Oregairu (Indonesia):Jilid 6 Bab 3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3: Seperti yang Diduga, Drama Musikal Ebina Hina itu Busuk. 2[edit]

3-1[edit]

Bangunan sekolah ini, Festival Budaya sudah hampir sekitar sebulan lagi, sedang dalam keadaan histeris.

Mulai hari ini, diberikan izin untuk tetap tinggal selepas sekolah untuk persiapan Festival Budaya. Di kelas-kelas lain, orang-orang bolak-balik mengangkut kardus, mempersiapkan peralatan seni dan sebagainya selagi orang-orang yang tak sabaran memulai pesta poranya, berlarian dengan camilan dan minuman dalam gengamannya, berteriak “camilan!”

Seperti itu pula, kelas 2-F membuat kemajuan untuk Festival Budaya tersebut.

Hayama berdiri di meja guru dan memanggil semuanya untuk menarik perhatian mereka. “Oke, ayo kita pilih staf dan pemerannya… Untuk penulis naskah, kita serahkan pada Hina, dan yang lain…” Dia menuliskan tugas-tugas yang dirasakannya perlu di atas papan tulis.

Hasilnya:

Direktur – Ebina Hina

Produser – Ebina Hina

Penulis naskah – Ebina Hina

Dan maka, staf impian telah terbentuk. Bukan berarti ada orang lain yang bisa melakukan tugas ini… entahkah itu produser eksekutif atau super produser…

Yang melengkapi staf kreatif ini adalah:

Asisten Produser – Yuigahama Yui

Periklanan – Miura Yumiko

Anggota-anggota staf yang penting ditunjuk selama ini berlangsung. Dengan sedikitnya peran perempuan dalam dramanya, sangat masuk akal untuk mengharapkan tugas-tugas ini ditangani oleh para gadis.

Tapi, masalah sebenarnya adalah yang muncul setelah ini.

Drama artinya artis, dan ditambah lagi, artisnya harus sebagian besar laki-laki. Malah, itu bisa dibilang pemerannya semua laki-laki. Ini adalah “Pangeran Kecil” ~DagDigDug! Lelaki Dimana-mana~[1].

Awalnya, pikiran mereka terbuka, menanyakan pada mereka siapa yang bersedia ikut memainkan drama ini, tapi tidak mendapatkan respon apapun. Yah, itu tidak mengejutkan karena tidak mungkin ada orang yang ingin mengajukan dirinya untuk memainkan drama seperti itu.

“Uhhh, teman-teman, kalian tidak perlu kuatir soal lembar tokoh tempo hari, oke? Kita jelas tidak akan mengikutinya.” Walau Hayama berusaha untuk membuatnya terdengar lebih baik, dia tidak mampu menghapus kesan yang terlekat pada drama tersebut, dan keheningan yang aneh menyeliputi semua laki-laki di sana.

“Kalau begitu kurasa kita harus melakukan ini…” kata gadis tersebut, mengelap kacamatanya dengan kenekatan yang busuk, dan dia naik ke atas panggung.

Dia yang memegang kocokan undian dari Neraka adalah Ebina Hina.

Mengabaikan keributan di kelas, dia menuliskan nama-nama peran yang telah ditetapkan. Kelihatannya dia memanfaatkan kekuasaan penuhnya sebagai sang kepala produksinya.

Pertama, dia mengisi peran-peran untuk pemeran sampingan.

Di bawah tulisan mawar, raja, dan pria sombong, Ebina-san menggoreskan kapur pada papan tulis, menuliskan nama-nama.

“Tiiiiiiiidak!” “Kasih aku yang lain asal jangan Pembuat Peta!” “Gunung Matterhornku!”

Untuk setiap nama yang dia tuliskan, teriakan kematian bermunculan setelahnya. Lukisan neraka yang menggambarkan kekacauan sedang diciptakan di depan kami.

Selanjutnya, waktunya mengumumkan pemeran utama.

Pangeran Kecil: Hayama

Hayama terbeku. Wajahnya juga agak pucat. Namun, para gadis, dapat terdengar menjerit bergairah di seluruh kelas ini. Yah, toh ini peran utamanya, jadi memanfaatkan seseorang yang mampu menarik pengunjung adalah pilihan yang tepat.

Dengan itu, tinggal satu pemeran utama lagi…

Aku melihat ke arah tangan Ebina-san dan garis putih membentuk huruf-huruf yang sangat kukenali.

Narator: Hikigaya

“…Tidak, ini mustahil.” Kata-kataku menyelip keluar persis pada saat huruf-huruf tersebut tercetak ke dalam mataku.

Ebina-san yang bertelinga-tajam memasang wajah kebingungan. “Eh!? Tapi doujinshi Hayama x Hikitani itu harus-beli, kamu tahu!? Harus-gay, malah!”

Apa pula yang orang ini katakan…?

“Pangeran kecil dengan licik mendominasi pilot yang bersungut-sungut dengan kata-katanya yang diisi dengan kehangatan yang murni, dan itulah daya pikat karya ini!”

Tidak dari apa yang kudengar. Kamu akan membuat orang Prancis marah, kamu tahu.

“Tidak… Aku ikut ke komite panitia, jadi…”

“Y-Ya, itu benar. Hikitani-kun sudah menjadi perwakilan kita untuk komite panitia. Karena kita perlu latihan dan sebagainya, itu tidak begitu memungkinkan.”

Bantuan bagus, Hayama.

“Oh… Sayang sekali.”

“Ya, jadi, kenapa tidak kita pikirkan kembali semua ini…? Contohnya seperti peran untuk pangeran kecil itu.”

Jadi itu yang dia incar, huh? Tapi sebelum Hayama dapat menyelesaikan kata-katanya, Ebina-san menulis kembali yang tertulis di atas papan tulis.

Pangeran kecil: Totsuka

Narator: Hayama

“Perasaan bersungut-sungutnya mungkin tidak sekuat tadi, tapi kurasa ini pun jadi…”

“Jadi bagaimanapun aku harus memainkan drama ini, huh…” kata Hayama, bahunya melemas.

“Oh, sikap bersungut-sungut itu, bagus sekaliiiii~” Ebina menunjukkan acungan jempol padanya dan jari telunjuknya memberitahunya “kerja bagus!”

Aku benar-benar tidak peduli dengan Hayama, tapi Totsuka berperan sebagai pangeran kecil itu pilihan yang bagus sekali. Dia juga sangat mendekati gambaran “Pangeran Kecil”. Hanya saja orang itu terlihat bingung. Dia mungkin tidak menduga akan terpilih untuk peran tersebut.

“Ini kelihatannya agak sulit… Apa aku memang cukup bagus?”

“Ya, aku rasa itu sesuai denganmu.”

