Oregairu (Indonesia):Jilid 6 Bab 2

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 2: Sagami Minami Menampilkan Pesonanya dengan Kuat.[edit]

2-1[edit]

Apapun yang terjadi, sekolah mungkin akan diliburkan, dengan gangguan badai topan itu.

Ada suatu kala ketika aku berpikir begitu.

Tapi dosukoi[1], satu malam bahkan belum berlalu dan badai topannya sudah pergi, kehidupan sehari-hari mengambil kembali posisi miliknya di pagi hari.

Dan hasilnya? NO-TEN P-KAN, langit begitu menyakitkannya cerah, IPPAI OPPAI, aku penuh dengan semangat[2]. Macam betul saja.

Aku yakin aku bisa terlambat ke sekolah, menggunakan badai topan itu sebagai alasanku, rencana yang busuk, jadi aku tetap terjaga sampai cukup larut. Dan di sinilah aku, kurang tidur. Malah, kekurangan tidur ini bisa jadi lagu penutup untuk Kiteretsu[3].

Badai topan belakangan ini begitu lemah sampai membuat masalah bagiku.

Entah bagaimana aku berhasil sampai ke sekolah tepat waktu, tapi sepanjang hari aku diserang rasa kantuk. Biasanya selama jam istirahat, aku akan tidur atau pura-pura tidur, tapi aku teramat mengantuk hari ini.

Bukan cuma selama jam istirahat. Aku juga melawannya selama jam pelajaran. Itu maksudnya, aku mencoba mengistirahatkan daguku pada tanganku, terkapar di atas mejaku, dan meletakkan kepalaku pada lenganku yang terlipat, mencari-cari posisi tidur yang ideal. Ya, pasti yang itu. Karena melawannya bukanlah hal yang bagus untuk dilakukan, lebih baik menyelesaikan masalahnya dengan damai, yep. Kupikir aku akan bersahabat baik dengan rasa kantuk mulai sekarang.

Dan sebelum aku menyadarinya, kelas sudah berakhir.

Kesimpulan yang kudapat untuk posisi tidur terbaik adalah kepala jatuh tiarap di atas meja dengan kedua tangan diletakkan pada leherku. Dengan cara ini aku tidak akan meninggalkan bekas di wajahku. Satu-satunya masalah adalah rasa sakit yang terus menyebar pada leher, bahu dan punggungku.

Atau begitulah yang kukatakan, tapi aku bahkan tidak bisa tidur sekejap pun, dan rasa letihku mencapai puncaknya karena aku membuat postur yang tidak wajar. Aku mendapat firasat aku tidak akan mendapatkan tidur yang cukup kecuali aku berbaring.

Jelas kemana aku harus pergi.

Aku berdiri dan berjalan ke pintu belakang kelas dengan langkah goyah.

Itu pada saat aku membuka pintunya.

“Uwah!”

“Er, maaf.”

Tubrukan kami tidak beep, bop, beep ☆[4], tapi aku menerima hantaman ringan pada dadaku. Aku menubruk seseorang yang baru saja akan menggantikan posisiku di kelas. Hei, siapa pula “orang yang sebaiknya tidak mendapatkan SIM untuk tahun ini karena tidak melihat ke mana dia berjalan” ini[5]?”

Aku membersut pada orang itu dengan tatapan menyamping dan memperhatikan wajahnya. Dia adalah seorang lelaki mirip-hewan kecil yang kukenal dan kakinya sedang goyah, membuatnya terlihat sangat manis. Dia yang baru memasuki ruangan itu dengan nafas tersenggal adalah “Aku rasa kamu sebaiknya tidak usah membuat SIM, kamu lebih baik duduk pada kursi di sampingku saja selagi aku menyetir mobilku … untuk tahun ini!”, Totsuka Saika.

“Oh, Hachiman. Maaf soal tadi…”

“N-Nah! Itu salahku. Aku agak melamun sedikit tadi…”

Malahan, aku sekarang sedang benar-benar melamun. Walau itu mungkin efek samping yang kebetulan, sekarang ini, aku sedang berpose dengan Totsuka di dalam lenganku… Phew, nyaris tadi. Kalau saja ada roti di mulut Totsuka, aku pasti akan jatuh hati padanya.

Totsuka menyadari bahwa kami berhenti pada posisi tersebut dan dengan lembut membuat sedikit jarak dari dadaku. “Sekali lagi maaf, aku agak terburu-buru… Hachiman, kamu mau pergi kemana? Sudah hampir waktunya masuk kelas, kan?”

“Tidak kemana-mana.” jawabku.

Aku sedang membolos untuk tidur di klinik, tapi aku tidak bisa mengatakan itu keras-keras. Membanggakan sikap kriminal seperti itu sebaiknya cuma dilakukan di Twitter.

Totsuka memiringkan kepalanya sedikit. “Tapi bukankah lebih baik tetap di kelas saja? Kita akan memutuskan tugas kita untuk Festival Budaya pada kelas selanjutnya.”

“Oh, sungguh?”

Satu-satunya yang bisa kami putuskan pada home room panjang tempo hari cuma temanya saja. Mereka mungkin akan membahas secara mendetail tentang bagaimana memulai kegiatannya pada jam selanjutnya.

“…Yah, aku terserah saja.”

Toh aku tidak akan melakukan apapun juga. Seperti biasa, aku hanya akan hadir, sebuah keberadaan yang tugasnya hanya untuk berada di sana.

Setelah semua orang memulai persiapannya, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah berdiri seperti pilar totem aneh dan bergeming.

Tidak masalah tugas manapun yang kudapat, apa yang kulakukan tidak akan berubah.

Tidak ada yang bisa kulakukan, tapi dengan yang disebut sebagai teknik antisipasi, aku akan mendapati diriku berdiri di belakang seseorang, mengintip pada tangannya, bergugam “uh huuuh” dengan wajah sok tahu, dan terus menunggu sampai mereka memberitahuku “bisa kamu lakukan ini untukku?”

“Tidak apa-apa, kamu pilih saja apa yang ada untukku.”

Aku tidak tahu apakah maksudku itu dipahami Totsuka, tapi dia mengangguk dengan wajah penasaran. “Oke, paham.”

Terima kasih, aku melambaikan tanganku dengan pelan dan meninggalkan ruangan tersebut.

2-2[edit]

Sambil mendengar lonceng yang menandakan dimulainya kelas, aku menuju ke klinik di lantai satu bangunan khusus.

Aku berjalan dalam suasana yang senyap, tentu saja tanpa adanya siswa-siswi yang berkeliaran melihat jam sekarang.

Agak sedikit menyantaikan di sekitar klinik. Aku mengetuk pintu di depanku, dan ketika aku membukanya, bau larutan antiseptik melayang ke hidungku.

Seorang siswi sedang berbincang dengan suster sekolah di dalam sana. Tapi saat aku masuk, percakapan mereka mendadak berhenti.

Siswi yang namanya tidak kukenal menundukkan matanya pada ponselnya dengan rasa tidak nyaman. Itu terasa seakan aku melakukan sesuatu yang buruk tadi. Maaf, tee-hee.

