Oregairu (Indonesia):Jilid 6 Bab 1

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 1: Di dalam Badai, Hikigaya Hachiman Terus Terpeleset.[edit]

1-1[edit]

Angin musim gugur meniup tirai tersebut.

Yang melirik ke dalam dari kilasan terputus-putus di luar sana adalah awan cirrocumulus yang diwarnai merah senja. Jendela yang sedikit terbuka menyaksikan masuknya angin yang berhembus.

Pemandangan tersebut terus hilang timbul dan tanganku yang membalik halaman berhenti. Kilasan kecil yang tiada hentinya pada sudut mataku itu menjengkelkan. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi karena itu sungguh menganggu.

Berbeda denganku, dari ujung meja panjang ini ke ujung yang satunya lagi, yang duduk secara diagonal dari posisiku adalah seorang gadis.

Yukinoshita Yukino tidak bergerak sedikitpun dari tadi.

Pandangannya terarah pada buku di tangannya, menelusuri satu per satu kalimat tanpa bersuara. Itu pasti karena jendela tersebut terletak di belakangnya sehingga lapangan pandangnya tidak menangkap pergerakan tirainya.

Duduk di sebelah sana mungkin adalah pilihan yang lebih baik. Namun, melihat bahwa saat ini kedua posisi kami sudah ditetapkan, bersusah payah untuk berpindah posisi akan memberiku tempat duduk yang buruk.

Biasanya, aku akan menempati sisi yang menerima lebih sedikit cahaya dari matahari, mengambil posisi yang jauh dari jendela sementara itu wajar bagi Yukinoshita untuk duduk di tempat dimana punggungnya akan menerima sinar matahari yang lembut.

Tapi sekarang dengan dimulainya musim gugur, sinar matahari terlihat semakin berkurang. Siang sudah semakin singkat.

Liburan musim panas telah berakhir dan kami baru melewati beberapa hari di bulan September. Tanda-tanda musim panas masih tertinggal dengan kuat di siang hari, tapi kami sedang beralih ke musim dimana sore akan semakin dekat diiringi dengan tiupan angin membekukan yang tiba-tiba seperti barusan tadi.

Kami memang telah memasuki semester kedua, tapi hidup kami tidak akan begitu berbeda. Seperti biasa, Yukinoshita dan aku selalu memastikan untuk menghadiri klub. Walau, satu-satunya aktivitas yang sungguh kami sibukkan adalah membaca. Selagi Yukinoshita dan aku asyik membaca, Yuigahama bermain-main dengan ponselnya yang menganggu, suara “klik, klak” menggema.

Angin yang berhembus lewat, lebih kuat dari yang sebelumnya, menggerakkan bingkai jendela.

Tirai berkibar-kibar, menzalimi halaman yang baru saja akan kubaca. Hei, tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiirai! Sudah cukup lama, seruan tirai itu untuk menegaskan keberadaannya, “tirai, tirai!” sudah benar-benar di luar kendali, memang kamu siapa, Bonchuu[1]?

Dengan penuh jengkel, aku melotot ke arah jendela dan mendecakkan lidahku. Angin itu sendiri cukup menjengkelkan, tapi begitu pula dengan tirai yang membiarkan angin menerpanya begitu saja. Dimana harga dirimu? Satu-satunya yang boleh diterpa angin adalah rok perempuan dan Stadium Marine Chiba.

Whoa, di sudut mataku, sebuah rok berkibar-kibar. Pemilik rok tersebut, Yuigahama, berdiri dari kursinya, yang terletak di tengah-tengah meja panjang itu dari sisiku, dan menutup jendelanya. Kibaran roknya yang berani menandakan bahwa mungkin ada Pokémon yang bersembunyi di sana, nyaris membuatku ingin menjelajah ke sana, Phew, Pocket Monsterku hampir sekali menjadi liar tadi…

“Anginnya agak kuat, huh?”

Tidak ada satu suarapun yang menyahut.

Yang terdengar hanya gema jendela yang berkeletak.

Meski tidak ada sahutan, Yuigahama membuka mulutnya tanpa merasa patah semangat. “Aku dengar angin topan akan segera datang.”

