnya secara sepihak. Setelah melotot pada ponselnya sejenak, dia meletakkannya kembali pada tasnya.

“Rumahku pas di sebelah sana, jadi di sini saja tidak masalah. Terima kasih mengantarku pulang… Sa-Sampai jumpa nanti!”

“Itu sungguh…”

“Uh huh, bye. Selamat malam.”

Dia melambaikan tangannya sambil berkata “bye bye” dan aku menjawab balik dengan mengangkat tanganku.

“Ya, sampai nanti.”

Yuigahama dengan cepat melangkah ke dalam rumahnya tanpa mendengar semua jawabanku sampai akhir. Aku sedikit kuatir dia akan tersandung, tapi setelah dia menghilang ke dalam apartemennya, aku berjalan pergi.

Aku berjalan menyusuri distrik perbelanjaan saat berjalan pulang dan seakan semangat dari festival itu masih belum hilang, sekelompok pria muda dan wanita yang mabuk sedang bersenang-senang.

Aku menghindari mereka dan berjalan sampai ujung jalan itu, terus berjalan maju dengan sikap biasa. Untuk setiap langkah yang kuambil, keributan dan kepadatan itu semakin menjauh.

Ketika semakin sedikit lampu pejalan kaki dan bangunan tinggi di sekelilingku, mobil yang ngebut berlalu lalang. Lampu mobil yang mulai menancap gas pada jalur ke arahku itu begitu terang sampai aku mengalihkan pandanganku dan berhenti.

Namun, itu cuma untuk sesaat.

Mataku yang dialihkan akhirnya harus melihat ke depan juga.

Mundur ke Bab 5 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 7

Catatan Translasi[edit]

  1. Referensi Bleach.
  2. Kalimat asalnya adalah ドア閉まります (doa shimarimasu) yang berarti “Pintu akan segera tertutup”. Kalimat ini diubahnya menjadi ダァシェイリェス (daa sheiresu) yang dikatakan Hachiman di sini.
  3. Entah kenapa, banyak judul film Seagal di Jepang memiliki kata 沈黙 (chinmoku) yang berarti “hening”.
  4. Parodi iklan MasterCard.
  5. Kabaya adalah perusahaan makanan Jepang.
  6. Mission Research 200-X adalah siaran televisi Jepang dimana mereka pergi berkeliling mencari tahu fenomena dan hal-hal yang aneh, menarik dan janggal.
  7. Parodi slogan Chitanda Eru dari Hyouka – 気になります (ki ni narimasu) yang artinya “Aku penasaran!” dengan 木になります(ki ni narimasu) yang artinya “Aku akan menjadi pohon”.
  8. Parodi sebuah program di Jepang yang disebut, “Pertandingan berenang penuh dengan gadis!”
  9. Salah satu jurus Yamcha dari Dragonball.
  10. Kalimat Nobuko Iwaki. Dia adalah politisi Jepang dari Partai Demokrasi Liberal di Jepang.
  11. Iklan Politisi Iwaki.
  12. Dragonball
  13. Gifu itu nama kota, tapi juga bisa berarti bapak mertua.
  14. Referensi dari Kodoku no Gourmet.
  15. Yaksa (berasal dari bahasa Sanskerta) adalah sejenis makhluk dalam mitologi Hindu, setengah manusia, setengah dewa. Memiliki dua wajah, singkatnya, yang baik dan yang galak.
  16. Digital video, Domestic Violence (KDRT, kekerasan dalam rumah tangga).