“Wah, kamu salah satu anak Shizuka-chan, kan?” kata Suster sekolah tersebut, seorang wanita muda yang mengenakan jubah putih, melihatiku dengan cermat.

Aku tidak tahu apa yang mesti kupikirkan karena dianggap begitu. Itu hampir seakan kami itu orangtua dengan anaknya atau semacamnya, kamu tahu? Seseorang akan marah, oke? Kemungkinan besar, Hiratsuka-sensei akan marah. Terutama mengenai usianya, maksudku.

“Kurasa aku flu.” Aku menjelaskan kunjunganku dengan singkat. Tentu saja, aku juga memastikan untuk menunjukkan betapa lesunya yang sedang kurasakan. Saat-saat seperti inilah aku akan menampilkan kemampuan aktingku yang tiada taranya. Tidak aneh untuk menyebutku seorang ahli flu. Oh astaga, nama itu terdengar beeeeeegitu keren. Namun, menggunakan ahli dan flu dalam satu kalimat membuatnya terdengar terlalu chuuni sekali.

“Aku tidak akan percaya dengan penilaian orang awam. Biar kulihat dulu.” Meski begitu, suster sekolah itu menepis akting berkekuatan-penuhku dengan santai.

Tch, seperti yang bisa kamu duga dari suster sekolah, orang yang berpengalaman dalam menangani siswa yang membolos. Tidak bisakah kamu pura-pura percaya dengan aksi kecilku itu?

Sensei melototiku dengan kuat, seakan mencoba untuk menemukan kebenaran di balik kebohonganku. Tidak, mungkin lebih tepatnya dia sedang menatapku dengan mata yang tajam. Kalau saja ini dunia Pokémon[6], defense-ku pasti akan turun.

“…Ini pasti flu.”

“Cepat sekali memeriksanya…”

Kalau begitu untuk apa sandiwara kecil barusan…? Aku melihatinya, merasa keberatan dan tidak puas.

Sensei tertawa. “Maksudku, lihat saja mata lesumu itu. Tidak mungkin kamu tidak sakit.”

Dia membuatnya terdengar seakan aku selalu terserang sesuatu pagi, siang, malam. Apa persisnya yang dia maksud dengan “lesu”? Bahkan London yang lesu akan menjadi Paris setelah cuacanya cerah, kan? Siapa-ja Besok? [7]

Sensei melihatku sambil berkata “oke” setelah dia selesai menuliskan sesuatu pada papan kertasnya. “Jadi? Apa kamu mau istirahat di sini?”

Dia bertanya padaku dengan santai, seakan sedang menyarankan “apa kamu mau berubah di sini?”

“Ah, oke.”

“Ada tempat tidur di dalam.” Dia memberikan jawaban singkat dan aku mendengarkan dengan patuh. Tempat tidur itu, dipisah dengan tirai, dilengkapi dengan selimut linen yang terlipat dengan rapi di atasnya. Aku membentangkannya pada perutku dan berbaring.

Percakapan dari balik tirai pink itu dimulai lagi. Selagi aku tertidur, suara samar itu tertinggal dalam telingaku.

2-3[edit]

Apa… apaan…[8]

Sewaktu akhir jam istirahat.

Entah kapan sebelum aku kembali ke kelas, aku telah dipaksa masuk ke dalam komite panitia Festival Budaya.

Pada papan tulis tertulis “Hikigaya”. Dan tulisan itu di bawah tulisan komite panitia pula. Gwaaah! ‘Ni semacam konspirasi!? [9]

Maksuku, memang, kubilang lemparkan saja aku pada posisi manapun yang tersedia. Tidak peduli apapun yang ditugaskan padaku, tidak ada yang akan berubah, jadi aku siap untuk menerima tugas seperti apapun tidak peduli se-jemu apapun itu.

Tapi, tapi, meski begitu, apa tidak ada satupun orang-orang ini yang merasa bersalah untuk memaksakan suatu tugas pada seseorang karena mereka tidak mau melakukannya?

Bukankah itu wajar pada saat-saat seperti ini untuk menugaskan sesuatu yang aman pada penyendiri? Malahan, seperti itulah biasanya sampai saat ini.

Metode “kami membuatmu jadi ketua panitia karena kamu sedang tidur (haha)” itu terbentuk terutama karena tokoh-tokoh kelas bisa bersenang-senang dengan memaksa satu sama lain untuk melakukan sesuatu yang kocak, jadi kalau kamu memaksakannya pada seseorang yang termasuk pada suasana budaya yang lain…!

Maka itu bisa dibilang menyatakan perang…! Tidak aci…! Tidak aci…![10]

Aku berdiri di depan papan tulis dengan terbengong-bengong sampai bahuku ditepuk.

“Apa kamu butuh penjelasan?” Sudah jelas dia siapa tanpa berpaling ke belakang.

Di-dia di sini~ guru perempuan mendekati tiga puluh tahun yang tidak bisa menikah, Hiratsuka Shizuka~

Aku melihatinya tanpa berkata-kata untuk meminta penjelasan.

Hiratsuka-sensei menghela singkat dan melirik ke arah jam. “Sudah hampir waktunya untuk kelas berikutnya, namun semua orang masih membuang-buang waktu. Jadi aku pilih kamu Hikigaya.”

Tunggu dulu, guru bahasa Jepang. Kamu tidak bisa memakai “jadi”. Tidak ada hubungan yang logis di sana.

“Sensei, apa yang sedang coba anda lakukan…?”

“Apa yang sedang kamu bicarakan?”

“Jangan pura-pura tidak tahu… Anda anggap apa penyendiri itu, sensei!? Memaksa penyendiri pada sesuatu seperti acara kelas hanya akan membawa bencana, anda tahu!”

Acara-acara seperti ini terutama dimaksudkan untuk orang-orang yang saling bersahabat untuk menikmati diri mereka. Jika aku ada di sana, maka mereka harus bersikap pengertian denganku! Kalau aku diberi posisi yang tak berarti, dimana keberadaanku sama sekali tak berpengaruh, maka kedua pihak bisa santai dan melakukan pekerjaan kami sendiri dengan damai! Walau aku tidak mengedepankan doktrin pembangkangan sipil tanpa kekerasan Ghandi, aku tentu mendukung doktrin tidak menganggu yang tidak bisa diganggu gugat, kamu tahu!

“Aku ingin memastikannya denganmu mengenai masalah ini, tapi… Aku yakin kamu yang bilang terserah bukan?”

Uuuph… Pikirku, dan menghela. Aku berpaling ke arah sisi jendela kelas itu dan Totsuka menepukkan kedua tangannya untuk meminta maaf. Manis. Aah, tangkupkan telapak tanganmu untuk mendapatkan kebahagiaan. Doa! Doa! [11]

Selagi aku berdiri di sana dan teralihkan, kerutan pada alis Hiratsuka-sensei semakin mendekat dan mendekat sampai tidak bisa lagi mendekat. Keeeeeeeerut.