Mata Ebina-san cukup jeli untuk memilihnya, walau mataku berubah jadi busuk karena suatu alasan yang lain lagi…

“Begitukah… Ada banyak hal yang sungguh tidak kumengerti, jadi aku perlu mencari tahu…”

“Kurasa kamu akan baik-baik saja tanpa mencari tahu itu. Malah, mungkin akan lebih mudah untuk kamu pahami kalau kamu membaca karya aslinya saja. Kisah yang dia tulis itu benar-benar salah-tafsir sekali.”

Walau memang rajin itu bagus, ada banyak hal di dunia ini yang lebih baik tidak kamu ketahui. Kalau, Totsuka kebetulan tercerahkan pada jalan tersebut setelah pergi mencari tahu, aku, juga, tidak akan mampu menghilangkan kemungkinan bahwa aku juga akan membangkitkan sesuatu, jadi dengan segala cara, aku ingin mencegah hal itu terjadi.

“Kamu sudah pernah baca, Hachiman?”

“…Ya.”

Itu bukanlah cerita yang sangat tidak kusukai. Kalau aku harus mengatakannya, itu jenis cerita yang kusuka. Hanya saja ada beberapa poin-poin yang tidak bisa kumengerti di dalamnya sehingga aku tidak bisa mendorong diriku untuk memujinya secara terang-terangan. Itu adalah sebuah karya yang agak sulit untuk kujelaskan.

“Aku bisa meminjamkannya padamu kalau kamu ingin mencobanya.”

“Sungguh? Terima kasih!” Totsuka menampilkan sebuah senyuman seperti bunga yang mendadak mekar. Aku senang sekali hobiku itu membaca… Ini yang pertama kalinya aku berpikir begitu semenjak aku lahir.

Selagi kami berbicang, Totsuka dipanggil untuk rapat dengan para pemeran.

“Oke, aku ke sana dulu, Hachiman.”

“Silahkan.” Aku melihatnya pergi dan melihat ke sekeliling kelas.

Di sekitar sini, selain rapat para pemeran, ada juga yang sudah melibatkan kostum, diskusi mengenai rencana membuat iklan, dan juga upacara pemakaman untuk para pemeran dimulai di mana-mana.

Aku meninggalkan kelas sambil melihatnya dengan pandangan menyamping. Langkah kaki yang berisik mengejarku dari belakang. Aku tahu langkah kaki milik siapa itu meskipun aku tidak berpaling. Dua orang yang bisa kamu kenali hanya dari langkah kaki mereka saja adalah singkatnya Tara-chan[2] dan Yuigahama.

“Hikki, apa kamu pergi ke klub?” Dia memanggilku dari belakang.

Aku melambankan langkahku dan menjawab. “Ya, masih ada waktu sebelum rapat komite. Aku juga ingin memberitahunya bahwa aku tidak akan bisa menghadiri klub untuk sementara ini.”

“Begitu ya, itu masuk akal… Aku pergi juga.” kata Yuigahama, berdiri di sampingku.

Aku meliriknya dengan tatapan menyamping. “Bagaimana dengan tugasmu?”

“Tidak masalah. Kurasa aku akan sibuk setelah kita benar-benar memulai dramanya.”

Begitu ya, jawabku dengan singkat dan berjalan menyusuri lorong menuju ke ruangan klub.

3-2[edit]

Karena rapat komite panitia secara teratur dijadwalkan pada jam empat sore, masih ada waktu senggang sebelum rapat.

Bagi seseorang sepertiku yang tidak ditugaskan dengan tugas apapun, aku hanya akan menjadi penggangu kalau aku terus di kelas. Ditambah lagi karena aku telah ditunjuk menjadi komite panitia, aku paling hanya bisa kadang-kadang membantu mereka. Kalau itu terjadi, pada saat aku harus pergi dan memberikan tugas yang tersisa pada orang lain, itu akan perlu usaha ekstra dan masalah akan timbul. Itulah alasannya kenapa lebih baik jangan ikut campur pada apapun sedari awal. Di dunia ini, ada banyak situasi di mana tidak bekerja itu menguntungkan.

…Kalau mereka memaksaku ke dalam komite panitia karena mereka sudah mengantisipasinya, maka yang bisa kukatakan hanya “itu masuk akal.” Terbalik, orang yang paling memahamiku mungkin adalah teman sekelasku.

Makhluk yang tidak bisa disentuh. Memikirkannya seperti itu membuatnya terdengar agak keren.

Di SMA Sobu, klub banyak boleh menampilkan satu aktivitas. Contohnya, klub orkestra akan menggelar konser, atau klub upacara teh akan menggelar pesta teh.

Orang-orang pada dasarnya berpartisipasi dalam festival ini untuk nilai kelas. Kalau tidak, di bawah kedok “relawan”.

Suara bang bong sedari tadi itu kemungkinan berasal dari latihan yang dilakukan oleh band sukarelawan. Gitar, yang cuma keren pada saat-saat seperti ini, diguncang dengan penuh semangat, menggelegar dengan energi Pocasukajan[3], dan bass dimainkan dengan suara pom poko pom poko seakan Perang Tanuki sudah akan tiba ke tempat kami[4].

Tapi itu hanya berlanjut sampai antara bangunan utama dan bangunan spesial.

Koridor yang membentang sampai ke bangunan spesial adalah satu-satunya tempat yang mempertahankan keheningannya di dalam keributan ini.

Aku dapat merasakan suhunya turun satu atau dua derajat, mungkin karena lorong ini berada di bawah bayang-bayang.

Ruang klub sudah tidak dikunci. Aku dapat merasakan hawa dingin dari dalam sana seakan sebuah halusinasi sedang merangkak keluar.

Ketika aku menggeser pintunya, Yukinoshita ada di sana, tidak berbeda dari biasanya.

“Yahallo!” sapa Yuigahama.

Yukinoshita dengan perlahan mengangkat wajahnya, melihat ke arah pintu seakan pintu itu terang benderang, dan membuka mulutnya dengan enggan. “…Halo.”

“Yo.”

Kami saling bertukar sapa seperti biasa, dan berjalan ke tempat duduk kami setelah menjawab dengan semestinya.

“Jadi kamu juga ikut komite panitia, huh?”

“Eh? Sungguh?”

“Ya…” sahut Yukinoshita singkat tanpa memindahkan pandangannya dari buku yang sedang dipegangnya.

“Agak mengejutkan melihat Yukinon melakukan sesuatu seperti itu.”

“Sungguh…? Yah, kurasa begitu…”

Dia bukanlah tipe yang berdiri di hadapan orang. Yukinoshita yang kukenal bukanlah seseorang yang tidak memiliki ketegasan, tapi lebih pada, dia adalah seseorang yang tidak suka menonjol.

