Oregairu (Indonesia):Jilid 3 Bab 5

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 5: Masih Sendiri di Alam Liar, Zaimokuza Yoshiteru Meratap[edit]

5-1[edit]

Hari Senin. Dalam bahasa Inggris, kamu akan menyebutnya Monday. Itu dieja M-O-N-D-A-Y. Itu anehnya terdengar mesum, jadi aku tidak akan benar-benar menyebutnya suatu hari yang bahagia dari semua hari yang ada dalam satu minggu, lebih seperti hari itu hanya akan membuatmu menghela dan berpikir, “Jangan satu minggu sekolah lagi…” Keinginanku untuk mengambil satu hari cuti dari sekolah sekitar sama besarnya dengan keinginanku untuk mengambil satu hari cuti dari kehidupan itu sendiri, tapi itu tidak seperti akan ada orang yang mau menuliskan catatan untukku atau membawakanku selebaran kelas. Itu pasti akan membuat angka kehadiranmu meningkat.

Memikirkan bahwa aku bahkan ingin mengambil satu hari cuti dari sekolah, yang harus kamu bayar dari kantongmu sendiri untuk menghadirinya, itu terlihat masuk akal aku akan mengambil cuti kerja berhari-hari tanpa dibayar. Sebenarnya, tidak, aku tidak mau membuat masalah untuk mereka-mereka disana karena lalai, jadi aku lebih baik membuat keputusan untuk tidak bekerja dari awal.

Meski begitu, bagaimana bisa riajuu-riajuu itu mengatakan hal-hal seperti “Oh men, sekolah itu beeeegitu membosankan! Haha! Aku sengaja meninggalkan buku cetakku saat liburan musim panas dengan tanpa sengaja!” ketika mereka begitu mencintai sekolah? Mereka datang setiap hari. Mungkin mengatakan sesuatu yang tidak benar-benar kamu maksudkan itu adalah apa yang disebut menjadi seorang riajuu itu. Dengan kata lain, berbohong merupakan jalan untuk menjadi seorang riajuu.

Mengarungi jalanku melewati semua keributan dan ocehan-ocehan di sekelilingku, aku berjalan ke dalam ruang kelas, tepat waktu untuk homeroom pagi.

Ada sejumlah koloni yang didirikan di dalam ruang kelas. Ada satu kamp yang terdiri dari riajuu laki-laki dan perempuan dan kamp kedua yang tersusun dari gadis-gadis riajuu yang ingin berteman dengan semua orang. Ada juga para murid yang masuk dalam klub tapi tidak benar-benar bermain dalam olahraga apapun, para otaku, para gadis yang berpikir dunia ini berputar mengelilingi mereka. para gadis pendiam yang tidak membuat keributan apapun. Kemudian disana ada sejumlah kecil para penyendiri. Dan di antara para penyendiri ini ada sejumlah tipe, dan… aku sedang terbawa suasana.

Meeskipun aku baru saja memasuki ruang kelas, semua orang sedang sibuk dalam ocehan mereka dan tidak ada seorangpun yang benar-benar memperhatikanku. Sebenarnya, untuk mengatakan mereka tidak memperhatikanku itu merupakan cara yang agak salah untuk mengatakannya. Akan lebih benar untuk mengatakan mereka hanya tidak peduli.

Menyelip-nyelip jalanku mengelilingi sejumlah pulau yang terletak di dalam kelas, aku berjalan menuju tempat dudukku. Tepat di sebelahku adalah kamp riajuu – dan grup otaku.

Setiap kali mereka dalam sebuah kelompok, orang-orang itu akan mengoceh pada satu sama lain, tapi setiap kali mereka datang ke kelas terlalu awal, mereka akan berkata, “Rekanku masih belum disini…” selagi mereka memain-mainkan ponsel mereka dengan risih dan menjentikkan rambut dari mata mereka, sambil sepanjang waktu melemparkan pandangan-pandangan menyamping ke arah pintu dengan cara yang agak manis untuk ditonton.

Karena kesadaran mereka dengan pertemanan mereka sendiri itu apa yang bisa kamu duga dari otaku, mereka tidak benar-benar berbicara dengan orang di luar lingkaran pertemanan mereka. Mereka tidak akan pernah berbaur dengan grup lain atas kehendak mereka sendiri. Ketika kamu memikirkannya, itu cukup diskriminatif dan terpisahkan dari yang lain.

Singkatnya, kamu mungkin tidak memikirkannya, tapi para penyendiri itu filantropis besar. Tidak mencintai apapun berarti kamu mencintai segalanya dengan sama rata. Sial, hanya menghitung waktu saja sebelum mereka mulai memanggilku Ibu Hikigaya.

Hal pertama yang kulakukan setelah aku duduk di tempat dudukku adalah melamun. Menatap samar pada tanganku, pasti ada pemikiran tidak berguna seperti “Oh ya, kukuku sudah semakin panjang” atau “Hei, Aku sudah selangkah lebih dekat menuju kematian” yang menumpuk satu per satu. Aku memiliki keyakinan penuh dalam fakta aku sedang membuang-buang waktuku.

Sungguh kemampuan yang tidak berguna…


× × ×


5-2[edit]

Kelas berakhir entah kapan selagi aku sedang mengerahkan kemampuan-kemampuan tak bergunaku yang tak terhitung banyaknya, dan sekarang sekolah sudah berakhir untuk hari ini. Aku jamin aku sudah mendorong diriku sampai pada batasanku dan membangunkan kemampuan Standku[1].

Aku tidak membuang-buang waktu untuk bersiap-siap pulang dan berdiri dari tempat dudukku. Seperti biasa, aku tidak mengucapkan satu patah katapun pada gadis yang duduk di sampingku. Alasan kurikulum bahasa Inggris di Jepang itu tidak begitu bagus pastilah karena mereka membuatmu berbicara dalam pasangan di kelas.

Ketika aku pergi ke Klub Servis, Yuigahama sudah ada di sana, telah keluar dari ruang kelas sebelum aku. Meski kubilang begitu, itu tidak seperti dia ada di dalam atau apa – dia sedang berdiri di luar pintu, menarik dan menghembuskan nafas dengan berat.

“…apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanyaku.

“Woa!” dia kaget. “Oh, H-Hikki. Aku sedang, um, k'mu tahu? Menciumi bunga mawarnya atau semacamnya…”

YahariLoveCom v3-159.jpg

Yuigahama memalingkan matanya dengan rasa tidak enak.

“…”

“…”

Keheningan berkuasa di antara kami.

Kami membungkukkan kepala kami, tidak bertemu mata satu sama lain. Melakukan itu membuat pintu ruangan klub yang terbuka sedikit masuk ke dalam jarak pandangku. Ketika aku melirik ke dalam, Yukinoshita sedang berada di tempat biasanya membaca sebuah buku seperti yang selalu dilakukannya.

Entah kenapa, kelihatannya Yuigahama berakhir ragu-ragu untuk masuk ke dalam.

Dan bukan tanpa alasan. Dia sudah tidak ada di sana selama satu minggu penuh.

Entahkah itu sekolah ataupun kerja, jika kamu tiba-tiba libur sehari, kamu tidak tahu ekspresi apa yang dipasang saat kamu muncul di lain waktu. Jika aku cuti kerja karena beberapa dorongan buruk, aku akan merasa tidak enak dengan itu sampai aku tidak ingin pergi lagi – itu terjadi padaku tiga kali penuh. Tunggu, jika kita memasukkan saat-saat yang aku tidak pergi satu kalipun, akan menjadi lima kali, kurasa.

Itulah mengapa aku terlampau mengerti perasaan Yuigahama.

“Ayo, kita pergi.”

Jadi aku setengah-menyeret dia ke dalam. Pintunya terdorong dengan suara derak keras yang disengaja, untuk menarik perhatian.

Seakan jengkel dengan suara keras itu, Yukinoshita mendongakkan kepalanya dengan tajam.

“Yuigahama-san…”

“H-hai, Yukinon…” Yuigahama menjawab dengan nada riang yang tidak alamiah, sambil mengangkat tangannya dengan lemah.

Sebagai balasannya, pandangan Yukinoshita langsung berpaling kembali ke bukunya seakan tidak ada masalah sama sekali. “Jangan membuang-buang waktu di sana selamanya – cepat masuk ke dalam. Aktivitas klub sedang dimulai.”

Gadis yang berbicara itu sedang tertunduk ke bawah, mungkin dalam upaya untuk menyembunyikan wajahnya. Tapi bahkan dari kejauhan, kamu bisa melihat wajahnya merona merah terang. Juga, dari cara dia berbicara, aku harus bertanya-tanya apa dia itu seorang ibu yang sedang menegur anak-anaknya setelah mereka kabur dari rumah atau semacamnya…

“O-oke…” Yuigahama menjawab selagi dia menarik tempat duduk biasanya di samping tempat duduk Yukinoshita. Tapi ketika dia menarik tempat duduknya, jarak di antara mereka melebar, dan di sana sudah ada cukup tempat untuk memasukkan satu orang lagi di antara mereka.

Kalau aku, aku mengambil posisi biasaku di sudut yang tepat berlawanan dari Yukinoshita.

Yuigahama, yang akan biasanya bermain-main dengan ponselnya, duduk dengan agak ragu-ragu, kedua tangannya terkepal menjadi tinju di atas lututnya. Yukinoshita berusaha untuk tidak bertingkah sadar dengan keberadaan Yuigahama, tapi usahanya terlampau berlebihan dan malah menjadi terlalu sadar sampai-sampai dia tidak membuat gerakan sekecil apapun semenjak Yuigahama duduk.

Itu bukan keheningan yang nyaman, dan menyantaikan, melainkan sebuah keheningan yang dipenuhi dengan ketegangan. Kesan yang ditimbulkannya itu suatu perasaan yang begitu mengerikan sampai akan membuat kulitmu merinding. Bahkan sebuah batuk kecil akan bergema ke sekeliling ruangannya, dan sepanjang waktu tangan jam pada jam dindingnya terus berdetak pergi, mengukirkan setiap detik dengan lamban dan dengan hati-hati.

Tidak ada orang yang membuka mulut mereka. Tapi setiap kali ada indikasi bahwa seseorang akan membuat sebuah percakapan, telinga kami ditegangkan untuk memperhatikan, tidak dapat mengabaikan tanda tersebut. Setiap kali seseorang menghela, kami akan segera melirik ke arah mereka dari sudut mata kami.

Keheningan ini benar-benar berlarut-larut, pikirku… tapi setiap kali aku melihat ke arah arlojiku, bahkan belum tiga menit berlalu. Apa-apaan? Apa ini Ruang Waktu Hiperbolik[2]? Bahkan gravitasi dan tekanan udaranya kelihatannya sudah semakin memberat.

Aku melirik ke arah detakan jarum jam dindingnya, dan baru saja saat aku tahu pasti jarum jamnya sudah membuat satu putaran penuh, suatu suara lemah berdering.

“Yuigahama-san.”

Yukinoshita menutup buku yang sedang dibacanya sampai barusan tadi dengan suara dub dan, setelah dia selesai menghirup sebegitu dalamnya sampai bahunya bergetar, dia menghembus dengan pelan.

Ketika dia berpaling dengan malu-malu untuk menghadap Yuigahama, mulutnya terbuka seakan dia ada sesuatu yang mau dikatakan. Tapi tidak ada suara yang keluar. Yuigahama sudah memalingkan seluruh badannya untuk menghadap Yukinoshita, tapi dia tertunduk ke lantai, mata mereka gagal untuk bertemu.

“Er, uh… Y-Yukinon, kamu ada sesuatu untuk dibicarakan mengenai kamu… dan Hikki, benar?”

“Ya, aku ingin memberitahumu mengenai apa yang kami lakukan setelah i-”

Yuigahama memotong, menyela apa yang sedang dikatakan Yukinoshita. “N-nah, kalau kamu khawatir mengenaiku, tidak perlu. Maksudku, tentu, aku terkejut dan, yah, agak kaget dan semacamnya… tapi kamu benar-benar tidak perlu repot-repot denganku sama sekali, kamu tahu? Lebih seperti itu sebuah hal yang bagus jadi aku seharusnya merayakannya dan mendoakanmu semua yang terbaik – sesuatu seperti itu…”

“K-kamu sangat tanggap… Aku ingin membuat perayaan yang bagus, kamu tahu. Dan juga karena, yah, aku begitu berterima kasih denganmu.”

“T-Tidak muuuuungkin… Aku tidak melakukan apapun yang patut diberi rasa terima kasih… tidak ada sama sekali.”

“Begitu seperti dirimu untuk tidak sadar dengan kebaikanmu sendiri. Meskipun demikian, aku merasa berterima kasih… dan lagi pula, kamu tidak membuat perayaan untuk seseorang karena apa yang mereka lakukan. Aku melakukannya hanya karena aku ingin melakukannya saja.”

“…O-oke.”

Sesuatu memberitahuku mereka tidak sedang membicarakan mengenai hal yang sama…

Mereka hanya mengutarakan frasa-frasa pilihan pada satu sama lain dan di dalam hati mengisi titik-titiknya atas kehendak mereka sendiri. Yui sedang mengelak masalahnya dengan kata-kata dan tingkah samar-samarnya, sementara Yukinoshita berbicara dengan tingkah yang sangat memberikan kesan bahwa dia sedang menyembunyikan rasa malunya. Kalimat-kalimat dalam percakapan mereka hampir tidak nyambung sama sekali, dan itu hanya dari konteks sajalah mereka menyusunnya bersama-sama.

Yukinoshita, yang sekarang akhirnya menyuarakan perasaan berterima kasih yang biasanya tidak dapat disampaikannya, terlihat merona karena kecanggungannya. Sementara itu, setiap kali Yuigahama melihat ke arah ekspresi Yukinoshita, wajahnya sendiri mengelap lagi dan lagi, dan untuk menyembunyikan itu dia kadang-kadang membentuk sebuah senyuman dengan sia-sia. Matanya sudah menyempit dan sudah semakin bergejolak setiap detik yang berlalu.

“Itulah mengapa… itu-” Yukinoshita jatuh terdiam sebentar setelah dia berhasil mengatakan sesuatu.

Sejangka pendek waktu berlalu, dimana kami memandang wajah satu sama lain dengan bisu dalam jangka waktu tersebut. Sebuah ekspresi mengamati bertemu dengan amarah bertemu dengan rasa gugup. Sepuluh detik bahkan belum berlalu jika aku menghitung waktunya, tapi itu sudah cukup lama untuk menurunkan suatu keheningan berat sebelum seseorang membuka mulut mereka lagi. Kami bertiga melihat ke arah tiga tempat berbeda selagi sebuah suasana berat menetap di sini.

“Um, kamu tahu…” Yuigahama membuka mulutnya seakan dia sudah membulatkan tekadnya mengenai sesuatu.

Itulah pada saat hal tersebut terjadi. Dor dor! Suatu suara mengetuk yang tidak sabaran menggema ke sekeliling ruangan. Yukinoshita melepaskan bukunya dan memanggil ke arah pintu.

“Masuk.”

Tapi tidak ada respon dari balik pintu tersebut. Satu-satunya hal yang kami dengar adalah suara desah mengerikan, yang tercampur dengan nafas berat.

Yukinoshita dan aku bertukar pandangan. Kemudian Yukinoshita mengangguk singkat. Entah kenapa, kelihatannya itu adalah pekerjaanku untuk melihat apa yang terjadi. Selama sesaat di sana aku berpikir, Lakukan itu sendiri… tapi aku akan merasa canggung membuat seorang gadis melihat sumber suara nafas mengerikan itu.

Setiap aku melangkah selangkah menuju pintu, suara nafas misterius itu juga mendekat. Di dalam ruangan hening ini, suara hanya diizinkan dari dua sumber saja: langkah kakiku dan nafas itu.

Setelah aku mencapai pintu itu, aku menelan ludah. Pemikiran bertemu dengan seorang alien setelah aku memisahkan kayu tunggal di antara kami itu memenuhiku dengan rasa ngeri dan rasa gugup.

Aku meletakkan tanganku pada pintunya dan membukanya, penuh dengan rasa takut.


× × ×


5-3[edit]

Segera setelah pintunya terbuka, suatu bayangan hitam besar jatuh di hadapanku, menutupi jarak di antara kami.

“Oho! Hachiemoooon!”

“Zaimokuza, huh… oh, dan berhenti memanggilku dengan nama itu.”

Pemilik bayangan itu adalah Zaimokuza Yoshiteru. Badannya dibalut dengan mantel hitam meskipun sedang pertengahan Juni, dan selagi dia terengah-engah dengan berat karena panas, dia mencengkram bahuku dengan erat.

“Hachiemon, dengarkan aku! Mereka begitu jahat denganku!” lanjut Zaimokuza, tidak mengindahkan kata-kataku sama sekali.

Lontong anak ini.

Dia menjengkelkanku, jadi aku memutuskan untuk menepisnya dengan tegas. “Maaf, Zaimokuza. Klub Servis ini untuk kami bertiga. Benar, Gian [3]?”

“Aku tidak begitu yakin mengapa kamu melihat ke arahku…” Yukinoshita menatapiku dengan tidak ramah, tapi aku akan membiarkannya untuk sekarang.

“Hei, tunggu, Hachiman. Sekarang ini bukan saatnya untuk main-main. Jika ini tidak menarik bagimu, Hachiemon, aku akan membawanya ke ninja Hattori-kun, jadi dengarkan aku.”

“Aku baru saja diberitahu aku sedang main-main oleh orang yang paling suka main-main…”

Itu mengejutkan bagiku.

“Sekaranglah kesempatanku!”