“Cukup sudah, aku tidak bisa memulai kelas kalau kamu berdiri di depan sini jadi kembali ke tempat dudukmu. Putuskan sisanya selepas sekolah.”

2-4[edit]

Kelas selepas sekolah kacau balau.

Kami akan memutuskan semua tanggung jawab untuk Festival Budaya. Ini seharusnya dilakukan pada kelas sebelumnya, tapi kelihatannya perlu waktu yang lama cuma untuk berusaha memilih perwakilan laki-laki untuk komite panitia. Akhirnya, keputusan tiran Hiratsuka-sensei menyebabkan tugas itu dipaksakan padaku. Ini apa yang mereka sebut penyalah-gunaan kekuasaan… Argh! Kalau saja aku punya lebih banyak kuasa! Maka aku akan bisa mendesaknya pada orang lain! Rangkaian penyalah-gunaan kekuasaan ini… seperti yang bisa kamu duga dari struktur masyarakat vertikal di Jepang ini. Persis pada saat ini, hari inilah aku benar-benar merasakan kejepangan dalam diriku.

Baiklah, itu yang sedang kurasakan, tapi kami masih perlu memilih perwakilan perempuan untuk komite panitia.

Pada meja guru berdiri ketua kelas yang sedang memimpin. Aku tidak tahu namanya. Toh semua orang biasanya memanggil mereka ketua kelas. Ada juga tuntutan untuk ketua kelas perempuan, tapi sayangnya, dia laki-laki, jadi ketua kelas saja sudah cukup.

“Erm, oke, kalau ada perempuan yang ingin menjadi anggota komite, angkat tanganmu.” kata ketua kelas itu. Tidak ada orang yang merespon dan dia menghela pasrah untuk sejenak. “Kalau kita tidak bisa memutuskannya, kita bisa putuskan dengan gunting-batu-kertas…”

“Haa?”

Ketua kelas itu disela oleh Miura. Dia mulai tergagap, menyeru ”mmmg” karena takut. Hanya dengan “haa-nya yang mematikan, dia mampu membungkam semua orang di sekelilingnya. Dari kuil mana dia dibesarkan? Dibesarkan di kuil sungguh menabjubkan. Aku hanya bisa terpikir begitu lagi[12].

Setelah itu, beberapa perbincangan kemudian diikuti keheningan terus berulang. Mereka akan berbicara di kelas, dan ketika ketua kelas mengungkit masalah itu, “begitu bagaimana?”, keheningan akan muncul kembali. Pemandangan ini terus-menerus berputar.

“…Apa itu, um, kerjanya sulit?” tanya Yuigahama, kelihatannya tidak sanggup melihat situasi ini lebih lama lagi.

Ketua kelas itu menunjukkan ekspresi lega yang kentara. “Kurasa kalau kamu melakukannya dengan normal, tidak akan begitu sulit… Walau itu mungkin jadinya agak sulit bagi perempuan itu.”

Si kacamata sialan itu, dia benar-benar melihat ke arahku ketika dia mengatakan itu. Si kacamata sialan itu, dia benar-benar secara tidak langsung mengatakan aku itu tidak berguna. Tapi karena dia terlihat begitu malu untuk mengatakannya, aku jadinya merasa bersalah sebelum merasa marah. Itu salahku, kacamata. Oke, oke, silahkan pakai kacamatanya[13].

“Uh huuuh…” kata Yuigahama, melihat ke arahku dengan sedikit gelisah.

Ketua kelas itu melancarkan serangannya, menafsirkan bahwa dia sedang bimbang, seakan cuma ini kesempatan satu-satunya.

“Jujur saja, kalau kamu mau melakukannya, Yuigahama-san, akan bagus sekali. Aku rasa kamu sangat sesuai, karena kamu populer, jadi aku yakin kamu akan bisa membuat semua orang bekerja sama dengan segera.”

“Tidak mungkin, aku tidak begitu…” sahut Yuigahama, menggelengkan kepalanya dengan malu-malu, dan suatu suara mirip suhu yang membekukan es, dapat terdengar.

“Oooh, Yui-chan, kamu akan melakukannya, huuuh?”

“Eh?” Yuigahama berpaling dan di hadapannya terdapat seorang siswi.

Mari kulihat. Kurasa dia itu Sagami?

Sagami berkumpul dalam kelompok empat orang, duduk sedikit jauh dari Yuigahama dan yang lain. Di seberang sisi jendela, paling belakang di ruang kelas, dimana kelompok Miura berada di sisi lorong, sedikit lebih jauh lagi ke dalam ruang kelas, adalah tempat kelompok Sagami berada.

“Hei, itu terdengar saaangat bagus sekali! Dua orang yang dekat di suatu acara terdengar keren sekaliiiiiiiiiiiiiii~,” kata Sagami, dan teman di dekatnya terkekeh dengan sinis.

Dengan senyuman samar, Yuigahama menjawab. “Yah, sungguh bukan begitu.”

Sagami mengarahkan tatapan penuh makna ke arahku.

Seringaian itu menjijikan dan memuakkan. Kekehan dari gadis-gadis yang duduk di dekatnya yang berbaur itu, lebih memuakkan lagi, semuanya tidak mengenakkan.

Tepatnya apa yang di balik cemooh itu? Tidak mungkin aku tidak tahu.

Semuanya sama dengan yang di balik tawa saat itu, pada hari pertunjukkan kembang api.

Pada Yuigahama, yang selalu termasuk dalam kasta teratas, dan padaku, yang selalu berada di luarnya, cemoohan itu terisi penuh dengan kritikan dan hinaan.

Tawa yang menyerupai riak bergema dalam pada telingaku.

“Hei, toh,” kata suatu suara, yang nadanya terdengar sombong, dan membelah keributan tersebut. Itu seperti suara serangga yang mendadak berhenti ketika melangkah dengan nekad ke dalam semak-semak. “Yui dan aku akan pergi menarik pelanggan, jadi tidak mungkin dia bisa melakukannya.” Miura Yumiko menyatakannya dengan tegas dan berani.

Seakan tertekan dengan intensitasnya, Sagami dan yang lain gelagapan, dan kemudian terdiam. Senyuman Sagami terus mempertahankan bentuknya. “Oh okeee, menarik pelanggan juga penting, yep.”

“Y-Ya, ya, menarik pelanggan juga penting, er, sejak kapan kita putuskan aku akan melakukan itu!?” jawab Yuigahama, membenarkan, tapi akhirnya kaget. Walau, aku cukup yakin sejauh ini baru perwakilan laki-laki untuk komite panitia yang dipilih…

Reaksi Yuigahama membuat Miura gelisah dengan cara khususnya sendiri. “Eh…? Ka-kamu tidak akan melakukannya denganku? A-apa aku salah? Apa aku terlalu gegabah tadi…?”

“Jangan khawatir, Yumiko. Kamu tidak terlalu keliru. Reaksimu itu juga yang membuatmu Yumiko!” sahut Ebina-san, menjulurkan lidahnya, dan mengedip, diikuti dengan acungan jempol. Ya, memang, itu benar-benar sesuatu yang dapat kamu lihat dari Miura.