Karena dia meneruskannya lagi, Yukinoshita dan aku akhirnya mengangkat wajah kami dari buku kami.

Yuigahama menampilkan ekspresi lega. “Padahal cuacanya begitu bagus sewaktu liburan.”

“Masa? Rasaku siang harinya hampir gelap semua.” Aku memeras otakku untuk mengingatnya, tapi aku tidak ada ingatan siang harinya terang benderang. Satu-satunya ingatan yang kupunya soal cuaca NO-TEN P-KAN[2], cuaca yang menyakitkannya terik, adalah pada hari aku harus meninggakan rumahku jadi…

“Hikki, kamu tidak keluar rumah jadi tentu saja kamu tidak tahu.” Yuigahama tergelak pelan. Kurasa begitu.

“…Karna itu. Kini tirai cahaya sudah sangat efisien. Karna itulah jadinya gelap sekali.”

“Ada cahaya, tapi jadinya gelap?” Yuigahama memasang tampang kebingungan dan aku mendapati diriku membalasnya dengan tampang kebingungan juga.

“Huh?”

“Eh?”

Setelah Yuigahama dan aku saling bertatapan dengan penasaran, entah bagaimana aku menyadari maksudnya itu lain. Hei, gadis ini tidak sungguh-sungguh menanyakan ini, kan? Oh astaga, gadis yang sungguh mengerikan.

Yukinoshita, yang telah mendengar percakapan menyedihkan itu, menutup bukunya dan membuka mulutnya dengan ragu-ragu. “…Aku akan menjelaskannya untuk berjaga-jaga saja, tapi tirai cahaya adalah benda yang menghalau cahaya.”

“Eh…? Ah, i-itu benar! Ya… A-aku tahu itu …” sahut Yuigahama, awalnya dengan jeda singkat karena kaget, tapi akhirnya, dia benar-benar memalingkan matanya. Dengan mata yang menatap pada seorang anak yang menyedihkan, aku menambahkan sebagai pelengkap.

“Yah, tahu tidak. Cahaya memang ada asal-usul kunonya bagi orang Jepang. Melihat bahwa kita punya benda seperti arca penghalau cahaya, dari sisi sejarah, kita itu semacam manusia dari cahaya.”

Ada orang yang memangkul nasib membenci cahaya, tapi menyukai kegelapan. Mereka disebut orang Jepang. Whoa, penjelasan yang tadi chuuni sekali.

“Oh ya! Tapi kurasa itu mungkin masuk akal kalau kamu mengatakannya seperti itu. Rumah bawah tanah kelihatannya juga tidak ada jendela.” Kata Yuigahama, membuat helaan terkagum.

Di sisi lain, Yukinoshita meletakkan tangannya pada dahinya seakan berusaha untuk menahan sakit kepala dan menghela. “Arca penghalau-cahaya[3] itu hanya disebut demikian karena arca itu menyerupai alat yang dipakai orang Inuit untuk menghalau cahaya di tengah salju, jadi cahaya tidak ada hubungannya di sini…”

Itu adalah suara yang kecil menyerupai bisikan yang lembut. Kata-kata tersebut bergema dengan jelas, sedangkan suara yang lain tidak dapat melakukannya.

“Ah, begitukah? H-Heeeh…”

Perasaan malu yang tampil dari pengetahuannya yang keliru dengan tampang bangganya itu tidak biasa. Astaga, tidak mungkin kita bisa membuat percakapan yang baik sekarang. Terlebih-lebih, nada menegurnya itu tidak dibantah balik, berbeda dari yang seharusnya sampai saat ini.

“……”

“……”

Yukinoshita tidak menegurnya lagi, kelihatannya karena pengertian.

Dia kembali membaca lagi sementara aku mengistirahatkan pipiku pada salah satu tanganku, membalik halaman dengan tangan yang satunya lagi.

Dari kejauhan terdengar suara whoosh dari angin yang berhembus. Suara itu berseru “whoosh, whoosh” sampai kamu akhirnya akan berpikir itu adalah semacam mata-mata Rel Kereta Api Jepang.

Hanya batuk seseorang yang dapat terdengar.

Saat tersadar, satu-satunya suara yang mencapai telingaku adalah detakkan jarum jam.