“Malah, aku merasa lebih terkejut melihatmu di komite panitia.”

“Ah, iya, kan? Itu sama sekali tidak sesuai dengannya.”

“Hei… Aku dipaksa ikut di tengah-tengah… Yah, kalau itu artinya tidak perlu mengikuti drama musikal itu, melakukan beberapa pekerjaan kasar tidak begitu buruk jika dibandingkan. Semuanya bagus pada akhirnya.”

“Alasan itu sangat mirip kamu.”

“Namun hal yang sama tidak bisa kukatakan untukmu.”

Tertanam dalam kata-kata tersebut adalah duri yang menusuk.

Duri itu tidak diarahkan pada Yukinoshita. Itu adalah duri yang diarahkan pada diriku. Sekali lagi, aku sadar bahwa aku sedang memaksakan pandanganku pada orang lain, membuatku merasa muak.

“……”

“……”

Yukinoshita mengabaikan kata-kataku sepenuhnya dan pandangannya sama sekali tidak bergerak dari bukunya. Itu adalah sebuah keheningan dimana bahkan waktu pun menggumpal.

Hanya jam antik tergantung di dinding yang berjalan menembus waktu dan suara detakan jam itu menjengkelkan telinga.

Yuigahama menghela dalam dan melihat ke arah jam. “Umm… kamu juga ada rapat komite hari ini, kan? Masalahnya, aku sebenarnya harus menghadiri diskusi kelas…”

Aku mengambil kata-kata yang kemungkinan akan dia pakai untuk meneruskannya. “Ya, itu benar. Aku juga akan sibuk dengan komite jadi aku tidak akan bisa hadir ke klub untuk sementara ini.”

Atau mungkin, “Aku tidak akan hadir” mungkin lebih akurat.

Yukinoshita memejamkan matanya seakan sedang merenungkan hal itu dan menutup bukunya. Kemudian, untuk yang pertama kalinya pada hari ini, dia melihat kemari. “…Pas sekali. Aku juga ingin berbicara tentang itu hari ini. Untuk sekarang, aku berpikir untuk menghentikan klub sampai akhir Festival Budaya.”

“Yah, terdengar cocok.”

“…Mmm, oke, itu masuk akal. Ini Festival Budaya dan semacamnya, jadi mungkin lebih baik seperti itu.” Yuigahama merenung sejenak, tapi dia berbicara dengan terlihat yakin.

“Baiklah, kalau begitu kurasa kita sudah bisa mengakhirinya untuk hari ini.”

“…Ya. Hikki, pastikan juga untuk membantu kelas setiap kali kamu ada waktu luang.” kata Yuigahama.

Aku berpikir sejenak. Ditambah tugasku sebagai anggota komite, kalau aku harus menghabiskan tenaga untuk apa yang ditampilkan kelasku juga, pasti menjengkelkan. Kerja Ganda Tak Berujung[5]

“…Kalau aku ada waktu… Baiklah, aku harus pergi.” Aku memberikan jawaban yang sama artinya engan “Aku pasti tidak akan membantu” pada Yuigahama, dan berdiri sambil memegang tas pada tanganku. Bahkan tasku yang amat ringan terasa berat bagiku.

…Tiidak, aku tidak mau pergi.

Apa persisnya perasaan ini? Apa memang sesakit ini untuk harus pergi bekerja? Perutku entah kenapa mulai berjungkir balik. Apa karena itu? Karena sekarang pikiranku sudah melampaui batasan fisik tubuhku, keyakinanku mulai mempengaruhi kenyataan itu sendiri. Marble Phantasm yang sungguh mengerikan[6].

Yah, kamu tahu, ini kerja, jadi aku masih harus melakukannya.

Tapi helaan muncul. Maksudku, aku juga tidak mau bekerja[7].

Baru saja aku akan meraih pintu, ada ketukan padanya. Ketika aku menajamkan telingaku pada suara itu, aku dapat mendengar suara gelak tawa di baliknya.

“Masuk.” jawab Yukinoshita dan pintunya digeser dengan patuh. Tawa yang terdengar seperti desiran daun bahkan semakin keras.

“Peeeeeermisi.”

Orang yang memasuki ruangan itu adalah seorang siswi yang kukenal.

Sagami Minami. Dia ada di kelas yang sama, anggota komite panitia Festival Budaya yang sama denganku, dan juga merupakan ketuanya.

Ada dua gadis lain yang menunggu di belakangnya. Mereka semua memasang senyuman tipis yang sama.

Mata Sagami menyipit setelah melihat ke arah kami. “Oh, ada Yukinoshita-san dan Yui-chan.”

Whoa whoa, aku rasa kamu tidak sedang melupakan satu orang lagi di sini? Kamu tahu, orang yang ada di kelas dan di komite panitia yang sama?

“Sagamin? Ada apa?” Yuigahama melihat ke arah siswi itu dengan tampang tanda tanya.

Tanpa menjawab pertanyaannya, Sagami berputar-putar, memandang seluruh isi ruangan tersebut. “Oooh~ jadi Klub Servis itu klub Yukinoshita-san dan kalian berdua huh?” Matanya melirik-lirik ke sekeliling ruangan itu, silih berganti antara aku dengan Yuigahama.

Aku sedikit merasa ngeri. Matanya menyembunyikan kelicikan seekor ular. Itu membangkitkan suatu perasaan yang aneh dan tidak mengenakkan seakan pupil matamu akan berkontraksi menjadi sebuah garis vertikal.

“Ada urusan apa kamu di sini?” tanya Yukinoshita, menggunakan nada kasar biasanya, meskipun dengan orang yang tidak dikenalnya dengan baik. Tapi entah kenapa, suaranya terlihat lebih dingin di banding yang biasa kurasa.

“Ah… Maafkan aku, untuk mendadak muncul kemari,” kata Sagami, memperbaiki etikanya sambil sedikit gelisah. “Aku, sebetulnya datang kemari untuk berkonsultasi…” Tanpa memandang mata Yukinoshita secara langsung, Sagami bertukar pandang dengan teman di sampingnya dan meneruskannya lagi. “Um, aku itu ketua komite sekarang, tapi aku tidak begitu percaya diri untuk itu, kamu tahu… Jadi, aku ingin meminta bantuanmu.”

Aku heran apa soal ini yang dia bicarakan pada Hiratsuka-sensei setelah rapat semalam. Jadi itu alasannya, sekali lagi, dia mengirimkan seseorang yang terlihat memiliki masalah pada Klub Servis ini.

Yah, aku ada gambaran tentang apa yang sedang coba dia katakan. Semua orang akan merasa terintimidasi saat dihadapkan pada tugas yang diberikan banyak tanggung jawab, apalagi kalau itu pertama kalinya mereka melakukannya. Dan dari apa yang kulihat dari Sagami di kelas, dia bukanlah tipe orang yang akan mengincar tugas seperti itu dengan percaya diri.