“Wha, Ebina, berhenti memujiku! Kamu akan membuatku merasa malu!”

Miura, Aku tahu kamu sudah merah padam dan memukuli Ebina-san, tapi aku rasa itu bukan suatu pujian, maaf.

Di samping, bahu Yuigahama menjadi lemas. “Ku-kurasa aku tidak ada pilihan, huh…”

Kamu akhirnya sadar? Tapi kamu seharusnya lega. Maksudku, aku bahkan tidak ada hak untuk memilih. Malah, bukan hanya Hiratsuka-sensei memutuskannya dengan sewenang-wenang, tapi semua orang juga jelas merasa sangsi soal itu. Aku benar-benar anak terbuang.

Melihat tidak ada kemajuan sama sekali, ketua kelas menghela singkat. Aku dapat merasakan kesengsaraan yang berasal dari si perantara.

“Dengan kata lain, bagaimana kalau begini?” Hayama, yang dari tadi melihat tanpa bersuara, mulai berbicara tanpa repot-repot mengangkat tangannya. Perhatian semua orang dengan sendirinya tertarik padanya. Bahkan ketua kelas sedang melihatnya dengan mata yang berbinar dengan penuh harapan. “Kita cuma perlu meminta seseorang yang bisa menunjukkan kepemimpinan, kan?”

Kata-kata Hayama sangat masuk akal dan tepat. Benar, tidak ada salahnya untuk memiliki pengalaman memimpin melihat kamu akan ditugaskan dengan berbagai kewajiban. Cuma ada satu masalah, dia terdengar seakan aku sama sekali tidak mampu memimpin. Oke, ya, aku cuma bisa jual koyok[14].

Namun, kalau begitu, ini akan menjadi diskusi bahwa tugas-tugas seperti ini sebaiknya diserahkan pada mereka di kasta atas. Tapi karena kursi perwakilan laki-laki sudah diduduki aku, semua gadis segera menyatakan keengganan mereka untuk mengambil posisi tersebut.

Kalau kami memikirkannya dari sudut pandang secara umum, kalau orang-orang di kasta atas tidak mengemban tugas tersebut, maka tugas tersebut akan jatuh di tangan satu kasta di bawahnya.

Maksud tersirat dari kata-kata Hayama dianggap persis seperti itu oleh Tobe.

“Terdengar seperti Sagami-san, ya?”

“Ya, itu mungkin bisa. Sagami-san juga terlihat bisa melakukannya dengan baik.” Hayama terlihat diyakinkan meski dia yang menarik kesimpulan tersebut.

Tobe, dengan cara khususnya sendiri, terlihat bangga, berseru “Iya, kan?” Agak sedikit menyedihkan betapa kerasnya usaha dia untuk terlihat manis.

Di sisi lain, Sagami, yang mendadak disebut, mengayunkan tangannya di depan wajahnya. “Apaa? Akuu? Aku tidak tahu apa aku bisa. Itu, yah, mustahil sekaliiiiiii bagiku!”Dia mungkin sedang menolaknya, tapi tidak ada ketulusan di baliknya.

Hei, hei, sebagai seorang pakar dunia soal tolak-menolak, kamu tidak bisa mengelabuiku, tahu? Ketika seorang gadis benar-benar menolak sesuatu, dia akan berkata, “Um, bisa kamu tolong hentikan itu?”, dengan ekspresi yang hampir datar dan mata yang teramat dingin. Itu begitu menakutkan sampai kamu merasa seakan jantungmu akan berhenti dan kamu merasa ingin mati.

Menangkap standar Harmonie préétablie ini[15], Hayama menepukkan kedua tangannya, dengan tampang bersalah untuk berjaga-jaga. “Sagami-san, bolehkah aku minta kamu melakukannya?”

“…Yah kalau tidak ada orang yang ingin melakukannya, kurasa aku akan melakukannya. Taaaaapi, aku, huh?” Wajah Sagami berubah merah dengan senang, sengaja menggugamkan kata-katanya. Jigoku no Entahsiapa-sawa yang mana kamu itu[16]?

Kedudukannya mungkin tidak buruk karena dia diminta oleh Hayama itu, malah, “Aku diandalkan oleh Hayama itu!”

“Oke, kuraaaaaaaasa aku akan melakukannya.” jawab Sagami, terlihat enggan.

Ketua kelas menghela lega pada kacamatanya dan berkata dengan lelah, “Oke, kita sudahi dulu di sini untuk hari ini…”

Semua orang kemudian berdiri dan meninggalkan kelas.

× × ×

Dan jadi, komite panitia akan dimulai paling awal hari ini.

Waktunya sekarang jam 3:45 sore. Aku mengulas kembali jadwalnya dalam benakku.

Di dalam sekolah, tidak hanya kamu diharapkan untuk mematuhi prinsip isolasi, tapi juga diharapkan untuk memiliki kemampuan mengurus dirimu sendiri. Bergerak dari satu kelas ke kelas lain, liburan, dan rencana selepas sekolah, sebagian besarnya, adalah semua hal yang kamu perlukan untuk bisa memahami dengan baik. Ini karena tidak ada orang yang akan memberitahumu hal-hal semacam ini. Aku terutama super hebat dalam mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan liburan.

Waktunya semakin dekat. Aku mulai berjalan ke ruang konferensi dimana rencananya rapat panitia akan digelar.

Orang yang menuju ke ruang konferensi itu sedikit demi sedikit dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam arus manusia ini, ada juga pasangan laki-laki dan pasangan perempuan yang berbincang-bincang sambil berjalan ke sana. Astaga, apa anak-anak yang kalah dalam kehidupan ini tidak bisa pergi ke manapun kecuali ada seseorang yang menemani mereka?

Ruang konferensi itu disediakan sebagai tempat rapat panitia Festival Budaya. Ukurannya sekitar ukuran dua ruang kelas biasa dan tempat duduk serta meja yang menyolok disiapkan di dalam sana. Kelihatannya tempat itu biasanya dipakai oleh staf sekolah untuk rapat.

Ketika aku memasuki ruang konferensi itu, kira-kira sudah berkumpul setengahnya.

Dia pastilah datang kemari sebelumku, karena Sagami juga ada di sana.

Berkelompok dengan dua gadis lain, yang selama ini sudah berteman dengannya, atau sudah akrab dalam waktu yang singkat ini, Sagami sedang asyik berbincang.

“Wow, Aku senang seeekali kamu juga jadi anggotanya, Yukko. Aku agak dipaksa untuk ikut, jadi aku ketakutan.” Setelah Sagami memulai percakapannya, mereka berdua meneruskannya.

“Aku di sini karena aku kalah gunting-batu-kertas.”

“Aku juuuuuga! Oh, Sagami-san, boleh aku panggil kamu Manami-chan?”

“Boleh, boleh. Sebaiknya aku panggil kamu apa?”

“Panggil saja Haruka.”