Apa waktu dimana orang menjadi sadar dengan keheningan itu tidak begitu berbeda, ya?

Yuigahama menarik nafas dalam dengan sesuatu di benaknya. “Hei Hikki, kamu sebaiknya, er, lebih sering keluar, ya. Kamu tahu, vitamin C? Kamu akan memproduksi zat seperti itu atau semacamnya.”

“Kurasa kamu sedang membicarakan tentang vitamin D. Membuat vitamin C atau sebagainya, kamu itu semacam lemon? Tubuh manusia tidak memproduksi vitamin C.”

“Masa?”

“Ya. Omong-omong, ternyata, mempaparkan dirimu di bawah sinar matahari dua kali seminggu selama tiga puluh menit sudah cukup untuk memproduksi vitamin D yang kamu perlukan. Maka dari itu, tidak perlu keluar rumah.” Aku menjelaskannya dengan tampang bangga. Sebagai orang yang termasuk dalam jurusan sastra swasta, ketika berbicara soal detail kecil yang digolongakan sebagai pengetahuan umum, aku itu hebat. Malah, mungkin itu sebenarnya ciri khas orang-orang di jurusan IPS.

Ekspresi Yuigahama terlihat ragu, kaget dengan pengetahuanku yang berlimpah. “Kenapa kamu bisa tahu sebanyak itu…? Apa kamu itu penggila kesehatan atau semacamnya? Menjijikan…” Dia menyerangku dengan beberapa kata yang buruk.

“…Dahulu, orangtuaku mengatakan hal yang mirip jadi aku mencari tahu itu.”

“Kamu begitu tidak inginnya keluar rumah, huh…”

“Seperti yang bisa diduga dari Hikikomori-kun.”

“Diamlah…”

Lagi, bagaimana kamu bisa tahu tentang julukanku sewaktu SMP?

Aku rencananya ingin berkata lebih, tapi aku segera berhenti di sana… Yah, tidak mengatakan apapun bukanlah sesuatu yang amat buruk. Ya, seperti, kamu tahu, aku tidak ada sesuatu yang cukup menarik yang cukup baik untuk dijadikan sanggahan. Seperti itu, kamu tahu? Yang barusan tadi itu salah satu pola-pola tersebut dimana tetap diam itu benar. Kamu terkadang akan menghadapi itu. Setiap kali seseorang berbicara padamu sedikit saja, kamu akan terbawa suasana dan membuat semacam sanggahan yang disahut semua orang dengan keheningan. Ingatan tiba-tiba itu membuatku menggeliat sengsara.

Tapi meski tidak mengatakan apapun, keheningan itu tidak berubah.

“……”

“……”

Bulu mata Yukinoshita tidak bergerak satu mili-pun selagi dia melihat halaman bukunya dengan lesu.

Sikap tak bereaksinya menganggu Yuigahama selagi dia berusaha untuk menutupi keheningan itu dengan sebuah tawa. “A-Ahaha… Hikki, kamu benar-benar hikki, ternyata.”

“Hei, hei, itu cara hidup yang benar, diteruskan oleh yang benar sejak zaman dewa-dewi. Bahkan dewa terpenting dalam legenda Jepang, Amaterasu-oomikami, mengurung dirinya.”

Aku mengikuti legenda tersebut dan tidak meninggalkan rumahku. Aku menerapkan tindakan dewa-dewi, dengan kata lain, aku adalah Dewa di Dunia Baru.

“Lagipula dewa-dewi dalam legenda Jepang itu tidak begitu benar…”

“Eh, begitukah?”

“Kurang lebih… Ada cukup banyak yang seperti itu di dalam kisah-kisah politeisme.”

Kenyataannya, itu kacau balau. Kalau kamu membaca legendanya dengan cermat, kamu akan menemukan banyak kisah konyol dimana-mana.

Yuigahama mengerang terkagum setelah percakapan itu. “Namun ketika aku mendengar kata dewa, aku membayangkan sosok yang sempurna.”

Kalau ia adalah DEWA yang mencakup-segalanya, maka ia mungkin dipandang seperti itu, tapi kalau kamu mendengar dewa di Jepang, mereka tidak dibatasi dengan kesempurnaan yang adil. Keberadaan banyak jenis dewa-dewi adalah legenda negara ini. Dewa yang maha benar, yang maha tahu dan yang maha kuasa tidak selalu dipandang demikian di tempat lain.