Tapi itu memunculkan pertanyaan mengenai apakah Sagami adalah seseorang yang benar-benar memerlukan bantuan.

Yukinoshita mengalihkan tatapannya ke arah Sagami, mengambil waktu sejenak untuk berpikir dengan hening. Karena Yukinoshita melihatinya tanpa bersuara, Sagami mengalihkan matanya karena merasa tidak nyaman.

“…Aku yakin ini bertentangan dengan tujuanmu untuk ingin berkembang, bukan?”

Seperti yang Yukinoshita katakan, Sagami-lah yang dengan sukarela menjadi kandidat ketua, menyatakan dia akan menerima segala kesulitannya untuk perkembangan dirinya, dan untuk itu, dia dijadikan ketua komite.

Sagami tergagap untuk sejenak, tapi warna wajahnya tetap bergeming, menampilan senyuman tipis yang sama lagi. “Yaaaaa, tapi, er, aku benar-benar tidak ingin merepotkan siapapun, dan gagal juga tidak begitu bagus, kan? Dan lagipula, aku rasa bekerja sama dengan orang lain juga merupakan bagian dari perkembanganku juga, jadi hal itu penting.”

Yukinoshita hanya duduk di sana, tanpa berkata-kata mendengarkan suara yang terus menerus melanjutkan tanpa jeda.

“Dan lagipula, aku juga bagian dari kelasku, jadi aku benar-benar ingin membantu di sana juga. Aku akan merasa suuuper bersalah kalau aku harus mengatakan aku sama sekali tidak bisa melakukannya. Kaaaan?” kata Sagami, dan dia menghadap Yuigahama.

“…Ya, kurasa begitu.” Walau Yuigahama berhenti untuk sejenak saja seakan dia sedang memikirkan sesuatu, dia setuju dengan Sagami.

“Oh, aku juga. Aku memang tipe orang yang suka bekerja dengan orang lain…”

“Iyaaaakan~ Macam, aku ingin sekali bisa lebih akrab dengan orang lain lewat acara ini, jadi kita harus membuat ini sukses, bukan!”

Dua gadis itu menganggukan kepala mereka sambil “Iyakan?” pada kata-kata Sagami.

Tapi, Yuigahama memasang wajah yang sedikit cemberut.

Perasaannya dapat dimengerti. Ujung-ujungnya, apa yang Sagami lakukan adalah meminta Yukinoshita untuk membereskan masalahnya karena terbawa suasana.

Ini tidak begitu berbeda dengan tempo hari ketika Zaimokuza mengutuk-ngutuk sekelompok orang yang dinamakan klub game setelah mengamuk di internet.

Apa yang Sagami rasa penting bukanlah pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan sebagai “ketua komite panitia Festival Budaya”, tapi gelar itu sendiri. Kalau dia benar-benar ingin bertindak sebagai seorang ketua yang baik, maka yang seharusnya dia lakukan adalah meminta bantuan dari orang dalam, bukan orang luar. Contohnya, Meguri-senpai mampu mendapatkan kerja-sama semua orang di dalam organisasinya. Dia mungkin terlihat sedikit tidak dapat diandalkan, tapi dia mampu membangun solidaritas dalam OSIS dan anggotanya, mungkin karena kepribadiannya, dan bahkan membuatnya terlihat sebagai organisasi siwa yang kompeten. Walau, ada juga kemungkinan bahwa sikap lemah dan tidak dapat diandalkannya merupakan alasan di balik terbentuknya persatuan itu.

Tapi Sagami berbeda. Itu karena dia malu untuk menunjukkan kelemahannya, tidak, itu karena dia ingin berpura-pura berani sehingga dia meminta bantuan orang luar; begitulah caraku memandangnya.

Itu adalah sesuatu yang tidak begitu berbeda dari Zaimokuza beberapa waktu yang lalu.

Sayangnya untuk dia, pekerjaan membereskan seperti ini adalah sesuatu yang akan kami tolak. Sudah waktunya bagi semua orang untuk menerima fakta bahwa terbawa suasana dan mengeluarkan keberanianmu biasanya tidak akan pernah menjadi sesuatu yang berarti.

Hanya pada saat kamu mendapat kenangan yang pahit, menyesalinya, dan menegur dirimu untuk tidak pernah mengulangi kesalahan yang sama lagi-lah kamu bisa menyebut itu berkembang.

Dengan itu di benakku, itu akan menguntungkan bagi kami untuk menolak permintaan Sagami di sini.

Malahan, mempertimbangkan bahwa itu dia yang sedang kami bicarakan, kita tidak seharusnya mengulurkan bantuan dengan begitu mudahnya. Aku juga lebih baik tidak menambah beban kerjaku.

Prihatin dengan Yukinoshita yang telah terdiam dari tadi, Sagami melirik ke arahnya dengan wajah murung.

Menyadari dia sedang menunggu dirinya untuk menjawab, Yukinoshita membuka mulutnya dengan perlahan seakan dia sedang mengumpulkan pemikirannya dan memastikannya. “…Jadi kalau aku rangkum, itu tidak masalah selama kamu ada seorang asisten, benar?”

“Yep, benar, benar.”

Sagami mengangguk dengan riang, telah akhirnya dimengerti, tapi ekspresi Yukinoshita terus tetap dingin.

“Begitu ya… Kalau begitu aku tidak keberatan. Aku juga di komite panitia jadi selama tidak melebihi itu, aku bisa membantumu.”

“Sungguh!? Terima kaaaaaasih!” Sagami menepukkan kesenangannya yang terlihat pada tangannya dan melangkah dua tiga kali lebih dekat pada Yukinoshita.

Berkebalikan dengannya adalah Yuigahama. Dia melihat ke arah Yukinoshita dengan tatapan yang berisi sedikit keterkejutan.

Jujur saja, itu juga tidak kusangka. Aku benar-benar berpikir bahwa permintaan seperti ini adalah jenis permintaan yang seharusnya kami hindari.

“Oke, terima kasih bantuannya!” kata Sagami, terlihat agak senang, dan meninggalkan ruangan itu dengan dua teman yang menemaninya. Hanya kami bertiiga yang tetap di ruangan itu dan suasananya menjadi sedikit lebih berat.

Ketika aku berusaha meninggalkan ruangan itu lagi, pada saat itulah.

Yuigahama berdiri di hadapan Yukinoshita, terlihat bertekad bulat. “…Bukankah kamu akan menghentikan klubnya?”