“Oh, Haruka? Kamu ikut klub basket dengan Yukko, kan?”

“Yep, yep.”

“Oooh, kedengarannya bagus sekali. Mungkin aku sebaiknya ikut klub juga. Aku benar-benar tidak beruntung di kelas, kalian tahu.”

“Ah, kelas F itu kelas dengan Miura-san kan?”

“Uh huh.”

Ekspresi muram Sagami benar-benar menakutkan, tapi dua gadis itu yang mengungkit nama Miura hanya dari kalimat “tidak beruntung di kelas” jauh lebih menakutkan.

Gosip gadis itu sendiri tidak memiliki niat buruk yang perlu dikuatirkan, tapi ketika mereka berkumpul menjadi sesuatu yang lebih besar, mereka akan menjadi racun yang mematikan; itulah yang membuat mereka begitu mengerikan. Persis seperti racun yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari makhluk hidup lain dalam ikan buntal diubah menjadi tetrodotoxin, ini sangat mirip.

“Tapi hei, Hayama-kun ada di sana, jadi tidak begitu buruk.”

“Kurang lebih. Sebenarnya Hayama-kun juga yang merekomendasikanku untuk ikut komite. Saat itu aku tidak tahu apa yang akan kulakukan.”

Lagi Siapa-sawa mana kamu itu? Sagamisawa-san?

Aku menajamkan telingaku dan aku dapat mendengar percakapan yang berasal dari orang lain selain Sagami dan kawan-kawan.

Dengan jumlah orang semakin bertambah, riak-riak percakapan tersebut berubah menjadi keributan.

Jumlah orang di ruangan tersebut bertambah satu demi satu saat mendekati dimulainya rapat. Setiap kali pintunya digeser, semu orang akan mengarahkan perhatian mereka padanya, tapi segera berpaling ketika menyadari bahwa mereka bukan temannya. Tatapan itu sangat tidak mengenakkan… Cara mereka berpaling dengan acuh tak acuh itu seakan mereka sedang menyatakan, “Aku tidak sedang menunggu seseorang sepertimu, aku tidak tertarik denganmu.”

Tapi ketika orang selanjutnya masuk, keadaannya jauh berbeda dari itu.

Persis setelah pintu tersebut dibuka, percakapan yang ribut itu segera berhenti.

Berjalan melalui keheningan yang mendadak muncul, langkah kakinya diredam, adalah seorang gadis, Yukinoshita Yukino. Sikap angkuh biasanya tidak dapat terlihat. Setiap nafas telah terhenti, seperti orang yang menatap lelehan salju yang terus meleleh.

Ketika Yukinoshita menyadari keberadaanku, dia berhenti hanya untuk sejenak. Tapi dia segera memalingkan pandangannya, dan melangkah beberapa kali, dan bahkan melangkah beberapa kali lagi seakan mempertimbangkan kembali keputusannya dan duduk di kursi terdekat dengannya.

Waktu baginya untuk sampai ke tempat duduknya hanya sebentar, tapi waktu di dalam ruang konferensi itu pasti telah terbeku sampai saat itu.

Walaupun aku seharusnya sudah terbiasa melihat dia, mataku masih terpana olehnya hanya untuk saat tersebut. Apa karena ini yang pertama kalinya aku melihatnya di luar tempat kami biasanya bertemu? Atau apa ada sesuatu yang mengejutkan mengenai partisipasinya ke dalam komite panitia Festival Budaya ini?

Waktu sudah berjalan. Walaupun ada tanda-tanda keseganan, percakapan yang canggung dimulai lagi seperti ombak laut. Hanya sedikit lebih lama lagi dan jarum jam akan berputar ke saat dimulainya rapat.

Pintu ruangan konferensi itu sekali lagi terbuka, serentak dengan suara langkah kaki dn percakapan.

Mereka adalah sekelompok siswa-siswi dengan ikatan solidaritas yang sedang memegangi kertas print-out. Yang masuk setelah mereka adalah Atsugi, guru pendjas, dan Hiratsuka-sensei.

Kenapa Hiratsuka-sensei… Pikirku, mendapati ini janggal, dan melihat padanya. Ketika mata kami bertemu, dia tersenyum padaku. Senyumannya itu membuat dia terlihat lebih muda dari usia sebenarnya dan manis.

Dengan kata lain, ada niat buruk di baliknya.

Aku benar-benar telah terperdaya, kan…?

Setelah beberapa siswa berkumpul di depan ruangan konferensi, mereka memandang ke arah wajah seorang siswi. Dan kemudian, siswi yang terlihat-menenangkan itu membalas dengan anggukan.

Dengan itu sebagai isyaratnya, dua siswa, kelihatannya siswa kelas sepuluh, mulai membagikan kertas pada semua orang. Memastikan bahwa mereka berdua sudah mengelilingi ruangan tersebut, siswi itu berdiri dengan lemah lembut.

“Oke, mari kita mulai rapat komite panitia Festival Budaya ini.”

Panjang rambut sedangnya jatuh sampai bahunya, poni depannya dijepit dengan pin rambut, dan dahi apik nan indahnya bersinar dengan cemerlang. Seragamnya dipakai sesuai dengan peraturan sekolah, tapi ikat rambut bewarna-warni yang diikat di sekeliling kerah dan pergelangannya memberinya suatu kesan menggemaskan. Siswi tersebut dengan manis melihat semua orang dengan mata sipit dan senyumannya, dan memberi kami sebuah, entah kenapa, perintah yang menenangkan. Semua orang kemudian duduk dengan tegak.

“Um, Aku ketua OSIS, Shiromeguri Meguri. Aku akan senang sekali kalau kita bisa menggelar Festival Budaya lagi tahun ini tanpa masalah dengan saling bekerja sama… U-Um… Ja-jadi mari kita bekerja semampu kita, semuanya! Ya!” Meguri-senpai menutupnya dengan seruan sederhana yang membuatmu berpikir dia sedang berseru untuk “tangkap m’reka semua!”

Setelah dia selesai, anggota OSIS lain dengan perlahan memberikan tepuk tangan. Terpancing olehnya, peserta konferensi yang lain juga ikut bertepuk tangan.

Meguri-senpai mengangguk pada pemandangan itu. “Terima kasih~ Jadi, ayo kita mulai memilih ketua komite panitia.”

Anggota yang hadir di sini mulai ribut.

Yah, memang. Aku sendiri benar-benar beranggapan bahwa ketua OSIS akan memangku posisi ketua itu.

Meguri-senpai tersenyum tegang. “Aku yakin ada banyak yang sudah tahu ini, tapi setiap tahun, biasanya siswa kelas sebelas yang dipilih sebagai ketua komite panitia. Dan yah, aku sudah kelas dua belas.”

Haa, begitu ya. Yah, siswa kelas dua belas tidak mungkin bisa melakukan hal-hal ini pada awal musim gugur. Toh, mereka akan segera ikut ujian.

“Oke, apa ada orang yang ingin mencoba melakukannya?” tanya Meguri-senpai, tapi tidak ada orang yang mengangkat tangannya.