Ketika itu muncul dalam benakku, aku menuturkan beberapa kata. “…Yah, memaksakan pandanganmu pada sesuatu termasuk dewa bukanlah hal yang sebaiknya kamu lakukan.”

Aku tidak menanti respon dari siapapun. Itu cuma monolog spesial dan lazim nomor delapan-belasku. Setelah jeda yang cukup lama, suatu suara kecil diselipkan di antara suara membalik halaman.

“…Kurasa begitu.”

Dia juga sependapat denganku, kemungkinan juga tidak menanti respon. Suaranya dan pandangannya tidak di arahkan pada siapapun.

Kamu tidak boleh memaksakan pandanganmu pada sesuatu.

Hanya dari dewa kamu bisa mengharapkan kesempurnaan.

Kamu tidak boleh menuntut idealisme dari siapapun.

Itu adalah kelemahan. Itu adalah kejahatan yang harus dibenci. Itu adalah kelalaian yang harus dihukum. Itu tidak hanya memanjakan dirimu, tapi juga mereka di sekelilingmu.

Kamu diizinkan untuk merasa kecewa hanya pada dirimu sendiri. Kamu sebaiknya melukai hanya dirimu sendiri. Benci hanya dirimu sendiri karena tidak mengikuti idealismemu.

Satu-satunya yang tidak boleh kamu maafkan adalah dirimu sendiri.

“……”

“……”

Percakapan telah terhenti. Suasana telah terbeku. Waktu telah berlalu. Ruangan ini tertutup, namun waktu yang terhenti itu terasa seakan ia telah menurunkan suhu ruangan ini.

“A-Ahumm…” Yuigahama bertukar pandang dari Yukinoshita ke diriku, gemetaran, dan kemudian melemaskan bahunya.

Akhir-akhir ini, hanya ada percakapan semacam ini.

Semua orang akan berusaha semampunya untuk berbicara dan berusaha untuk menemukan kesempatan untuk memulai percakapan; hari-hari semacam itulah.

Seperti inilah keadaannya untuk beberapa hari ini, bahkan Yuigahama sudah mulai lelah.

Seakan untuk menghancurkan ruangan yang direndam di dalam ketenangan, angin menggetuk-ngetuk jendela.

Derak jendela kaca tersebut bergema di dalam ruangan tersebut, merambatkan getaran pada udara ruangan tersebut. Yuigahama melihat ke luar, berharap untuk memicu sebuah percakapan.

“Ke-kelihatannya cuacanya akan jadi agak buruk, huh? Kalau Jalur Keiyou berhenti, Yukinon tidak akan bisa pulang ke rumah, kan?”

“Ya, itu benar.”

Kalau aku tidak salah ingat, Yukinoshita berangkat ke sekolah melalui Jalur Keiyou.

YahariLoveCom v6-027.jpg

Jika angin topan yang dikatakan besar dan kuat tersebut mengarah pada Kanto, maka Chiba akan menjadi sebuah pulau yang terisolasi. Mengikuti Jalur Keiyou yang terdepan, Jalur Sobu, Jalur Jouban, Jalur Keisei, Jalur Toei-Shinjuku dan banyak sistem jaringan rel kereta api lain akan dihentikan untuk sementara waktu. Kami akan terputus dari Jepang dan tidak diragukan lagi kami akan berdikari.

Dipikir lagi, Chiba memiliki banyak sekali rel. Selain yang telah disebut, juga ada Jalur Rel Elektrik Choushi dan Jalur Kominato, keduanya berada pada kondisi yang baik dan lusuh. Terlebih lagi, ada rel-rel besar seperti Jalur Uchibo dan Jalur Sotobo, tapi sayangnya, kamu akan merasa sulit untuk membedakan keduanya kalau kamu tinggal di dekat Tokyo. Terkadang ketika kamu terus terang salah membedakannya, kamu akan diteriaki seperti api yang membara. Kemarahan rakyat Chiba itu adalah Api Recca[4]!

