Seirei Tsukai no Blade Dance Jilid17

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Prolog[edit]

Pecahan ingatan yang ditinggalkan oleh Demon Slayer.


Saat-saat terakhir dari gadis yang menyelamatkan dunia, dipuja sebagai Sacred Maiden—


"Master..."


"Jangan memasang... wajah seperti itu... Est."


Setelah cobaan dan penderitaan yang tak terhitung, tumpukan mayat yang tak terhitung telah terkumpul di medan perang yang berlumuran darah.


Pada akhirnya, tubuh gadis yang melenyapkan Raja Iblis berubah menjadi sebuah kristal roh yang murni.


Tak ada sedikitpun keterkejutan dimata gadis itu.


Karena dia sudah tau.


Itu adalah satu-satunya nasib yang menunggu dirinya setelah menyelesaikan misinya sebagai sang Sacred Maiden.


Semua kontraktor dari pedang suci terkuat dikutuk pada sebuah akhir yang lebih awal. Dengan demikian, seseorang bisa menganggapnya sebagai sebuah pedang terkutuk juga.


Meski demikian, gadis itu menerima semuanya, dan hanya tersenyum tenang.


"Ini... bukan... salahmu."


Jari-jarinya yang bernodakan cipratan darah Raja Iblis, dengan lembut membelai rambut perak milik Est.


Akan tetapi, ujung-ujung jari itu segera menjadi kristal roh yang keras.


"Selamat tinggal, Est... Satu-satunya temanku selamanya."


"....Tidak... Master.... Areishia!!!!"


"Fufu.... Aku mendengar kau memanggil namaku untuk yang pertama kalinya, kau tau... Aku sungguh... senang."


Air mata mengalir deras dipipinya, turun ke lehernya yang sudah menjadi kristal.


Ini adalah pertama kalinya dia meneteskan air mata sejak dia menerima misinya sebagai sang Sacred Maiden.


"Est... Aku... Aku..."


Ekspresi wajahnya tampak menangis sekaligus tersenyum. Bibir gadis itu perlahan-lahan terbuka.


"Sejujurnya, aku nggak pernah menginginkan untuk menjadi Sacred Maiden."


Ini adalah kata-kata terakhir dari gadis yang dikenal sebagai sang Sacred Maiden.


Itu adalah tangisan dari hatinya, pemikirannya yang paling dalam, diungkapkan pada satu-satunya sahabatnya.


Dan dengan begitu, sang Demon Slayer menyegel eksistensinya sendiri.


Dia nggak akan lagi membiarkan seseorang membuat kontrak dengan sebuah pedang iblis terkutuk.


Dia nggak akan membiarkan dirinya kehilangan seseorang yang berharga.


Dia nggak akan lagi membuka hatinya pada seseorang.


Dengan demikian, dia bersumpah dengan serius.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 1 - Mimpi Est[edit]

Bagian 1[edit]

"Nnn... Ooh, nnn..."


Diatas tempat tidur besar berpenutup, Kamito mengerang tak nyaman.


Kamito setengah membuka matanya dan mengarahkan tatapannya pada jendela.


Langitnya perlahan-lahan semakin terang. Cahaya pagi hari menyinari dinding dari kota kecil.


...Aku nggak bisa tidur nyenyak, huh? Setelah beberapa waktu, dia mulai bermimpi lagi.


Akan tetapi, mimpi ini nggak meninggalkan kesan yang jelas. Nggak peduli seberapa keras dia mencobanya, dia nggak bisa mengingatnya.


(...Pedang... dan cewek itu... Entah kenapa itu terasa seperti mimpi yang sangat sedih....)


Bergumam sendiri dalam benaknya, Kamito menggunakan handuk untuk mengelap keringat yang mengucur saat dia tertidur.


Lalu Kamito perlahan-lahan duduk dan melepaskan kaos yang dia pakai tidur.


Tiga hari telah berlalu sejak pertarungan melawan Leviathan, roh kelas strategi yang dilepaskan oleh Sjora Khan. Kamito dan rekan-rekannya menginap di Mordis, benteng kota, dan malam-malam tanpa tidur nyenyak terus berlanjut.


Karena sejak roh-roh air pada dasarnya tidak ada di tempat ini, malam hari sangatlah panas.


Di samping bantalnya ada sebuah kristal roh yang dia pinjam dari Rinslet untuk mengeluarkan udara dingin, tapi roh es yang tersegel tak mampu menahan panasnya gurun ini, dan sudah kabur dari kristal roh tersebut sejak lama.


Mendesah pelan, Kamito memasukkan kembali kristal roh yang telah kosong itu kedalam sakunya.


Mengenakan kaos baru, Kamito berbaring lagi di tempat tidur.


"Dulu aku bisa tidur nyenyak nggak peduli seberapa nggak nyamannya lingkungannya..."


Selama hari-harinya sebagai seorang pembunuh yang dibesarkan oleh Sekolah Instruksional, dia bisa tidur nyenyak dimanapun, entah itu di gua yang lembab atau di hutan saat hujan deras. Saat dia menyadarinya, tubuhnya sudah terbiasa dengan kehidupan normal di Akademi Roh Areishia.


"....Akademi, huh?"


Kamito menatap langit-langit dan bergumam pelan.


"Itu adalah perjalanan yang sangat panjang."


Bukannya kenangannya dari Sekolah Instrusional, dimana dia menghabiskan sebagian besar kehidupannya, apa yang muncul didalam benaknya adalah—


Potongan kehidupan sejak mendaftar di Akademi beberapa bulan yang lalu setelah Greyworth memanggil dia.


Membuat kontrak dengan Est di gua. Memperoleh kemenangan bersama rekan-rekannya dari Tim Scarlet, mendapatkan hak untuk berpartisipasi dalam turnamen Blade Dance. Pertempuran mematikan melawan Muir, Leonora, dan Nepenthes Lore di Ragna Ys. Pengungkapan rencana Rubia untuk membunuh para Elemental Lord.


"Itu benar, kami membebaskan para Elemental Lord yang ternodai oleh Kegelapan Dunia Lain—"


Setelah mendapatkan kemenangan dari Blade Dance dan bertemu dengan para Elemental Lord, Kamito membebaskan Elemental Lord Api yang gila, tapi ganjarannya adalah kehilangan Restia.


Setelah itu, ada kejadian dimana mantan ksatria Number, Lurie Lizaldia dan kardinal Kerajaan Suci, Millennia Sanctus menyerang Akademi, dilanjutkan dengan pertempuran di wilayah Laurenfrost dan menemukan Restia lagi. Mereka kemudian terjebak dalam konspirasi dari penerus tahta Ordesia, dan saat ini lari dari kejaran Kekaisaran.


"Sungguh pengalaman yang nyaris nggak masuk akal. Dan itu semua terjadi hanya dalam waktu beberapa bulan—"


Dia mulai merindukan hari-harinya menghadiri pelajaran di kelas, berbelanja di kota Akademi.


Teman-teman sekelasnya di Kelas Gagak, Carol si maid, Nyonya Freya wali kelasnya. Selain itu, ada Greyworth yang dia lawan di jurang di Dracunia—Apa yang mereka semua lakukan sekarang?


Sungguh luar biasa semua rincian yang bisa dia ingat tentang semua orang.


Di tempat tidur itu, sesuatu tampaknya bergerak-gerak—


"....Apa?"


Kamito buru-buru membuka selimutnya—


"Met pagi, Kamito."


"E-Est?"


Sambil berlutut, mahluk yang ada di tempat tidur itu adalah seorang roh pedang, selain kaos kaki selutut, dia telanjang bulat.


Mata ungunya yang jernih menatap Kamito.


Memerah pada pemandangan tubuh telanjang Est, Kamito dengan panik berpaling.


Est sering menyelinap ke kasur Kamito setiap kali dia ingin. Karena peringatan dari Kamito baru-baru ini, Est perlahan-lahan mengurangi kelakuannya sekitar dua kali seminggu.


Biasanya, Kamito akan memarahi Est dan memerintahkan dia kembali ke wujud pedangnya.


"....."


"Est?"


Tapi sekarang ini, Est tampak agak berbeda dari yang biasanya.


Matanya yang mana emosinya nggak bisa dibaca, menatap dia, Kamito bisa melihat kegundahan yang samar.


"Apa terjadi sesuatu?"


"Sebuah mimpi."


"Mimpi?"


Kamito bertanya terkejut.


"Apa itu mimpi yang menakutkan?"


"Aku nggak tau."


Tanpa ekspresi, Est menggeleng.


"Mimpi dari waktu yang telah lama sekali berlalu."


"....."


—Sebuah mimpi masa lalu. Maka itu mungkin terjadi sebelum pertemuan Kamito dan Est. Untuk seorang roh seperti Est, yang telah hidup selama ribuan tahun, konsep dari "masa lalu" miliknya nggak bisa dibandingkan dengan apa yang bisa dipahami oleh manusia.


Akan tetapi, Est saat ini terpisah dari tubuh utamanya, dengan demikian mencegah dia dari mengakses sebagian besar ingatannya. Itu kemungkinan besar bahwa mimpi ini adalah cara untuk menunjukkan ingatan masa lalu yang hilang dari Est.


"Mimpi seperti apa itu?"


"Aku nggak ingat. Aku cuma ingat kalau itu adalah sebuah mimpi yang sangat sedih."


"Begitu ya...."


Dia pasti menyelinap ke kasurnya karena dia mendapatkan mimpi yang isinya nggak bisa dia ingat, tapi masih membuat dia gelisah.


Jika demikian, apa boleh buat— Kamito mengangkat bahu dan tiba-tiba terpikir sesuatu.


(Mimpi yang kualami barusan... Itu—)


Tatapan Kamito mengarah pada segel roh yang terukir pada tangan kanannya.


Ada sebagian kecil dari para elementalist yang bisa berbagi ingatan dengan roh terkontrak mereka. Mimpi yang barusan Kamito alami mungkin merupakan sebuah kenangan dari tubuh utama Est.


(....!?)


Dia tiba-tiba merasakan rasa sakit yang tajam di otaknya. Suatu gambaran samar melintas di benaknya. Akan tetapi, dia masih nggak bisa mengingat isi dari mimpi itu. Tetap saja, sisa-sisa emosi yang menyerupai kesedihan tetap ada didalam benaknya.


"...Kamito?"


Est menatap wajah Kamito dan mengusapkan ujung jarinya di pipi Kamito.


Kamito dengan lembut memjauhkan tangannya dan memegangnya.


"Bolehkan aku tetap disini?"


"Y-Ya, tapi, umm... Kau harus memakai pakaian."


"Baik, Kamito."


Dihadapan Kamito, yang berbicara sambil terispu, Est mengangguk sambil menggumamkan sebuah mantra dalam bahasa roh dengan pelan.


Sesaat setelahnya, partikel-partikel cahaya mengelilingi tubuh Est yang telanjang—


"Apa boleh begini?"


STnBD V17 BW01.png


Est mewujudkan sebuah kemeja longgar, tersampir pada bahunya.


"....D-Dari semua pakaian, kenapa harus sebuah kemeja putih?"


Kamito semakin tersipu merah padam dan berseru panik. Berpakaian sebuah kemeja yang terlalu besar untuk dia, si roh setengah telanjang yang memakai kaos kaki selutut itu dalam arti tertentu jauh lebih merangsang daripada sepenuhnya telanjang.


"Nggak diperbolehkan tidur mengenakan seragam Akademi."


"Yah, kurasa kau ada benarnya."


Menatap kemeja Est dengan cermat, Kamito menyadari bahwa kemeja itu dibuat menggunakan kemeja milik Kamito sendiri sebagai referensinya.