Melihat sebuah celah untuk melewatiku, Zaimokuza menyelip ke dalam ruangan. Dia masuk dengan mulus – dia melakukan bagian meluncur itu dengan bodohnya baik. Tapi seluruh mantelnya menjadi kotor.

“Hmph, tidak ada tanda-tanda musuh, huh… kelihatannya penyusupanku ini sukses,” kata Zaimokuza selagi dia membuat pertunjukkan memeriksa sekelilingnya. Kemudian, seakan dia segera lupa dengan settingan agen rahasia tersembunyi itu, dia menarik kursi di dekatnya dan duduk di atasnya seperti biasa. Jika kamu akan membuat-buat hal-hal sampah itu, jangan setengah-setengah… “Sekarang kalau begitu, tuan-tuan dan nona-nona. Aku membutuhkan kalian hari ini dengan suatu masalah di sini.”

“Aku benar-benar tidak ingin mendengarnya…”

Kami bertiga dengan serentak membuat wajah masam. Yukinoshita langsung kembali membaca seakan dia semuak itu untuk mendengarnya. Dia benar-benar cepat untuk berpindah haluan.

Tapi Zaimokuza menyeringai lebar dan mengangkat tangannya, memotong kata-kataku. Semua hal yang dilakukannya menjengkelkanku. “Nah nah, dengarkan keseluruhan ceritanya. Ingat bagaimana aku bilang hari itu aku ingin menjadi seorang penulis skenario game?”

Oh, sekarang setelah dia mengatakannya, dia memang mengatakan sesuatu seperti itu.

“Bukankah kamu itu tertarik dengan novel ringan atau semacamnya…?” Yuigahama memiringkan kepalanya.

“Erk… yah. Ceritanya panjang, tapi aku berhenti menjadi pengarang novel ringan karena pendapatannya tidak stabil. Aku pikir aku lebih baik menjadi pegawai penuh biasa saja..”

“Itu bukan cerita panjang… kamu menyelesaikannya dalam dua kalimat. Aku benar-benar tidak perduli, jadi berhenti melihat ke arahku ketika kamu berbicara.”

Dia kelihatannya masih tidak mampu berbicara dengan para gadis seperti biasa. Sudah cukup lama sekarang, Zaimokuza telah hanya melihat ke arahku selagi dia berbicara.

Suasana di dalam ruangan itu sudah mereda. Sebenarnya, kamu mungkin bilang keberadaannya itu membuat sekelilingnya merasa tidak enak, dipikir-pikir lagi. Di tengah-tengah gelombang kelesuan tiba-tiba yang menyeliputi ruangan ini, hanya Zaimokuza yang penuh dengan energi.

Dia terbatuk. “Jadi mengenai penulis skenario game itu yang sedang kubicarakan…”

“Kalau kamu hanya punya setting dan garis besar cerita saja, aku tidak mau melihatnya.”

“Ohohoho, sama sekali bukan. Mereka yang ingin menghanguskan ambisiku sudah muncul. Aku sangat curiga mereka itu cemburu dengan talentaku…”

“Apa…?”

Aku merasa geram. Tidak, kamu bisa terus terang mengatakan aku merasa berang.

Anak ini sedang berbicara dari pantatnya, mengatakan dia ada talenta… Aku rasa aku akan meninjunya sampai pingsan.

“Hachiman, apa kamu tahu tentang Klub UG?”

“Huh? Yu-Gi? Apa itu Yu-Gi-Oh?” Aku mengulangi akronim itu karena terdengar begitu asing di telingaku.

Yukinoshita, yang sedang membaca bukunya, membolak selembar halaman saat dia menjawab pertanyaannya. “Itu sebuah klub baru yang dibentuk tahun ini. Itu kependekan dari United Gamers, meskipun aku dengar tujuannya adalah untuk menelaah semua bentuk hiburan[4].”

“Oh, jadi dengan kata lain itu adalah sebuah klub bagi orang yang suka game dan hal-hal semacamnya.”

“Benar. Di dalam sekolah kita tidak ada klub bagi orang yang memiliki hobi yang sama, jadi itu semua digabung menjadi satu klub. Pokoknya menyebut itu sebuah klub hobi lebih mudah dimengerti.”

Jadi mereka juga ada sesuatu seperti itu di sekolah kami, huh…

“Jadi apa yang Klub UG ini lakukan?” tanya Yuigahama dengan ragu-ragu, memberi penekanan pada bagian UG itu.

Sekali lagi, Zaimokuza menemukan celahnya. “Oh… a-ahem. Semalam, kami sedang bermain di arcade. Dan tidak seperti di sekolah, aku pikir aku bisa berbicara lumayan terang-terangan pada arcade itu, jadi aku memberitahu rekan game berkelahiku bahwa menulis sebuah skenario game itu adalah impianku.”

Mengatakan itu adalah suatu impian merupakan cara yang bagus untuk mengatakannya, tapi itu benar-benar hanyalah suatu angan-angan… itu pastilah sulit bagi mereka yang harus mendengarkannya juga.

“Semua orang yang ada di sana memuja-muja ambisi besarku. Lakukan yang terbaik-! Persis seperti yang bisa kalian duga dari sang pendekar ulung-! Dia bisa dengan kalem melakukan semua hal yang tidak bisa kami lakukan! Aku terpesona! Aku mengagumimu! dan seterusnya. Itu adalah luapan penuh pujian.”

Lihatlah, kamu. Tidak ada orang yang mengatakan itu dengan wajah datar. Kamu sedang diperlakukan seperti sebuah lelucon. Tidak seperti aku bisa mengatakan satupun dari itu. Selagi aku mengingat situasi di sini dan melihat ke arah ekspresi Zaimokuza yang agak berseri-seri, aku menyadari diriku sedang bimbang.

“Naaamun! Ada satu orang di antara mereka yang berkata itu ti-ti-ti-tidak mungkin dan bahwa aku se-sedang bermimpi! Aku adalah orang yang dewasa, jadi dalam situasi itu aku berkata, ‘Ka-kamu benar.’”

Tidak keren, mister Zaimokuza [5]. Tidak keren. Zaimokuza mendesah berat, seakan ingatan akan itu saja membuat amarahnya mendidih. Setelah menarik botol plastik dua liter dari tas sekolahnya dan meneggaknya untuk meredakan tenggorokan keringnya, dia membuka mulutnya lagi.

“Aku bukanlah orang dewasa yang akan mundur setelah mendengar sesuatu seperti itu!”

“Apa kamu orang dewasa atau bukan? Pilih salah satu…” gugam Yukinoshita dengan jijik.

Itu memakan waktu sejenak bagi Zaimokuza yang mengernyit untuk melawan tampang takut yang terpampang di wajahnya setelah mendengar itu. Kemudian dia meneruskan. “Dan jadi, setelah orang itu pergi, aku membakar-bakarnya dengan keras di ruang obrolan Arcanabro Chiba. Oho, aku tidak ada keraguan bahwa dia pastilah memerah dengan amarah sekarang ini.”

“Woooooow…” kataku. “Kamu begitu keji sampai aku tidak bisa berpaling… Aku agak terkesan.”

“Hmph, kemudian entah bagaimana ternyata orang itu pergi ke sekolah yang sama denganku. Pagi ini ketika aku membuka obrolannya, mereka telah memutuskan untuk menyelesaikan perselisihannya dengan sebuah game. Semua orang menyemangatinya… hei, apa kamu rasa mereka mungkin membenciku?”

“Mana kutahu… yah, jika kamu menyelesaikan persoalannya dengan sebuah game, bukankah itu cara yang cukup aman untuk menanganinya? Memutuskan persoalannya dengan tindakan?”

“Hahahaha! Itu nasihat yang sia-sia.” Zaimokuza berhenti sejenak. “Orang itu jauh lebih kuat dariku dalam game berkelahi.”

“Huh? Bukankah kamu super hebat memainkan itu?”

“Itu, yah, aku pasti tidak akan dikalahkan oleh manusia biasa. Tapi ada banyak yang di atas diriku. Hachiman, apa kamu tidak tahu? Di antara pemain game berkelahi kelas atas, ada orang-orang yang dijuluki sebagai pro.”

“Pro… Itu benar-benar terjadi?”

“Memang. Semakin dalam kamu memasukinya, semakin banyak keburukan yang kamu temui – itulah game berkelahi. Kemampuan orang itu masih belum sampai ke level seorang pro, tapi dia tentu lebih kuat dariku,” kata Zaimokuza dengan berat.

Yukinoshita menutup bukunya dengan suara dub. “Aku kurang lebih mengerti sekarang. Singkatnya, kamu ingin meminta kami untuk membantumu menang dalam game berkelahi atau hal-hal lain semacam itu.”

“Nai!” cemooh Zaimokuza. “Hachiman, kamu tolol! Kamu mengolok game berkelahi, brandalan?! Kamu akan dapat apa yang pantas ente terima. Kamu tidak tahu apa-apa tentang game berkelahi.”

Tata bahasanya sudah menjadi begitu kacau balau sampai aku tidak mengerti apa yang dia katakan lagi, tapi setidaknya fakta bahwa dia marah itu tersampaikan. Aku harap fakta bahwa aku menjadi lebih geram daripada dia itu dapat tersampaikan padanya juga. Jangan katakan itu semua padaku. Katakan pada Yukinoshita, sialan.

Yukinoshita sedang melihat ke arah Zaimokuza dengan cara yang sama seperti melihat sampah. Yuigahama berkata, “Woa,” dengan rasa jijik yang tidak kecil.

“Sesungguhnya, aku ingin menang dengan begitu mutlaknya sampai aku tidak perlu memainkannya sama sekali. Jadi keluarkan alat-alat rahasia itu, Hachiemon.”

“Kadang-kadang, aku benar-benar heran apa aku bahkan bisa menahan semua omong kosongmu itu…”

Ketika kamu mengatakan omong kosong, kamu sendiri tidak pernah keberatan dengan itu, tapi itu benar-benar menjengkelkan mereka-mereka yang harus mendengarkanmu…

Zaimokuza sedang tertawa dengan semua “teeheehee”nya seperti seorang anak manis. Menekan hasratku untuk menghantamnya dengan sebuah kursi, aku menatap ke samping pada Yukinoshita. Dapat diduga, Yukinoshita menggelengkan kepalanya dengan kuat-kuat.

Yah, tidak mengejutkan.

“Maaf, tapi tidak,” kataku pada Zaimokuza. “Kali ini itu jelas-jelas salahmu. Selama kamu tidak dipukuli, kamu mungkin lebih baik menahannya dan menanganinya.”

Itu tidak seperti Klub Servis bisa menyelamatkan setiap orang. Kami tidak memiliki sebuah mesin serba guna yang mengabulkan keinginan, kami juga bukan robot yang diprogram untuk membantu orang. Kami hanyalah menolong orang dengan usaha kami sendiri. Dengan begitu keadaannya, kami tidak ada niat untuk mengulurkan pertolongan pada seseorang yang menerima apa yang pantas diterimanya

Terlihat keras, tapi aku hanya mengatakannya seperti apa adanya.

Zaimokuza terdiam selama sejenak. Dia mungkin sedang merenungkan tindakannya sendiri.

“Hachiman,” dia memanggil namaku dengan suatu suara yang terdengar seakan dia sudah berpikir keras.

Apa? Aku menjawabnya dengan mataku, yang kemudian Zaimokuza membuat helaan berat. Bofuu. Huh, ada apa dengan helaan itu barusan? Sungguh suara yang aneh.

“Bofuu, kamu sudah berubah, Hachiman. Dirimu yang lalu akan lebih berapi-api.” Dia berhenti sejenak. “Dari samping, wajahmu selalu terlihat seperti bilah sebuah pisau, bergetar seperti getaran sebuah tali busur [6]..”

“Berhenti berbicara dengan suara falsetto. Wajahku tidak terlihat seperti itu… apa yang sedang coba kamu katakan?” tanyaku sebagai balasannya.

Zaimokuza mengangkat bahunya dan mendengus. “Ohh, hmm, tidak apa-apa. Kamu lebih baik terus tertawa dan terkekeh dengan para gadis. Toh, ini adalah sebuah kisah yang tidak dapat kamu pahami. Aku melakukan segalanya supaya kamu bisa tertidur di dalam kehidupan sehari-harimu yang palsu. Aku tidak perlu tentara yang sudah lupa bagaimana cara bertempur.”

“Uh, tunggu, aku tidak ingat tertawa atau terkekeh. Tidak seperti aku ada seorang pacar. Oh, tapi Totsuka tertawa dan terkekeh-”

“Diam, bocah!” Kata-kataku dipotong oleh sebuah teguran tegas, yang keluar dari mulut dewa serigala.[7]

Setelah suara itu selesai menggema mengelilingi ruangan yang tenang itu, suatu keheningan sementara muncul. Selama waktu sejenak itu, aku rasa aku mendengar seseorang diam-diam berkata, “…huh? Kamu tidak ada pacar? …er, uhh. Apa?”

“Baiklah, Hachiman. Aku akan menyerah padamu di sini. Itu menyakitkanku bahwa aku tidak bisa lagi sering mengunjungi arcadenya. Jika begitu, ketika kamu dan Tuan Totsuka datang ke arcade, kamu akan dalam masalah karena aku tidak bisa lagi memandumu berkeliling.”

Oh! A-Aku akhirnya memahaminya! Aku akan dalam masalah! Aku harus entah bagaimana membuat Zaimokuza menang!

…adalah apa yang tidak sedang kupikirkan.

“Nah, Aku tidak benar-benar memerlukanmu untuk memanduku berkeliling… maaf untuk mengatakan ini, tapi kamu menghalangi kami.”

“Dufuu.” Zaimokuza membuat tawa aneh. Segera setelah dia melakukan itu, dua gadis itu bergeser bahkan lebih jauh lagi darinya. Sebelum mereka menyadarinya, jarak antara Yuigahama dan Yukinoshita sudah menutup.

…huh, Aku selalu berpikir bahwa keberadaaan Zaimokuza itu sebagai penghancur suasana dan pembuat masalah, tapi dia memang seperti itu dalam setiap artian frasa tersebut. Dia bisa menghancurkan suasana bagus, tapi dia juga sepenuhnya menghancurkan suasana buruk.

Tidak seperti dia bermaksud melakukan semua itu, tapi itu adalah sesuatu yang patut kuucapkan terima kasih, mempertimbangkan keadaan Klub Servis sekarang ini.

Pada saat ini, akan agak tidak sopan untuk menolaknya…

Seakan dengan intuisinya merasakan bahwa hatiku sedang goyah, Zaimokuza berpaling padaku dengan seringaian sombong lebar di wajahnya. “Kubilang, Klub Servis ini konyol. Servis macam apa itu jika mereka bahkan tidak bisa menolong satu orang di depan mereka? Apa kalian bahkan bisa menolong siapa-siapa? Jangan hanya mengucapkan kata-kata manis – tunjukkan lewat tindakan kalian!”

“Ugh, Zaimokuza, kamu tolol…”

Puncak musim panas sudah hampir tiba, tapi sebuah hawa dingin mendadak menjalari sumsumku.

“…apa itu yang kamu katakan? Kalau begitu aku akan menunjukkanmu bukti akan apa yang bisa kami lakukan.” Yukinoshita melemparkan tatapan dingin pada Zaimokuza. Aku mendengar suara takut lemah.

Lihat, lihatlah. Itulah hasil tawa dan kekehanmu itu. Kenyataannya itu cukup mengerikan.


× × ×


5-4[edit]

Seperti Klub Servis, ruangan klub UG berada di dalam bangunan khusus - hanya saja ada di lantai yang berbeda.

Ruangan kami terletak di lantai empat, sementara ruangan mereka berada di lantai dua. Ruangan klub mereka mempunyai tipe ruangan yang sama seperti salah satu ruangan kecil yang dipakai sebagai ruangan persiapan lab.

Ruangan klubnya masih baru berkilau, seperti yang ditandai oleh kertas yang secara ajaib ditempelkan di pintu dengan hanya “Klub United Gamers” tertulis di atasnya.

“Yah, ayo kita pergi…?”

Ternyata, kami berakhir datang jauh-jauh kemari. Aku melihat ke belakang pada Zaimokuza, Yukinoshita dan Yuigahama.

Si Zaimokuza yang angkuh membuat dengusan sombong. Si Yukinoshita yang tak berekspresi tidak menunjukkan reaksi apapun. Dan si Yuigahama yang sedikit tidak nyaman itu sedang berdiri agak jauh.

“…apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku pada Yuigahama, merasakan dia mengikuti di belakang kami dan ingin memastikannya hanya untuk berjaga-jaga.

Sebagai seorang anggota klub, dia sudah tidak muncul selama beberapa hari sekarang, dan dengan keadaannya sekarang ini, aku tidak bisa tahu apakah dia akan datang kali ini juga. Jika dia sudah bertekad untuk menghilang perlahan-lahan seperti ini, maka demi dirinya, kami lebih baik tidak memaksanya untuk datang dengan kami.

“A-Aku akan pergi…” kata Yuigahama, mencengkram lengannya dengan erat. “Aku akan pergi, tapi… hei, Hikki, apa kamu ada seorang pacar?”

Dia baru saja menanyakanku sebuah pertanyaan yang begitu tidak logisnya sampai aku pikir aku mau mati. Kamu tahu, “tapi” itu sebuah kata paradoxal. Kata itu membuat hubungan antara bagian pertama dan bagian kedua kalimat itu dengan cara yang aneh.

“Nah, tidak.”

“Sungguh pertanyaan yang bodoh, Yuigahama-san,” kata Yukinoshita selagi dia mengetuk kepala Yuigahama dengan pelan untuk menegurnya. “Itu tidak memungkinkan bagi pria muda ini untuk bahkan memiliki hubungan normal dengan jenis kelamin manapun.”