Jadi, jika angin topan datang, fasilitas transportasi yang banyak di kota akan terhenti. Bahkan Yukinoshita tidak bisa mengelak dari pengaruh hal tersebut.

“Iya, kan. Jadi, er, rumahku agak dekat…” Yuigahama berusaha untuk mengucapkan kata-katanya, tapi berhenti.

Ketika aku melihatnya, terganggu dengan keheningan aneh yang muncul, Yukinoshita sedang membuat ekspresi yang teramat menyakitkan.

“…Tidak masalah. Kalau saat itu tiba, aku bisa jalan kaki ke rumah.”

“Be-begitu ya. Bukannya, kamu tidak bisa menempuh jarak tersebut atau semacamnya.”

Stasiun terdekat tempat Yukinoshita tinggal sekitar dua stasiun jaraknya. Itu memang jarak yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Yuigahama menyesuaikan sikapnya dan berbicara padaku. “Hikki, apa kamu pulang naik sepeda?”

“Ya”. Aku menjawabnya dan melihat ke luar. Untungnya, hujan masih belum turun. Aku membawa payungku untuk berjaga-jaga, tapi kalau bisa aku tidak ingin pulang ke rumah sambil menggunakannya di tengah-tengah badai topan.

“Kenapa tidak pulang naik bus saja untuk setidaknya hari-hari seperti ini?”

“Aku tidak suka betapa ramainya bus itu, jadi tidak.”

Ditambah lagi fakta bahwa bus itu sebagian besar dinaikki oleh siswa di sini. Kalau aku berpapasan dengan teman sekelas, itu akan menjadi masalah besar. Tidak masalah kalau itu seseorang yang membantuku dengan mengabaikanku. Itu benar-benar menyakitkan memaksa orang untuk bersikap anehnya pengertian denganku dan menghentikan percakapan mereka yang menyenangkan. Hatiku akan penuh dengan rasa bersalah. Rasa itu akan selevel dengan Dazai, dimana aku secara refleks akan meminta maaf karena dilahirkan.

Terlebih, pulang menaiki bus pada saat ini berarti menaikinya bersama-sama dengan Yuigahama. Dan ini Yuigahama yang sedang kita bicarakan di sini. Tidak diragukan lagi dia entah bagaimana akan mencoba untuk berbicara denganku.

—-Bagi kami terlihat seperti itu.

Bagi Yuigahama untuk terlihat berbicara ramah dengan seseorang yang berada pada kasta tingkatan terbawah adalah suatu perasaan yang sama sekali tidak bisa kutahan. Aku tidak ingin dia melalui saat selama festival kembang api itu lagi.

Omong-omong, alangkah baiknya kalau kami bisa pulang sebelum cuacanya semakin parah…

Dengan cuaca yang buruk ini terdengar, klub-klub lain sedang bersiap-siap untuk pulang lebih awal. Kami bisa tetap di sini lebih lama lagi, tapi aku ragu kami akan mendapatkan klien lagi hari ini, pikirku.

Pintu ruangan tersebut kemudian digeser tanpa peringatan.

“Kalian masih di sini?” Hiratsuka-sensei, penasehat Klub Servis, memasuki ruangan tersebut, memilih untuk tidak mengetuk seperti biasanya. “Klub-klub lain sudah pulang. Cepat pulang sebelum cuacanya bertambah parah.”

Yukinoshita menutup bukunya setelah mendengarnya. “Kita sudahi dulu untuk hari ini?”

Ruangan ini gelap dengan awan-awan yang berkumpul rendah di atas langit. Bersama dengan bayangan tersebut membuat bahkan wajah Yukinoshita terlihat gelap.

“…Yah, hati-hati sewaktu pulang.” Hiratsuka-sensei melihat ke arah Yukinoshita dengan pertimbangan, tapi tidak mengatakan apapun lagi dan pergi.

Yuigahama dan aku tidak membantah, bersiap-siap untuk pulang, dan meninggalkan ruangan itu bersama-sama.

“…Aku akan mengembalikan kuncinya sebelum pulang.” Yukinoshita pergi dengan kata-kata tersebut, menyusuri lorong yang kosong tersebut.

Aku menghadap ke arah pintu masuk tanpa melihatnya pergi. Yuigahama berada tiga langkah di belakangku, sedikit ragu dengan apa yang sebaiknya dia sendiri lakukan.