....Tentunya, ukurannya salah.


Tapi berpakaian seperti itu—


Dia kemungkinan nggak mengenakan pakaian dalam sama sekali.


(...Uh, kalau aku melihatnya lebih cermat, dia mungkin nggak pakai daleman!?)


Pantat Est yang bulat terpampang di depan mata Kamito.


Apa yang terlihat oleh dia kemungkinan tanpa celana dalam, tidak, Est jelas-jelas tidak memakai pakaian dalam.


"Sheeeesh, kau harus membuat pakaian dalam juga!"


Kamito berteriak panik.


"Dimengerti. Membuat."


Sebuah celana dalam putih muncul di tangan Est.


Seraya Est memegang pita, mengenakan celana dalamnya, menghasilkan suara gesekan kain....


"Syukurlah..."


Kamito menghela lega saat Est selesai.


Dia bisa mendengar suara sepatu, suara langkah kaki yang kuat dari seseorang di lorong diluar kamar.


Bukan sepatu yang seperti yang dipakai Claire dan para cewek di Akademi. Itu adalah sepatu tempur yang bagian bawahnya baja—itu adalah langkah kaki dari Rubia Elstein.


(D-Dari semua orang, kenapa mesti Rubia sih....!?)


Kamito panik. Kalau Rubia melihat dia dalam keadaan seperti ini, tentunya segala macam kesalahpahaman akan muncul.


"Est, pedang! Kembalilah menjadi sebilah pedang!"


"....? Kamito, aku nggak bisa memakai celana dalam kalau dalam wujud pedang."


"Lupakan soal celana dalam!"


"Kalau begitu aku harus melepas celana dalamnya?"


"B-Bukan itu maksudku...."


Lalu, pintunya terbuka dengan kasar.


"Ren Ashbell, kita akan mengadakan rapat perang. Segera ke aula besar... Apa-apaan ini!?"


Saat Rubia Elstein membuka pintunya, dia membeku.


Didepan dia adalah seorang roh pedang telanjang mengenakan sebuah kemeja, sedang melepas celana dalamnya, dan Kamito, mati-matian menekan roh itu.

Bagian 2[edit]

Wilayah perbatasan antara Teokrasi Alpha dan Kekaisaran Quina adalah sebuah gurun yang luas. Dataran yang membentang luas ini, dengan leyline[1]nya yang rusak, diabaikan oleh kekuatan dari para roh, yang mana dalam bahasa roh dikenal sebagai "Gul a Val", artinya gurun kematian merahDesert of Red Death.


Karena binatang-binatang iblis yang ganas tinggal di gurun itu dan badai pasir merah terjadi sepanjang hari, bahkan para pedagang Teokrasi yang serakah nggak punya pilihan lain selain mengambil jalan memutar disepanjang pantai saat pergi ke Kekaisaran Quina. Dari sudut pandang Kekaisaran Quina, Gul a Val adalah hambatan yang besar dan satu-satunya alasan kenapa mereka tidak menjajah area yang luas dari pusat benua.


Ini adalah dataran yang paling tandus di benua, tak ramah terhadap para roh, apalagi manusia.


Di gurun ini, dua pengelana berjalan tanpa tujuan.


"Hei putri, apa benda itu memang ada ditempat ini? Kita sudah berjalan berhari-hati dan kemungkinan terburuk kita akan mati disini."


"Menurut ajaran Teokrasi, Makam Raja Iblis diyakini berada di Gul a Val. Saat seseorang yang benar-benar layak berkunjung, Makam Raja Iblis akan mengungkapkan dirinya sendiri—"


Berjalan di belakang pria muda itu, si cewek menjawab pertanyaannya yang kasar.


Ada pembuluh darah yang timbul di wajah cewek itu. Cewek itu telah memasang perlindungan yang mencakup mereka berdua, melindungi mereka dari angin. Dibawah badai pasir yang kuat itu, perlindungan itu cuma terasa sedikit meyakinkan.


Tatapan pria muda itu segera beralih.


"Sebagai anggota keluarga kerajaan, kau harusnya cukup layak kan?"


"....Kalau itu aku nggak tau."


"Huh? Apa-apaan itu?"


"Bahkan di seluruh sejarah dinasti Khan, hanya segelintir orang yang telah mengunjungi Makam Raja Iblis. Aku penasaran apakah aku punya hak untuk mengunjungi makam itu?"


"Ha, aku paham sekarang. Meskipun kau nggak kayak, ketahuilah bahwa aku, sang agung, harusnya aku punya hak. Gimanapun juga aku adalah penerus Raja Iblis, diakui oleh semua orang tua yang ada di Sekolah Instruksional."


Pria muda itu bergumam nggak sabaran.


"Lagi-lagi kau bilang begitu..."


Saladia Khan, sang putri kedua Teokrasi Alpha, mendesah pelan.


Jio Inzagi adalah elementalist laki-laki yang mengklaim sebagai penerus Raja Iblis.


Dia adalah orang yang berjasa yang membebaskan Saladia Khan dari penahanannya oleh kakaknya.


Kemampuan tempur milik Jio nggak bisa ditandingi bahkan oleh para penjaga kerajaan. Bertarung dengan gagah berani sambil mengerahkan banyak roh, cara dia bertarung jelas-jelas mengingatkan pada seseorang yang mewarisi kemampuan Raja Iblis.


(Akan tetapi...)


Kemampuannya untuk menggunakan para roh berasal dari segel persenjataan terkutuk yang diukir di seluruh tubuhnya.


Seseorang bisa saja menganggap dia bukan seorang elementalist sejati.


(Meskipun aku sangat berterimakasih pada dia karena menyelamatkan aku...)


Penerus Raja Iblis yang memproklamirkan diri ini dengan delusi-delusi kehebatan telah menargetkan Peti Mati Raja Iblis yang bersemayam di makam.


Dikabarkan bahwa mengklaim artifak legendaris ini, Peti Mati Raja Iblis, akan membuat seseorang mendapatkan kekuatan Raja Iblis.


Kemungkinan, pria ini cuma menyelamatkan Saladia untuk memanfaatkan dia atas pengetahuannya mengenai lokasi makam itu.


(Kami cuma saling memanfaatkan...)


Bergumam dalam pikirannya, Saladia Khan sedikit menurunkan pandangannya.


Dalam hal ini, dia harus mendapatkan Peti Mati Raja Iblis.


Saat ini, dengan terbunuhnya ayahnya, sang raja dan kematian kakaknya, dia adalah satu-satunya penerus dinasti Khan.


Akan tetapi, seseorang yang mengklaim sebagai reinkarnasi Raja Iblis tiba-tiba muncul di Mordis.


Pria ini, yang telah menghentikan roh kelas strategi yang mengamuk, Leviathan, dan mengalahkan Sjora Khan, bukan cuma mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat Mordis tetapi juga di Zohar.


Saladia nggak tau siapa pria itu, tapi dia tau "Raja Iblis" ini pasti akan menganggap dia sebagai penghalang yang harus dilenyapkan kalau pria itu mengetahui bahwa dia, sang putri kedua Teokrasi, masih hidup.


Untuk mengambil tahta, Saladia Khan harus mendapatkan Peti Mati Raja Iblis, untuk memberitahu orang-orang bahwa dia adalah penerus sah dari Teokrasi.


(Legenda mengatakan bahwa Makam Raja Iblis dijaga oleh penjaga yang sangat kuat.)


Meskipun Saladia sendiri adalah seorang elementalist yang luar biasa, dia masih kekurangan kepercayaan diri. Setidaknya, rekannya saat ini cukup kuat until bertindak sebagai bodyguard meskipun dia adalah seorang pria yang arogan dan penuh delusi.


(Memang, aku harus mendapatkan Peti Mati di Makam Raja Iblis.... Peti Mati itu—)


Saladia tiba-tiba merasa pusing.


Karena suatu alasan, ada sedikit rasa disonansi yang tiba-tiba melintas di benaknya.


Kenapa dia sampai segitunya menginginkan kekuatan Raja Iblis?


—Saat ini, apa semua ini benar-benar pikiranku sendiri?


"Ooh...!"


Saat dia mencengkeram kepalanya, berjongkok ditempat...


"Hei putri, jawab pertanyaanku."


Jio Inzagi berbicara dengan suara pelan.


"Apa... itu...?"


"Apa ada roh di gurun ini?"


"...Huh?"


Saladia memiringkan kepalanya kebingungan.


"Jawab aku. Pernahkah kai mendengar ada roh disini?"


"Tidak, seharusnya... nggak ada roh... disini..."


"Oke, kalau begitu, yang disana itu apa?"


Jio Inzagi dengan jengkel menunjuk ke arah gurun, bergoyang seperti sebuah fatamorgana.


Saladia melihat kearah sana.


Disana, ditengah-tengah badai pasir yang menderu ada sesuatu.


"—Kepada engkau yang layak, kesini untuk mengunjungi makam?"


Seekor raksasa bersinar dengan cahaya biru, menatap mereka berdua.


Catatan Penerjemah[edit]

  1. aku bingung nerjemahinnya, gampangnya leyline itu semacam garis penghubung kekuatan spiritual suatu area


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 2 - Putri yang Hilang[edit]

Bagian 1[edit]

Suara sepatu tempur yang keras menggema di sepanjang lorong di benteng.


"....woi, barusan itu adalah sebuah kesalahpahaman."


Rubia berjalan didepan tanpa memgatakan sepatah katapun. Menatap punggungnya, Kamito mati-matian berusaha menjelaskan.


"Apa maksudmu dengan kesalahpahaman itu?"


Rubia berhenti berjalan dan melihat ke belakang. Rambut panjangnya, semerah milik adiknya, berkibar lembut.


"Itu, umm, apa yang terjadi barusan...."


Kamito ingin menjelaskan secara singkat tentang situasi di ranjang sebelumnya. Akan tetapi, mengingat seberapa nggak alaminya dan dengan mudahnya dianggap sebagai pemandangan bejat, bagaimana caranya dia menjelaskannya—?


Kemungkinan karena mengeluarkan energi pada membuat celana dalam, atau mungkin pura-pura malu-malu karena adanya Rubia, Est telah kembali ke wujud pedangnya.


Mata Rubia yang seperti ruby menatap tajam pada Kamito seolah menusuk dia.


"Aku paham. Nggak perlu menjelaskan."


"A-aku senang kau mengerti."


Kamito menghela nafas lega.


"Aku juga tau bahwa kau adalah seorang Raja Iblis dalam berbagai arti. Dikatakan, mempermainkan rekanmu, seorang roh terkontrak, adalah hal yang biasa."


"Seperti yang kukatakan, kau sudah salah paham.....!"


Kamito cuma bisa mencengkeram kepalanya sendiri... Sama seperti yang dia pikirkan, ada kesalahpahaman yang parah.


Rubia menatap wajah Kamito dengan tajam.


"Ren Ashbell. Kau harus mengatakan padaku saat kau butuh untuk menggunakan tubuhku kapanpun kau nggak bisa melawan kekuatan Elemental Lord Kegelapan."


"....!?"


Kamito teringat kejadian di tempat ritual pembersihan beberapa hari yang lalu.


Saat itu, Rubia memang mengatakan sesuatu seperti ini. Dia nggak keberatan jika Kamito menggunakan tubuhnya sesuka Kamito saat kekuatan kegelapan hendak melahap dia.


Seluruh tubuhnya sudah dipasang segel persenjataan terkutuk. Teringat pemandangan dari tubuh telanjangnya yang indah, Kamito mau gak mau tersipu.