“Jangan ejek aku. Aku tidak perlu seorang pacar. Bagiku, tidak ada yang lebih menderita dibanding mendapati waktuku dirampas dariku. Jika dia meneleponku menangis-nangis atau apa di tengah malam selagi aku sedang tidur, aku yakin aku akan putus dengannya di tempat.”

Mengapa semua riajuu-riajuu itu harus mengomplain terang-terangan mengenai masalah cinta mereka? Itu seperti orang-orang tua yang menyombongkan tentang masalah kesehatannya atau seorang pegawai kantor menyombongkan tentang kesibukannya. Kamu bia melihat begitu banyak masochisme dalam kesombongan mereka sampai kamu bahkan tidak bisa geram. Apa mereka itu Misawa atau apa?[8]

“Whoa, kamu begitu parah…” kata Yuigahama dengan jijik. Tapi cukup anehnya, matanya sedang tersenyum. “Ah. Ta-tapi kamu tahu. Bukankah kamu jalan dengan Yukinon dan semacamnya? Ada apa dengan itu?”

“Itu Pameran Kucing dan Anjing, jadi kami hanya kebetulan bertemu dengan satu sama lain pada saat itu,” kata Yukinoshita. “Komachi-san mengajakku untuk ikut bersamanya, itu saja. Aku heran, apa aku tidak memberitahumu?”

“Oh, iya,” kataku. “Aku benar-benar tidak perduli, tapi apa kita sudah bisa pergi sekarang? Zaimokuza sudah tidak ada yang bisa dilakukan lagi dan telah mulai melihat ke luar jendela.”

“Tu-Tunggu dulu sebentar,” tegas Yuigahama. “Jadi kalian berdua tidak berpacaran atau sesuatu seperti itu?”

“Macam mungkin saja…”

Gadis ini memang benar-benar mendapat suatu kesalahpahaman… tidak mungkin bisa salah paham jika dia cukup melihat bagaimana kami biasanya. Dia perlu sadar.

Yukinoshita memiliki tampang yang terang-terangan muak di wajahnya. “Yuigahama-san, kamu tahu ada hal-hal yang bisa membuat bahkan diriku marah bukan?” Amarah dingin keluar dalam kata-katanya.

“Oh, maaf! Tidak ada apa-apa. Se-sekarang ayo kita pergi, oke?” Seorang Yuigahama yang tidak sabaran berlari ke arah pintunya. Selagi dia mengetuknya dengan tangkas, tingkahnya yang berseri-seri itu merupakan kebalikan 180 derajat dari ekspresi masam Yukinoshita.

Segera setelah dia mengetuk, suatu suara “yaaaah” lemah terdengar sebagai balasannya.

Itu mungkin tidak masalah untuk masuk.

Ketika aku membuka pintunya, bagian interiornya dipadati oleh kumpulan kotak, buku dan bungkusan, semuanya tertumpuk asal-asalan. Tumpukkan itu menjulang ke atas daerah sekitar seperti sebuah pembatas, atau mungkin sebuah sekat pemisah, membentuk sebuah labirin.

Aku sangat teringatkan dengan sebuah perpustakaan pribadi seorang pecinta buku, yang disilangkan dengan sebuah toko mainan desa tempo dulu.

“Huh? Apa ini Klub UG itu?” Yuigahama membuka tutup sebuah kotak di dekatnya dan melirik ke dalamnya.

Itu adalah sebuah paket yang terlihat sedikit terlantar yang menggunakan desain mawar dan tengkorak. Tulisan di kotaknya itu seluruhnya dalam bahasa Inggris, jadi dari pandangan pertamapun tidak salah lagi: Itu datang dari luar negeri.

“Tidak terlihat begitu berkesan game…” kata Yuigahama, dan untuk alasan yang bagus. Biasanya kalau berbicara soal game, kamu cenderung terpikir akan game konsol dan game komputer.

“Kamu rasa begitu?” kata Yukinoshita. “Kalau aku, aku merasa ini cocok sampai ke setiap hurufnya. Yuigahama-san, apa yang sedang kamu bayangkan itu benda yang bip-bip.”

“Benda bip-bip, katamu?” kataku. “Kamu terdengar seperti seorang nenek-nenek. Bahkan ibuku menyebut NES dengan namanya…”

“Maksudku, bukankah itu membuat suara bip-bip…?” kata Yukinoshita seperti orang tempo dulu, meskipun sejauh yang kutahu, game-game zaman sekarang tidak membuat suara bip-bip.

“Yah, kamu tidak terlihat ada bermain game, Yukinon,” kata Yuigahama.

“Kamu memainkannya, Yuigahama-san?”

“Yaaahh, ayahku suka game, jadi aku cukup suka melihatnya bermain selagi ayahku memainkannya. Aku selalu berakhir memainkannya sedikit. Macam Mario Kart dan Puyo Puyo. Aku juga memainkan game-game kecil seperti Animal Crossing dan Harvest Moon.”

Dengan kecil, dia mungkin memaksudkan semacam game genggam…

“Kamu mengejutkannya hardcore,” ujarku.

Yuigahama menggelengkan kepalanya dengan kuat-kuat. “Oh, uh, tidak benar-benar begitu… Maksudku, semua yang lain memainkan itu,” cicitnya.

Yah, game-game zaman sekarang memang ada bagian yang terspesialisasi sebagai sebuah alat komunikasi. Kelihatannya ada juga cara-cara untuk menikmati game seperti Yuigahama.

“Oh, dan hal-hal seperti Final Fantasy baru juga. Grafiknya super cantik dan itu benar-benar keren! Ditambah lagi, aku bisa benar-benar menangis melihatnya seperti sebuah film. Dan para Chocobonya juga super imut.”

“Bah.” Persis saat Zaimokuza mendengar kata-kata Yuigahama, dia pura-pura meludah. Karena kami di dalam ruangan dan semacamnya, dia tidak benar-benar meludah… atau apa dia benar-benar meludah?

Seorang pria yang tidak pernah berbicara sama sekali tiba-tiba marah di depan wajahnya, jadi kamu bisa bilang dia tercengang akan eksistensinya – atau, untuk mengatakannya secara sederhana, dia mengecapnya sebagai seseorang yang berakal busuk.

“A-Apa? Aku takut…”

Seorang Yuigahama yang takut gemetaran di balik sosokku. Zaimokuza secara metaforis menendangnya saat dia sedang jatuh.

“…nooblord.”

“H-huh?! Aku tidak tahu apa yang barusan kamu katakan, tapi itu benar-benar menjengkelkanku…”

“Hentikan itu, Zaimokuza. Perasaanmu itu tidak masuk akal. Tapi lihatlah pada sisi baiknya: kamu benar-benar sedang menegaskan rasa superioritasmu di sini. ‘Aku-lah satu-satunya yang mengerti diriku, termasuk hinaanku sendiri.’”

“Oho, Hachiman. Kamu itu lumayan berpikiran positif.”

“Namun, aku percaya itu-lah bagian terburuk dari watak manusia…” Yukinoshita terlihat merasa jijik. “Game, huh,” dia meneruskan, “itu semua terlihat di luar pemahamanku juga.”

“Di luar pemahamanmu, katamu,” kataku. “Ya, itu memang kelihatan dengan hal macam game Pan-san itu.”

“Huh? Pan-san? Kenapa kamu tiba-tiba berbicara tentang Pan-san?” tanya Yuigahama, dengan suatu ekspresi kosong di wajahnya.

Apa, jadi Yuigahama tidak tahu Yukinoshita suka Pan-san? Yah, daripada mengatakan dia menyukainya, akan lebih tepat untuk menyebut dia seorang pecinta berat atau maniak atau apa, menurutku..

“Itu kare-”

“Hikigaya-kun, apa yang sedang kamu bicarakan?” potong Yukinoshita, menyela kalimatku dengan cara yang cukup menyolok.

“Huh? Apa yang kamu-?”

“Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan, Hikigaya-kun… jadi beritahu aku detil-detilnya nanti.”

Men, kalau tatapan bisa membunuh.

“Uh, oke…”

Entah kenapa, kelihatannya Yukinoshita benar-benar tidak mau memamerkan betapa dia begitu mencintai Pan-san.

Kenapa? Apa dia malu? Aku pikir dia tidak masalah bersikap terang-terangan akan itu jika itu adalah satu-satunya hal yang dia sukai. Dan tunggu dulu, ada apa dengan perkataan memberitahunya detil-detilnya nanti itu? Apa dia mau meremasku untuk informasi mengenai Pan-san selagi tetap merahasiakan kecintaannya?

Aku tidak tahu. Apa yang membuat gadis ini merasa malu itu sepenuhnya di luar pemahamanku.

Omong-omong, itu tidak seperti aku menganggapnya penting ketika aku mengatakannya. Aku tidak benar-benar perduli jika seseorang menggosip mengenaiku berdasarkan atas apa yang aku sukai atau semacamnya. Mengapa anak SD harus segera langsung menyebarkan rumor-rumor mengenai apa yang disukai si dia?

Yuigahama, yang sedang menggugamkan “Pan-san” dengan pelan dengan tampang tak terbaca di wajahnya, tidak merasa sesuai.

“Mengesampingkan itu, aku heran, di mana anggota klubnya?” tanya Yukinoshita.

“Oh. Iyaaaaaa,” kataku. “Maksudku, mereka ada memanggil kita…”

Yuigahama berpindah ke dalam mode mencari-orang seperti diriku. Aku melihat apa yang kamu lakukan tadi, Yukinoshita.

Karena ukuran ruangannya didasarkan pada dimensi ruang persiapan lab, itu tidak begitu besar. Hanya saja kamu tidak bisa melihat dengan jelas berkat kotak-kotak yang tertumpuk dan rak-rak buku yang sembarangan dihamburkan kemana-mana.

Zaimokuza terbatuk. “Mereka menumpuk barang-barangnya begitu tinggi jadi mereka pastilah menghabiskan sebagian besar waktu untuk mengubah tempat ini menjadi sebuah permainan menyusun. Dengan demikian, jika kamu mengincar tempat tertingginya, kamu secara alamiah akan tahu kemana jalannya.

“Ohhh, Zaimokuza, sungguh mencerahkan. Tapi karena kamu sudah repot-repot mengatakan semua itu, katakan itu pada seseorang selain aku.”

Itu menyedihkan bagaimana Zaimokuza hanya berbicara padaku saja.

Tapi untuk sekarang, aku mengikuti saran Zaimokuza dan melemparkan pandanganku pada julangan tertinggi tumpukannya.

Setelah aku melakukannya, di sana memang ada suara, meskipun aku tidak bisa melihat pemiliknya karena buku-buku dan kotak-kotak yang telah menjadi sebuah sekat pemisah, menghalangi jalannya.

Ketika aku mencoba berjalan mengelilinginya, dua orang ada di sana.

“Maaf menganggu. Aku hanya ingin berbincang,” sahutku pada mereka.

Dua orang itu, yang aku anggap sebagai anggota Klub UG, melihat pada satu sama lain dan mengangguk singkat. Mereka berdua menatapi penampilanku. Yah, itu adalah yang pertama kalinya kami bertemu, dan jika ada orang tiba-tiba muncul aku akan menatapinya juga.

Aku memutuskan untuk menatap balik pada mereka.

Ketika aku melakukan itu, aku menyadari bahwa warna sandal ruang mereka itu kuning. Kuning adalah warna untuk murid SMA kelas satu. Dengan kata lain, orang-orang ini kelas sepuluh.

“Hmph, jadi kalian berdua itu bocah kelas satu.”

Segera setelah Zaimokuza menyadari mereka lebih muda dari dia, tingkah lakunya tiba-tiba berubah angkuh. Aku tidak mencela akan betapa cepat bahasa tubuhnya berubah. Aku benar-benar benci tertindas oleh hubungan berdasarkan usia di mana aku harus tunduk pada orang yang lebih tua dariku, tapi bilamana aku mendapat bagian dari keuntungan tersebut, tidak ada batasan untuk itu!

Aku bertingkah angkuh persis di samping Zaimokuza. Aku melakukannya, karena, kamu tahu, itu adalah bagian dari taktik umum untuk menekankan dominasi psikologis seseorang selama negosiasi, bukan karena kepribadianku itu parah atau apa – tidak sedikitpun.

“Oi, kalian berdua. Kudengar kalian menghina mister Zaimokuza,” kataku, berhenti sejenak dengan dramatis. “Aku tertarik – ceritakan padaku lagi.”

“H-huuuuh? H-Hachiemon?!” Zaimokuza melihat padaku seakan dia sedang mempercayakan nyawanya padaku, tapi itu tidak begitu imut. Status sosialnya menurun tajam tidak peduli betapa mudanya pihak yang lain itu, kurang lebih begitu.

“…apa yang badut-badut ini lakukan? Cepat dan katakan apa yang mau kamu katakan.” Yukinoshita melemparkan pandangan dingin ke arahku.

Segera setelah dia melakukan itu, anak kelas sepuluh itu menyadari kemunculannya dan mulai membisikkan sesuatu pada satu sama lain dengan diam-diam.

“H-hei, apa itu Yukinoshita-senpai dari tahun di atas kita…?”

“Mu-mungkin…”

Wow, yang benar saja orang-orang ini. Apa Yukinoshita benar-benar seorang selebriti? Yah, itu bagus mereka mengenalinya dengan melihatnya saja. Itu tidaklah jarang bagi seseorang untuk diselimuti dalam misteri dan dikenal luas di luar tahun angkatan mereka sendiri. Dulu ketika aku masih SMP, aku juga tahu hal-hal seperti nama seorang senpai yang imut. Namun, hanya itu saja yang kuketahui tentangnya.

“Ohhh. Jadi kalian berdua ada urusan dengan orang ini?” tanyaku.

Aku tidak perlu mengumumkan kemunculan Zaimokuza – dia sendiri muncul dari belakangku.

“Muahahahaha! Akhirnya. Kalian mungkin beromong besar semalam, tapi sudah terlambat untuk mundur sekarang! Aku akan menghukum kalian sekarang – sebagai senpai dalam kehidupan dan senpai dalam SMA!”

Zaimokuza benar-benar melebih-lebihkan bagian ‘senpai’ itu dan menggunakan statusnya dengan cara yang keterlaluan, tapi anggota Klub UG itu bereaksi agak tercengang.

“Hei, apa yang sedang orang ini katakan? Ohhh, waaauuuuw.”

“Benar, bukan? Siapa yang bicara itu?”

Menghadapi kekekan mereka – atau lebih tepatnya senyuman mencemooh mereka – Zaimokuza gemetaran. “Um, H-Hachiman. Aku – apa sesuatu baru saja berubah?” Dia kurang lebih sudah normal kembali.

“Jangan khawatir. Ini kejadian biasa,” kataku, sambil menepuk bahunya. “Oke, jadi kami adalah Klub Servis. Singkatnya, kami menyelesaikan masalah dan mendengarkan kekhawatiran kalian, dan karena Zaimokuza ada suatu perselisihan dengan kalian, kami datang kemari untuk menyelesaikannya… jadi uh, siapa di antara kalian berdua yang melakukannya?” tanyaku dengan santai.

Salah satu dari mereka mengangkat tangannya dengan gugup. “Uh, aku. Aku Hatano. Kelas sepuluh. Dan temanku ini…”

“Sagami. Kelas sepuluh…”

Anak yang bernama Hatano itu memiliki sosok ramping yang memberikan kesan bahwa dia memiliki punggung yang sedikit terbungkuk. Kacamatanya tidak berbingkai dan lensanya berbentuk seperti sebuah trapesium dengan sudut yang sedikit lancip – ada semacam kesan tajam darinya. Dari otak yang tajam keluar ide-ide tajam, kelihatannya. [9]

Anak yang satu lagi, Sagami, memiliki penampilan seperti anak SMP berkulit pucat, dan dia juga berpostur ramping. Kacamata yang sedikit bulatnya menghasilkan semacam kesan Menginspirasi Generasi Berikut, meniupkan ide dan semangat baru ke generasi selanjutnya[10].

Pokoknya, aku tidak berniat repot-repot mengingat nama mereka, jadi aku memutuskan untuk membedakan mereka dari kacamata mereka.

“Jadi,” kataku. “Aku dengar sesuatu seputaran kalian membuat pertandingan bermain game dengan orang ini, tapi kalian hebat dalam bermain game, bukan? Itu jelas bahkan tanpa harus memainkan satu pertandingan melawan kalian, jadi bisakah kalian membuat pertandingan lain?”

Itu adalah rencana omong kosong jika kamu tanya aku. Itu seperti menemui seorang pemain sepak bola dan berkata, “Lontong, ayo kita main bola kasti saja!” Orang itu tidak akan benar-benar mau kehilangan keuntungan awalnya.

Tentu saja, tidak perlu dikatakan bahwa wajah mereka menjadi murung dengan ketidaksetujuan. Keengganan mereka untuk mengangguk merupakan suatu penolakan yang tersirat.

“Setidaknya kalian bisa memainkan game lain atau apa? Hanya itu saja yang kuminta,” kataku selagi aku menunjuk ke arah gundukan game-game yang tertumpuk di sekeliling.

“Kalau begitu… yah.”

“Aku rasa itu tidak masalah…”

Kata-kata yang rendah hati, tapi tingkah laku mereka penuh dengan kepercaya-dirian. Suatu kebanggaan dalam diri mereka bahwa mereka tidak akan pernah kalah dalam game itu jelas terlihat. Mereka tidak percuma menyebut diri mereka Klub United Gamers.

“Tapi sebelum kami mengganti gamenya, kami perlu semacam jaminan…” kata Hatano dengan agak malu-malu.