Itu bisa dimengerti. Aku ragu siswa di sini tidak ada motivasi untuk Festival Budaya. Mungkin juga ada banyak dari mereka yang bekerja keras dengan semangat tinggi.

Hanya saja ingin pamer, ingin berpartisipasi secara aktif, dan ingin berusaha semampu mereka itu semuanya berada pada ligkup yang berbeda.

Kalau itu sesuatu yang bisa mereka lakukan, maka lebih wajar bagi mereka untuk ingin melakukannya bersama dengan kelas atau klub mereka. Apa yang benar-benar mereka inginkan adalah bekerja sama dengan orang yang berteman dengannya, menikmati sebuah festival dengan seorang gadis yang mereka sukai.

YahariLoveCom v6-055.jpg

Malah, ini lebih pada masalah bagaimana mereka bisa berusaha semampu mereka dalam kelompok yang canggung.

“Apa aaaaada yang mau?” suara Meguri-senpai terdengar risau, tapi konferensi itu terus mempertahankan keheningannya.

Guru pendjas Atsugi menggosongkan tenggorokannya seakan dia sedang meneriakkan seruan perang. “Oh, apa-apaan ini? Kalian semua harus menunjukkan lebih banyak motivasi. Kalian semua tidak cukup berambisi. Dengar kalian, Festival Budaya ini suatu acara yang dimaksudkan untuk kalian semua.”

Itu adalah semangat ‘45 yang membuatmu berpikir dia akan mengakhiri kalimatnya dengan “benar itu!”

Kelihatannya Atsugi sedang bertindak sebagai penasehat untuk Festival Budaya. Hiratsuka-sensei, yang melipat lengannya di samping dia, juga serupa.

Atsugi memandang sekeliling ruangan konferensi itu dan dia menatapi semua orang satu per satu.

Tatapan tidak sopan itu berhenti pada Yukinoshita.

“…Oh. Kamu adik Yukinoshita, kan!? Aku sangat yakin kita bisa mengharapkan Festival Budaya seperti waktu itu, eh?”

Itu tersirat. Terkubur di dalam kata-katanya dan yang bisa ditafsirkan darinya adalah “Tentu saja, kamu akan menjadi ketuanya, kan?”

Meguri-senpai kelihatannya juga menyadarinya dan berbisik, “Ah, jadi itu adik Haru-san.”

Seperti yang bisa kuduga dari Yukinoshita Haruno. Dia meninggalkan kesan yang bertahan lama baik pada guru-gurunya maupun pada adik kelasnya di sini.

“Aku akan berusaha semampuku sebagai seorang anggota komite.” Jawab Yukinoshita dengan singkat, tapi sopan. Kedutan kecil pada alisnya terlihat bahwa suasana hatinya dibuat buruk.

Menerima penolakan dingin itu. Atsugi menjawab dengan jawaban setengah hati “oh” dan “baik” yang enggan dan kemudian terdiam.

Ketika itu terjadi, bahkan Meguri-senpai merasa kebingungan. Dia melipat lengannya dengan sikap dibuat-buat dan berpikir. “Hmm… oh, ya. Ada keuntungan menjadi ketuanya, kamu tahu? Contohnya, itu akan tertera pada catatan akademis sekolahmu. Bagi mereka yang mengincar rekomendasi dari sekolah, kurasa ada banyak keuntungan melakukannya.”

Apa dia bodoh…?

Apa dia benar-benar berharap seseorang akan mangajukan diri dengan penjelasan seperti itu…? Selain itu, dia yang menjadi ketua dengan tujuan itu di pikirannya akan terlihat kentara sekali.

“Ummm… Jadi bagaimana kedengarannya?” kata Meguri-senpai, mengarahkan pandangannya pada Yukinoshita.

Entahkan dia menyadarinya atau tidak, Yukinoshita tetap tidak merespon, terus melihat ke arah Meguri-senpai.

Dia adalah seseorang yang tidak suka berdiri di depan orang secara terang-terangan. Ketua komite itu tidaklah sesuai dengan kepribadiannya.

Meski demikian, dengan Meguri-senpai terus terpaku padanya sambil tersenyum, bahkan Yukinoshita mulai merasa tidak nyaman dan sedikit menggeliat.

Itu adalah senyuman yang tulus, dipenuhi dengan tekanan yang kuat, dan bahkan tatapan polosnya tidak ada tanda-tanda ketidak-jujuran di dalamnya.

Sedikit lebih lama lagi dan Yukinoshita mungkin akan menyerah…

Tapi persis pada saat itulah ketika Yukinoshita menyerah dan menghela kuat.

“Um…”

Suasana yang dilanda dengan ketegangan yang aneh itu segera menjadi lega. Yang memecah keheningan itu adalah suatu suara yang malu-malu.

“Kalau tidak ada orang yang mau melakukannya, maka, aku tidak keberatan melakukannya.”

Asal suara itu tiga kursi dariku. Itu adalah suara Sagami Minami.

Meguri-senpai, yang mendengar itu, menepuk tangannya dengan riang. “Really? Yay! Oke, boleh kamu perkenalkan dirimu?”

Dimintai, Sagami menyesuaikan nafasnya. “Saya Sagami Minami dari kelas 2-F. Saya tertarik sedikit dengan hal-hal seperti ini… Dan, saya merasa ingin berkembang dengan Festival Budaya ini dan sebagainya… Saya tidak begitu pandai memimpin, tapi kalian tahu bukan, ‘apa-apaan yang kukatakan, kalau begitu jangan lakukan itu.’ atau semacamnya, kan! Ah, tapi itulah yang ingin kuubah untuk diriku. Bagaimana sebaiknya saya mengatakannya? Itu seperti sebuah kesempatan untuk berkembang, jadi saya ingin berusaha semampu saya.”

…Demi para dewa kenapa aku harus membantumu berkembang? Pikirku, tapi mereka yang lain kelihatannya tidak keberatan soal itu.

“Uh huh, itu terdengar bagus bagiku. Itu juga penting, memimpin, ya.”

Tepuk tangan kecil dapat terdengar, dan ruangan itu terus dipenuhi tepuk tangan yang sedikit di sepanjang kelas.

Sagami membungkukkan kepalanya, terlihat sedikit malu-malu, dan kembali duduk.

Senang sekali bisa memutuskan kandidatnya, Meguri-senpai bergugam “yay!” dengan suara kecil, mengambil spidol dari sekretaris, dan menulis di atas papan tulis “Ketua Komite Panitia: Sagami”. Um, kamu itu bukan E. Honda </ref> Street Fighter. </ref>atau semacamnya…

Meguri-senpai melemparkan spidol itu kembali pada sekretaris dan berpaling ke belakang selagi roknya berputar. “Oke, tinggal membagikan tugas-tugasnya. Notilen-notilen itu berisi penjelasan singkat mengenainya jadi tolong dibaca. Dalam lima menit, kita akan menentukan siapa yang mau melakukan yang mana.”