Setelah melewati lorong itu, mereka berdua sampai di elevator. Desain sederhana dari elevator itu terdiri dari plat logam olahan dengan sebuah kristal roh ditanam didalamnya. Saat Rubia menuangkan sedikit divine power, sebuah mekanisme roh bisa terdengar diaktifkan seraya Kamito merasa dirinya dikelilingi oleh suatu sensasi mengapung yang gak nyaman.


"Ngomong-ngomong, pertemuan darurat tentang apa ini? Apa sesuatu yang serius terjadi di Kekaisaran Ordesia?"


"Tanda-tanda telah ditemukan mengenai keberadaan Saladia Kahn."


Kamito sedikit mengangkat alisnya.


Saladia Kahn adalah putri kedua dan mantan jenderal dari Teokrasi Alpha. Dia juga merupakan adik dari Sjora Kahn, yang telah bergabung dengan inti Zohar dan roh kelas strategi Leviathan dan tewas.


Saladia awalnya dipenjara oleh kakaknya, dan tujuan dari Kamito dan rekan-rekannya adalah untuk menyelamatkan dan melindungi dia sebagai putri.


Jika Saladia mengambil tahta, situasi kacau di Teokrasi yang disebabkan oleh pemberontakan Sjora Kahn akan berakhir, dengan demikian menghilangkan peluang campur tangan oleh Kekaisaran Ordesia, yang mana telah berubah menjadi boneka Kerajaan Suci. Selain itu, Ordesi Dan dengan Fiana sebagai kaisarnya akan menang dengan dukungan dari Dracunia yang kuat.


Akan tetapi, saat Kamito dan rekan-rekannya pertama kali memasuki Zohar, ibukota Teokrasi, Saladia Kahn telah kabur, dibantu oleh seseorang yang gak diketahui.


—Kemana sebenarnya menghilangnya dia?


Beberapa hari terakhir, para bawahan Rubia dari Sekolah Instruksional melakukan pencarian, tapi belum ada tanda-tanda.


"Kita akan mendiskusikannya secara spesifik nanti. Dinding disini punya telinga."


"...Oke, dimengerti."


Keluar dari elevator, mereka sampai di sebuah tempat yang menyajikan pemandangan dari seluruh kota di kaki gunung.


Tempat ini adalah menara pengawas dari benteng Mordis.


Melihat kebawah, ada pemandangan yang kacau dibawah.


(....Aku nggak bisa terbiasa dengan ini nggak peduli berapa kali aku melihatnya.)


Mengernyit, Kamito berkata dalam hati.


Dinding dari kota pertambangan Mordis dibangun di sekitar benteng telah diserang oleh kota besar yang lain. Pemandangannya terlihat seperti seekor binatang besar melahap seekor hewan kecil.


Ini telah terjadi dua puluh jam yang lalu.


Dengan tujuan menghancurkan pasukan pemberontak yang berkumpul di Mordis dalam sekali serang, Sjora Kahn, penyihir Teokrasi, telah mengaktifkan seekor roh kelas strategi, Leviathan, yang telah disegel dan ditinggalkan setelah perang dimasa lalu.


Leviathan adalah roh yang akan merasuki kota dan menyerap divine power dari penduduk. Roh militer ini telah menguasai ibukota Zohar dan mengamuk sesuai dengan keinginan Sjora Kahn untuk memusnahkan Mordis.


Meskipun Fianna dan yang lainnya telah memperkuat pertahanan dinding kota, mengendalikan kerusakan sampai minimum, masih ada banyak korban jiwa. Dari yang Kamito dengar, banyak warga Zohar yang disedot divine powernya sampai habis oleh roh militer itu, membunuh mereka.


Tiba-tiba, Kamito mengangkat kepalanya dan melihat ke samping.


Dia melihat Rubia memejamkan matanya dan dalam diam menyatukan kedua tangannya.


Kamito pernah melihat Fianna melakukan gerakan yang sama sebelumnya.


Itu adalah sebuah himne ritual yang dilakukan oleh para princess maiden dari Divine Ritual Institute.


Dengan rambut panjangnya berkibar tertiup angin seperti api, berpakaian seragam militer, sesaat dia terlihat seperti seorang princess maiden yang agung.


"Waktunya pergi."


"Ya...."


Rubia berbalik dan sekali lagi menaiki tangga dengan penampilan teguh diwajahnya.


Kamito buru-buru mengikuti dia.


Bagian 2[edit]

Segera setelah mereka memasuki ruangan pertemuan, Kamito melihat sang putri merebahkan diri di meja.


"....Oh, Kamito-kun, met pagi."


Melihat Kamito, Fianna mengangkat wajahnya dan menyapa dia dengan suara mengantuk.


"...Ya, pagi.... Ngomong-ngomong, kau kelihatan sangat capek."


Ada lingkaran gelap yang samar dimata Fianna. Rambutnya yang hitam, yang biasanya indah dan berkilauan, sekarang berantakan seolah dia bahkan nggak punya waktu untuk menyisirnya.


Didepan dia ada setumpuk gulungan yang terbuka.


"Aku bergadang semalaman menyelidiki catatan Demon King Cult yang ditemukan di Scorpia."


"...Kau melakukannya? Itu pasti sulit."


Kamito memuji dia. Gulungan Demon King Cult nggak ditulis dengan bahasa umum Kekaisaran. Namun, mereka mencatatnya menggunakan Alphaglyph dari Theocracy. Itu akan sulit untuk memguraikannya tanpa Fianna, yang telah diajari di Divine Ritual Institute.


"Melakukannya sekaligus sepertinya ide yang buruk. Lihat, bukankah kau punya lingkaran gelap sekarang?"


"....Huh?"


Setelah mendengar Claire mengatakannya dari samping, Fianna segera mengeluarkan cermin tangan. Melihat penampilannya sendiri yang berantakan, dia segera tersipu.


"....! A-Aku membiarkan Kamito-kun... m-melihatku seperti ini....!"


Nggak seperti hari-harinya sebagai Lost Queen yang dihina, Fianna saat ini adalah penguasa dari Ordesia Sah, mengangkat bendera pemberontakan terhadap Kekaisaran. Tanpa menyadarinya, dia pasti telah memaksakan dirinya lagi dan lagi.


Kamito duduk di samping Claire, dan melihat tanda kecapekan ada diwajah Claire juga. Sepertinya, dia melakukan latihan khusus bersama Scarlet sampai larut malam.


Scarlet sejak awal memang seekor roh yang kuat. Setelah berlatih di Dragon's Peak, Claire akhirnya membuka wujud sejatinya sebagai Ortlinde Scarlet Valkyriem sebagai roh senjata, yang memiliki kekuatan yang sangat besar membuat Restia mengakui dia sebagai rival, selama pertempuran di Zohar, dia bahkan bisa membakar banyak Nepthenthes Lore dalam sekejap, seorang musuh yang mana satu saja sudah membuat Tim Scarlet kerepotan saat Blade Dance.


Dengan begitu kuatnya Ortlinde, sudah sewajarnya itu adalah beban yang berat bagi Claire sebagai kontraktor. Di tahap saat ini, Claire masih belum sepenuhnya menguasai kekuatannya. Akan tetapi, setelah Claire bisa sepenuhnya mengeluarkan kekuatan Ortlinde dan menggunakan elemental waffenya dengan kendali sempurna—


(...Mungkin nggak lama lagi, dia mungkin melampaui aku dalam hal kekuatan.)


Teringat sebuah kenangan dari Claire menghunus cambuknya pada kakak kelas di Akademi, Kamito merasa emosional aneh.


Kemudian—


"Maaf atas keterlambatanku. Lorong benteng ini sangat rumit dan aku tersesat lagi."


Mengenakan armor Sylphid Knight, Ellis tiba bersama Velsaria. Wajah Ellis agak memerah, mungkin karena dia menerima pemberitahuan pertemuan saat di pertengahan latihan paginya.


Fahrengart bersaudara duduk berdampingan, bersebrangan dengan Kamito dan yang lainnya.


"Kalian berdua berlatih bersama hari ini?"


"Ya, aku kalah dua ronde dari tiga ronde hari ini.


Velsaria mengangguk.


"Menang dua kali melawan Velsaria menggunakan tombak?"


Meskipun Velsaria memiliki peluang yang sedikit untuk melatih seni beladirinya, karena menggunakan roh seperti Silent Fortress yang terspesialisasi dalam kerusakan area luas, Kamito menduga dia lebih unggul dari Ellis dalam kemampuan tombak.


"I-Itu karena kakak menahan diri—"


"Yang menahan diri itu kau bukan aku. Kau sekarang lebih kuat daripada aku. Percayalah pada dirimu sendiri."


"Kakak...."


Ellis kelihatan kagum. Gembira karena menerima pengakuan dari kakak angkatnya yang dia idolakan sebagai tujuannya sejak kecil, dia juga merasa sedikit bingung.


Memang, dibandingkan saat dia di Akademi, Kekuatan baru Ellis memang berada di tingkat yang betul-betul berbeda.


Berkembang dalam lompatan dan kecepatan setelah berlatih di Dracunia, dia mengalahkan Glaysa Labolas, roh militer kelas strategi, dengan satu serangan menggunakan tombak sihirnya saat mereka menjelajahi Zohar.


"Aku mengandalkan kekuatan dari segel persenjataan terkutuk, tapi kau melampaui dirimu sendiri melalui kehendakmu sendiri. Banggalah pada dirimu sendiri."


Ekspresi Velsaria menjadi senyuman. Tanpa sadar Kamito merasa jantungnya berdetak lebih cepat, nggak terbiasa melihat dia memasang ekspresi selain ekspresi dingin.


"....Ah, ada aroma yang enak."


"Aroma ini.... Sup?"


Mendengar Claire, Ellis berpaling ke pintu.


"Selamat pagi semuanya. Aku membawa sarapan yang kubuat."


Mengenakan apron, Rinslet masuk sambil mendorong troli.


STnBD V17 BW02.png


Di troli itu ada ikan goreng kering, sup sayuran, roti yang baru matang, margarin, dan yogurt buah.


"Aku nggak percaya kau membuat sebanyak ini dalam waktu yang singkat..."


Claire berseru terkejut.


"Rapat kita akan dimulai. Makannya nanti saja."


Lalu Rubia berbicara dengan dingin.


"Tidak, Nona Rubia. Otak kami tidak akan bisa berpikir dengan benar kalau perut kosong."


"....."


Rubia terdiam, nggak bisa membantah Rinslet.


Mungkin karena Rinslet juga mengenal Rubia dulu, Rinslet seperti seseorang yang bisa mengganggu ritme Rubia.


"Apa ini ikan?"


Melihat ikan dengan cangkang yang keras, Fianna bertanya penasaran.


"Ini adalah ikan kukus. Aku membelinya di pasar pagi ini."


Sangat sulit untuk mendapatkan ikan segar di Teokrasi Alpha yang mana gak punya pantai. Meskipun ada "ikan" dinamanya, sebenarnya itu adalah jenis krustasea yang hidup di pasir dan bukan ikan yang sebenarnya.


"....A-Apa ini betul-betul bisa dimakan?"


Claire memgernyit dengan ekspresi skeptis.


"Meskipun rasanya halus, itu masihlah cukup lezat."


"Biar kucoba..."


Kamito mencicipinya. Aku paham, rasanya seperti ikan bandeng tapi dengan tekstur ayam, lumayan enak.

Bagian 3[edit]

Setelah selesai sarapan yang dipersiapkan Rinslet—


"—Saladia Kahn, putri kedua Teokrasi, ada didalam Ghul-a-val."


Rubia membuka diskusi dengan nada suara serius.