Yah, pihak yang lain harus menyerahkan sesuatu juga. Itu wajar mereka akan meminta jaminan untuk menyamakan kedudukannya. Aku mengangguk dan menunggu mereka untuk melanjutkan.

“Kalau begitu Zaimokuza akan bersujud di kakimu, oke? Kalau aku kalah, aku akan bertanggung-jawab dan membuat dia meminta maaf: ‘Aku terbawa suasana jadi tolong maafkan aku.’”

Ini sudah semakin menjengkelkan, jadi ayo pakai ini saja. Zaimokuza sudah kembali sadar dan berkata, “Huh? Aku?” Tidak seperti dia ada hak bersuara dalam masalah ini.

“Yah, baiklah…” Dua anggota UG Klub itu memberikan persetujuannya dengan gaya rendah hati mereka.

“Kalau begitu aku akan serahkan game yang akan kita mainkan pada kalian. Jangan buat itu terlalu sulit. Pemula tidak bisa langsung memainkan sebuah game dengan tingkat pembelajaran yang tinggi, jadi jangan buat itu game berkelahi.”

Sebenarnya, aku pikir itu karena game sudah lebih mudah untuk dikendalikan sekarang daripada di zaman dulu sehingga para pemula merasa itu lebih sulit untuk dipelajari. Meskipun kamu menemukan suatu game yang ingin kamu mainkan sedikit di arcade, kurang lebih semua kerumunan-kerumunan biasa – ditambah para veteran yang sudah di sini sejak game-game lama – bertengger di sana, jadi kamu tidak bisa masuk ke dalam. Meskipun kamu bisa masuk, mereka akan mengusikmu dengan santai sampai itu benar-benar membuatmu tidak ingin bermain lagi. Mereka patut membuat suatu tempat bagi para pemain biasa dari sekarang.

“Kalau begitu… aku bisa mengatur suatu game yang semua orang tahu sesuatu mengenainya.”

“Hmph, mainkan itu kalau begitu. Apa nama gamenya?” tanya Zaimokuza.

Sebagai balasannya, dua anak itu mendorong kacamata mereka ke atas. “Aku rasa kita akan memainkan game Daifugo Ganda.”

Mereka mungkin mengatakannya dengan biasa-biasa saja, tapi mata mereka berkilat dengan menyeramkan.


× × ×


5-5[edit]

Kocok kocok. Suara mengocok kartu memenuhi ruangan itu.

Daifugo, yang juga dikenal sebagai Daihinmin, merupakan sebuah permainan kartu yang dimainkan dengan pak kartu remi biasa.

“Um, apa kalian paham dengan peraturan Daifugo?” kata Hatano dengan malu-malu.

Kami semua mengangguk. Hanya Yukinoshita yang memiringkan kepalanya karena bingung. “Aku tidak pernah memainkannya… kalau ini poker aku tahu peraturannya.”

“Oh, kalau begitu aku akan menjelaskan peraturannya secara ringkas.” Sagami mulai menjelaskan ringkasan sederhananya. “Pertama: Kamu membagikan semua kartu kepada semua pemain dengan sama rata.”

Namun, dalam kehidupan nyata, mereka tidak membagi kartunya secara sama rata.

“Kedua: kamu memulai permainan baru. Bandar pertama memainkan kartu pertama di tangan mereka dan para pemain bergiliran memainkan kartu ke dalam tumpukan.”

Dalam kehidupan nyata, mereka selalu melupakan giliranku, dan ada orang yang suka-suka hatinya memotong ke dalam barisan.

“Ketiga: kartu memiliki kekuatan. Dari yang terlemah sampai yang terkuat yakni: 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, Jack, Queen, King, As, 2 – semacam itu. Joker dianggap sebagai kartu liar[11].”

Dalam kehidupan nyata, kekuatan tidak hanya didasarkan pada kemampuan saja tapi juga pada hal-hal seperti koneksi dan uang.

“Empat: pemain hanya bisa memainkan kartu yang lebih kuat dari kartu yang dimainkan sebelumnya. Jika seseorang memainkan dua kartu, kamu harus menandinginya dengan dua kartu.”

Dalam kehidupan nyata, kamu akan memainkan kartu-kartu lemah meskipun kamu tahu itu tidak akan menang. Seperti sebuah pion yang dikorbankan atau untuk memberi pelajaran pada seseorang atau semacamnya.

“Lima: kalau kamu tidak bisa memainkan kartu, kamu diizinkan untuk pass.”

Dalam kehidupan nyata, mereka tidak membiarkanmu pass.

“Enam: ketika semua pemain lain pass dan gilirannya kembali lagi pada pemain terakhir yang memainkan kartu ke dalam tumpukan, pemain itu menjadi bandarnya. Kartu-kartu dalam tumpukan itu dibuang.”

Dalam kehidupan nyata, masa lalu tidak pernah dibuang.

“Tujuh: kamu mengulang langkah-langkah di atas, dan orang pertama yang membuang semua kartu di tangan mereka menjadi sang Daifugo (Jutawan Besar), dan setelah itu peringkatnya adalah Fugo (Jutawan), Heimin (Orang biasa), Hinmin (Orang miskin) dan Daihinmin (Miskin Besar).”

Hanya bagian itu saja yang cocok dengan kehidupan nyata. Bagaimana bisa begitu? Itu mendepresikan.

“Juga, di awal permainan sang Daifugo bisa mengambil dua kartu bagus dari si Daihinmin dan menukarnya dengan dua kartu pilihannya sendiri.”

Dengan kata lain, itu adalah permainan jenis itu yang merupakan sebuah miniatur Jepang modern, di mana mereka yang menang mendapatkan keuntungannya dan diizinkan untuk terus mengeksploitasi semua orang lain selama-lamanya.

…men, permainan yang sungguh buruk.

“Begitu ya. Aku kurang lebih mengerti sekarang.” Yukinoshita mengangguk mengiakan seakan penjelasan yang baru saja didengarnya itu sudah cukup. Seperti biasa, dia cepat menangkap.

“Tunggu, bagaimana dengan peraturan rumahnya[12]?” tuntut Zaimokuza.

Oh iya, Hatano merespon dengan mengangkat bahunya sedikit. Dia benar-benar sedang mengolok Zaimokuza.

“Ada seorang pemula di sini, jadi peraturan-peraturan yang diterima saja tidak masalah,” kataku. “Bagaimana kalau peraturan rumah Chiba?”

“Um… macam apa peraturan rumah Chiba itu?” tanya Sagami dengan agak cemas.

Huh? Apa mereka tidak memberitahukannya pada penduduk lokal Chiba? Yah, terserahlah. Aku membuat penjelasan singkat.

Dalam Daifugo, kamu bisa katakan bahwa peraturan rumah-lah yang memberikan variasi pada permainannya lebih dari apapun. Ada banyak sekali peraturan rumah yang terhubung pada peraturan dasarnya, dan kalau kamu menggabungkannya bersama-sama, strategi-strategi yang diperlukan juga meningkat drastis.

“Mari kupikir. Ada Revolusi, Delapan Penghabisan, Sepuluh Penghancur, Tiga Sekop dan Jack Back. Kita tidak akan memainkan Depotisme, Tights, Kaidan atau Joker umpama Dua. Kira-kira itu[13].”

“Se-Sekolah kami mungkin juga ada sesuatu seperti itu juga,” Yuigahama said.

Zaimokuza mendengus. “Jadi tidak ada Lima Skip atau Tujuh Straits.”

Kalau variasi regionalnya tidak bagus, selalu ada variasi sekolah. Setelah kamu tumbuh dewasa dan bermain Daifugo, ada banyak percekcokan mengenai peraturan rumah apa yang dipakai, jadi kamu lebih baik menetapkannya dengan jelas dari awal. Dari awal-awal pun tentang menyebutnya Daifugo atau Daihinmin saja ada banyak cekcok. Itu seperti perbedaan antara “kejar-kejaran” dan “alep-alepan”.

“Hikigaya-kun, jelaskan.”

Oh, iya. Aku mengira semua orang tahu apa yang sedang kubicarakan, tapi Yukinoshita masih belum pernah memainkan Daifugo. Dan jadi aku menambahkan penjelasan pada setiap istilah.

“Revolusi” itu ketika kamu memainkan empat kartu dengan jenis yang sama[14], akan membalikkan kekuatan kartu-kartunya. “Delapan Penghabisan” itu ketika kamu memainkan kartu 8, akan mengakhiri putaran ini dan mengizinkan pemain yang memainkan kartu itu untuk memulai putaran selanjutnya, sementara “Sepuluh Penghancur” itu ketika kamu memainkan kartu 10, akan mengizinkanmu membuang kartu sebanyak yang kamu mau dari kartu di tanganmu sesuai dengan jumlah kartu 10 yang kamu mainkan. “Tiga Sekop” itu kartu 3 Sekop mengalahkan kartu Joker, dan “Jack Back” itu kalau kamu memainkan kartu Jack, akan membalikkan kekuatan kartu-kartunya hanya untuk putaran itu saja.

Selagi Yukinoshita mendengarkan penjelasanku, dia kadang-kadang mengangguk kaku. Aku rasa kamu tidak akan mengerti jika kamu tidak mencobanya sendiri. Cara tercepat untuk memahaminya adalah untuk mencobanya.

“Kami menerima peraturan rumah itu.”

“Kalau begitu kami juga mau peraturan Daihinmin Ganda juga.”

Kacamata dua anak laki-laki itu berkilat sekali lagi.

Merasakan suatu sensasi aneh, aku menelan ludah dengan diam-diam. Tapi setelah itu, mereka berdua tersenyum dengan riang.

“Kami mungkin menyebutnya begitu, tapi peraturannya sendiri sama dengan Daifugo biasa.”

“Apa yang berbeda adalah bahwa kalian bermain berpasangan.”

“Berpasangan? Maksudmu kalian mendiskusikan giliran kalian dengan satu sama lain?” tanyaku.

Pasangan Klub UG itu menggelengkan kepala mereka dengan serempak.

“Tidak. Kalian bertukar kartu kalian setiap putaran.”

“Kalian tidak diizinkan mendiskusikan giliran kalian.”

…yang berarti tidak hanya kamu harus membaca pemikiran lawanmu, kamu juga harus membaca pemikiran rekanmu sendiri selagi kamu bermain. Ada tambahan strategi yang tak terduga pada itu… dengan begitu keadaannya, masalahnya adalah memilih pasangannya.

Aku memandang ke samping.

“Heheheh, jangan pikir kalian bisa mengalahkan dek kami…”

Aku benar-benar tidak ingin menjadi satu tim dengan Zaimokuza…

“Kartu terkuat adalah Joker, katamu. Begitu ya… bisakah kamu memainkan kartu Joker setelah kartu 8?” Yukinoshita sedang mengulang peraturannya seakan mencari konfirmasi.

Yukinoshita itu cepat menangkap, tapi dia pemula dalam Daifugo. Tidak bisa membaca pemikiran gadis ini dari awalpun membuat keadaannya sulit. Dia mungkin akan mendampratkan beberapa kata-kata keji untukku jika dia kalah.

Jadi itu menyisakan Yuigahama… dia pernah memainkan Daifugo sebelumnya dan ditambah lagi peraturan rumahnya cocok dengan variasi regionalnya. Yang paling penting, dia lumayan berpikiran-sederhana, jadi akan mudah untuk membaca pemikirannya.

Aku melihat ke arah Yuigahama, berharap untuk berpasangan dengannya, dan mata polosku bertemu dengan matanya.

“Y-Yukinon, ayo main bersama!” Yuigahama dengan buru-buru melepaskan kontak mata denganku dan menepukkan tangannya pada bahu Yukinoshita.

“Oh, oke. Tentu.”

Dan itulah cara harapanku hancur.

Dari awal aku sudah salah tentang bisa memilih seseorang. Itu menggelikan bahwa seseorang yang tidak akan pernah dipilih seseorang akan memilih seseorang untuk dirinya sendiri.

Sekarang bahwa pasangan Yukinoshita/Yuigahama sudah diputuskan, tentu saja, pasanganku juga sudah diputuskan. Itu tersangka biasa. Seakan Zaimokuza juga menyadari hal itu, dia berdiri di depanku dan menekankan punggungnya padaku.

“Hachiman,” dia memanggilku. “Maukah engkau ikut denganku?”

…bisakah kita segera menyelesaikan permainan ini?


× × ×


5-6[edit]

Hatano menyingkirkan barang-barang di atas meja dengan satu sapuan. Kemudian Sagami membawa tiga kursi.

Ini akan menjadi panggung pertandingan kami.

Untuk putaran pertama, Sagami dan aku – beserta Yuigahama – mengambil tempat duduk kami. Karena peraturannya itu bahwa kami harus berganti tempat setelah setiap putaran, rekan kami berdiri di belakang setiap kursi kami sehingga kami bisa langsung berganti tempat. Aku tidak tahu apa strategi Klub UG, tapi mungkin strateginya adalah mengalahkan Yuigahama terlebih dahulu dan mencegah Yukinoshita terbiasa dengan peraturannya.

Sagami membagikan kartu yang sudah selesai dikocoknya satu per satu. Lima puluh empat kartu itu dibagi ke dalam delapan belas kartu untuk masing-masing dari kami.

“Kami sekarang akan memulai pertandingan Daihinmin Ganda Klub UG melawan Klub Servis. Pertandingan ini akan berlangsung selama lima ronde. Peringkatmu setelah ronde terakhir akan menentukan hasil permainannya,” Hatano mengumumkan.

Kami memungut kartu di depan kami dan menyebarkannya.

“Karena ini pada dasarnya pertandingan dua lawan satu, kami akan mulai terlebih dahulu…” Sagami mungkin berbicara dengan suara gemetaran, tapi dia memungut kartu-kartunya dengan cekatan dan meletakkan selembar kartu di tengah-tengah.

Yah, pada akhirnya ada pasangan Aku/Zaimokuza dan pasangan Yukinoshita/Yuigahama. Kami akan aman jika salah satu dari kami menang. Malah, bekerja sama adalah strategi terbaik kami. Dengan demikian, hanya akan adil untuk menyerahkan giliran pertamanya pada mereka.

Dan maka putaran pertama berakhir tanpa ada sesuatu yang terjadi.

Kami membuang kartu-kartu yang seharusnya kami buang, mungkin karena putaran pertama merupakan putaran tunggu-dan-amati bagi kami semua.

“Hahahahaha! Akhirnya sudah sampai pada giliranku! Aku menarik satu Kartu Monster!”

Hanya Zaimokuza yang membuat keributan.

“Aku memanggil kartu Sepuluh Keriting! Menurut Efek Kartunya, ketika kamu berhasil memanggil kartu Sepuluh Keriting, aku bisa memilih satu kartu dari tanganku dan mengirimnya ke Kuburan! Aku menaruh lima belas kartu tertutup dan aku mengakhiri giliranku…”

Masing-masing ungkapan familiernya membangkitkan kenangan-kenangan lama.

“Itu benar-benar membuatku mengenang kembali… Aku juga banyak memainkan duel Yu-Gi-Oh! Otomatis.”

“Duel Yu-Gi-Oh! Otomatis?” tanya Yukinoshita dengan ekspresi kebingungan. “Aku tidak pernah mendengar ungkapan itu sebelumnya.”

“Itu seperti melakukan problem catur. Itu karena aku tidak ada teman.”

“Tapi problem catur bukan untuk orang yang tidak ada teman…”

Oh, bukan? Aku pikir sudah pasti itu adalah catur yang kamu mainkan sendiri.

“Aku juga, sering sekali menyiapkan dua dek. Aku memiliki setumpukan kartu-kartu Miracle of the Zone dan kartu-kartu Magic: The Gathering, tapi tidak ada orang yang mau bermain denganku…” Sekarang setelah dia tiba-tiba mematikan ketegangan dalam suasanannya persis seperti yang kulakukan, Zaimokuza mengoperkanku kartu-kartunya.

Karena Trading Card Games (TCGs) didasarkan pada pertandingan antar orang, itu tidak menyenangkan sama sekali ketika tidak ada orang yang bermain denganmu. Namun, setelah piranti lunak Gameboy diliris, aku mendapat sejumlah besar pengalaman dengan bermain melawan komputernya.

Zaimokuza, yang telah membuat keributan sampai barusan tadi, menjadi diam, dan keheningan melanda pertemuan itu. Hanya ada suara shfff pelan dari seseorang yang menyingkirkan selembar kartu dari tangan mereka dan meletakkannya dengan suara pat di atas meja.

Dan dengan cara itu, beberapa giliran berlalu, dan permainannya berlanjut tanpa ada banyak kejadian. Mungkin berkat Sepuluh Penghancur dan tiga kartu yang telah kami mainkan, kami sedang dalam posisi bagus dengan kartu yang lebih sedikit.

Juga, berbicara mengenai berapa jumlah kartu yang setiap tim miliki, tim kami hanya tinggal dua kartu lagi dan Yuigahma dan kawan ada dua, sementara mengejutkannya, anggota Klub UG masih ada lima kartu lagi. Dibandingkan dengan Daihinmin ganda yang diajukan mereka sendiri, aku tidak merasakan kekuatan khusus apapun dari permainan mereka. Permainan mereka merupakan strategi yang sepenuhnya biasa-biasa saja dengan membuang kartu yang lemah terlebih dulu. Jika begini terus, kami mungkin bisa menang tanpa meneteskan setetes keringatpun.

Yuigahama memainkan kartu Enam Sekop. Aku memainkan kartu Delapan Hati, yang telah kusimpan untuk yang terakhir. Sekarang untuk kartu terakhir.

“Zaimokuza.”