Nadanya jauh lebih keras di banding biasanya. Menyadari hal itu, bahu Yukinoshita menyentak, dan walau dia mengangkat wajahnya untuk sejenak, dia segera berpaling.

“…Itu sesuatu yang kulakuan secara pribadi. Itu bukan sesuatu yang perlu kalian berdua kuatirkan.”

“Tapi kalau seperti sebelumnya—”

“Ini seperti sebelumnya… Tidak begitu berbeda.”

Mempertahankan argumennya dengan gigih, kata-kata Yuigahama dipotong oleh Yukinoshita. Menyadari bahwa tekadnya tetap bergeming, Yuigahama menghela tipis seakan dia sudah menyerah.

“…Setidaknya kita lakukan bersama-sama—”

“Tidak apa-apa. Kalau ini mengenai seperti rapat komite panitia Festival Budaya, aku lumayan memahaminya. Lebih efisien kalau aku melakukannya sendiri.”

“’Efisien’… Mungkin, tapi tetap saja…” Yuigahama menggugamkan kata-katanya.

Yukinoshita melemparkan tatapan dinginnya pada sampul depan bukunya. Dia sedang mengisyaratkan bahwa dia tidak akan berkata lebih mengenai masalah ini.

Bagi kami berdua yang telah melihat secara langsung kehebatan Yukinoshita Yukino, kami sudah mengetahuinya dengan baik. Kenyataannya, dia mungkin bisa melakukan sesuatu meskipun dia sendirian.

“…Tapi aku masih merasa ini aneh.” kata Yuigahama, dan dia memalingkan punggungnya. Tidak ada suara yang memanggil pada punggungnya itu. “…Aku akan kembali ke kelas.”

Yuigahama berjalan pergi. Aku berdiri kelimbungan selagi aku melihat serangkaian percakapan mereka, tapi setelah aku sadar kembali, aku menyesuaikan tasku, dan meninggalkan ruangan klub setelah Yuigahama.

Ketika aku menutup pintunya, aku berpaling ke belakang.

Orang yang duduk di dalam ruang klub itu cuma Yukinoshita sendiri.

Itu adalah pemandangan yang mengerikannya indah, namun sangatlah memilukan, seakan ia menggambarkan cahaya dari matahari yang menyinari puing-puing yang tersisa pada sebuah dunia yang hancur.

3-3[edit]

Sepatu menghentak lantai linolium itu dengan keras.

Terbalik dengan penampilan lesunya, kaki-kaki tersebut menyentak dengan kaku.

“Itu seperti! seperti! seperti, yang benar saja!!”

“Hei, tunggu, tenangkan dirimu.” kataku dan menghentikan Yuigahama yang sedang berjaln di depanku.

Suara hentakan lantai itu berhenti dan dia berpaling ke belakang dengan suara ciutan. “Apa?”

Dia jelas sekali tidak senang terbukti dari ekspresi merajuk dan cemberutnya. Selagi aku berpikir betapa langka baginya untuk membuat tampang seperti ini, “Ada apa denganmu tiba-tiba?”

“Aku tidak tahu! Itu cuma seperti… Uuurgh.”

Hentikan erangannya. Apa kamu itu anjing atau semacamnya?

Yuigahama menghentak-hentak lantai dengan kakinya dengan frustasi. Setelah menenangkan perasaannya, dia menuturkan kata-katanya sedikit demi sedikit. Ïtu seperti… itu berbeda dari yang biasanya… Maksudku, Yukinon yang biasa sama sekali tidak seperti itu.”

“Yah, kurasa begitu…”

“Hikki juga.” kata Yuigahama dengan suara yang seakan ditusuk dengan belati.

“……”

Aku sendiri paham. Aku berusaha semampu mungkin untuk bersikap dengan cara yang sama seperti biasanya. Tapi itu selalu berbeda hanya dari fakta bahwa aku terus menyadarinya. Ketika aku menyadarinya, aku akan berusaha menyesuaikan sikapku yang hanya membuatku terlihat semakin canggung. Aku sepenuhnya terjebak ke dalam sebuah spiral.

Kurasa itu sesuatu yang bisa kamu pahami cuma dengan melihatnya saja, huh?

Entahkah menganggap keheninganku sebagai pembenaran kata-katanya atau menganggap aku sedang merenungkannya, Yuigahama tidak menyerangku lagi. Aku sedikit berterima kasih untuk itu.

“Dan juga…”

Selagi aku menunggunya melanjutkan kata-katanya, Yuigahama menggerak-gerakkan badannya dan terlihat enggan berbicara. “…Hei. Aku ingin berbicara mengenai sesuatu yang tidak mengenakkan, apa kamu keberatan?”

“Huh?” Aku menjawab dengan jawaban setengah hati, bingung atas apa yang sedang ingin dia katakan.

Yuigahama mendongak dari lantai dengan risih dan bertanya lagi. “…Kamu tidak akan membenciku, kan?”

“Tidak bisa janji.”

“Eh, apa sebaiknya kulakukan…” Yuigahama menghentikan gerakannya dan terpatung di tempat.

Dia antara memang sudah bodoh dari sananya atau sesuatu yang lain, tapi dia bukanlah seseorang yang cuma menunjukkan sisi cantiknya saja. Mendadak menunjukkan sifat perhitungan seorang gadis di sini bukanlah sesuatu yang bisa kutangani.

Meski begitu, jika begini terus, percakapannya tidak akan sampai ke manapun. Aku mendapat firasat tidak akan ada yang berubah tidak peduli apapun yang diungkitnya di sini. Aku menggaruk kepalaku dalam usaha untuk mengisi keheningan yang muncul di sana.

“…Haa, tidak apa-apa. Aku sudah sampai sejauh ini membenci sebagian besar orang, jadi tambah satu ini dan itu tidak akan membuatku membencimu dengan mudahnya.”

“Alasanmu agak menyedihkan…”

Aku menerima tatapan simpati yang sungguh-sungguh…

“Terserahlah, tidak masalah. Jadi, apa percakapan tidak mengenakkan ini?” aku mendesaknya.

Yuigahama menarik nafas dalam dan membuka mulutnya. “Ya… Um, kamu tahu. Aku tidak begitu senang, dengan Sagamin.”

“Masa. Jadi, apa percakapan tidak mengenakkannya?”

“Ba-barusan tadi percakapan tidak mengenakkannya…”

“Haa?” aku mengedip secara refleks seperti Furby[8]. Belai aku, belai akuuu!

“Eh, apa? Jadi apa yang tidak mengenakkan darinya?”

“Um, kamu tahu, seperti kamu tidak bisa akrab dengan orang, atau ada masalah dengan sesama perempuan, aku tidak merasa hal-hal seperti itu sangat bagus…”

YahariLoveCom v6-089.jpg

Jadi sesuatu seperti itu, huh? Yah, secara umum, kurasa begitu. Toh, tidak ada kesan positif yang muncul di benakku.