Kami tidak berkata-kata sampai kami berganti sepatu kami.

Hanya suara sepatu yang dijatuhkan bergema di pintu masuk. Setelah aku memakai sepatuku, aku langsung pergi ke luar.

“Aku pulang dulu dengan sepedaku.”

“Oke. Bye-bye.” Yuigahama melambaikan tangannya di depan dadanya dan kami bertukar ucapan selamat tinggal kami.

Angin yang berisikan kelembaban dari selatan itu terasa amat hangat.

1-2[edit]

Aku mati-matian mengayuh sepedaku melawan angin yang berhembus ke arahku. Sepeda kota yang telah kusiksa selama lebih dari setahun sekarang berteriak. Suara mengayuh terdengar di atas suara yang tiada henti tersebut.

Tidak peduli sebanyak apapun aku mengayuh, rasanya aku tidak membuat kemajuan apapun. Malah, lebih terasa seakan aku didorong ke belakang. Semangatku hampir patah karena angin yang sangat kuat tersebut, tapi aku mati-matian mengayuh pedal sepedaku.

Walau siang mungkin semakin memendek, tapi matahari seharusnya masih berada di atas langit. Hanya saja awan-awan tebal tersebut mulai terbentuk seakan untuk menyembunyikannya.

Lampu jalan yang goyah menerangi jalannya dengan lemah, dan kantung plastik serta kaleng kosong beterbangan kesana-kemari.

Di dalam kegelapan, bau tanah bercampur dengan kelembaban yang melayang-layang di udara dan bintik-bintik hitam mulai bermunculan di sepanjang aspal.

Bintik itu bertambah satu, dan satu lagi. Tetesan hujan terus mengguyur, ditemani dengan suara yang keras.

Akhirnya, bintik hitam itu menyelimuti seluruh permukaan tanah.

Hujan turun dan turun dengan ribut, sama sekali tidak memperdulikanku, turun dan turun. Turun sampai lenganku yang terkena terasa sakit.

Tetesan hujan melanda tubuhku tanpa ampun, menjadikan kemejaku tembus pandang. Aku hanya bisa merasa frustasi dengan tidak adanya siswi SMA di sekitar sini.

—-Sungguh menjengkelkan, apa-apaan ini…? Bisikku di dalam mulutku dan aku menarik payungku dari sepedaku.

Aku membentangkan payung vinyl tersebut sambil melindungi diriku dari hujan.

Tapi sesaat kemudian, angin yang kuat tersebut menambah kekuatannya dan menghancurkan payungnya. Kerangka payung tersebut peot dan plastik vinylnya berubah menjadi sebuah kain layar sederhana. Angin tersebut membawaku pergi, persis, seperti kapal pesiar.

Aku kehilangan keseimbanganku dan dengan panik aku mendapatkannya kembali.

…Aku nyaris sekali terjatuh ke sana.

Aku menyeka keringat dingin dan air hujan lalu melipat payung yang rusak dengan pasrah.

—-Sungguh. Menjengkelkan sekali.

Angin meredamkan suara di sekelilingnya dan hujan begitu lebat dimana kamu bahkan tidak bisa menyipit.

Pakaian basahku menyerap kehangatan tubuhku, menghadapkanku pada beban kelembaban ini. Pandanganku telah kabur.

Pada hujan seperti ini, kelelahanku, kata-kataku, dan pemikiranku mulai menghilang.

Sungai Hanami yang terlihat dari jalur sepedaku terus mengucurkan air hitam, menyapu pergi segala jenis benda.

Tapi di tengah-tengah badai, satu-satunya yang tertinggal adalah diriku.

Mundur ke Bab 0 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 2

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Bonchuu
  2. Lagu opening Dragon Ball Z. NO-TEN (nouten) artinya di atas kepalamu. P-KAN (piikan) artinya cuaca cerah.
  3. Shakōki-dogū. Shakōki (alat penghalau cahaya), dogu (arca). Diberi nama shakoki karena arca shakoki dogu mirip dengan kacamata salju yang orang Inuit pakai untuk menghalau cahaya.
  4. Referensi judul manga Flame of Recca.