Seperti yang diinstruksikan, aku melihat notilen yang dibagikan padaku.

Periklanan publik, humas (hubungan masyarakat), PT (perlengkapan dan transportasi), kesehatan, danus (dana dan usaha), pubdok (publikasi dan dokumentasi)… Ini agak banyak.

Meski begitu, Festival Budaya SMA sampai ke titik tertentu seharusnya tidak begitu rumit.

Adik kecilku, Komachi, bertugas di OSIS, tapi itu tidak terlihat begitu membuat stres. Ujung-ujungnya, ini cuma sebuah acara sekolah. Yang perlu kami lakukan cuma terus berjalan mengikuti rel yang telah terbentang. Stand By Me. [17]

Aku membaca notilen itu sekilas. Mana yang kerjanya paling sedikit?

Periklanan publik. Yah, aku tidak perlu membaca penjelasan untuk ini. Singkatnya itu sesuatu seperti menempelkan poster di jendela sebuah toko swalayan. Tapi itu artinya mendesain poster itu dan bernegosiasi. Masa depan yang bisa kulihat cuma diriku ditertawakan. Lewat.

Humas. Kelompok humas; dengan kata lain, kamu harus berurusan dengan orang-orang yang ikut andil dalam band dan menari. Mustahil. Aku sudah berpikir panjang lebar, tapi ujungnya itu pasti berurusan dengan orang-orang yang termasuk kasta atas. Kalau ini agen keuangan, aku akan mendaftar. Tidak mungkin.

PT. Ini singkatnya meminjam meja-meja dari berbagai kelas dan mengurus teknologi transportasi. Transportasi terdengar cukup sulit dan terdengar super melelahkan. Walau kalau cuma berseru untan♪untan♪ dengan kastanet [18], aku tidak akan menentangnya. Ayo kita abaikan yang ini.

Kesehatan. Ah, ini mungkin salah satu tugas dimana kamu harus mengumpulkan formulir bahan makanan dan semacamnya. Mungkin bisa kalau tugasnya mengenai kesehatan fisik. Aku tidak ingin melakukannya.

Danus. Ya, ya, mengurus hal-hal yang berkaitan dengan uang, kan? Tidak, tidak mungkin aku bisa bertanggung jawab untuk masalah yang akan muncul, jadi itu akan menjadi masalah besar. Hal terakhir yang kuinginkan adalah dompet kempes dan disudutkan. Aku sangat menolaknya.

…Sungguh, barusan, bahkan aku merasa aku terlalu memaksakannya.

Jadi satu-satunya tugas yang mungkin bisa kulakukan adalah pubdok. Hanya melihat sekilas deskripsinya dan itu kelihatannya melibatkan mengambil foto pada hari acaranya. Toh aku tidak ada janji pada hari itu. Seharusnya ini cukup bagus untuk menghabiskan waktuku.

Setelah menarik kesimpulan tersebut, aku meregangkan diriku dengan pelan.

Aku juga melihat sekeliling dan mereka semua bermain-main dengan ponsel mereka atau saling berbicara, yang berarti mereka, sebagian besar, sudah membuat keputusan mereka.

Ada suara yang amat keras dalam kelompok itu, di dekat sini malah.

“Aku menjadi ketua tanpa berpikir panjang, oh astaga, apa yang mesti kulakukan~!”

“Tidak apa-apa! Sagami-san, kamu paaasti bisa melakukannya.”

“Aku heran, apa aku sungguh biiiiiisa? Macam, tadi aku benar-benar mengatakan sesuatu yang super memalukan tadi. Tidak mungkin aku sanggup, kan?”

“Itu tidak benar, malah, itu hal yang bagus. Lagipula, kami juga akan membantumu.”

Ketika dia memulai percakapannya dengan “iyakan”, dua gadis lain setuju dengannya.

“Ya, ya!”

“Suuuuungguh? Terima kaaaaaasih!”

Aku dapat mendengar percakapan menghangatkan hati itu. Menabjubkan. Itu seperti pertemanan indah yang kamu lihat sebelum maraton dimulai.

…Rasanya aku pernah melihat percakapan itu entah di mana tadi. Apa-apaan? Apa ini déjà vu? Atau mungkin ini copy-paste? Namun, meskipun bukan, orang-orang seperti ini selalu berbicara seperti itu setiap kalinya. Topik dan kosa katanya mungkin berbeda, tapi ujung-ujungnya, mereka akan mengakhirinya dengan pujian pada satu sama lain, atau semacamnya. Terlihat menyenangkan.

“Apa kita sudah siap sekarang?”

Suara Meguri-senpai mengejutkannya mudah didengar. Mungkin karena itu menenangkan, lembut, atau wannyaka papa yunpappa[19] , tapi karena itulah kata-katanya tertinggal dengan mudah pada ujung kesadaranku.

Tidak seperti cara kamu berdiri karena seseorang berteriak dan menjerit padamu, wajah semua orang dengan damai dan dengan sendirinya berpaling ke arah senpai. Kemungkinan ini bukan kemampuannya, tapi adalah pembawaan alamiah dari kepribadiannya.

“Kurasa semua orang sudah tahu apa yang ingin kalian lakukan. Oke, Sagami-san, sisanya tanggung jawabmu.”

“Eh, saya?”

“Uh huh, Aku rasa sisanya seharusnya diambil alih oleh ketua.”

“Ya…”

Senpai mengisyaratkan Sagami untuk berjalan ke arahnya. Sagami duduk di tengah kelompok OSIS.

“O-Oke, kita akan memutuskannya sekarang…”

Suaranya yang memudar dapat terdengar dengan baik bahkan di dalam kelas yang hening ini.

Namun, keheningan ini adalah jenis keheningan tanpa rasa kestabilan.

Itu adalah keheningan sengit yang mengkritik ketidakberesan orang luar.

Itu adalah keheningan yang tidak mengenakkan, menyedihkan yang berada di ambang menjadi suatu badai cercaan dan kutukan dan sebagainya, kalau seseorang tertawa terbahak-bahak dengan tidak sepantasnya.

Sagami, yang berbincang dengan senang barusan, tidak seperti dirinya yang biasanya.

Suaranya yang memulai terdengar lemah.

“…Pertama-tama… orang yang ingin periklanan publik…”

Suara yang perlahan layu tersebut tidak mendapatkan acungan tangan.

“Oke, seksi periklanan ya. Itu periklanan, tahu kan? Kalian bisa pergi ke banyak tempat, mungkin bisa ke televisi atau ke radio, kalian tahu?”

Kata-kata ajakan Meguri-senpai membuat hatiku bergetar untuk sejenak. Kalau kamu berbicara tentang televisi di Chiba, kamu akan terpikir Chiba TV, dan ketika kamu berbicara tentang radio, kamu akan terpikir Bay FM. Kalau mereka memutar lagu terkenal itu, “Maju! Maju! Chiba!”, di Chiba TV dan saat itu mengatakan kamu bisa bertemu dengan Jaguar[20], aku akan segera melesat maju tanpa peringatan.