Aku tidak yakin kesan semacam apa yang dia rasakan dariku selagi berpikir tanpa berkata-kata, tapi Yuigahama mengaitkan jarinya bersama di depan dadanya, dan bergerak gelisah sambil membentuk segitiga terbalik.

“…Aku juga tidak ingin menunjukkan sisi burukku ini padamu.” katanya, mengejar sudut lorong dengan tatapannya.

“Jangan bodoh.” Itu begitu bodoh, sampai aku terkekeh. Tidak ada yang akan berubah cuma karena melihat itu, tolol.

“Aku juga tidak senang dengannya.”

“Uh huh, kurasa itu sedikit berbeda. Bukan lebih pada aku tidak senang dengannya, tapi kurasa, aku tidak begitu suka dengan Sagamin. Tapi kami masih berteman, jadi.”

“Ba-baik… Jadi kamu pikir kalian masih berteman, huh …?”

“Uh huh, kurang lebih, itu niatku.”

Seperti biasa, aku masih tidak mengerti apa yang membuat pertemanan di antara gadis.

“Tapi aku rasa dia mungkin tidak merasakan hal yang sama. Rasanya dia membenciku.”

“Ya, mungkin. Melihatnya saja sudah cukup untuk mengetahui itu.”

Itu kurang mendekati “benci”, tapi itu bisa dipandang sebagai tidak ramah dan agresif. Aku melihat ke arah Yuigahama dalam usaha untuk membicarakan tentang masalah ini sedikit lagi.

Yuigahama terpatung dengan pose yang aneh. “…Eh, ka-kamu melihatnya?”

“Hentikan, cuma bercanda, aku tidak melihatnya. Aku sama sekali tidak melihat apapun. Itu cuma mendadak muncul di benakku.”

“Yah, melihat, itu bukan, hal yang buruk atau semacamnya…” jawab Yuigahama selagi mengacak-acak rambutnya.

Um, maafkan aku, aku cukup banyak melihat, dengan sering dan dengan perhatian. Maafkan aku sudah berbohong.

Selagi aku meminta maaf dan mengakui kesalahanku di dalam hatiku, mata Yuigahama mendadak terlihat melamun. “Aku di kelas yang sama dengan Sagamin sewaktu kelas sepuluh, kamu tahu.”

“Huh, apa kalian bersahabat?”

“Yah, kira-kira.” Yuigahama menunjukkan ekspresi yang tidak biasa yang berada di ambang antara kuatir dengan berpikir.

“…Jadi ternyata kalian tidak bersahabat.”

“Hei, dari mana kamu dapat begitu!?”

“Jadi, kalian bersahabat?”

“Uh huh, kurang lebih.”

Ekspresi aneh itu lagi…

“Dengan kata lain, kalian tidak bersahabat.”

Yuigahama menghela pasrah. “…Astaga terserahlah, itu sudah cukup bagus.”

Cukup bagus ataupun tidak, seperti itu persisnya. Seluk-beluk gadis itu benar-benar sebuah misteri. “Waktu itu, kamu tahu, Sagamin dan aku dalam sebuah kelompok yang cukup menonjol. Dan rasanya, Sagamin juga terlihat agak bangga untuk itu.”

Sagami dan Yuigahama. Yah, mungkin ada yang lain selain mereka berdua, tapi mereka berdua di pusat kelas tidak sulit untuk dibayangkan.

Yuigahama cantik, tapi selain itu, dia adalah seorang gadis yang bersahabat dengan orang, ahli dalam menuruti orang lain. Itulah kenapa dia juga bisa menyesuaikan dirinya pada suasana yang menyolok dan aneh baginya.

Di sisi lain, aku merasa Sagami adalah seseorang yang, tergantung pada kombinasi kelompok itu, puas dengan mengincar posisi seperti itu. Bahkan di dalam komite panitia, dia segera menemukan teman, orang yang akan bersama dengannya, dan membentuk sebuah kelompok. Kemampuan berkomunikasi dan kemampuan menarik pesona dirinya itu kuat.

Tapi setelah mereka menjadi siswi kelas sebelas, posisi mereka telah berubah. Persisnya bagaimana celah ini terbentuk antara Yuigahama dengan Sagami? Keangkuhan, lingkungan mereka yang bervariasi…

Kemungkinan faktor terbesarnya adalah Miura.

Saat dia menjadi bagian kelas 2-F, dia telah digolongkan sebagai kasta atas. Melalui proses pemilihan anggota, Miura menggunakan kriteria kejam yakni “keimutan” untuk memilih dengan siapa dia rasa ingin bersahabat.

…Dia benar-benar berbeda dari yang lain. Dia menepis hubungan antar gadis dan memutuskan orang-orang yang ingin dia dekati. Entah itu baik atau buruk, dia memanglah seorang Ratu.

Dan kemudian, ada ketidaksesuaian antara Miura dengan Sagami. Aku tidak yakin apa ini cara yang tepat untuk mengatakannya, tapi dirinya yang masuk dalam kelompok kedua tertinggi membuatnya mudah untuk dipahami.

Fakta yang tidak diragukan lagi memalukan bagi Sagami yang memandang tinggi kedudukan kelompok. Meskipun posisinya di dalam kasta atas itu bukanlah sesuatu tanpa peran andilnya, fakta bahwa Yuigahama, yang berada di posisi yang sama, ada di sana bukanlah sesuatu yang dapat diterimanya dengan senang hati.

Dengan sendirinya, aku mulai sedikit memahami tindakan Sagami.

“Makanya, aku tidak begitu suka apa yang Sagami lakukan… Juga, cara Yukinon mendengar permintaannya, dan cara Sagami berusaha untuk bersahabat dengannya…” kata Yuigahama, dan dia kemudian memiringkan kepalanya karena kata-katanya sendiri. Setelah terlihat diyakinkan sesuatu, dia mengangguk kecil. “…Sebenarnya, kurasa aku mungkin lebih menyukai Yukinon dari yang kuduga.”

“Apa-apaan yang sedang kamu katakan?”

Yuru Yuri [9]mungkin diperbolehkan, tapi yuri sesungguhnya bukan sesuatu yang bisa kututupi, kamu tahu.

“Tidak, tidak, maksudku bukan seperti itu…! Kurasa aku cuma tidak suka ketika gadis lain mencoba bersahabat dengan Yukinon… aku seperti anak kecil, huh?” Yuigahama merona karena malu dan menggosok rambut baksonya seakan itu membuatnya risih.