"Apa informasi ini akurat?"


Kamito bertanya.


"Ini adalah laporan yang dikumpulkan oleh bawahanku yang terpercaya dari para pedagang yang sering berkunjung ke Zohar. Putri kedua sepertinya melarikan diri dari penjara dengan dibantu oleh seseorang, lalu menuju ke timur gurun."


"Seperti yang diduga, seseorang membantu dia kabur...."


Kamito dan rekan-rekannya telah menebak bahwa seseorang telah membantu Putri Saladia kabur dari penjara. Meskipun dia adalah seorang pengguna roh iblis seperti kakaknya, menerobos penjara yang dijaga ketat seorang diri nggak akan bisa dia lakukan.


(Seseorang menerobos jaringan pertahanan penjaga kerajaan dan menyelamatkan dia, huh....)


Kamito bergumam dalam hati. Nggak banyak orang yang bisa kabur bersama seorang putri di kota dari sebuah penjara yang dijaga oleh para elementalis berpengalaman.


Selain kemampuan elementalis, kemampuan dalam operasi terselubung—


(Contohnya, seseorang yang dibesarkan oleh Sekolah Instruksional, itulah kemungkinannya—)


Menurut laporan dari para bawahan Rubia....


Dua pedagang yang dikenali telah menaiki sebuah kapal pedagang untuk pergi ke gurun di timur. Setelah itu, ada tanda-tanda dari mereka berada di kota-kota disepanjang perjalanan, tapi jejaknya berakhir di Kabra, kota paling timur di Teokrasi.


"Ghul-a-val terletak di timur Kabra. Putri kedua ada disana."


"....."


Kamito dan rekan-rekamnya dalam diam saling bertatapan.


Bersama dengan Gunung Suci Londinia dan bagian terdalam dari Hutan Roh, Ghul-a-val adalah salah satu dari tiga alam paling mengerikan di benua. Bahkan diantara penduduk di Ordesia, Ghul-a-val dikenal luas.


Ini adalah sebuah wilayah gurun yang luas di perbatasan dari Teokrasi Alpha dan Kekaisaran Quina. Porak poranda saat Perang Raja Iblis seribu tahun yang lalu, itu menjadi wilayah terpencil yang tidak mendapat berkah dari para roh.


"Maaf, kenapa Putri Saladia pergi kesana?"


Lalu, Rinslet dengan langit mengangkat tangannya untuk bertanya.


Itu adalah sebuah pertanyaan yang paling alami. Cuma seseorang yang ingin bunuh diri yang akan pergi ke tempat seperti itu.


"Yah, gampangnya, tujuannya pasti mengasingkan diri di Kekaisaran Quina."


Sambil menopang dagunya dengan tangannya, Claire bergumam.


...Aku mengerti, itu memang masuk akal. Kalau dia bisa meyakinkan Kekaisaran Quina untuk mendukung dia, dia akan bisa meredam perang sipil dengan cepat.


Akan tetapi, Kekaisaran Quina adalah sebuah negara yang licik. Dengan adanya putri Teokrasi di tangan mereka, mereka mungkin menggunakan dia sebagai boneka untuk memerintah atas seluruh Teokrasi dengan kekuasaan.


(Itu bukanlah tempat yang bagus untuk mengasingkan diri....)


"Tujuan Saladia Kahn adalah Makam Raja Iblis yang tersembunyi di gurun."


Kata Rubia.


"Makam Raja Iblis?"


Mendengar istilah ini untuk pertama kalinya, Kamito mengernyit.


"Ya, disanalah Peti Mati Raja Iblis disemayamkan. Menurut legenda, itu adalah tempat dimana Sacred Maiden Areishia melenyapkan Raja Iblis Solomon."


Mengatakan itu, Rubia mengeluarkan sebuah gulungan perkamen kuno dari saku dadanya.


Dia membukanya di meja. Sesuatu sepertinya ditulis diatasnya dalam bahasa High Ancient, tapi tanpa pendidikan khusus, Kamito nggak mungkin bisa membacanya.


"Tertidur di makam gurun, kekuatan Raja Iblis..."


Mampu membaca High Ancient, Fianna bergumam terputus-putus.


"....Apa ini?"


Kamito bertanya.


"Ini ditemukan di perpustakaan bawah tanah Scorpia. Diantara grimoire-grimoire milik Sjora Kahn, ini adalah yang paling dijaga ketat. Kemungkinan besar, hanya keluarga kerajaan yang bisa mengaksesnya."


"Kekuatan Raja Iblis—"


Merasakan gejolak dalam jantungnya, Kamito meletakkan tangannya didadanya.


"...Bukankah itu cuma sebuah legenda?"


"Memang. Aku bisa mengatakan 80 atau 90%—"


Rubia mengakuinya dan mengangguk.


"Tapi itu juga benar bahwa Saladia Kahn menghilang ke Ghul-a-val."


"......"


"Yah, mari kita anggap legendanya benar—"


Kali ini, Fianna yang berbicara.


"Kenapa Putri Saladia ingin mendapatkan kekuatan Raja Iblis? Apa rencana dia?"


"Dia mungkin menginginkan bukti untuk membuktikan dirinya sebagai penerus sah Teokrasi. Kepercayaan atas Raja Iblis Solomon terus diwariskan di negeri ini."


"Tapi kita jelas-jelas berencana membantu dia..."


"Memang, tapi itu tidaklah diperlukan bagaimana dia akan melihatnya. Aku nggak akan terkejut kalau dia memandang kita sebagai penghasut pasukan pemberontak, perampas yang ingin mengambil alih Teokrasi."


"....Dengan pengetahuan umum, kita adalah para kriminal buronan di Kekaisaran Ordesia."


Rinslet sedikit mengangkat bahu dan berbicara.


(Mencari legenda Raja Iblis untuk membuktikan keabsahan dari wewenangnya, huh....)


Merasa ini tidak benar, Kamito memikirkan semuanya dalam benaknya.


Yah, kayaknya itu masuk akal untuk saat ini.


Bisa dikatakan, apa dia betul-betul harus mempertaruhkan nyawanya di gurun yang berbahaya itu demi mencari sesuatu dalam sebuah legenda?


(Ngomong-ngomong, aku kuatir tentang apa yang dikatakan penyihir itu...)


Tiba-tiba, Kamito teringat kata-kata terkahir Sjora Kahn saat dia tewas bersama dengan inti Leviathan.


—Sebuah kota seperti ini tidak dihitung sebagai kemunduran yang besar. Terimalah sebagai sebuah hadiah untuk merayakan kebangkitan kembali dari Raja Iblis sejati.


Dia jelas-jelas mengatakan kalimat ini denhan suara lemah dari seorang pria tua.


Kebangkitan kembali dari Raja Iblis sejati—


Apa itu punya semacam hubungan dengan legenda dari Makam Raja Iblis?


"Apapun yang terjadi, kita harus pergi ke Ghul-a-val."


Kata Claire.


"Memang. Kita harus mengamankan Saladia Kahn sesegera mungkin. Meskipun situasinya telah mereda, perang sipil Teokrasi pada akhirnya akan menjadi besar. Kita nggak bisa orang ini terus bertindak sebagai seorang Raja Iblis palsu."


"...Betul sekali."


Kamito sangat setuju. Untuk menyatukan para pemberontak di Mordis, dia harus bertindak sebagai Raja Iblis palsu, tapi dia nggak mau mengulangi pertunjukan semacam itu lagi.


"Kenapa nggak menjadikan Kamito-ku jadi Raja Iblis yang sebenarnya?"


"Fianna, ayolah..."


"Kurasa itu betul-betul cocok denganmu, pakaian Raja Iblis itu."


Bukan cuma Fianna, tapi bahkan Claire mulai berbicara seperti ini.


...Kamito bisa mengingat gimana para cewek ini harus memakai pakaian yang gak senonoh. Apa mereka nggak keberatan?


"Vivian Melosa telah menyelesaikan pengaturan untuk sebuah kapal ke gurun itu. Segera setelah kalian siap, kalian akan dikirim ke Ghul-a-val setiap saat."


"Akan lebih baik kalau lebih cepat. Itu akan memberatkan hati nuraniku kalau sang putri lenyap di gurun."


"Ya, Raja Naga Dracunia juga menugaskan kami mengamankan keselamatan Nona Saladia."


"Ada satu alasan lagi kenapa waktu sangatlah penting."


Rubia perlahan-lahan berbicara.


".....Apa itu?"


"Kerajaan Suci Lugia sepertinya telah mengirim ksatria mereka ke Ghul-a-val."


"Kerajaan Suci!?"


Kamito dan para cewek melompat terkejut dan saling bertukar tatap.


Kerajaan Suci Lugia.


Negara ini, didedikasikan pada kepercayan suci, telah terlibat dalam operasi-operasi rahasia di negara-negara lain sambil memanfaatkan Kegelapan Dunia Lain yang menyebabkan para Elemental Lord menjadi gila.


Apa yang direncanakan Kerajaan Suci? Tujuan mereka masih belum jelas sampai sejauh ini.


Saat ronde final Blade Dance, mereka telah menargetkan nyawa Restia. Di Akademi, mereka mencoba merebut Est saat dia tersegel di bawah tanah. Di Ordesia mereka berkonspirasi menentang Fianna. Bahkan dalam kudeta saat Sjora Kahn mengambil alih tahta, Kerajaan Suci berperan serta dibalik layar.


Kalau ksatria Kerajaan Suci muncul di Ghul-a-val, maka semuanya nggak lagi sesederhana itu.


(...Mereka bahkan tau tentang Burial Chamber Raja Iblis di bawah tanah di bawah Akademi.)


Jika demikian, akan sulit untuk menganggap legenda Makam Raja Iblis sebagai sekedar legenda belaka.


"Diantara para ksatria yang dikirim kesana, Lurie Lizaldia sepertinya terlihat ada disana juga."


".....!"


Kamito mengerang.


Lurie Lizaldia aslinya adalah salah satu dari 12 Number Ordesia.


Dia adalah penyembuh terbaik di benua. Disaat yang sama, dia juga merupakan seorang pemenang pedang iblis yang menakutkan.


Selain itu, dia memiliki nama yang sama dengan Yggdra, pemenang dari Blade Dance 15 tahun yang lalu.


Selama penyerangan di Akademi Roh Areishia, Kamito mendapatkan kembali ingatannya dan mengalahkan dia, setelah itu dia menghilang—


"Apa Kerajaan Suci mengejar Putri Saladia?"


Setelah menderita luka yang fatal di tangan Lurie sebelumnya, Ellis bertanya dengan gugup.


Rubia menggeleng.


"Sudah seminggu yang lalu saat para ksatria meninggalkan ibukota suci, jadi itu mungkin nggak ada hubungannya dengan sang putri."


"Kalau begitu, bisa dipastikan itu berkaitan dengan Makam Raja Iblis...."


"......"


Mendengar gumaman Claire, semua orang terdiam.


Makam dimana kekuatan Raja Iblis bersemayam.


Misalkan legenda itu benar—


Jika itu jatuh ke tangan Kerajaan Suci, konsekuensinya nggak akan bisa dibayangkan dan tak bisa dikembalikan.


"Persiapkan diri kalian untuk perjalanan. Kapalnya akan siap satu jam lagi di pelabuhan."


Menyatakan ini, Rubia berdiri dan meninggalkan ruang pertemuan.

Bagian 4[edit]

Semua orang kembali ke kamar mereka untuk membuat persiapan perjalanan.


Bisa dikatakan, nggak banyak yang harus dikemas. Paling-paling sebuah jimat untuk perlindungan terhadap pasir dan kristal roh es untuk mengurangi rasa panas.