Tapi aku mungkin tidak akan bisa bertemu Jaguar jadi aku menahan hasrat tersebut. Omong-omong aku tidak sedang mengacu pada Jaguar dari Pyuu to Fuku! [21], melainkan sang pahlawan Chiba.

Aku tidak yakin tindak-lanjut aneh Meguri-senpai berhasil atau tidak, tapi bantuannya akhirnya memancing beberapa gerakan dari kelompok tersebut. Sejumlah tangan diacungkan dan setelah memutuskan jumlah sukarelawan, mereka meneruskan pada tugas selanjutnya.

“O-Oke… Selanjutnya humas.”

Cukup banyak tangan yang diacungkan, seakan humas adalah komponen utama Festival Budaya. Jumlah itu juga melampaui perkiraan.

“Eh, eh…” Sagami kebingungan.

Meguri-senpai membantunya. “Banyak sekali! Kalian banyak sekali! Gunting-batu-kertas untuk itu!”

Tampilan motivasi yang memukau dan pika pika pikarin[22] menerangi dahinya, dan maka dimulailah gunting-batu-kertas Megu Megu.

2-5[edit]

Meguri-senpai mengatasi satu per satu situasinya dengan antuasiasme yang tidak dapat kujelaskan namun unik. Entah itu karena berbagai pengalaman yang telah dia jalani atau pembawaannya dari lahir, dia dengan mantap menangani situasinya bahkan di tengah kekacauan ini.

Tugas dibagi dengan cara seperti itu sepanjang waktu. Itulah ketua OSIS, meski dari pandangan pertama terlihat tidak bisa diandalkan. Dengan kemampuan Meguri-senpai, pembagian tugas dilakukan dengan baik.

Omong-omong, aku berhasil mendapatkan posisiku di “pubdok”.

Entahkan itu salah urutan posisi “pubdok” ini dibagikan, atau karena ini perkumpulan orang-orang yang berpikiran-serupa denganku, situasinya telah berubah menjadi kuburan orang-orang tegas.

Semua kelompok yang diberi tanggung jawab yang berbeda-beda dipecah ke dalam grup-grup untuk perkenalan, tapi mereka amat sulit untuk ditonton.

“Um, apa yang sebaiknya kita lakukan?”

“Memperkenalkan diri kita, kurasa?”

“Haruskah kita melakukannya?”

“Ya.”

“……”

“……”

“Um, jadi siapa dulu?”

“Ah, aku mulai dulu.”

Percakapannya berjalan seperti itu. Hanya ada satu-dua percakapan yang menyerupai kalimat “hei kamu, bahkan rambut tukang pangkas tidak seperti itu.”

Tentu saja, Yukinoshita juga masuk ke dalam grup ini.

Setelah kami memperkenalkan diri kami dengan hanya kelas kami dan nama lengkap kami, sudah waktunya untuk gunting-batu-kertas yang dinanti-nanti untuk memutuskan ketua dari setiap grup.

Gunting-batu-kertas “Orang yang kalah akan melaukannya” yang kami mainkan memiliki maksud yang berbeda dengan gunting-batu-kertas untuk kelompok humas barusan tadi.

Pertama-tama, ini dimulai dengan memutuskan memakai gunting-batu-kertas atau tidak, dan kemudian diputuskan gunting-batu-kertas setelah dirundingkan. Seorang senpai kelas dua belas bernama Entahsiapa-san dipilih sebagai ketua grup dan segera membubarkan grup ini.

“Semoga harimu menyenangkan.”

Setelah ucapan selamat tinggal yang sopan dan terus berulang, semua orang perlahan-lahan bubar. Yukinoshita duluan pergi. Aku berusaha untuk mengikuti mereka dan meninggalkan ruangan konferensi itu, tapi pada saat itulah.

Di sudut ruangan konferensi itu terlihat Sagami Minami, duduk dengan patah semangat. Apa dia murung karena tugas pertamanya sebagai ketua komite panitia tidak berjalan sebaik yang dia harapkan? Di sampingnya adalah dua gadis yang bersama dengannya, dan entah kenapa, Hiratsuka-sensei dan Meguri-senpai juga ada di sana. Kelihatannya mereka berencana untuk mambahas apa yang akan terjadi setelah ini.

Saat aku berpapasan dengan mereka, mataku langsung bertemu dengan mata Hiratsuka-sensei.

Dia membuat kedipan kinclong ☆ dan melambaikan tangannya padaku, pastilah menandakan “bye-byeeee”.

…Ayo cepat pulang.

Mundur ke Bab 1 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 3

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Teriakkan pesumo.
  2. Dragon Ball Z – We Gotta Power (Youtube)
  3. Kiteretsu Daihyakka - Lagu openingnya berjudul “Kurang Tidur”.
  4. Beep Boop Beep (Youtube)
  5. Referensi slogan Sayaka Suzuki dari Pani Poni
  6. Leer, skill pokemon untuk menurunkan defense.
  7. Ashita no Nadja (Tomorrow’s Nadja, Nadja besok) – kalimat ini dari lagu endingnya (Youtube).
  8. Bleach – KUBOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO, setiap kali ada sesuatu yang “mengejutkan” terjadi di Bleach, ini akan terjadi (Nan, tato).
  9. Referensi Shinsei Motemote Oukoku.
  10. Referensi Kaiji (anime episode 8 season 2, kira2 menit 10) – Ketika Ootsuki yang curang ketahuan dan disudutkan, dia berteriak “Tidak aci! Tidak aci!”
  11. Iklan (Youtube).
  12. Meme Jepang. Itu mengenai seorang bhiksu bernama T-san yang mendadak muncul dan menyelamatkan orang dari hal-hal mistis dengan berteriak “haa!” Setelah dia pergi, orang-orang selalu berkata “dibesarkan di kuil sungguh menabjubkan.”.
  13. Idolmaster – kalimat Haruna Kamijou, pecinta kacamata.
  14. (Aku tak mengerti referensi ini, jadi kuganti sedikit kalimatnya haha.) Kompres dingin.
  15. Harmoni yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebuah apel jatuh ke kepala Dewi Perssik, dan kelihatannya apel itu menyebabkan rasa sakit di dalam pikirannya. Sebenarnya, bukan apel tersebut yang menyebabkan rasa sakit tersebut—rasa sakit itu disebabkan oleh keadaan yang telah ada di pikiran Dewi sebelumnya. Jika Dewi kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya karena marah, bukan pikirannya yang menyebabkan hal ini, tetapi keadaan yang telah ada di kepala Dewi sebelumnya.
  16. Jigoku no Misawa, mangaka.
  17. Judul film (Youtube, adegan di rel kereta api).
  18. Yui main kastanet. OLE! OLE! (Cek yang dub Prancis XD)
  19. Sekolah Seni GA – Iklan (Youtube).
  20. Jaguar adalah band. Lagunya adalah “Fight! Fight! Chiba.”
  21. Pyu to Fuku! Jaguar
  22. Smile Precure – kata-kata Cure Peace (Youtube).