“Hmph.”

Meletakkan kartu terakhirku dalam keadaan tertutup di atas meja, aku menyerahkan tempat dudukku. Zaimokuza menghempaskan dirinya pada kursinya dan meneriakkan, “Giliran kami!” dengan suara tertingginya. Macam itu tidak jelas hanya dengan melihatnya saja. “Aku akan mengakhirinya sekarang! Aku mengaktifkan Kartu Perangkapku! …sekak.”

Dengan gaya kemenangan, dia meletakkan kartu terakhirnya.

Ditambah lagi, kartu yang Yukinoshita pilih untuk disimpan buat yang terakhir adalah kartu Dua Keriting. Persis setelah Klub UG pass, dia menyerahkan dua kartu yang tersisa pada Yuigahama, yang segera memainkan dua kartu itu untuk mengakhirinya.

Dan dengan itu, kami ada nol kartu di tangan kami. Anggota Klub Servis mendapat peringkat pertama dan kedua.

“Muahahaha! Kelihatannya kalian orang lemah tidak ada apa-apanya! Bagaimana rasanya melihat kekuatan kami?!” teriak Zaimokuza seakan dia sendiri yang mencapai itu semua.

Aku pikir itu pastilah menyiksa untuk direndahkan oleh pelawak ini, tapi ketika aku melihat ke arah Klub UG, mereka memasang tampang biasa-biasa saja di wajah mereka.

“Oh tiiiidak, Hatano-kun, kita kalah! Oh astaga!”

“Memang kita kalah, Sagami-kun. Kita benar-benar tidak waspada!”

Menurut apa yang sedang mereka katakan, aku tidak bisa merasakan perasaan genting yang mendekat dari penampilan mereka. Itu lebih terlihat seakan mereka sedang bersenang-senang. Serius, apa yang sedang mereka pikirkan…?

Merasakan sesuatu yang mencurigakan sedang terjadi, aku melihat ke arah pasangan Klub UG itu, dan mereka berdua mendadak menyeringai.

“Gawat kita, eh?”

“Gawat memang.”

“Maksudku, kalau kita kalah kita harus menanggalkan baju kita,” kata mereka serempak.

Segera setelah mereka mengatakan itu mereka melepaskan baju luar mereka dengan berani seakan mereka sedang berubah, mengejutkannya. Cara mereka melakukannya itu keren, tapi tindakannya itu sendiri merupakan sesuatu yang dilakukan seorang brandalan.

“Huh?! Peraturan macam apa itu?!” Yuigahama menghantamkan tinjunya ke atas meja untuk memprotes.

Tapi anggota Klub UG hanya menyeringai.

“Huh? Bukankah itu normal untuk melepas pakaian setelah kamu kalah dalam permainan?”

“Ya, ya. Kamu juga melepas pakaian jika kamu kalah dalam mahjong dan gunting-batu-kertas[15].”

Um tidak, tidak ada peraturan untuk melepas baju jika kamu kalah dalam gunting-batu-kertas, tidak ada, kecuali itu permainan penalti. Kamu memang melepas baju kalau kamu kalah dalam mahjong.

“Sekarang kalau begitu,” kata Hatano, dengan cekatan mengumpulkan kartu-kartunya dan mulai mengocoknya. “Ayo kita mulai ronde kedua…”

“Tu-Tunggu dulu sejenak! Tunggu, dengar!” Yuigahama gagal total untuk membuatnya memperhatikan. Dia tidak buang-buang waktu lagi untuk memulai membagi. “Yukinon, ayo kita pergi saja. Ini terlihat bodoh untuk ikut memainkan ini…”

“Kamu pikir begitu? Aku sendiri tidak keberatan? Toh, kita tidak masalah jika kita menang. Dan itu wajar untuk ada resiko dalam bermain.”

“H-huh?! A-Aku tidak mau!”

“Itu bukan masalah. Jumlah peraturan rumahnya dalam permainan ini saja mungkin membingungkan, tapi tidak hanya hubungan antara kekuatan kartu dengan angkanya itu tetap, arah strategi dasarnya juga tidak berubah. Aku percaya jika kamu ingat kartu yang dimainkan dan membayangkan apa yang tersisa dalam kartu lawanmu, permainan ini akan menjadi milikmu. Selain itu, karena kelihatannya hanya ada beberapa cara untuk menang di babak akhir permainan, itu tidak sulit untuk menebaknya dari jumlah kartu yang tersisa di tangan lawan.”

“Mu-mungkin begitu, tapi… waaaah,” Yuigahama mengerang, matanya berkaca-kaca.

Tapi dalam situasi ini, satu-satunya orang yang memohonnya adalah Yukinoshita. Ketika berhadapan dengan antusiasme Yukinoshita, tidak ada yang Yuigahama bisa lakukan.

…Aku heran apa aku seharusnya menghentikannya. Hanya saja, aku tidak merasa Yukinoshita akan mendengarku dengan benar.

“Kalau begitu sekarang cepatlah! Ayo kita bergegas mulai, oke?!”

Selagi aku sedang merenung, Zaimokuza mengambil tempat duduknya dan menerima kartu-kartunya dari Hatano.

“Kalau begitu ayo kita mulai.” Yukinoshita juga mengambil kartu-kartu yang disebarkan di meja dan menyebarkannya dengan cekatan. Di belakangnya, Yuigahama sedang membuat wajah cemberut.

“Sekarang, pertama-tama: pertukaran kartu.” Hatano mengambil dua kartu dari tangannya dan menyerahkannya pada Zaimokuza. Dalam Daifugo dalam ronde ke dua dan seterusnya, sang Daifugo dan si Daihinmin harus bertukar kartu. Si Daihinmin menyerahkan dua kartu terkuatnya, sementara sang Daifugo menyerahkan dua kartu pilihannya.

Apa yang datang ke kami dari pihak mereka adalah kartu Joker dan kartu Dua Hati. Kartu bagus.

“Oho…” Seperti aku, Zaimokuza amatlah gembira selagi dia menarik dua kartu dan menyerahkannya.

Kartu Raja Sekop dan kartu Ratu Keriting.

“Huh?! Tunggu dulu sebentar, apa yang kamu lakukan?! Kenapa kamu tidak memberi mereka kartu-kartu lemah?!” Aku menekan Zaimokuza.

Zaimokuza memejamkan matanya dengan hening. Kemudian, dia menyahut dengan nada khidmat.

“…itu adalah perasaan belas kasihan seorang kesatria.”

Orang ini… apakah dia benar-benar hanya ingin melihat wanita telanjang…?

Dua anggota Klub UG itu menyeringai selagi mereka mengambil dua kartu yang diserahkan Zaimokuza pada mereka.

…O-Oh, begitu. Aku mengerti sekarang…

Karena lawan mereka itu lelaki dan perempuan, membuat suatu peraturan melepas baju merupakan taktik psikologis tinggi yang membangkitkan perpecahan!

…sungguh tolol orang-orang ini.


× × ×


5-7[edit]

Aku pikir anggota Klub UG ini hanyalah orang tolol, tapi dari ronde kedua dan seterusnya mereka mulai memakai strategi ulung yang tidak dapat dikenali.

Tanpa takut resiko apapun, Hatano memainkan tiga kartu sekaligus dan kartu-kartu menyolok lain.

Sagami memakai efek-efek kartunya dan memotong jumlah kartunya dengan hebat.

Banyaknya strategi-strategi yang dilancarkan mereka dalam satu putaran membuatnya tidak mungkin untuk membaca langkah mereka selanjutnya. Kemenangan mutlak mendekat selagi jumlah kartu di tangan mereka menurun lagi dan lagi. Sebelum aku menyadarinya, mereka hanya tersisa dua kartu lagi.

Tim kami dan tim Yukinoshita membuang kartu kami satu per satu, seakan sedang berpegangan erat-erat, dan entah bagaimana tim Yukinoshita hanya punya dua kartu yang tersisa, sementara tim kami telah bersusah payah sampai empat kartu.

Yuigahama menggerakan tangan kanannya dengan ragu-ragu. Sudah semakin dekat ke babak dimana ronde ini akan diputuskan, dan dia mungkin sangat sadar akan cara untuk memenangkannya.

“A-Aku akan memakai ini.”

Kartu yang dia mainkan setelah berpikir beberapa saat adalah kartu yang dia simpan sebagai langkah penghabisan – kartu Dua Keriting.

Untungnya bagi dia, kami ada dua kartu Joker di tangan kami. Jadi jika kami tinggal membiarkan ini lewat, Yukinoshita bisa menyelesaikan permainannya pada giliran selanjutnya dan itu akan bagus.

Baiklah, kalau begini terus tidak akan ada masalah. Atau begitulah yang kupikir. Suatu serangan tiba-tiba yang tidak kusangka terjadi.

“Astaga, aku terpeleset!”

Zaimokuza menghantamku dengan kasar dan selembar kartu terbang dari tanganku. Itu adalah kartu Joker.

Yuigahama langsung berdiri dari kursinya seperti sebuah roket. “Huh?! Tunggu dulu, Chuuni! Apa kamu mau membunuh kami?!” dia menggertaknya.

Tapi Zaimokuza bersiul dengan tingkah polos. Jadi sekarang dia mau menipu kami sehingga kami tidak tahu apa yang ingin dia lakukan, huh…

Dengan gaya kemenangan dan dengan semangat tinggi, Zaimokuza memainkan kartu Tiga Sekop. Hatano segera mengikutinyya dengan satu kartu Delapan, dan kemudian Sagami, yang menggantikannya, memainkan kartu As Sekop yang tersisa untuk menjadi yang pertama keluar dari pertandingan itu.

Semua yang tersisa adalah untuk menentukan pasangan mana di antara kami dan Yukinoshita/Yuigahama yang harus melepas baju.

Kartu di tengah tumpukan adalah kartu As. Dengan tidak senang, Yukinoshita pass.

Gilirannya datang padaku.

“Hachiman… Aku mempercayakan mimpiku – bukan, mimpi kita di tanganmu.”

Aku dapat merasakan intensitas itu lewat gengamman seperti-catoknya pada bahuku. Ketika aku melihat pada wajah Zaimokuza, suatu senyuman kalem bermain di bibirnya, seperti senyuman seorang pejuang sekarat.

Dipikir-pikir lagi, apakah orang ini lupa bahwa kalau kami kalah dia harus bersujud?

Selagi aku memikul ekspektasi Zaimokuza pada bahuku, aku menyebar kartuku. Aku ada kartu Empat Sekop dan kartu Joker.

Hatano sedang melemparkan tinju terkepalnya ke udara. Tanpa kata-kata apapun, isyarat gerakannya itu sedang berteriak, “Kita kawan!”

Sagami telah menurunkan matanya dengan sembunyi-sembunyi dan sedang menepukkan tangannya dengan hening untuk berdoa. Aku dapat mendengar bisikan kecil “Tuhan tolong…” dari sudut mulutnya.

Aku heran apa aku pernah merasakan beban dari begitu banyak ekspektasi sebelum ini. Tidak, aku tidak pernah. Pada saat itu, aku memang bisa merasakan kekuatan dari hubungan kami.

Jariku menyentuh Jokernya. Dengan seketika, Zaimokuza, yang sedang melihat dengan antisipasi, membuat suara “Yessss!” dengan kegembiraan yang terang-terangan.

Sebagai reaksinya, Hatano dan Sagami langsung berdiri dari kursi mereka dan mencondong ke depan sebegitu jauhnya sampai mereka hampir jatuh terguling, dan mata mereka menyala-nyala pada saat-saat genting itu.

Seseorang memanggilku dengan pelan.

“HA-CHI-MAN… HA-CHI-MAN…”

Itu adalah suatu bisikan kecil yang begitu pelan, tapi sebelum aku menyadarinya, itu sudah berubah menjadi suatu sorakan hingar-bingar. Itu seperti salah satu adegan-adegan yang penuh gairah dan mengharukan dimana seorang pelari maraton Olimpiade kembali ke puncak arena tersebut.

Hanya saja, dalam adegan ini, Yukinoshita sedang menatapku dengan mata yang sebegitu dinginnya sampai mengancam untuk mengubahku menjadi es, dan Yuigahama yang berkaca-kaca sedang mengerang dengan mulutnya seperti garis lurus yang kaku. Mereka berdua sedang memberungut ke arah diriku.

Tapi dua anak Klub UG itu dan Zaimokuza tidak menghiraukannya sama sekali dan terus meraung-raung dengan gembira.

Gelora liar. Kekacauan. Huru hara. Gairah tak terkendali. …tunggu sebentar?

Suatu dorongan tak terkendali sedang meluap keluar dari tubuhku. Aku dilanda oleh gelak tawa.

“Heh… eheheheheheh!”

Semua orang menelan ludah saat dihadapkan dengan tawa terbahak-bahakku.

Detik selanjutnya, aku mengutarkan kata pass dengan bisikan pelan, tapi setiap orang yang ada di ruangan itu dapat mendengarnya.

Ada keheningan sejenak.

“JIKA ADA SATU HAL YANG PALING KUBENCI, ITU ADALAH TIPU DAYA DALAM PESTA MINUM-MINUM ANAK KULIAH ITU, SEPERTI PERMAINAN PINALTI DAN MEMBUAT LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MELEPAS BAJU DAN SEMUA SAMPAH-SAMPAH ITU. TIDAK, KAMU BAHKAN BISA BILANG ITU MENJENGKELKANKU!”

Suaraku menggemercik di udara seperti suatu kejutan listrik. Setelah itu, keheningan berkuasa sekali lagi – atau begitulah yang kupikir, sampai aku mendengar Yukinoshita membuat helaan lelah yang dalam.

“Sungguh tolol total…” gugamnya dengan malas dengan rasa jijik samar.

Ini segera diikuti oleh suatu raungan geram.

“Hachiman! Bajingan, apa yang kamu lakukan?! Ini bukan suatu permainan!” Zaimokuza mencengkram kerah depan bajuku.

“Tenang, Zaimokuza. Itu persis seperti yang kamu bilang – ini bukan suatu permainan.”

“Hm? Mencoba untuk terdengar sedikit keren, ya?”

Mengabaikan pertanyaan Zaimokuza, mataku melirik ke samping.

“Heeeei, apa yang harus kita lakukan? Senpai itu begitu tidak mengenakkan.”

“Ahhh, orang itu benar-benar tidak bisa membaca suasananya…”

Di sana ada dua sosok yang berbisik pada satu sama lain – Hatano dan Sagami.

“Kasihan sekali,” kataku. “Aku tidak mengenakkan dan aku tidak bisa membaca suasananya dan trik-trik kecilmu tidak akan melewatiku.”

“H-Hachiman,” kata Zaimokuza. “Apa yang kamu maksud dengan trik-trik?!”

“Mereka tidak hanya ingin membuat kita melepas baju dengan peraturan itu. Mereka sedang memanfaatkan fakta bahwa kita ada laki-laki dan perempuan dalam kelompok kita, dan itu adalah suatu taktik psikologis untuk menghancurkan kerja sama kita!”

Benar, belenggu yang dinamakan melepas baju akan menaburkan bibit-bibit keraguan antara pasangan Aku/Zaimokuza dan pasangan Yukinoshita/Yuigahama. Mereka akan untung jika kami para laki-laki mengkhianati pada perempuan. Dan bahkan jika kami tidak mengkhianati mereka, mereka akan mendapat keuntungan dengan mengguncangkan hubungan saling percaya antara tim kami dan itu akan menarik kami untuk membuat kesalahan – itu adalah suatu rencana bercabang dua.

“A-Aku mengerti…” kata Zaimokuza. “Oh, ha! Sekarang setelah kamu mengatakannya! Aku pernah mendengar ini sebelumnya! Ritual rahasia sang perayu itu salah satu dari hasil sihir si penyihir, yang dengan hebatnya memancing sang pria dengan para gadis 3D untuk mengobarkan api perang saudara. Namanya: sang ‘Perangkap Madu’! Heh, tadi itu hampir saja. 3D memang benar-benar sampah.”

“Uhhh, oke. Yah, itulah konsep dasarnya, jadi terserahlah.”

Sebenarnya, memang benar-benar ada orang dewasa yang tertangkap dalam sang perangkap madu itu.

Omong-omong, jika keadaannya terus berjalan seperti ini sejalan dengan rencana mereka, pasangan Yukinoshita/Yuigahama akan mulai mencurigai kami dan akan sulit untuk bersatu.

Kemudian, jika Yuigahama dan Yukinoshita menyerah, itu akan menjadi kekalahan kami, tidak perlu ditanya lagi.

Untuk dipikir bahwa mereka tidak hanya berniat untuk membangkitkan perpecahan antar tim tapi juga antar pasangan… Klub UG itu memang musuh yang menakutkan.

Tapi rencana persengkongkolan mereka akan berakhir di sini. Aku menyipitkan mataku dan menatap ke arah Hatano. “Terlebih lagi, kamu bahkan berencana untuk membangkitkan perasaan bersalahku dengan menggunakan mentalitas kelompok.”

“Ki-kita tertangkap basah!”

“Dan di sini kupikir kamu akan mudah diperdaya karena kamu terlihat seperti orang yang begitu hambar!” Sagami mengatakan sesuatu yang agak kejam.

Aku melesatkan jariku dan menunjukkannya tepat ke arah anggota Klub UG. “Mentalitas kelompok tidak akan mempengaruhiku… kamu tahu, karena aku selalu disingkirkan dari setiap kelompok!” ujarku pada mereka dengan keras.

Hening.

Hatano dan Sagami dengan sembunyi-sembunyi mengalihkan mata mereka, dengan suatu senyum ambigu terbentuk pada bibir mereka. Senyum itu tersusun atas setengah-mengasihani dan setengah-simpati. Dengan kata lain, mereka sedang memperlakukanku seakan aku itu sepenuhnya menyedihkan.