Yah, Kamito sudah punya pengalaman dengan bertahan hidup di gurun juga. Meskipun itu akan jadi cobaan yang cukup berat bagi para cewek dengan asuhan mereka yang nyaman, itu akan jadi pengalaman yang berguna.


Tepat saat Kamito memikirkan semua ini dan mengemas makanan dan air ke dalam ranselnya....


"Kamito, kristal roh nggak berguna di Ghul-a-val."


Ada suara dari belakang.


Dia menoleh kebelakang dan melihat seorang cewek mengenakan gaun berwarna hitam, dengan tenang duduk di ranjang.


Matanya yang jernih dan berwarna senja menatap nakal pada Kamito.


"Restia... Apa maksudmu nggak berguna?"


"Roh-roh tingkat rendah, seperti yang tersegel dalam kristal-kristal roh seperti ini, nggak akan bisa mendapatkan divine power yang cukup ketika berada di Ghul-a-val, yang mana artinya mereka akan menghilang."


"A-Aku mengerti...."


Sedikit berat hati, Kamito meletakkan kristal-kristal roh yang mana dia membutuhan upaya untuk dipersiapkan dan menaruhnya di lantai.


Sepertinya Ghul-a-val merupakan tempat yang jauh lebih keras daripada gurun-gurun biasa.


Lalu, Kamito tiba-tiba menyadari sesuatu.


"Mungkinkah kamu sudah sangat familiar dengan Ghul-a-val?"


"Setidaknya itu tidaklah asing buatku, kurasa—"


Dia menyibakkan rambut hitamnya yang indah dan berkata.


"Gimanapun juga, aku ada di kota Raja Iblis saat Perang Raja Iblis seribu tahun yang lalu."


"....Itu benar, kamu benar juga."


Meskipun dia nggak kepikiran hal ini saat rapat—


Restia pernah digunakan sebagai senjata Raja Iblis di masa lalu.


"Mungkinkah kamu tau sesuatu tentang Makam Raja Iblis juga?"


"Makam Raja Iblis?"


Melihat penampilan kebingungannya, Kamito memberitahu dia tentang legenda Makam itu.


...Setelah mendengarkan, Restia mengeluarkan suata "Hmmm" dan menopang dagunya dengan tangannya.


"Aku pernah mendengar sedikit tentang itu. Sebuah legenda yang beredar di Demon King Cult sejak jaman kuno. Disebuah kota di ujung gurun, ada sebuah peti mati dimana sisa-sisa Raja Iblis disegel—"


"Sisa-sisa Raja Iblis? Hal semacam itu—"


Itu sulit dibayangkan sesuatu seperti itu bertahan sampai sekarang, seribu tahun kemudian. Akan tetapi, sudah pasti itu adalah sebuah misteri apa yang terjadi pada Raja Iblis setelah kekalahannya di tangan Sacred Maiden.


Kamito kemudian kepikiran tentang sesuatu.


Rubia sebelumnya menggunakan sebuah mantra tabu untuk memanggil jiwa-jiwa, membangkitkan Nepenthes Lore dibawah tanah dari Ragna Ys. Meskipun itu adalah sebuah Raja Iblis "gagal", tapi kekuatan kegelapan yang menakutkan yang digunakannya tetaplah membuat Tim Scarlet kalang kabut.


(Kalau sisa-sisa Raja Iblis masih ada di makam itu...)


Maka itu mungkin saja bahwa orang akan mencoba membangkitkan dia.


Atau mungkin, sisa-sisa itu tepatnya "Kekuatan Raja Iblis" yang tercatat dalam tulisan kuno?


"Gimanapun juga...."


Restia mencabut sehelai bulu dan melemparkannya ke lantai.


"Nggak diragukan lagi bahwa kota Raja Iblis, yang dihancurkan oleh Sacred Maiden Areishia, berlokasi di Ghul-a-val. Setelah kita sampai disana, mungkin kita bisa membersihkan masalah makam itu."


"....ya."


Tiba-tiba menyadari sesuatu, Kamito mengangkat kepalanya.


"Ngomong-ngomong, apa kamu tau lokasi kota Raja Iblis?"


"Ya. Harusnya aku bisa memberi arahan kalau kau nggak masalah dengan lokasi perkiraan."


Restia menjawab dengan acuh tak acuh.


"Beneran nih....!"


Mendengar itu, Kamito langsung berdiri.


"Itu bisa jadi bantuan yang besar. Kalau kami harus berkeliaran tanpa tujuan di gurun yang luas itu, itu akan sangat merepotkan."


"Fufu, kau bisa memujiku lagi."


"Luar biasa, manakjubkan."


"Astaga, yang tulus dikit napa...."


Di ranjang, Restia menyilangkan kakinya dan cemberut nggak senang.


"Namun, bahkan dengan pengetahuan tentang lokasinya, kau masih nggak punya jaminan bisa mencapai kota Raja Iblis."


"Kenapa begitu?"


"Gimanapun juga, nggak seorangpun bisa menemukannya selama seribu tahun ini kan? Untuk sebuah kota sebesar itu, namun nggak ada reruntuhan yang sudah ditemukan, apa itu memungkinkan?"


"Terus..."


—memang, dia benar.


Nggak peduli seberapa mengerikan gurun kematian itu, seseorang akan menduga banyak petualang dan penjarah kuburan yang gak kenal takut telah berupaya mencari reruntuhan itu. Dan juga ada Demon King Cult yang menginginkan kebangkitan Raja Iblis, tentunya mereka telah mencoba segala sesuatu ingin menemukan legenda itu.


Akan tetapi, belum pernah ada rumor reruntuhan kota itu telah ditemukan.


"Kamito, apa kau ingat desa dimana aku terbangun sebelumnya?"


"...Forest of Ice Blossoms?"


"Ya. Sama dengan itu, desa hutan itu sudah ditemukan, kan?"


Berlokasi di wilayah Laurenfrost adalah Forest of Ice Blossoms, dimana desa dari suku Elfim menyembunyikan Restia yang hilang ingatan. Hutan itu diselimuti kabut yang tebal yang dihasilkan oleh sebuah perangkat sihir kuno, mencegah para penyerbu dari luar masuk sepanjang waktu.


"Dengan kata lain, kota Raja Iblis memiliki penghalang yang serupa, apa begitu?"


"Kemungkinan besar."


Itu memang masuk akal. Berbuat sesuatu sampai sejauh itu akan sangat logis jika seseorang ingin menyegel sisa-sisa Raja Iblis. Atau mungkin itu adalah Raja Iblis sendiri yang mengaktifkan sihir penghalang semacam ini lebih awal untuk mencegah orang menodai sisa-sisa dirinya setelah kematiannya.


"—Kalau begitu masalahnya, kita nggak bisa apa-apa."


Menghilangkan sebuah penghalang yang mampu menyembunyikan lokasi dari seluruh kota bukanlah tugas yang mudah bahkan bagi Fianna yang merupakan seorang ahli dalam sihir penghalang.


(...ngomong-ngomong, apa Saladia Kahn pergi ke gurun itu karena dia tau cara untuk menghilangkan penghalang itu?)


Jika tidak, dia mungkin nggak akan melakukan sesuatu begitu gegabah—


"Restia, apa ada petunjuk lain?"


Restia menggeleng pelan dalam menanggapi pertanyaan Kamito.


"...Maaf, Kamito. Sudah seribu tahun yang lalu ketika aku berada disana terakhir kali. Saat itu, kesadaran diriku sebagai seorang roh juga disegel oleh Raja Iblis, yang menggunakan aku hanya sebagai sebuah senjata. Sepenuhnya tidak sadar—seperti saat aku disegel didalam cincin itu."


"...Aku paham, wajar sih. Maaf sudah menanyaimu begitu banyak pertanyaan—"


"Tapi mungkin—"


"Ya?"


Mendengar dia bergumam, Kamito mendongak.


"—Berada di samping Raja Iblis sepanjang waktu, dia mungkin mengetahui sesuatu—"


"Dia?"


"Ya, kau ingat kan? Satu-satunya roh terkontrak Raja Iblis Solomon—"


"Uh... Kurasa begitu—"


Kamito mengacak-acak ingatannya. Itu adalah sesuatu yang dia dengar secara nggak sengaja saat mempersiapkan kostum Raja Iblis palsu miliknya.


Raja Iblis hanya menggunakan para roh sebagai alat dan nggak pernah membuka hatinya pada siapapun juga, membuat kontrak hanya dengan satu roh saja—


"Dimana roh itu sekarang?"


Kamito bertanya.


"Aku nggak tau."


Restia menggeleng.


"Tapi menurut sebuah legenda tua—"


Seolah menerawang jauh, Restia berbicara lembut.


"Dan begitulah, dia menghilang ke suatu tempat di Astral Zero setelah kematian Raja Iblis."

Bagian 5[edit]

Didalam sebuah kantor yang dibuat di dalam benteng, Fianna sedang mencari-cari di tumpukan surat yang dikirim dari berbagai negara.


Sebagai penguasa dari negara independen Ordesia Sah, dia harus membalas berbagai korespondensi diplomatik sebelum berangkat dalam perjalanannya.


"Sepertinya dewan kekaisaran akhirnya menetapkan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Dracunia."


Dia mendesah sambil menulis jawaban untuk berbagai penguasa dan bangsawan yang menulis untuk menyatakan dukungan mereka atas Ordesia Sah.


Kakaknya yang tolol bukankah satu-satunya orang yang ada dibalik keputusan dewan.


Dewan kekaisaran saat ini telah jatuh menjadi boneka dari Kerajaan Suci Lugia.


(Apa sih tujuannya Kerajaan Suci...?)


Yang bisa dia simpulkan adalah bahwa Kerajaan itu berusaha menggunakan Ordesia untuk membuat benua dilanda perang.


Akan tetapi, kenapa Kerajaan itu harus melakukannya?


(....Terlepas dari itu, kakakku sudah pasti nggak akan membiarkan kami begitu saja.)


Saat ini, reaksi-reaksinya campur aduk dengan negara-negara lain mengenai Ordesia Sah. Meskipun diabaikan saat pertama kali didirikan dalam pengasingan, setelah membuat aliansi dengan Raja Naga Dracunia dan mengakhiri kejahatan Teokrasi, profil Ordesia Sah telah meningkat dengan masing-masing hari yang berlalu.


Satu per satu, negara-negara di benua mengutuk Sjora Kahn karena menggunakan Leviathan, roh militer kelas strategi. Disaat yang sama, mereka juga mengkritik Ordesia karena menentang campur tangan militer pada Teokrasi sepanjang waktu ini.


(Saat ini, gimanapun juga, kami harus melakukan segala sesuatu yang kami bisa untuk membuat Putri Saladia berada di pihak kami—)


Saat dia tenggelam dalam pemikiran yang dalam, ada suara ketukan pada pintu kantor.


"Yang Mulai, aku membawa teh."


"Terimakasih. Waktu yang pas untuk istirahat."


Ellis membuka pintu dan masuk, membawa dua cangkir teh.


Ellis telah ditunjuk mengemban tugas sekretaris dan bodyguard. Gimanapun juga, dia adalah yang terbaik sebagai seorang bodyguard, sedangkan kepribadiannya yang serius dan bisa diandalkan membuat dia sangat cocok sebagai seorang sekretaris juga.


Segera setelah Ellis menaruh cangkir teh itu di meja, Fianna bisa mencium aroma sedap dari teh susu.


Dia mencicipi dan menghela senang.


"Manis dan lezat. Rasa lelahku langsung hilang."