Tentu itu hasrat yang picik untuk memonopoli. Keegoisan seperti ini tidaklah begitu langka bahkan di suatu pusat komunitas para gadis sewaktu masa kanak-kanak mereka. Adik kecilku Komachi juga menjalani masa-masa ini suatu kala. Sifat asli manusia adalah sesuatu yang tidak akan bervariasi jauh. Tergantung dari cara kita dilatih, itu cuma masalah menahan hasrat-hasrat semacam itu. Hanya sekali-kali semua itu akan muncul pada wajah kita.

“Gadis sungguh menjengkelkan, kan. Ada banyak yang harus dihadapi.”

Ketulusan yang dia tampilkan ketika dia mengatakan itu sangat lucu. Aku tidak bisa menahan tawaku.

“Hei, hei, laki-laki juga sama. Kami punya hal-hal seperti geng-geng kecil dimana kami akan saling bersahabat juga. Bukan cuma gadis yang spesial di sini.”

“Sungguh?”

“Kurang lebih.”

“Oh begitu ya… Manusia sungguh menjengkelkan, huh?” Yuigahama tertawa. “Tahaha.”

Kamu benar sekali. Mereka benar-benar menjengkelkan.

Dan karena aku mendapati bahwa itu tidak mengenakkan sehingga aku menghindari mereka selama ini. Berusaha keras untuk memasang kedok, tentu saja, bukanlah sesuatu yang asli.

“Berjanjilah padaku,” kata Yuigahama, dan tidak mampu memahami kata-katanya yang mendadak, aku tanpa bersuara memiringkan kepalaku sebagai balasannya. Yuigahama terus berdiri, dan menatap balik padaku. “Bahwa kamu akan membantu Yukinon setiap kali dia mendapat kesulitan.”

Omong-omong, pada saat berjalan pulang dari pertunjukkan kembang api, kami memang berbicara mengenai sesuatu seperti itu.

Seperti saat itu, ketulusannya yang kuat melandaku. Itulah kenapa aku menjawabnya, dengan segenap kemampuanku, dengan jujur dan dengan tulus.

“Hanya kalau itu sesuatu yang bisa kulakukan.”

“Oke, itu membuatku lega.” kata Yuigahama dan dia tersenyum.

Kamu membuatku kesulitan dengan mempercayaiku sepenuhnya.

Kelihatannya kata-kata singkatnya memiliki kemampuan membujuk yang lebih kuat. Kalau dia menambahkan satu atau lebih alasan, maka aku bisa mengeluarkan sifat perhitunganku dan mencari kontradiksi di baliknya, tapi mengakhirinya dengan hanya sebuah senyuman, aku tidak mampu mencari apapun lagi.

“Oke, kalau begitu aku kembali ke kelas dulu. Lakukan sebisamu di komite.” Yuigahama melambaikan tangannya dengan pelan dan berlari pergi.

Aku mengangkat tanganku sebagai balasannya dan mulai berjalan lagi.

3-4[edit]

Aku berpisah dengan Yuigahama dan menyusuri lorong yang menuju ke ruangan konferensi. Tempat itu terletak di sudut lorong berbentuk-L yang berbelok ke kiri. Setelah melewati itu terlihat tangga yang naik ke lantai tiga tempat kelas sebelas kami berada.

Di depan tangga tersebut, di depan lorong yang gelap, terdapat sosok yang menghalangi jalanku.

Mengenakan mantel meski di cuaca yang gerah ini dan sarung tangan tanpa jari pada tangannya adalah penampilan yang kukenali, jadi aku mengabaikannya dan berjalan melewatinya.

Sosok itu kemudian mengeluarkan ponselnya dengan perlahan dan mulai menelepon seseorang.

Dalam sekejap, ponselku bergetar.

Fakta bahwa dia repot-repot meneleponku meski kami berdua telah mengakui keberadaan satu sama lain mulai membuatku jengkel. Terlebih lagi, sosok itu mulai menampilkan aksi kecil yang lebih mempercepat rasa jengkel tersebut.

“Fuumu, tidak diangkat, kelihatannya. Apa mungkin dia sedang sibuk…? Ha, ha, ha, kalau itu Hachiman yang sedang kita bicarakan, itu mustahil. Kamu setuju bukan, Hachiman?”

“Aku tidak mau mendengar itu darimu…” Kalimat itu adalah sesuatu yang tidak bisa kudiamkan. Kalau saja ini orang lain, aku bisa mengabaikan mereka dengan tawa sinis, tapi harga diri murahanku tidak mengizinkan pria ini, Zaimokuza Yoshiteru, untuk mengatakan apapun yang dia suka. “Jadi? Apa sebenarnya yang kamu lakukan di sini? Naik turun tangga untuk diet?”

“Hmph, sungguh nostalgis. Aku sudah pasti pernah melakukan hal itu sebelumnya. Tapi dahulu kala, lututku mengalami pembengkakan. Ditambah lagi… bekas luka lamaku berdenyut. Memang, zakar nyeriku maksudku.”

Ma-masa… Kurasa kamu harus lebih menjaga kesehatanmu.

Mengabaikan keprihatinanku, Zaimokuza menyodorkanku setumpuk kertas yang dikeluarkannya entah dari mana. “Yang penting, Hachiman, bacalah ini. Apa pendapatmu tentang ini?”

“Apa? Aku tidak mau baca kalau itu tentang novel ringanmu.”

Kalau ini pada hari-hari biasa, aku akan bersikap lebih baik, tapi aku tidak punya waktu untuk itu. Rapat konferensi sudah hampir tiba dan aku tidak punya kemampuan, waktu, minat, dan niat baik untuk menemaninya.

“Nay! Itu bukan soal novel ringan!”

Bantahan tegasnya yang tak berarti membangkitkan sedikit minat dalam diriku. Kalau ini bukan soal novel ringannya, kalau begitu soal apa? Aku melihat ke arah kertas yang mengisi pandanganku.

Zaimokuza menampilkan seringaiannya dan berpose dengan dramatis. “Dengarkan dan terkejutlah! Pandanglah dan berlututlah! And then… matilah dan meminta maaf… Apa kamu sadar bahwa kelasku akan membuat sebuah drama?”

“Tidak aku tidak sadar… Lagipula, kenapa aku perlu mati dan meminta ma— hei, tunggu, tunggu, hentikan, kamu lebih baik jangan berkata apa-apa lagi…”

“Apa kamu tahu apa yang diperlukan ketika membuat drama? Yakni, sebuah naskah…”

“Tidak, hentikan itu, jangan bersikap prematur.” kataku, tapi Zaimokuza tidak mendengarkan peringatanku sedikitpun. Dia mengacungkan tinjunya ke atas langit, dan seakan sedang melantunkan lagi nina bobo yang nyaring, terus mengoceh-ngoceh tentang dirinya. Terus terang saja, dia sungguh menjengkelkan.