“Ahem, omong-omong,” kataku, terbatuk selagi aku mengganti topik pembicaraannya. “Trik kalian tidak akan gunanya padaku.”

Dua anggota Klub UG itu bertukar pandangan.

“Begitu ya… kelihatannya kita juga harus mulai serius sekarang.”

“Siapkan diri kalian… waktu bermain-main berakhir di sini.”

Selagi kekehan pelan mereka mencapai telingaku, kata-kata mereka membuatku merinding.

…untuk suatu klub tentang game, mereka benar-benar tidak bermain-main, ya?


× × ×


5-8[edit]

Klub UG itu tidak berbohong soal menjadi serius. Mereka melemparkan kartu-kartu dalam rentetan cepat yang bahkan lebih tajam dan lebih kotor dari ronde kedua, dan maka kami ditarik ke dalam perang tanpa belas kasihan. Mereka menggunakan keuntungan yang mereka dapatkan dari menjadi sang Daifugo, dan kartu kuat seperti kartu Joker dan kartu Dua mengalir dari tangan mereka pada setiap saat-saat penting.

Aku sudah ditanggalkan dari kaus kaki dan kemejaku setelah kalah di ronde ketiga. Sekarang, setelah akhir ronde keempat, aku menaruh tanganku ke celana panjangku dengan enggan. Semua yang tersisa adalah celana dalam favoritku, lini terakhir pertahananku…

“Harrumph, waktunya sudah tiba bagiku untuk menanggalkan mantel ini, huh…” Zaimokuza mulai melepaskan mantelnya, memberungut hebat di sampingku.

Zaimokuza telah melepaskan kaus kaki, sarung tangan tanpa jarinya dan pembalut lengannya. Celana panjang dan kemejanya masih ada.

…ada apa dengan ketidak-adilan ini? Kenapa hanya aku yang tinggal celana dalam?

“Sial…”

Aku sudah setengah berlinang-linang selagi aku mencoba untuk menanggalkan celana panjangku semulus dan setidak-mencolok mungkin. Merasakan bahwa seseorang sedang menatap tajam ke arahku, aku menatap balik. Mataku bertemu dengan mata Yuigahama, yang terlihat agak merasa bersalah dan gundah.

“…apa yang sedang kamu lihat-lihat? Berhenti melirik-lirikku.”

“H-huh?! A-Aku tidak sedang melirikmu sedikitpun! Tidak mungkin aku tertarik pada itu! Apa kamu bodoh?!” teriaknya padaku dengan suara tertingginya selagi dia menghantamkanku ke meja.

Uh, tidak perlu merona merah terang dan geram padaku. Itu hanya sebuah lelucon, sumpah.

Yuigahama menggembungkan pipinya dan bertingkah begitu menakutkan, tapi kemarahannya dengan segera sirna dan pandangannya jatuh ke lantai.

“…um, maaf. Dan terima kasih.”

“Itu bukan masalah besar… tidak perlu mengucapkan terima kasih padaku. Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan.”

“Hmph, bukannya aku benar-benar peduli, tapi mengatakan itu dalam keadaan tanpa busanamu itu hanya membuatku menganggapmu sebagai seorang mesum yang tidak bisa menahan diri,” kata Zaimokuza sambil bergelak.

Jangan kamu katakan itu, bajingan…

Oh, dipikir-pikir lagi. Setelah aku mulai melepas baju, Yukinoshita mulai memperlakukanku seakan aku tidak ada. Dia tidak melihat ke arahku sekalipun, memilih untuk mengabaikanku sepenuhnya. Begitu sangat mirip dia.


× × ×


5-9[edit]

Kartu-kartu untuk ronde kelima sekarang sudah dibagikan.

Aku hanya mempunyai sisa satu nyawa dalam permainan ini: celana dalamku. Dengan kata lain, ini adalah sebuah pertempuran yang sudah pasti aku tidak boleh kalah. Itu sama sekali tidak seperti pertempuran-pertempuran di televisi di mana mereka berkata “Aku pasti tidak akan kalah”, tapi kemudian, untuk beberapa alasan, mereka hampir selalu kalah.

“Baiklah… Aku harus memenangkan ini…”

Tentu saja, aku menegang. Aku dapat merasakan tekad itu mengalir mengelilingi tubuhku.

“Buahahaha! Orang ini mencoba bertingkah keren mengenakan celana dalamnya!” Zaimokuza tertawa terbahak-bahak padaku.

Ketika aku melihat-lihat ruangan itu, anggota Klub UG dan Yuigahama juga mati-matian menahan tawa mereka. Setelah melihat lebih dekat, bahkan bahu Yukinoshita bergetar sedikit.

Jahat, mereka semua.

Amarah meluap dalam diriku, seperti yang bisa kalian duga. “Oi, Zaimokuza…” Aku memanggil namanya, sudut mulutku berkedut.

Segera setelah aku melakukan itu, Zaimokuza membuat sebuah batuk yang tidak alamiah seakan dia juga telah menyadari betapa geram diriku. “Tenang, Hachiman, temanku. Permainan itu dimaksudkan untuk dinikmati. Jangan begitu serius.”

“Oi, Zaimokuza…”

Jangan kamu coba-coba mengutarakan omong-kosong munafik itu padaku, bajingan… Aku baru saja mau memberinya sepotong – tidak, lima potong – omelanku ketika sebuah helaan memotongku.

“Oh, begitu. Jadi itu apa yang kamu rasakan tentangnya.”

Itu memakanku sedikit waktu sebelum aku menyadari itu adalah suara Hatano. Suaranya jelas sekali berbeda dari suara gugup dan belum dibilang terdengar-lemah yang dipakainya sampai barusan tadi – kamu bisa melihat nada agresifnya keluar.

“Jadi itu – bagaimana kamu mengatakannya? – sudut pandang si pemain,” potong Sagami. “Yah, tidak seperti itu suatu hal yang buruk, tapi jika kamu terus seperti itu sampai akhir, kamu sudah agak gawat.”

Itu adalah jenis suara angkuh dan meremehkan yang membuatmu berpikir pemiliknya sedikit terlalu suka mendengarnya.

“Urk…” Zaimokuza baru saja akan mengatakan sesuatu pada mereka, tapi segera setelah dia menangkap pandangan wajah mereka seklias dia berhenti. Ekspresi mereka dicampur dengan rasa menghina yang jelas.

Hatano mendengus. “Yah, terserahlah. Omong-omong, inilah akhirnya.”

“Ayo kita mulai,” kata Sagami. “Ini adalah pertempuran terakhir.”

“Oh, oke.”

Masing-masing dari kami berdiri dalam medan pertempurannya atas apa yang dikatakan Sagami.

Zaimokuza mendapat giliran pertamanya. Pertama-tama, dia harus bertukar kartu dengan Klub UG.

Kelihatannya Hatano sedang mencari kata-kata untuk diutarakan pada saat yang sama dia sedang mengambil kartunya. Tangannya turun pada dua kartu dan dia melemparkannya. Persis saat Zaimokuza mengulurkan telapak tangannya untuk menambah kartu tersebut ke kartu di tangannya, suara Hatano menerjangnya.

“…Tuan Pendekar Ulung, mengapa kamu ingin membuat sebuah game?”

Kelihatannya Tuan Pendekar Ulung adalah nama yang dipakai Zaimokuza di arcade. Tidak salah lagi – dia benar-benar memanggil dirinya Tuan Pendekar Ulung (lol).

Zaimokuza lupa memungut dua kartu yang dilemparkan padanya, dan dua kartu itu terselip dari tangannya dan jatuh ke atas meja.

“Hmph. Karena aku suka game. Aku percaya berkarir akan sesuatu yang kamu nikmati itu merupakan suatu alur pikir yang jelas. Dan jika aku itu seorang pegawai penuh di sebuah perusahaan game, aku akan memiliki pendapatan yang stabil,” jawab Zaimokuza dengan sikap yang terlihat tenang, walaupun perasaan aslinya terlihat jelas di akhir.

“Oh, jadi karena kamu suka game, huh? Tipe-tipe itu tentu tiba-tiba banyak bermunculan akhir-akhir ini – mereka yang hanya suka game dan tidak bisa melakukan apapun. Apa kamu salah satu tipe itu juga, Tuan Pendekar Ulung?”

“Apa yang sedang kamu coba katakan?”

Mereka pastilah sudah membuatnya geram, karena Zaimokuza dengan jengkel menghantamkan dua kartu yang dimainkannya ke atas meja. Dan kemudian selagi meja dan kursinya bergetar dengan suara yang terdengar kasar, dia mengoperkanku kartunya.

Yukinoshita, yang mendapat giliran selanjutnya, memainkan sepasang kartu di atas itu. “Kamu hanya memakai impianmu sebagai sebuah alasan untuk melarikan diri dari kenyataan…”

“A-Atas dasar apa kamu mengatakan ?” Hanya itu yang dihimpun Zaimokuza sebelum dia berhenti berbicara.

Sagami melemparkan beberapa kartu untuk mengisi keheningan yang mengikuti.

Aku menyebarkan kartu di tanganku. Jika aku melanjutkannya dengan pasangan kartu, itu akan menjadi kesempatanku untuk mengurangi kartuku dari awal ronde. Dengan itu di pikiranku, aku melihat ke arah empat belas kartu di tanganku.

…empat belas?

Menyadari bahwa tidak ada cukup kartu, aku melirik ke bawah meja untuk melihat apa ada yang jatuh. Dan memang, dua kartu ada di bawah sana. Walau Zaimokuza mungkin sudah lupa menambahkannya ke kartu di tangannya, kelihatannya kartu itu baru jatuh tadi ketika dia membuat mejanya bergetar saat berdiri. Aku memungutnya dan menambahkannya ke kartu di tanganku. Dan maka aku mendapatkan kartu Empat Wajik.

Kartu yang satu lagi adalah kartu Enam keempat… Aku bisa membuat Revolusi dengan ini.

Namun aku tidak ada pilihan selain menyimpannya untuk nanti. Jika aku mau memainkannya, itu hanya bisa setelah aku menjadi si bandar di tengah permainan.

Selagi aku sedang membuat perhitungan samar di kepalaku, aku meletakkan dua kartu dengan nilai yang lebih tinggi ke dalam tumpukan. Ketika aku melakukannya, Yuigahama dan Hatano keduanya memainkan kartu-kartu ke atasnya. Dua As, huh… kelihatannya tidak ada orang yang ingin memainkan kartu di atasnya. Aku pass, dan setelah pertukaran pemainnya Sagami meletakkan selembar kartu.

“Tuan Pendekar Ulung, kamu begitu dangkal. Ini bukan agak pada apa yang kamu katakan sebelumnya, tapi ini tentang bagaimana pendapatmu itu hanya berarti sesuatu untuk dirimu saja dan semacamnya. Aku hanya bisa tertawa pada para pembuat game yang membosankan dan orang-orang pemimpi itu.”

Wow, itu penilaian yang hebat. Teruskan itu.

Setengah dari diriku merasa ingin menyemangati Sagami. Belum disebut Yukinoshita sedang mengangguk dengan sungguh-sungguh dalam persetujuan bisu.

“Uuuuuurk.” Zaimokuza mengoperkanku kartunya, seakan sedang mencoba menahan dirinya secara fisik.

Telah mengambil kartu-kartunya dari dia, aku memainkan kartu berikut yang sesuai tanpa tingkah berlebihan apapun. Zaimokuza sudah mengecilkan efek suara Yu-Gi-Oh! yang sudah dilakukannya sampai barusan tadi, mungkin karena semangatnya agak sedikit mengendur.

Yukinoshita giliran selanjutnya. Hatano melihat menyamping pada kartu yang diletakkannya dan suatu senyuman sinis bermain di bibirnya. “Kamu harus menertawai seseorang yang ingin membuat sebuah game ketika dia tidak tahu apapun mengenainya. Kamu tahu, ada banyak pembuat game cacad belakangan ini. Orang yang membuat game ketika mereka hanya pernah memainkan game konsol di rumah. Mereka hanya terobsesi pada satu hal dan tidak bisa membuat sesuatu yang inovatif. Mereka memperkecil tanah yang melahirkan ide-ide baru. Tidak mungkin kamu bisa membuat sesuatu hanya karena kamu mengatakan kamu menyukainya.”

Dia memainkan selembar kartu, seakan menghantamkannya pada meja, dengan intensitas yang hampir terlalu kuat.

“Uuuuuuurk.”

Erangan Zaimokuza bergema dari langit-langit.

Sejumlah putaran berlalu selagi Klub UG mendapat posisi menguntungkannya. Ketika sudah sampai giliran Zaimokuza, Sagami memanggil Zaimokuza selagi dia sedang bersusah payah untuk memilih kartunya.

“Tuan Pendekar Ulung, kamu tidak ada kemampuan atau pencapaian yang bisa kamu banggakan bukan? Itulah mengapa kamu hanya berpegangan pada game dan hal-hal semacam itu.”

Dihadapkan dengan suara yang bercampur dengan tawa mencemooh itu, Zaimokuza tidak mampu membentuk sebuah jawaban dan mengoperkanku kartunya dengan keenganan berat. Itu kurang lebih mengatakan pass tanpa mengutarakan kata-katanya.

Setelah mengambil kartu-kartunya dari dia, aku mengambil tempat dudukku.

Kata-kata Sagami masih berdengung di dalam telingaku.

Dengan itu, aku maksud melihat seseorang begitu terang-terangannya gembira mengejek chuunibyou itu amat menghilangkan semangat – tidak ada cara lain untuk mengatakan itu. Memberitahu seorang laki-laki yang ketakutan akan kekejaman dunia nyata itu membuatmu terlihat seperti orang dewasa yang lelah terus gelisah akan kekecewaan dalam kehidupannya – jenis penderitaan itu sangat ada di sini.

Karena semua orang pass, Klub UG menjadi bandarnya.

Hatano memainkan tiga kartu dengan laju yang benar-benar malas: satu, dua, tiga Raja. Tentu saja, tidak mungkin tim kami, yang baru saja pass, bisa memainkan apapun. Yukinoshita juga pass.

“Omong-omong, Tuan Pendekar Ulung, apa film favoritmu?”

“…hmph, mari kupikir. Mahou-”

“Selain anime, maksudku.”

“Apa kamu bilang?!”

Pada saat anime dikeluarkan dari daftarnya, Zaimokuza menggelepar dengan hening. Oho, apa yang kita dapat di sini? Dia benar-benar dicerca… tapi tidak seperti aku ada film favorit khusus juga setelah kamu mengeluarkan anime. Jika didesak, aku akan mengatakan Léon: The Professional. Aku juga ingin menerima gadis muda sebagai muridku juga.

Mencemooh Zaimokuza yang membisu, Sagami menyapu kartu-kartu King itu ke samping dan memulai dengan selembar kartu baru.

“Lihat, dia benar-benar tidak bisa menyebutkan apapun. Jadi apa novel favoritmu?”

“…hmph, akhir-akhir ini aku sedang asyik dengan Ore no Kano-”

“Selain novel ringan.”

“Urk!” Zaimokuza tergagap akan kata-kata spektakulernya berkat dihentikan dengan begitu tiba-tiba. Dia menghempaskan kepalanya ke belakang dengan berlebih-lebihan, tidak mampu pulih. Itu seperti dia baru saja menerima sebuah pukulan ke atas yang keras.

Zaimokuza sedang gemetar dengan begitu hebatnya sampai dia hampir tidak bisa berdiri, sebuah ekspresi kesengsaraan yang mendalam terukir di wajahnya. Apa dia salah satu tipe-tipe itu – salah satu si cengeng dari generasi muda itu yang hanya tidak mampu menahan cercaan?

Itulah si Zaimokuza yang dilihat dua anggota Klub UG itu dengan mata sinis mereka. “Jadi pada akhirnya, kamu hanyalah si palsu,” kata Hatano. “Kamu bahkan tidak mengerti kenyataan dari dunia hiburan. Kami sudah mengerjakan PR kami tentang industri game dan hiburan. Ketika orang dungu seperti kamu keluar dan berkata dia akan membuat sebuah game dan semacamnya, itu memalukan untuk ditonton.”

Persis seperti yang dia bilang, ruangan ini benar-benar berlimpah-limpah dengan game. Ketika aku melihat bagaimana semua permainan papan itu dikemas dalam kotak-kotak dan disusun dalam tumpukan, juga bagaimana dadu-dadu itu (mungkin dipakai untuk RPG meja) tersebar disana-sini, aku bisa dengan mudah membayangkan betapa terbenamnya dua anggota Klub UG itu ke dalam game.

Zaimokuza, di sisi lain, tidak seperti itu sama sekali – dia hanya tergila-gila akan karakter-karakter imut…

Dengan keadaannya sekarang ini, tidak mungkin Zaimokuza ada peluang apapun untuk menang. Itu jelas dia akan kalah, dan tentu saja dia akan menahan rasa malu yang mengikutinya.

Tapi itu agak membuatku jengkel sedikit.

Aku tidak benar-benar keberatan jika seseorang membuat Zaimokuza terlihat bodoh – dan aku tidak merasa ada yang berbeda entahkah impiannya dihancurkan ataupun tidak. Namun, apa yang orang-orang ini katakan sudah pasti datang dari arah yang salah

Aku hanya tidak tahu apa alasannya kenapa aku begitu jengkel.