"Aku mencoba menambahkan madu dan gula, meskipun Rinslet menganggap itu bidaah—"


Mengatakan itu, Ellis menatap dokumen yang barusaja ditanda tangani Fianna.


"Lambang ini.... Apakah itu dari Kekaisaran Quina?"


"Cuma surat pribadi. Itu bukankah korespondensi diplomatik resmi."


"Sebuah surat?"


"Ini pengirimnya."


Fianna menunjukkan nama dari pengirimnya pada Ellis.


"Linfa Sin Quina... Sebuah surat pribadi ditulis oleh Putri Linfa!?"


Ellis agak terkejut.


Tim Scarlet pernah menghadapi Putri Linfa saat turnamen Blade Dance dimana dia merupakan princess maiden dari tim Four Gods yang tangguh. Roh binatang suci Kirin miliknya menghasilkan penghalang yang menyamai elemental waffe milik Fianna.


Tim Scatlet dan Four Gods bertarung bersama melawan Sjora Kahn. Setelah ronde pertama, mereka mengadakan pesta perayaan kemenangan bersama, tapi—


"Putri Linfa menyatakan dukungannya pada Ordesia Sah. Dia mengatakan dia bersiap untuk mengirim seorang utusan segera."


"Quina mendukung Ordesia Sah?"


Melihat Ellis membelalakkan matanya, Fianna menggeleng sambil tersenyum masam.


"Tidak, Kekaisaran Quina belum mengakui kita. Dokumen ini cuma surat pribadi dari Putri Linfa. Kurasa dia punya banyak pertimbangan."


"Aku ingat bahwa Yang Mulia Linfa adalah putri ketiga. Sungguh posisi yang rumit."


Dalam arti tertentu, Kekaisaran Quina di timur sama berbahayanya dengan Kerajaan Suci. Sambil memperhatikan dari samping saat Ordesia perlahan menjadi boneka Kerajaan Suci, Quina menargetkan mendominasi benua. Mereka sepertinya mempertahankan kebijakan diplomasi wait-and-see untuk saat ini mengenai Ordesia Sah.


Dibawah keadaan semacam itu, sangatlah dianjurkan untuk mengetahui bahwa mereka telah membuat hubungan dengan mantan saingan di Blade Dance.


"Ada begitu banyak penguasa di Ordesia yang menyatakan dukungan mereka pada kita."


"Keluarga Alfree dari Golden Islands, Keluarga Bolmist yang bertindak sebagai pemegang bendera Laurenfrost, dan Keluarga Daria dari Black Bay... Itu bukankah keluarga-kaluarga besar, tapi setidaknya itu memberi kita kepercayaan diri."


"Saat ini, pada dasarnya nggak seorangpun di istana yang merasakan kesetiaan pada kakakku. Kalau para pendukung kita terus meningkat, merebut kembali Ordesia bukan lagi sebuah mimpi..."


Fianna merapikan surat-surat yang sudah selesai ditulis dan menyerahkannya pada Ellis.


Menatap tumpukan surat di tangannya, Ellis menggigit bibirnya.


"Bagaimana dengan Keluarga Fahrengart, Yang Mulia?"


"......"


Fianna menggelengkan kepala dalam diam.


"...Aku paham."


Keluarga Fahrengart adalah sebuah keluarga ksatria yang mengikrarkan sumpah setia mutlak terhadap Kaisar Ordesia.


Meskipun penguasanya nggak kompeten, mereka mungkin akan tetap mempertahankan kesetiaan sampai akhir.


"....Maaf, Ellis."


"Yang Mulia, tidak ada perlunya kamu meminta maaf."


Saat Fianna sedikit membungkukkan kepalanya dan berbicara pelan, Ellis penuh tekad menegaskan.


"Kakakku dan aku telah mempersiapkan diri kami. Sebagai ksatria, kami membuat keputusan tanpa penyesalan."


".....Terimakasih."


Setelah mendengar pemikiran tulus dari Ellis, Fianna dalam diam menundukkan kepalanya.

Bagian 6[edit]

Tepat satu jam berlalu setelah rapat pagi.


Kamito dan rekan-rekannya berkumpul di pelabuhan di bagian timur Mordis.


Meskipun disebut sebuah pelabuhan, Mordis adalah sebuah kota yang berada di tengah gurun. Tentu saja nggak ada laut di sekitar sini.


Saat pelabuhan-pelabuhan di gurun disebutkan, sudah pasti itu mengacu pada tempat "kapal pasir" berlabuh.


"Jadi ini adalah kapal pasir yang pernah kudengar—"


Membawa barang bawaan berat di punggungnya, Kamito menatap sebuah kapal yang setengah tenggelam di pasir dan bergumam.


Ini bukanlah kapal militer melainkan sebuah kapal pedagang yang digunakan untuk berdagang di gurun, ukurannya cukup besar. Meskipun nggak ada persenjataan yang dipasang, seharusnya cukup mengesankan dalam hal kecepatan.


"Sayang sekali, Revenant nggak bisa digunakan—"


Sambil menahan poni rambutnya yang tertiup angin, Rubia berkomentar.


Revenant, kapal militer yang digunakan oleh Tim Inferno, saat ini sedang menjalani pemeliharaan di dermaga Mordis. Meskipun terbang tidak memungkinkan, itu juga mustahil untuk menjamin persediaan kekuatan roh di Ghul-a-val dan mekanisme roh reaktor kemudi bisa mengalami malfungsi, berresiko menabrak.


Disisi lain, kapal-kapal pasir yang digunakan di Trokrasi bisa mengikuti leyline yang tersembunyi jauh dibawah tanah, memungkinkan mereka untuk berlayar digurun tanpa mengalami kesulitan. Akan tetapi satu-satunya kelemahannya adalah nggak bisa pergi suatu tempat yang gak terhubung dengan leyline, dengan demikian kapal-kapal itu hanya bisa bergerak pada rute-rute yang sederhana.


"Ini adalah pertama kalinya aku naik kapal pasir."


"Aku juga. Ini lebih besar dari yang kubayangkan."


Claire dan Rinslet menahan kapal itu takjub.


Tas mereka penuh.


"....Rinslet, apa saja yang kau bawa dalam tasmu itu?"


"Cemilan, tentunya. Lihatlah Claire, persik kalengan kesukaanmu juga ada didalam tasku."


"Eh, kau serius♪"


Twintail milik Claire melambai manis.


"Kalian berdua, kita bukan mau liburan."


Melihat Claire dan Rinslet bertindak seperti itu, Ellis memberi peringatan.


"Fianna, cuma itu barang bawaanmu?"


Melihat Fianna berjalan cuma membawa sebuah tas bahu, Kamito menanyai dia.


"Ya, aku menyimpan yang lainnya didalam Georgios."


Fianna berkedip dan mendekat ke telinga Kamito untuk berbisik.


"Fufu, Kamito-kun, aku juga sudah mempersiapkan segala macam pakaian dalam erotis untuk dipakai malam hari."


".....! Y-Yang benar saja....!"


Gimanapun juga Kamito adalah lelaki normal.


....Nggak bisa menghentikan dirinya sendiri dari membayangkan pakaian macam apa itu untuk sesaat, dia langsung tersipu merah.


"Baiklah, ayo bergegas!"


Mengangkat barang bawaan mereka, Claire dan para cewek segera berjakan ke kapal.


"Astaga...."


Melihat itu, Kamito mengangkat bahu dan berbalik untuk melihat Rubia.


"Kuserahkan sisanya yang disini padamu. Apa kau nggak masalah?"


"Ya. Velsaria dan aku akan berusaha semaksimal mungkin sampai timmu kembali."


Meskipun Sjora Kahn sudah dikalahkan, perang sipil di Teokrasi tetap masih tinggi. Jika ketidakhadiran Putri Saladia berlanjut, situasinya mungkin akan semakin kacau.


"Kuserahkan Muir dan Lily padamu juga—"


"Nggak perlu dikatakan lagi. Mereka adalah para bawahanku yang berharga."


Rubia menjawab dengan dingin.


Muir Alenstair dan Lily telah ditemukan didekat Leviathan. Kehabisan divine power sampai hampir ke tingkat mengancam nyawa, mereka masih tak sadarkan diri.


Tapi untungnya, mereka nggak berada dalam bahaya kematian, berkat Muir yang tanpa sadar mengaktifkan kemampuan khususnya, Jester's Vise, ketika Leviathan melahap mereka. Takut akan kemampuan ini, yang mampu membuat para roh menjadi gila, Leviathan menyerah untuk menyerap mereka berdua.


(...Bawahan, huh? Dia masih bersikeras menggunakan kata ini meski dia kalang kabut mengurus mereka.)


Dihadapkan dengan suasana acuh tak acuh dari Rubia, Kamito tersenyum masam dalam hatinya.


Kesampingkan Lily, alasan Rubia memberi perhatian ekstra pada Muir adakah karena Muir mengingatkan Rubia pada Claire dalam artian tertentu.


"Kalau begitu, aku berangkat—"


Mengambil barang bawaannya, Kamito mulai berjalan—


"..."


"Huh?"


Merasa seolah seseorang dibelakang dia ingin berbicara, Kamito melihat ke belakang.


"Ada apa?"


"...Nggak ada."


Dihadapkan dengan pertanyaan Kamito, Rubia terlihat ragu-ragu.


(....Ada apaan sih?)


Nggak disangka bahwa dia bisa ragu-ragu juga.


Terkejut, Kamito mengernyit. Lalu—


STnBD V17 BW03.png


"...Ren Ashbell."


Seolah mengumpulkan tekadnya, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Kamito.


Lalu—


"Kupercayakan adik kecilku padamu."


Itulah kata-kata yang dia ucapkan pelan-pelan pada Kamito.

Bagian 7[edit]

"Hei, jangan mundur! Goyah akan menodai kehormatan dari Knight of Saint Lugia yang agung!"


"T-Tapi Nona Ineza, roh ini—gahhhhhh!"


Seorang ksatria dengan elemental waffe berbentuk armor dihantam oleh sebuah palu besar, membuat dia terlempar secara spektakuler.


Mendarat dengan kepala duluan di pasir, dia berhenti bergerak.


"....! Sialan, nggak bisa kupercayai... para ksatria terbaik.... semuanya dikalahkan....?"


Ksatria yang memakai jubah merah, Ineza Sandra, mengerang. Dia adalah komandan dari pasukan ekspedisi ini.


Para ksatria dari Kerajaan Suci terkapar di daratan pasir merah ini. Masing-masing dari mereka merupakan seorang ksatria elit yang dihormati dan dipuji-puji di negara mereka.


Mereka adalah pasukan ksatria elit, namun mereka tak berkutik disini.


Seekor roh humanoid raksasa dengan kepala berbentuk seperti kepala buaya tengah menatap para ksatria yang tumbang itu.


Roh itu memiliki badan yang kekar dan mata yang menyala merah. Dipegang di tangannya adalah sebuah palu raksasa yang bersinar keemasan.


Melawan satu roh itu—Knights of Saint Lugia yang ditugaskan untuk mencari Makam, dihancurkan, tak mampu melawan.


Ini adalah mimpi buruk.


—Apakah engkau orang yang layak?


Suara roh itu menggema di sekitar, disalurkan oleh angin kering gurun itu.


Dihadapkan dengan pertanyaan yang ditanyakan ketiga kalinya oleh roh itu—


".....! Apa maksudmu dengan layak!? Apa maumu!?"


Ineza berteriak marah.


Roh itu menatap dia dengan mata yang sepenuhnya tanpa emosi.


—Engkau tidak layak memijakkan kaki di negeri Raja Iblis. Pergilah.