“Jangan nasehati aku. Orang tolol itu terus mengoceh tentang tidak mau membuat drama yang biasa, kamu tahu. Mereka menyarankan naskah buatan sendiri, singkatnya.”

“Hei, tolong, hentikan sudah.”

Aku tahu apa yang akan dia katakan. Aku tahu persis ke mana larinya ini. Itu karena aku pernah menyusuri jalan ini sebelumnya sewaktu SMP.

Hanya sampai SD dimana naskah-naskah buatan sendiri seperti itu, skenario untuk lucu-lucuan, dapat diperbolehkan.

Tidak, sebenarnya, itu juga mungkin terjadi sewaktu SD. Kalau selama pertunjukkan seni dan pesta perpisahan, maka menulis naskah untuk drama komedi seperti itu diperbolehkan. Malah, mungkin saja kamu bisa mendapat pujian untuk itu. Tapi saat kamu masuk SMP, itu akan berubah menjadi sebuah target hinaan.

“Phew.” Aku menyelipkan tawa datar.

“Nu? Ada apa denganmu, Hachiman?” tanya Zaimokuza.

Aku melihat ke atas langit dari jendela. “Nah… Aku cuma sedang berpikir cepat sekali semua orang beranjak dewasa.”

“Fu, pria aneh dirimu ini… Sungguh, aku tidak paham satu hal pun yang kamu katakan tadi. Serius, apa kamu gila? Yah, masalahmu tidak ada artinya. Sekarang, naskah buatanku…”

Aku mendapat perasaan dia baru saja menuturkan sesuatu yang benar-benar menjengkelkan di tengah kesimpang-siuran itu. Aku juga masih belum memberinya izinku…

Tapi sayangnya, dia adalah seseorang yang kukenal. Diam-diam mengirimnya ke alam kubur akan membuatku bermimpi buruk. Dengan kebaikan hatiku, aku memutuskan untuk memberinya peringatan. “OK, aku paham ceritamu. Yang penting, jangan buat tokoh wanitanya gadis yang kamu sukai. Itu sangat menyakitkan. Oh, juga, jangan buat dirimu jadi tokoh utamanya.”

“Gegeh!? Hachiman, apa jangan-jangan kamu itu seorang esper!?”

“Bukan. Paham? Sudah kuperingati kamu.”

Aku bukan seorang esper, cuma seorang manusia berpengalaman. Semenjak saat itu, aku membulatkan tekad dalam hatiku untuk tidak pernah menunjukkan hal-hal seperti itu pada siapapun lagi.

“Hapon, memang, memang. Jadi yang kamu maksud itu ini?” kata Zaimokuza, dan dia menggosongkan tenggorokannya dengan serius. “Belakangan ini, orang lebih suka tokoh antagonis dan tokoh tipe rival dibanding tokoh protagonis biasa, misal, dengan membuatnya jadi lebih keren, itu akan lebih populer?”

“Kamu sama sekali tidak paham…”

“Mu? Mana persisnya yang aku salah?”

“Tidak, logikamu sendiri tidak salah. Generasi Precure pertama juga memerankan tokoh yang hitam.[10] Mereka mungkin mengincar kode warna untuk tokoh-tokohnya atau semacamnya. Yang salah itu keberadaanmu.”

Aku ingin menegaskan bagian terakhir itu, tapi Zaimokuza, dengan telinganya yang sangat efisien dalam mengabaikan hal-hal yang tidak menguntungkan baginya, membalas dengan jawaban aneh “rufun, rufun”.

“Begitu ya, kamu memang ada benarnya. Proposalmu, “Hukum Cure Black”… Ini mungkin bisa, ini mungkin bisa. Fumuu, seperti yang bisa diduga dari pakar Precure…”

“Hei, hentikan itu. Jangan panggil aku pakar sesuka hatimu, itu terlalu berlebihan bagi seseorang sepertiku. Lagipula, aku itu bagian dari fraksi Cure White.”

Memang, “pakar” itu terlalu menabjubkan. Aku cuma seseorang yang menonton apa yang kusuka, dan itu sepele kalau aku tidak tahu siapa yang menulis naskah aslinya dengan sekali pandang, sebenarnya, aku bahkan menunggu untuk Blu-ray Discnya dari produk DVD-BOX yang telah dirilis, dan malah, aku sudah sampai berpikir aku akan terlalu merasa bersalah bahkan untuk menyebutku seorang otaku dan merasa ingin mati saja.

“Homu, reaksi ini, apa mungkin orang ini pakar sungguhan…?” Zaimokuza bergerak mundur.

“Terserahlah, lupakan aku pernah mengatakan apapun. Menderitalah dan menyesallah, aku tak peduli lagi.”

Itu percuma tidak peduli apa yang kukatakan. Kalau begitu, hanya bisa menggoreskan luka yang mendalam pada hatinya sehingga itu tidak akan pernah dilupakannya. Persis seperti itulah perkembangan manusia. Setelah kamu terluka, dianggap remeh, dan didiskriminasi, saat itulah dimana kamu akan melihat perkembangan untuk yang pertama kalinya. Manusia tidak berubah karena cinta, pertemanan, ataupun keberanian.

Aku berdoa bahwa orang-orang budiman dari kelas 2-C akan memberikan Zaimokuza trauma terparah yang pernah dia dapatkan.

“Omong-omong, apa kamu akan menonton filmnya Oktober nanti?”

“Jangan bodoh. Kalau seseorang seperti aku pergi menonton dan keluarga serta gadis kecil di sana menjadi ketakutan, aku akhirnya hanya akan merasa murung… Aku akan membelinya, blu-raynya maksudku.”

“Kuh, kamu menahan dirimu meski hasratmu untuk menontonnya begitu tinggi… Sungguh pria sejati!”

Entah kenapa, dia mulai menangis seperti seorang pria sejati.

Aku yang ingin menangis di sini. Kenapa pula aku harus berurusan dan berbicara dengan orang ini di tempat seperti ini ketika ada pekerjaan yang menantiku?

Aku menepis pandangan Zaimokuza dan kakiku yang menuju ke ruangan konferensi terasa lebih berat dari biasanya.

Mundur ke Bab 2 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 4

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Idol Harassment – Visual Novel BL.
  2. Sazae-san – Tara-chan.
  3. Pocasukajan – Trio komedian yang menggunakan berbagai alat musik.
  4. Pom Poko.
  5. Parodi Unlimited Blade Works – Fate/Moon.
  6. Marble Phantasm.
  7. Kalimat dari Attack No.1 – “Tapi air mata muncul. Maksudku, aku juga seorang wanita.
  8. Furby.
  9. Referensi manga.
  10. Generasi Precure pertama adalah Cure Black dan Cure White.