× × ×


5-10[edit]

Permainannya sudah mendekati babak akhirnya. Klub UG memiliki sisa enam kartu di tangan mereka, sementara tim Yukinoshita memiliki enam kartu dan tim kami memiliki delapan. Permainannya sudah mendekati akhir dari jumlah kartunya, tapi kenyataannya, bukan begitu kalau kamu menilainya dari isi kartu yang kami pegang. Klub UG memiliki Joker yang kami berikan pada mereka. Lebih mendekati babak akhirnya itu, lebih jelas juga perbedaan dalam parameter awal kami yang akan tercermin dalam taktik kami.

Yuigahama pastilah menilai saat ini sebagai saat yang menguntungkan untuk melancarkan serangannya, karena untuk sesaat dia bertukar isyarat mata dengan Yukinoshita sebelum memainkan tiga kartu. Seperti yang bisa kamu duga dari timing mereka, tidak ada orang yang bisa melawannya.

Yukinoshita mengambil kartunya dan duduk di kursinya. “Aku sudah mendengar diskusi dari kedua sisi dan kelihatannya Klub UG memiliki pendapat yang terdengar lebih logis. Hikigaya-kun, jika kamu sedang memikirkan tentang, erm, Zai… Zai… dia, kamu patut menunjukkannya jalan yang benar.”

Selagi Yukinoshita mengeluarkan kartu lain, seberkas senyuman bermain di wajahnya seakan dia sedang mengujiku. Klub UG mengikutinya dengan kartu mereka sendiri.

Yah, Yukinoshita memang ada benarnya. Jika Zaimokuza benar-benar bercita-cita menjadi seorang penulis game atau pengarang novel ringan, dia perlu benar-benar berusaha keras untuk meraih tujuannya itu. Dia bisa berhasil jika dia mempelajari teknik-teknik menulis naskah Hollywood dan karya-karya yang diakui daripada hanya mencorat-coret garis besar untuk “novel mahakarya” kesenangannya sendiri.

Aku memang berpikir bahwa Hatano dan Sagami patut dipuji akan kerja keras mereka dan bahwa Zaimokuza seharusnya dikritik dan ditegur akan cara setengah-setengahnya dalam melakukan sesuatu.

…tapi itu saja bukanlah cara melakukan sesuatu yang benar.

Cara yang benar untuk melakukan sesuatu adalah cara yang suka-suka hati seseorang untuk melakukan sesuatu, dan itu apa yang membuatnya menjadi manja, pikirku.

Mengikuti isi buku cetaknya, taat pada kurikulumnya, menyelesaikan tugasnya…

Tidakkah itu bukan satu-satunya cara tradisional untuk sukses sampai sekarang? Bergantung pada harta warisan dan mengandalkan orang-orang berkuasa, bukankah begitu banyak orang sekarang ini melumuri diri mereka dengan tingkah laku itu sampai mengeras dan menempel ke dalam lubuk jiwa mereka?

Untuk benarnya, seseorang harus menggantungkan dirinya pada pandangannya sendiri mengenai apa yang benar.

“Itu tidak seperti sudah pasti cara Klub UG melakukan sesuatu itu benar… oh, dan itu salah untuk mengecap bahwa aku mengatakan itu karena aku prihatin dengan Zaimokuza.”

“Baguslah kalau begitu,” kata Yukinoshita. “Itu tentu menunjukkan betapa kamu perduli akan temanmu.”

“Um, dia bukanlah temanku.”

Jika dia itu temanku, aku mungkin akan membelanya pada saat-saat seperti ini. Namun, aku masih tidak tahu bagaimana si tolol ini bisa membuat masalah yang begitu parah. Tidak ada gunanya apa yang aku katakan padanya. Kamu bahkan bisa menemukan orang di kelasnya yang sudah menyerah dengan dirinya karena dia begitu tidak bisa apa-apa. Kamu bisa bilang mereka bahkan sudah sepenuhnya membuang pemikiran untuk memukulinya.

Yuigahama membuka mulutnya dengan ragu-ragu. “Kamu tahu…” katanya deengan sedikit bimbang. “Aku tidak benar-benar mengerti game dan semacamnya, tidak secara detil, tapi…”

Selain Yuigahama, tidak ada yang meninggikan suara mereka untuk menyela. Itu hanya bahwa ekspresi serius, tenang dan berhati-hatinya menarik pandangan semua orang padanya.

Aku menunggu Yuigahama untuk terus berbicara. Yuigahama, yang terus memusatkan pandangannya pada kartu-kartunya, tiba-tiba mendongakkan kepalanya.

Kemudian dia melihat tepat ke mataku.

“Meskipun ada sesuatu yang menghalangi dan kamu tidak bisa sukses di awal, selama itu bukanlah suatu kebohongan ataupun palsu, cinta itu tidaklah salah… kurasa.”

Aku heran pada siapa kata-kata itu tertuju.

Persis saat pemikiran itu melintasi pikiranku, ada suara seseorang menginjak lantai.

“…ya. Itu persis seperti yang kamu katakan… kamu benar bahwa aku tidak ada sesuatu yang bisa dibanggakan.”

Hilang sudah cara bicara yang dibuat-buat itu. Suara itu begitu bergetarsampai itu menyedihkan, dan walau kata-kata yang keluar tergagap-gagap, kata-kata itu terus keluar tanpa berhenti untuk bernafas.

“Jadi aku akan bertaruh dalam hal ini: bahwa itu aneh kalau aku tidak berguna! Bahwa kalian itu salah!” Zaimokuza meratap, ingus bercucuran ke wajahnya dan bahunya bergetar dengan hebat.

Tidak peduli bagaimana kamu melihatnya selagi dia berdesah berat dan menatap tajam pada kami semua, penampilan berlinang-linangnya itu adalah penampilan seorang pecundang.

Hatano dan Sagami melihat ke arah tingkah menderita Zaimokuza dengan mata yang penuh dengan kejijikan. Tidak, mereka mungkin tidak sedang melihat pada Zaimokuza, tapi sebenarnya mereka melihat kepedihan masa lalu mereka sendiri melalui dirinya.

…Aku yakin bahkan mereka juga pernah mencintai game. Dan bahwa pada suatu ketika, mereka juga terselimuti dalam impian mereka.

Tapi impian itu terlalu berat bagi satu orang untuk terus memikulnya sendirian.

Setelah kamu beranjak dewasa, kamu mulai melihat ke arah masa depan yang realistis, dan itu hanyalah impian kosong sehingga kamu berhenti untuk mampu mengejarnya

Gaji yang tidak bisa lebih tinggi dari upah minimum 200,000 yen, tingkat kerja tamatan dari universitas terkenal yang menyedihkan, tingkat bunuh diri, pajak yang meninggi, dan kemudian yang paling buruknya lagi gaji pensiunan yang mengenaskan.

Kamu baru mengetahui tentang hal-hal semacam itu. Seorang anak SMA, yang sudah setengah dewasa, bisa mengerti sebanyak itu.

Semua orang bercanda bahwa untuk bekerja itu berarti kalah pada sistem, tapi itu tidaklah pasti tidak benar. Di dalam dunia seperti dunia ini, suatu kehidupan dimana kamu hanya mengejar mimpimu saja itu pahit dan menyakitkan, dan hanya memikirkan itu membuat aku menghela.

Itu salah untuk menyerah pada hal itu hanya karena kamu mencintai sesuatu.

Itulah mengapa mereka menebusnya. Mereka membangun pengetahuan mereka dan menginspirasi diri mereka sendiri dengan melihat mereka-mereka yang hanya bermimpi.

…karena tidak mungkin mereka mau berhenti. Tidak peduli sebanyak apapun mereka menyangkalnya.

“…kamu tidak tahu apa-apa bagaimana dunia ini bekerja. Idealisme dan kenyataan itu berbeda,” ujar mereka.

“Aku sudah lama sekali tahu itu! Ketika mereka menjadi penulis, rekanku dari arcade terus mengirimkan naskah selagi mereka pergi bekerja! Mereka yang membanggakan tentang melompati pilihan kedua mereka itu adalah para NEET! Aku terlalu paham semua itu…” tinju Zaimokuza mengepalkan udaranya. Dia melakukannya dengan seluruh tenaganya, sebegitu kuatnya sampai kukunya hampir menembus kulitnya. “Aku tahu bahwa ketika aku bilang aku akan menjadi seorang pengarang novel ringan, sembilan puluh sembilan persen orang akan tertawa terbahak-bahak dan berpikir, ‘Sungguh impian yang tolol!’ atau ‘Jangan bertingkah seperti anak kecil! Hadapi kenyataan!’ Meskipun begitu…”

…dia benar. Kami tahu bagaimana kenyataan itu bekerja.

Kami tahu bahwa para teroris tidak akan tiba-tiba menyerang kami di dalam ruang kelas dan bahwa kota tidak akan dikerumuni oleh zombie, dan memaksa kami untuk bersembunyi di toko-toko.

Jika ada orang biasa yang mendengar kamu berkata bahwa kamu ingin menjadi seorang penulis game atau pengarang novel ringan, mereka akan memikirkan impian itu sebagai suatu impian yang gila yang setara dengan angan-angan dungu lain itu. Tidak ada orang yang akan benar-benar mendukung mereka atau benar-benar menghentikan mereka. Bahkan jika kamu menyatakannya dengan serius bahwa itu adalah impianmu, tidak akan ada orang yang akan memandangmu dengan serius.

Dan jadi sebelum kamu menyadarinya, kamu akhirnya berhenti, dan kemudian kamu, yang dulu pernah menjadi seorang pemimpi, sekarang ingin tertawa pada pemimpi-pemimpi lain. Kamu ingin tertawa dan berbohong pada dirimu sendiri.

Berhadapan dengan semua itu, aku heran persisnya bagaimana orang ini bisa mengumumkan impiannya – bahkan selagi dia menangis, bahkan selagi ingus bercucuran di wajahnya, bahkan selagi suaranya bergetar.

“Sekarang ini, aku percaya dengan segenap hatiku. Meskipun aku tidak akan pernah bisa menjadi seorang pengarang atau penulis, aku masih bisa terus menulis. Aku tidak cinta menulis karena aku ingin menjadi seorang penulis! …Aku menulis karena aku mencintainya.”

Jujur saja, aku merasa iri padanya.

Dengan frasa tunggal “karena aku mencintainya” itu, dia memutuskan nasibnya dengan kejujuran tanpa akal bulus, tanpa keraguan ataupun kesinisan apapun yang merembet ke dalamnya. Kebodohannya itu menyilaukan dalam beberapa artian.

Kekuatan yang dibutuhkan untuk dengan jujur mengatakan “karena aku mencintainya” membuat mataku mengernyit. Mungkin itu karena aku sudah mengunci kepolosan untuk mengatakan sesuatu dari dalam hatiku tanpa kesombongan atau bersikap ironis.

Itulah mengapa aku menjadi berpikir. Mungkin, mungkin saja pertandingan ini bisa menentukannya. Jika Zaimokuza – tidak, kami – menang, kalau begitu mungkin aku bisa mengizinkan diriku untuk percaya. (Walau tidak kalau aku kalah.)

“…Zaimokuza. Giliranmu.”

Aku mendorongkan kartuku pada tinju Zaimokuza, yang sedang terkepal pada dadanya.

Zaimokuza menekankan tangannya pada dadanya seakan untuk memeriksa detak jantungnya sebelum menerima kartunya dariku dan mengambil satu langkah menuju kursinya.

“…apapun yang dikatakan orang padaku sekarang tidak akan bisa membuatku berhenti,” bisiknya selagi dia melewatiku. Suaranya sudah agak menurun dan itu terdengar agak keren. Hentikan suara keren itu – itu akan melekat dalam kepalaku.

Zaimokuza mengambil nafas yang panjang dan dalam, menghimpun kendali akan suara tangisan dan bergetarnya itu.

“…oho, maaf untuk membuat kalian menunggu. Mari kita selesaikan duel ini sekarang…?”

Kami memiliki delapan kartu lagi di tangan kami. Kartu Jack Sekop, kartu Delapan Keriting, kartu Tiga Hati dan kartu Empat Wajik.

Dan kemudian set empat kartu Enam itu.

“Makan ini! Infinity Clincher!”

Dengan suara shfff, Zaimokuza menarik keluar selembar kartu dan kemudian – WHAM! Dia membuat efek suaranya sendiri selagi dia menghantamkan kartunya ke dalam tumpukan. Oke, aku bisa mengerti bahwa infinity itu angka delapan yang diputar menyamping, dan karena peraturannya dipanggil Delapan Penghabisan, aku rasa bagian clinchernya merujuk pada itu, kurasa?

“Hachiman.” Dengan kendali penuh akan dirinya sendiri sekarang, Zaimokuza melontarkan namaku seperti dia melontarkan tangannya.

Jangan katakan itu pada semuanya. Aku mendengarmu dengan jelas dan nyaring.

Aku mengambil tempat dudukku dan menyebarkan kartuku.

Jika aku akan menggunakannya, sekaranglah saatnya. Itu karena kami sudah terus kalah selama ini – karena kami telah selalu lemah dan namun gagal untuk mundur – sehingga kami bisa menggunakannya sekarang.

Apa itu tekad baja? Kegigihan? Keteguhan? Biar lamban asal menang?[16]

Tidak, aku sudah mengincar saat ini dari awal.

Maka, kekalahannya sampai sekarang ini bukanlah kekalahan. Aku kalah dalam pertempurannya tapi aku memenangkan perangnya.

Kekalahan bukanlah kekalahan sampai kamu mengakui kekalahanmu. Aku yakin pria yang berdiri di belakangku tidak akan mengakui kekalahannya bahkan sampai nafas terakhirnya, tidak peduli sesering apapun dia kalah atau sesalah apapun dia. Dengan begitu, dia adalah pria yang terdekat dengan kemenangan.

Bahkan setelah sepenuhnya dibungkamkan dan setelah harapan dan mimpinya dianggap remeh – Bahkan sekarang, untuk bisa terus meraung dengan segenap kekuatanmu. Tidak mengandalkan apapun selain kekuatan tekadnya saja, mendukung impiannya.

Ketika kamu mengatakannya seperti itu, kamu bisa melakukannya dan memanggilnya sebuah impian.

Tidak peduli siapa dirimu, itu adalah sebuah ilusi yang sulit untuk dipikul, seberharga apapun itu. Dan jadi hanya segelintir orang yang bisa melakukannya. Jarang impian bisa menjadi kenyataan di dunia ini.

Sebelum aku menyadarinya, waktunya sudah tiba. Apa perasaan klimaks ini? Tanpa kusadari, kata-kata yang begitu kukagumi tumpah keluar.

“Aku tidak akan…”

“Tidak, kami tidak akan.”

Kami berdua berdiri dengan punggung kami menekan satu sama lain selagi kami mengutarakan kalimat itu.

Kami tidak akan kalah!”

YahariLoveCom v3-221.jpg


× × ×


5-11[edit]

Keempat kartu yang tergenggam di tanganku. Aku menghantamkannya ke atas meja.

“Akhir dari Genesis T.M.Revolution Tipe D[17]!”

Diam, Zaimokuza. Revolusi saja sudah bagus – dia tidak perlu membuatnya terdengar keren segala. Walau aku dapat merasakan talenta terpendamnya untuk hal semacam itu.

Yuigahama sedang tersenyum masam, sementara Yukinoshita menghela dengan cara yang mencurigakannya mirip dengan suatu dengusan. “Pass,” ujarnya, sambil mengangkat bahu.

Hatano dan Sagami melihat ke arah Zaimokuza dengan kesal, seakan ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan mereka.

Tidak mengejutkan.

Maksudku, aku tidak ada keraguan bahwa orang-orang ini memainkan game seperti ini dulu-dulu. Pada suatu waktu, mereka pastilah telah melihat berbagai hal dan datang pada kesimpulan bahwa hanya menyukai sesuatu tidak lagi cukup, dan maka mereka mencari alasan

Apa momen-momen keraguan singkat mereka itu disebabkan oleh upaya untuk memilih selembar kartu – atau apa itu karena mereka sedang melihat kembali pada jalan yang sudah mereka tempuh?

Pass…”

“Bagus sekali, Hachiman. Sekarang serahkan sisanya padaku.” Tidak repot-repot untuk menyembunyikan kegirangan di wajahnya, Zaimokuza merebut kartu-kartunya dariku, tertawa selagi dia melakukannya. “Pedang Jack! …sang Kebalikan.”

Dia mengatakannya dengan begitu bersemarak, tapi seperti yang bisa kalian tebak, itu hanyalah kartu Jack Sekop.

“Oi, tunggu dulu, kamu tolol!” kataku. “Kamu baru saja membuat revolusinya tidak berguna dengan Jack Backmu!”

Ketika suatu revolusi diaktifkan, efek memainkan Jack Back adalah untuk tiba-tiba membalikkan revolusi itu. Dengan kata lain, mengingat bahwa dua negatif akan membentuk satu positif dan dalam kasus ini, itu tidak ada bedanya, hirarki angkanya akan kembali normal. Keadaan permainannya ini dibuat sedemikian rupa sehingga kamu perlu mengurangi kartu lemahmu dengan memainkan mereka.

“Huh?” Zaimokuza berkedip dengan keterkejutan, sebelum menyadari kekeliruannya. “Oh!”

Lontong sate ayam, menyebutkan nama-nama jurus spesial menempati posisi yang lebih tinggi dalam daftar prioritas orang ini…

Lagipula orang ini sudah tidak bisa ditolong lagi. Aku bilang kami tidak akan kalah, tapi itu semua dibuat jadi tidak ada gunanya. Zaimokuza tidak ada Zetsuei dan aku juga tidak ada Shell Bullet[18].

Sedikit gelisah, Yuigahama memilih untuk pass, dan Sagami tidak buang-buang waktu lagi untuk memainkan kartu Dua Sekop.