Sebuah badai menderu saat roh itu mengayunkan palunya pada Ineza.


Dia dengan panik mengangkat elemental waffe miliknya, sebuah tombak suci, berniat untuk memblokir—


Sesaat sebelum palu itu menghantam....


Sesosok kecil berlari kedepan dia.


"Lebih hargailah nyawamu sendiri, Kapten."


".....!"


Seorang wanita berambut hitam memblokir palu roh itu.


Bukannya jubah dari Knights of Saint Lugia, wanita itu memakai sebuah jubah putih dari penyembuh.


"Sphinx dari Makam Raja Iblis jelas-jelas bukanlah tandinganmu."


"...! Dame Lurie—!"


Ineza penuh amarah meneriakkan nama wanita yang telah menyelamatkan dia.


Penyembuh militer, Lurie Lizaldia—mantan Number ke-delapan dari Kekaisaran Ordesia.


Dia spesialis mantra penyembuh dari sihir roh, dia memegang peringkat "Holy Maiden".


Setelah menghianati negara asalnya, Ordesia, dia sekarang bertindak sebagai bawahan Cardinal Millennia Sanctus dari Kerajaan Suci Lugia.


Sebelumnya, Ineza jelas-jelas telah memerintahkan dia untuk stand by di kapal pasir—


"Mundurlah, Dame Lurie. Kau mengganggu pertempuran."


Ineza berbicara tanpa niat menyembunyikan cemoohannya. Dimatanya, wanita ini, yang telah menghianati negaranya sendiri sebagai salah satu Numbers dari Ordesia, sepenuhnya tak bisa dipercaya.


Meskipun Lurie adalah bawahan kepercayaan Millennia, Ineza menganggap dirinya sendiri berperingkat lebih tinggi, situasinya sebagai komandan dari pasukan ekspedisi ini.


"Nggak mungkin aku diam saja. Pada tingkat ini, kau betul-betul akan dihabisi."


Lurie menggeleng, dengan mudah menghempaskan palu itu dengan pedang iblis miliknya.


Roh itu melayang di udara, menatap musuh baru itu. Kemudian—


Engkau tidak layak memijakkan kaki di negeri Raja Iblis. Pergilah.


Roh itu mengulangi apa yang dia katakan sebelumnya.


"Maaf, gak bisa."


Lurie mengangkat bahu dan tersenyum ironis.


"Gimanapun juga, tuanku ingin mendapatkan apa yang ada didalam makam itu—"


—Orang yang tidak layak. Pergilah!"


Mata roh itu menyala merah dan tembakan cahaya bersuhu tinggi ditembakkan dari permata di keningnya.


Dalam sekejap mata, tempat dimana Lurie berdiri diselimuti kobaran api.


"—Astaga. Sayang sekali."


Akan tetapi, Lurie sudah nggak ada disana lagi.


Dengan sebuah kilatan pedang, dia mengayunkan pedang iblisnya dengan lincah ditengah udara. Sepenuhnya tak sesuai dengan gelarnya sebagai Holy Maiden, pedang iblis itu diselimuti racun yang berbahaya.


"Sang raja pedang iblis pelahap jiwa, bantailah musuh yang ada dihadapanku—Bloody Strike!"


Bilah yang berwarna darah itu menyala merah—


Pedang iblis milik Lurie Lizaldia langsung menghempaskan palu itu ke udara beserta potongan tangan yang memegangnya.


Lengan yang terpotong itu berputar-putar diudara sambil perlahan-lahan berubah menjadi partikel udara dan menghilang.


Akan tetapi, tak ada perubahan ekspresi pada roh itu dan mengulangi perkataannya.


Engkau tidak layak memijakkan kaki di negeri Raja Iblis. Pergilah... Pergilah... Pergilah....


Tubuh besar roh itu perlahan-lahan menghilang menjadi debu dan pasir yang terbawa angin.


Lurie menusukkan pedang iblis itu ke tanah disamping kakiknya.


Nggak ada setetes keringatpun di keningnya.


Mau tak mau Ineza Sandra merasa ketakutan.


Sangat sulit untuk membayangkan ini adalah kekuatan dari seorang Holy Maiden yang terspesialis dalam teknik penyembuhan.


Lurie memalingkan wajahnya kearah Ineza.


"Sphinx itu adalag sesuatu seperti halusinasi yang dihasilkan oleh kekuatan Raja Iblis. Sebuah penjaga untuk memilih pengunjung untuk memasuki Makam. Memang benar, gagal mendapatkan Demon Slayer di Ordesia memiliki akibat yang parah. Kalau saja aku memiliki pedang suci itu, aku akan dianggap sebagai banyak. Kurasa—"


"Dame Lurie..."


Ineza menelan ludah dan berbicara.


"Pada tingkat ini, Knight of Saint Lugia akan menghadapi pemusnahan total ditangan roh-roh ini. Kau harus mundur dan mengkontak Kerajaan."


Tujuh hari telah berlalu sejak pasukan ksatria ini dikirim ke Ghul-a-val.


Awalnya optimis mengenai misi pencarian Makam Raja Iblis ini, mereka telah menghadapi perlawanan dari roh-roh kelas archdemon seperti Sphinx barusan.


Tentu saja, para ksatria ini merupakan pasukan elit dari Kerajaan Suci dan sebelumnya pernah menyelesaikan misi-misi mengalahkan roh-roh kelas archdemon dimasa lalu. Faktanya, mereka telah mengalahkan banyak perwujudan dari roh-roh penjaga ini.


Akan tetapi, roh tersebut terus muncul kembali nggak pedulibl berapa kali mereka mengalahkannya, menyerang tanpa peduli siang atau malam.


Pasukan ini yang terdiri dari 12 ksatria roh, sudah diambang kehancuran.


"Memang, Sphinx penjafa Makam itu cukup menjengkelkan."


Lurie menggunakan jarinya untuk mengangkat kacamatanya.


Berjongkok di samping para ksatria yang terluka, dia menggunakan sihir roh untuk menyembuhkan mereka satu persatu.


"Tapi mundur bukanlah pilihan. Perintah Des Esseintes adalah mutlak."


".....! Apa kau menyuruh kami menghadapi kehancuran total begitu saj!?"


Dihadapkan dengan ledakan emosional kapten, Lurie menggeleng.


"Aku sudah bertindak dan meminta bala bantuan dari Kerajaan."


"Meminta bala bantuan?"


"Sacred Spirit Knight milik Dame Milllennia dan Luminaris sedang menuju kemari."


"Apa kau mengatakan Sacred Spirit Knight?"


Ineza mengangkat alisnya.


Memang, Luminarus Saint Leisched dipuji-puji dari sebuah keluarga bergengsi di kota Alexandria. Berjuang sampai babak final Blade Dance sebelumnya, dia adalah ksatria paling dihormati di Kerajaan Suci.


Akan tetapi, meskipun dia membawa para bawahannya sebagai bala bantuan, mereka tetap saja tak akan berdaya melawan roh-roh Sphinx yang terus bermunculan tanpa akhir.


"Luminaris akan membawa itu. Sebuah peluang untuk pengujian juga."


"...Itu?"


"Ya. Kalau kita meledakkan seluruh gurun ini, para penjaga yang merepotkan akan menghilangkan semua, kan?"


Sambil menyembuhkan para ksatria yang terluka, Lurie tersenyum dingin.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 3 - Gurun Kematian Merah, Ghul-a-val[edit]

Bagian 1[edit]

Hari kedua setelah Kamito dan rekan-rekannya berangkat dari kota benteng Mordis.


Di lautan pasir yang tak berujung, sebuah kapal kecil saat ini sedang mengarungi pasir tersebut.


Didesain untuk mengikuti leyline, kapal-kapal pasir menderita karena pembatasan bahwa mereka nggak bisa menentukan jalur mereka dengan bebas. Akan tetapi, dibandingkan dengan kapal terbang, ada keuntungan bahwa nahkodanya nggak terlalu sibuk.


"Sebuah kapal yang cukup tua dan usang... Bisakah kapal ini bergerak di gurun?"


Meskipun Claire kuatir, kapal ini sudah dibentuk ulang oleh Vivian Melosa. Bagian dalamnya sangat meyakinkan.


Dalam situasi darurat, kapal ini bahkan bisa mengubah jalur kekuatannya. Dari apa yang Kamito dengar. Sebuah mekanisme roh militer telah dipasang. Barang selundupan ini merupakan sesuatu yang Rubia dapatkan melalui koneksinya dengan Murders.


(Bagus, jadi sekarang kami akhirnya memasuki Ghul-a-va—)


Di dek, Kamito terus mengelap keringat yang terus mengucur di keningnya.


Ditinggalkan oleh kekuatan para roh, ini adalah sebuah gurun berwarna merah darah dan gersang.


Apa betul-betul ada Makam Raja Iblis di tempat ini?


"...Hmm, panas banget~..."


Bersandar pada pagar di tepi kapal, Claire berbicara sampil kecapekan.


Bahkan seorang elementalis api seperti dia masih merasakan panas ditempat yang panas.


Melepaskan kancing seragamnya di bagian kerahnya yang basah karena keringat, dia terus mengipasi dirinya dengan tangannya.


....Sesaat, Kamito melihat pemandangan menggiurkan dari bagian depan dadanya, itu memang situasi yang agak berbahaya.


".....!"


Kamito buru-buru berpaling.


Dan yang terpampang di depan matanya—


Seseorang berbaring di lantai seperti seorang putri duyung yang terdampar di pantai.


Rinslet.


"...Ughhh, panas banget~... Aku akan mati karena kepanasan~"


Dia berguling-guling di dek, sepenuhnya mengabaikan fakta bahwa dia adalah seorang putri bangsawan dari seorang duke.


Itu juga menghancurkan hati melihat kerusakan pada rambut pirang platinumnya yang panjang.


....Gurun yang panas menyengat ini terlalu keras untuk cewek yang berasal dari negara bersalju.


"Rinslet, apa kamu nggak apa-apa? Mungkin kamu harus beristirahat di tempat tidur?"


Saat Kamito menanyai dia, dia menjawab:


"Tidak, Kamito-san. Terimakasih banyak buat kekhawatiranmu, tapi aku menolaknya dengan hormat. Dibandingkan dengan bagian kapal yang lainnya, tempat ini adalah yang terbaik."


"Yah, kurasa kamu benar....


Faktanya, bagian dalam kapal bahkan lebih panas daripada dek yang papar sinar matahari. Mekanisme roh terus-menerus mengeluarkan panas setelah menyerap kekuatan dari leyline.


Sebagai sebuah kapal militer, Revenant memilik fitur sistem pendingin, tapi kapal ini nggak punya hal semacam itu. Tentunya, nggak ada tempat mandi untuk ritual pemurnian juga.


"Panggil Fenrir. Setidaknya itu akan sedikit lebih dingin."


Claire menyarankan sambil basah kuyup karena keringat.


"Fenrir adalah roh yang lahir di Niflheim, bagian yang teramat sangat dingin dari Astral Zero. Memanggil dia ke tempat seperti ini sangatlah kejam."


Rinslet menolak dengan lemah.


(...Cewek yang baik dan lembut.)


Kamito mau tak mau berseru dalam hatinya. Alasan kenapa Rinslet begitu dicintai dan disambut oleh para maid dan warga Laurenfrost dan para roh di Akademi mungkin berkat kepribadiannya yang baik ini.


"Kau ada benarnya... Tunggu, Scarlet, kembalilah ke Astral Zero."


Mendengar perintah Claire, kucing api neraka itu mengeong dan menggelengkan kepalanya. Sepertinya Scarlet menikmati gurun yang panas ini.