Tidak hanya Klub UG memiliki Jokernya, kami juga tidak ada kartu yang bisa dimainkan yang dapat melawan kartu ini.

Hatano dan Sagami bertukar pandangan dan membuat helaan lega yang panjang.

Bandarnya beralih pada Klub UG selagi revolusinya masih berlanjut.

Klub UG memiliki sisa lima kartu lagi di tangan mereka. Kami memiliki dua kartu di tangan kami, tapi sekali mereka menjadi bandarnya, tidak ada keraguan lagi pola menuju kemenangannya sudah pasti.

“Yah, aku memang mengagumi antusiasmemu, Tuan Pendekar Ulung,” kata Hatano selagi dia memegang dua kartu di antara jarinya. “Anak ini adalah kenyataan.”

Mereka meletakkan dua kartu itu seperti mengayunkan sabit sang Pencabut Nyawa.

Tidak bisa dilawan, huh… kalau bukan karena kesilapan kecil itu, kami sudah pasti akan menang. Tapi tidak ada gunanya menangisi susu yang tumpah.

Sangat sederhana… Aku heran apa aku akan harus menanggalkannya.

Itulah saat hal tersebut terjadi. “Kita kalah… tidak peduli bagaimana aku menghitung kartunya, tidak ada harapan untuk menang,” Yukinoshita, yang telah terus diam sampai barusan, mengerang selagi dia menekankan tangannya pada dahinya. Hatano kaget dan terdiam karena seseorang yang tidak dia duga akan berbicara telah membuka mulutnya.

“Huh… Yukinon, bagaimana kamu bisa tahu?” tanya Yuigahama.

“Kamu akan tahu ketika kamu menghitung semua kartu yang dimainkan. Kemudian, ketika kamu menyingkirkan kartu kita, kamu bisa membaca apa yang dimiliki pemain lain. Ditambah lagi, sang Daifugo dan si Daihinmin membuat pertukaran. Karena kartu-kartu kuat diberikan pada Klub UG, itu tidak sulit untuk memperkecil peluang kartu mereka.”

“Apa kamu Komputer Obaachan atau semacamnya[19]?”

Sungguh hebat – dia mengingat semua kartu yang dimainkan. Ya, itu adalah sesuatu yang akan terpikir seorang anak SD, tidak banyak yang akan benar-benar pergi melakukannya. Kamu sudah akan kesusahan hanya menghafal kartu-kartunya saja, belum lagi ditambah memikirkan strategi. Terlebih lagi, ketika kamu memainkan permainan itu dengan serius, hal semacam itu benar-benar tidak ada gunanya, kamu akan sadar mereka akan hanya punya kartu Dua dan Jokernya.

…apa gadis ini sebegitu pintarnya sampai dia itu bodoh?

“Klub UG akan memasangkan kartu Joker dan kartu Delapan bersama dan memainkan Delapan Penghabisan, kemudian mereka akan mengikutinya dengan kartu Tujuh. Tim Hikigaya-kun memiliki sisa kartu Tiga Hati dan kartu Empat Wajik, jadi kekalahan kita itu sudah pasti,” kata Yukinoshita dengan jengkel selagi dia meletakkan kartunya dan berdiri dari tempat duduknya.

Whoa, bagaimana dia bisa tahu kartu apa yang kupegang? Apa dia itu pengguna Alter atau semacamnya[20]

Yukinoshita mengigit bibirnya dengan kekesalan dan pipinya merona merah akan rasa malu selagi dia meletakkan tangannya pada ujung rompi musim panasnya. Jari-jarinya, yang bergetar akan rasa malu itu, mengenggam ujung rompinya, dan bagi kami yang sedang menonton, itu adalah pengalaman yang menerbangkan pikiran.

Menghembuskan helaan berat dan menggertakkan giginya, Yukinoshita mengumpulkan kekuatannya ke dalam jari panjang lentiknya dan menjepit ujung rompinya.

Dengan perlahan, dia mengangkat rompinya, dan blus yang sebelumnya tersembunyi itu mulai muncul dengan jelas ke dalam pandangan. Jika aku diam-diam melirik pada celah antara kancing bajunya, aku bisa melihat sekilas kulit putihnya, yang sehalus kaca porselen.

YahariLoveCom v3-225.jpg

Mataku tertempel padanya meskipun aku tidak mau melakukannya. Yah, walau tidak seperti aku sepenuhnya membenci itu.

Pada saat yang sama aku menelan ludah, aku mendengar suatu suara kecil.

Suara sialan, diamlah, kamu akan membuat mataku berkeliaran, pikirku, menatap pada sumber suara itu. Hatano sudah menjatuhkan kartu Jokernya.

Tapi kelihatannya sekarang ini itu tidak mengkhawatirkannya sama sekali. “Maaf,” dia meminta maaf tanpa memungut kartunya. Dia hanya melihat ke atas sekali lagi.

…astaga.

Kamu benar-benar harus waspada. Baiklah kalau begitu… pikirku, mencoba untuk berpaling, ketika tiba-tiba lapangan pandangku sepenuhnya dihalangi.

“Berhenti. Baik, sudah cukup.”

Tangan halus unik seorang gadis menutupi mataku.

Ketika aku dengan lembut menepis

“Kenapa kamu…?” tanyaku.

Seorang Yuigahama yang berwajah-dongkol tidak memberi jawaban. Dia tiba-tiba memalingkan kepalanya ke samping, dengan rambut baksonya bergoyang akan ketidak-puasannya.

“Yukinon, kamu tidak perlu melepas baju, kamu tahu?”

Yuigahama mencengkram kedua tangan Yukinoshita untuk menghentikannya. Segera setelah dia melakukannya, ketegangan dalam tubuh Yukinoshita dengan perlahan sirna. Yukinoshita meremas balik tangan Yuigahama tanpa tenaga.

“…tapi ini adalah suatu pertandingan. Walau aku minta maaf aku menyeretmu ke dalamnya.”

“Ohh, bukan begitu… kita bisa menang dengan ini,” kata Yuigahama selagi dia memungut kartuunya dari atas meja. “Ini, kartu Tiga Sekop.”

Itu melawan kartu yang dijatuhkan Hatano tadi. Kartu yang telah jatuh terbuka di area permainan.

“Urk!” Hatano membuat teriakan kaget seperti seorang karakter dari komik The Romance of the Three Kingdom karya Yokoyama Mitsuteru.

Ini diikuti oleh suatu suara “Urk!” dari rekannya. Sagami memiliki ekspresi ternganga-nganga yang mirip dengan Kinnikuman.

Kartu Tiga Sekop. Awalnya kartu yang terlemah, tidak ada kartu yang bisa dikalahkan kartu “Tiga”. Tapi dalam peraturan khususnya, kartu itu menjadi satu-satunya cara untuk melawan kartu Joker – sang kartu liar. Terlebih lagi, dalam keadaan yang didikte oleh peraturan Revolusi, kartu Tiga sekarang diizinkan untuk menduduki posisi kartu berperingkat-tertinggi.

Dalam Daihinmin, permainan yang mencontohkan<--modelled--> masyarakat modern, terdapat suatu harapan yang brilian dan sekejap.

“Mari, Yukinon.” Yuigahama dengan riang menyerahkan kartu terakhir pada Yukinoshita yang tercengang.

Yukinoshita dengan merona-rona menerima kartu Yuigahama, berikut dengan senyumannya.

Dan begitulah sang dewi kemenangan tersenyum seperti seorang ratu. Selagi sang matahari sore terbenam di dalam ruangan klub itu, seseorang membuat pose kemenangan kecil di dalam cahaya yang meredup tersebut.

Momen kemenangan berlalu dengan terlalu cepat. Di tengah-tengah sisa rasa kemenangan itu (yang aku bahkan tidak akan menyebutnya sisa rasa kemenangan), aku berbicara pada Klub UG.

“Entahkah kamu mencintainya ataupun membencinya, kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi… kehidupan merupakan suatu permainan keberuntungan.”

Entahkah impianmu akan terwujud atau tidak itu tergantung akan peluang. Sumber: Tottemo! Luckyman. Tidak ada penjelasan yang jelas tentang permainan itu. Ada apa dengan itu? Dan itulah mengapa, yah, entahkah impian Zaimokuza terwujud atau tidak juga tergantung akan peluang.

Aku membuat helaan singkat. “Itu masih terlalu cepat untuk menyerah akan impianmu ataupun menyangkalnya,” tegasku selagi aku tersenyum ke arah Zaimokuza dan Klub Servis.

“Hikigaya-kun,” kata Yukinoshita. “Itu semua bagus sekali. Sekarang bisakah kamu tolong cepat pakai pakaianmu?”


× × ×


5-12[edit]

Ketika kami meninggalkan Klub UG, suatu tiupan malas berhembus dari lorong yang terbuka. Bahuku begitu kaku sekali, tidak diragukan lagi karena terus menegang begitu lama.\

Meletakkan tanganku pada bahuku dan memutar leherku membuat tentu suara yang memuaskan. Di sampingku, Yuigahama membuat suatu helaan puas selagi dia meregangkan badannya. Yukinoshita menahan suatu uapan kecil.

“Um, maaf.”

“Silahkan, tertawai kami.”

Hatano dan Sagami menundukkan kepala mereka dengan ragu-ragu dan rendah hati. Fakta bahwa mereka bisa meminta maaf secara langsung merupakan bukti bahwa perasaan mereka itu datang dari dalam hati mereka.

Jadi ketika mereka mendengar angan-angan Zaimokuza, tidak diragukan lagi bahwa mereka tidak bisa tidak mengatakan sesuatu. Itu mungkin hanya berlaku bagi mereka, tapi mereka memang benar-benar mendengarkan apa yang mau Zaimokuza katakan mengenai impiannya. Kalau tidak, mereka tidak akan pernah mencerca impiannya.

Oh, tapi bukan begitu adanya bagiku. Aku merasa Zaimokuza itu benar-benar tolol dari lubuk hatiku dan itulah mengapa aku mencercanya.

“Oh?” Zaimokuza kebingungan untuk sejenak dan kemudian tiba-tiba tertawa canggung. “Selama kalian mengerti itu! Nah, nah, cukup tunggu beberapa tahun. Aku, Zaimokuza Yoshiteru, akan melancarkan suatu game yang menabjubkan ke dalam dunia ini sebagai suatu hadiah.”

Ego Zaimokuza yang melambung tentu menjengkelkan, tapi dua anak Klub UG bahkan menerima itu sambil tertawa.

“Yap, kami akan menanti gamemu, Tuan Pendekar Ulung.”

“Yah, hak ciptanya dimiliki perusahaannya, jadi itu tidak seperti akan menjadi gamemu sendiri saja, Tuan Pendekar Ulung.”

Mendengar itu, tawa Zaimokuza tiba-tiba sirna. “Er, apa? Apa maksudmu?” tuntutnya.

Hatano dan Sagami bertukar pandangan. Kemudian dengan sopan, mereka menjelaskan padanya secara detil sekali.

“Apa yang kamu tulis untuk suatu perusahaan menjadi properti dasar perusahaan itu.”

“Dengan demikian, kamu akan memiliki hak cipta bersama dan perusahaannya akan mendapatkan haknya.”

“Kamu menandatangani sebuah kontrak, tapi aku rasa banyak penulis itu pekerja bebas[21].”

“Ketika kamu menjual hasil karyamu, kamu tidak bisa menerima lebih dari jumlah uang awalnya tidak peduli siapa yang membelinya.”

“A-apa kalian serius?!” Zaimokuza menjatuhkan tas sekolahnya dengan suara duk. “Ka-Kalau begitu aku rasa aku akan berhenti… ya, sudah cukup.”

Orang ini… dia baru saja berpaling dan kembali ke awal lagi… A-Aku benar-benar ingin memukulinya.

Sekarang ini, aku sedang mati-matian berjuang untuk menahan tinjuku menghantam ke dahinya. Klub UG juga meringis selagi mereka tersenyum dengan simpati yang tidak tulus, terlihat sedikit takjub dan jijik.

“Hmph, tidak ada gunanya jika bagianku itu kecil meskipun aku meluncurkan game yang begitu populer. Ternyata pengarang novel ringan itu yang terbaik! Jika aku memutuskan jalanku tanpa berpikir matang-matang, aku bisa membuat diriku hancur. Aku harus bergegas dan memulai jalan ceritanya…” kata Zaimokuza selagi dia mengangkat tasnya.

Dengan lengannya terlipat, dia mulai bergerak pergi dengan cepat dengan langkah lebar.

“Selamat tinggal, Hachiman!”

Tanpa repot-repot untuk menjawabnya secara verbal, aku mengangkat satu tangan dan membuat isyarat tidak sabar untuknya untuk segera pergi. Dia melambai balik padaku, bahagia dan bersinar seperti mentari

…wow, hanya itu hal yang paling tidak berguna yang telah dilakukan Klub Servis sejak kelahirannya.

“Wow, orang-orang ini aneh,” kata Hatano, membiarkan suatu helaan menyelip keluar.

“Benar, bukan?” kataku. “Aku tidak mau terlihat dengan orang itu.”

“Er, Namun, kalian para senpai semua cukup aneh…” kata Sagami dengan ekspresi yang sedikit dingin.

“Oi, kamu,” kataku. “Kenapa kamu melihat ke arah orang yang paling wajar disini, huh?”

“Aku heran, dalam lingkup budaya apa pemikiranmu itu akan dianggap wajar…? Bersama dengan orang aneh sepertimu itu melelahkan,” ujar Yukinoshita dengan kalem.

“Er, Yukinon, kamu sendiri cukup unik…” Yuigahama tertawa dengan agak malu-malu selagi dia melihat ke arah Yukinoshita.

Jauh dari menjadi marah sebagai balasannya, suatu senyuman yang lemah lembut muncul di bibir Yukinoshita. “Memang. Hikigaya-kun dan aku itu orang yang tidak begitu normal dan polos, jadi… jadi jika ada satu orang yang tulus sepertimu dengan kami, Yuigahama-san, itu akan sangat membantu – kurasa.”

Pipi Yukinoshita, diterangi oleh cahaya senja, agak sedikit merah. Yuigahama, yang sedang menatap dengan ternganga-nganga pada pipi Yukinoshita, dengan pelan tapi pasti mulai menangis bahagia. Matanya sedikit berair saat dia mencantelkan dirinya pada lengan kanan Yukinoshita.

“…o-oke!”

Yukinoshita membuat suara pelan, “Jangan begitu dekat…” tapi dia tidak membuat upaya apapun untuk melepaskan Yuigahama dari lengannya, dan jadi mereka tetap seperti itu.

“Omong-omong, ayo kita kembali ke ruang klub,” panggilku pada mereka selagi aku berjalan terlebih dulu. Yukinoshita dan Yuigahama mengikutiku beberapa langkah di belakangku.

Yang penting, itu suatu hal yang bagus Yukinoshita dan Yuigahama telah kembali pada mereka yang biasa, kurasa…


Mundur ke Bab 4 Kembali ke Halaman Utama Lanjut ke Bab 6

Catatan Translasi[edit]

<references>

  1. Stand itu kemampuan khusus dalam Jojo Bizzare Adventure.
  2. Dragon Ball (Hyperbolic Room Chamber)
  3. Referensi pada Gian dari Doraemon, yang sering melarang Nobita ikut bermain dengan berkata, “Permainan ini hanya untuk kami bertiga.”
  4. Nama klubnya sebenarnya Yuugi, yang berarti segala bentuk permainan, termasuk permainan kartu dan papan permainan
  5. Hachiman sedang bertingkah sarkastik
  6. Referensi pada lirik lagu endng Princess Mononoke
  7. Referensi lain pada Princess Mononoke. Diambil dari adegan dimana Moro, sang dewa serigala, memberitahu Ashitaka untuk menjauh dari hutan.
  8. Referensi pada Jigoku no Misawa, seorang mangaka yang sangat terkenal karena menggambar komik yang benar-benar buruk.
  9. Perusahaan Elektronik Sharp. Memiliki salah satu slogan “From sharp minds come sharp ideas”.
  10. Slogan Hitachi "Inspire the Next, breathing life into the next generation"
  11. Kartu liar/ Wildcard itu kekuatannya bisa berapapun, dan jika dimainkan akan dianggap lebih kuat dari kartu itu. Contoh : keluar kartu 6, baru yang lain bisa keluar kartu Joker(Dianggap nilainya 7)
  12. house rules. Semacam peraturan tambahan untuk menambah atau memodifikasi peraturan dasarnya.
  13. Revolusi = Revolution, Delapan Penghabisan = Eight Enders, Sepuluh Penghancur = Ten Thrashers, Tiga Sekop = Spades Threes, Depotisme = Depotism, Joker umpama Dua = Joker as Twos.
  14. Jenis = Hati(Heart), Sekop(Spade), Wajik(Diamond), Keriting(Club)
  15. Ada dua versi gunting-batu-kertas. "Janken", gunting-batu-kertas biasa dan "Yakyuuken", gunting-batu-kertas penalti. Yakyuuken itu khususnya versi gunting-batu-kertas yang melepas baju.
  16. Ori : Slow and steady wins the race. Harusnya kan biar lamban asal selamat, tapi kuganti jadi menang biar agak cocok dengan konteks.
  17. Referensi pada nama T.M. Revolution’s yang berduo singkat dengan penyanyi J-pop Asakura Daisuke
  18. Referensi pada kekuatan spesial dua karakter utama dalam anime s-CRY-ed.
  19. Komputer Obaachan lagu anak populer. Lagu itu tentang seorang nenek yang bisa melakukan apapun.
  20. Pengguna Alter adalah karakter yang terlalu kuat dari s-CRY-ed.
  21. freelance