Meskipun api di tubuh Scarlet nggak sepanas api yang sebenarnya, itu tetaplah menambah penderitaan visual.


"Kalian berdua, tahanlah panas ini."


Lalu, suara Fianna terdengar dari suatu tempat.


"....?"


Kamito dan yang lainnya melihat sekeliling—


Yang ada cuma Georgios si roh ksatria duduk di kursi kayu besar.


Bagian kepala roh ksatria itu terbuka dan mengungkapkan Fianna yang menjulurkan kepalanya keluar.


"Nggak bisa kupercaya kau kabur ke tempat seperti itu....!"


"Fufu, bagian dalam dari armor ini terisolasi dari dunia luar. Begitu dingin dan menyegarkan."


"Kalau aku nggak salah ingat, bukankah bagian dalam Georgios terhubung dengan Astral Zero?"


"Gerbang ke Astral Zero saat ini tertutup, jadi nggak masalah buatku untuk masuk kesini."


....Aku paham. Pemikiran yang bagus.


"Yang Mulia, ini sungguh tidak adil!"


"B-Biarkan aku masuk juga!"


Bersama-sama, Claire dan Rinslet terus memukul armor Georgios.


"Sayang sekali, Georgios adalah roh eksklusif untuk keluarga kerajaan."


STnBD V17 BW04.png


Setelah berbicara dengan acuh tak acuh, Fianna menutup helmnya dengan suara "clang".


"Putri pelit!"


"Tirani terburuk dalam sejarah Ordesia!"


Kedua cewek itu memukul-mukul armor itu penuh kemarahan dan kebencian, tapi armor roh ksatria itu sepenuhnya tak terpengaruh.


"Kalian berdua, melakuan itu cuma akan membuat kalian lebih panas."


"B-Betul, haaaa...."


"Aku sudah sampai batasku~"


Kedua cewek itu jatuh ke dek sekali lagi karena kelelahan.


Lalu—


"Astaga, menyerah pada panas setingkat ini, kalian betul-betul kurang latihan."


Angin dingin berhembus melewati Kamito dan yang lainnya.


Ellis melompat turun dengan Ray Hawk di tangannya.


Dia sepertinya habis berlatih tombak diatas kabin. Pakaiannya basah kuyup karena keringat.


Seragamnya juga menjadi setengah transparan, mengungkapkan garis pakaian dalam dibalik seragamnya—


"...!"


Akan tetapi, mengatakannya akan sangat memalukan, jadi Kamito hanya mengalihkan tatapannya dalam diam.


"Aku nggak bisa percaya kau masih latihan di cuaca yang sepanas ini."


"Gimanapun juga, aku lahir dengan Berkah Angin."


"Aku iri banget..."


"Yah, cuacanya akan menjadi dingin dimalam hari."


"Bukan dingin lagi, malamnya amat sangat dingin banget... Haaaa."


Bergumam, Claire menatap Ghul-a-val, yang berwanra merah sepanjang mata memandang.


"Ngomong-ngomong, Kamito."


"A-Apa?"


Melihat Claire menatap dia karena suatu alasan, Kamito jadi agak panik.


"Apa yang kau bicarakan dengan kakakku sebelum naik ke kapal?"


"O-Oh... Umm, banyak...."


Kamito berpaling, mencoba menghindari masalahnya.


(Nggak betul buatku untuk mengatakannya...)


Rubia lah yang seharusnya menyampaikan kata-katanya sendiri.


"Hmph, apa-apaan itu. Kau bertindak aneh...."


Melihat sikap Kamito, Claire mengarahkan tatapan nggak senang penuh kecurigaan.

Bagian 2[edit]

Dialam mimpi, seputih salju—


Est terbangun.


(...Mimpi itu... lagi—)


Dia bergumam sendiri dalam batinnya.


Meskipun sudah bangun, dia nggak bisa menggerakkan tubuhnya dengan bebas.


Kesadarannya tersegel didalam pedang suci, tertancap pada sebuah batu, didalam sebuah kuil tertentu.


Selama perang di Astral Zero beberapa ribu tahun yang lalu—


Sebelumnya digunakan sebagai senjata roh ultimate, dihari ketika dunia terbagi menjadi Astral Zero dan alam manusia, dia jatuh ke benua ini.


Seorang roh yang gak seorangpun bisa menggunakannya nggak peduli seberapa banyak mencoba.


Sebuah pedang yang mustahil untuk dicabut.


Inilah sang roh pedang—Terminus Est.


Meskipun kekuatannya jauh lebih lemah daripada ketika dia berada di Astral Zero, dia tetaplah jauh lebih kuat bagi manusia.


Oleh karena itu, pedang itu mggak jatuh ke tangan siapapun, menghabiskan waktunya di dalam kuil kecil ini cuma sebagai sebuah objek referensi belaka.


—Itulah yang seharusnya terjadi.


Setelah Est datang ke dunia manusia, dua ribu tahun yang lalu.


Suatu hari, seorang cewek yang naik ke gunung untuk mencari kayu bakar, tiba di kuil tersebut.


Mengenakan pakaian wool berwarna putih bersih, cewek itu memiliki wajah yang menggemaskan.


Dia kemungkinan besar tersesat dan secara gak sengaja sampai disana.


Sepenuhnya gak memyadari bahwa roh terkuat tersegel disana, cewek itu—


Dengan santai mencabut roh pedang itu.


Sampai sekarang, nggak terhitung orang yang telah berupaya untuk memiliki dia.


Beberapa mencari ketenaran, yang lainnya mencari kekuatan untuk menyelamatkan dunia.


Akan tetapi, cewek itu berbeda dari semua manusia yang telah datang sebelumnya.


Apa yang dicari cewek itu bukanlah kekuatan pedang suci—


Hanya keinginan memiliki seorang teman—hanya itulah keinginan dia.


(....Tidak.... Jangan, kalau kai membuat kontrak denganku, kau akan—!)


Didalam alam mimpi yang berwarna putih murni, kesadaran Est berteriak.


Akan tetapi, suaranya tak terdengar—

Bagian 3[edit]

Membawa Kamito dan rekan-rekannya, kapal pasir itu terus melaju di gurun yang panas itu.


Matahari telah terbenam, menghasilkan bayangan panjang di dek. Akan tetapi, nggak ada oasis dalam pandangan nggak peduli ke arah mana mereka pergi di lautan pasir merah ini.


"Pada tingkat ini, sepertinya hari ini nggak membuahkan hasil juga...."


Bersandar di pagar di dek, Kamito menghela nafas.


"Apa Putri Saladia betul-betul datang kesini?"


"Siapa yang tau? Kita bahkan mungkin sudah mendahului dia—"


"Yah, itu memang nggak mustahil sih."


Claire mengangkat bahu.


"Kalau saja kita punya lebih banyak petunjuk—"


Bergumam, Kamito menjauh dari pagar.


"Kau mau kemana?"


"Oh, mau memeriksa Est."


"Hmph... Kau memanjakan Est seperti biasa."


"Kurasa."


Setelah menjawab dan menepuk-nepuk seragamnya untuk membersihkan pasir yang nempel di seragamnya, Kamito berjalan kearah kabin.


Dua hari yang lalu, Est bermimpi tentang masa lalunya.


Sejak saat itu, dia mulai menunjukkan ekspresi wajah kegelisahan yang misterius.


Sekilas, itu sama persis dengan wajah tanpa ekspresinya yang biasanya. Akan tetapi, Kamito menyadari adanya perubahan halus pada ekspresi rekannya.


Sesampainya di kabin, dia membuka pintu—


Dia melihat ada gundukan kecil di kasurnya.


Dari sudut selimutnya, dia bisa melihat rambut perak yang berantakan terjulur keluar.


"Ada apa, Est?"


Sudah biasa bagi Est untuk menyelinap ke kasur Kamito.


Tunggu sebentar, hal itu dianggap biasa akan jadi masalah tersendiri....


Kamito mendekati kasurnya dan dengan lembut mengangkat selimutnya.


"....Est?"


"Kami... to..."


Dia melihat sang roh pedang, sepenuhnya telanjang kecuali sepasang kaus kaki selutut, menatap dia dengan tatapan linglung—


Sesaat setelahnya, Est merentangkan tangannya yang ramping dan memeluk Kamito erat-erat.


Kamito langsung paham bahwa ini bukanlah perilakunya yang biasanya ketika Est hanya ingin dimanjakan.


Dia pasti mengalami mimpi lagi, mimpi yang kurang menyenangkan.


Selain itu, bukan cuma ini perbedaannya dari yang biasanya.


"E-Est, ada apa?"


Kamito berseru terkejut.


Bukannya kaos kaki selutut berwarna hitam yang biasanya, dia mengenakan kaos kaki selutut bergaris-garis dengan banyak warna.


"...!"


Sebagai tanggapan, Est membelalakkan mata ungunya dan mulai menciptakan kaos kaki hitam yang baru dengan panik.


"Aku sudah mempermalukan diriku sendiri didepanmu."


"Nggak juga, aku betul-betul nggak paham pemikiranmu..."


Jelas-jelas, kaos kaki bergaris cukup manis juga—


....Kesampingkan itu, hal semacam ini nggak pernah terjadi sebelumnya.


....Ini menyiratkan seberapa gelisahnya dia.


"Est, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu bermimpi tentang masa lalu lagi?"


"—Nggak bisa mengingat."


"Begitu ya...."


—Kamito agak paham.


(Kebangkitan ingatan masa lalu Est telah terjadi sebelumnya...)


Itu adalah malam sebelum ronde pertama turnamen Blade Dance. Untuk menghapus tanda kutukan yang Rubia gunakan, Est menggunakan kekuatannya sebagai seorang roh pedang sampai batas.


Meskipun hanya sementara, kontrak roh dengan Kamito telah terganggu. Ingatan dari Demon Slayer asli—tubuh utama Est terdapat si suatu tempat di Astral Zero—telah terbangun sebagai hasilnya.


Mungkin serupa dengan yang sebelumnya, mimpi Est saat ini adalah hasil dari ingatan Terminus Est yang asli mengalir pada dia disini.


Jika demikian—


Tatapan Kamito mengarah pada segel roh pedang yang ada di tangan kanannya.


(...Mungkinkah kontrak roh Est hampir kembali normal?)


Faktanya, kontrak antara Kamito dan Est tidaklah lengkap. Demon Slayer saat ini mampu mengerahkan paling banyak sepersepuluh dari kekuatan asli Est.


Mungkinkah kekuatan aslinya akan kembali pada Est?


Est mencengkeram pakaian Kamito erat-erat.


"Kamito, aku begitu takut."


Rambut putih-peraknya yang panjang berguncang, terlihat seolah itu mungkin akan menghilang setiap saat.


"Setiap kali aku melihat mimpi itu, aku merasa seperti aku bukan lagi diriku—"


"Est..."


Melihat sang roh pedang seperti itu, Kamito dengan lembut membelai kepalanya.


"Bagiku, Est cuma dirimu. Cuma kamulah Est."


"Kamito—"


Est mengangkat kepalanya, mata ungunya berkedip-kedip.


—lalu......


Boooooooooom...!


Tiba-tiba, kapalnya berguncang meras disertai suara gemuruh seperti sebuah gempa bumi.


"....! A-Apa yang terjadi!?"

Bagian 4[edit]

Bergegas ke dek, Kamito tertegun oleh pemandangan yang ada didepan matanya.


Pusaran angin raksasa di gurun hampir menyeret kapal pasir itu kedalamnya.


"...Hei, Apa-apaan itu?"


Berpegangan di pagar, Kamito berteriak.


"A-Aku juga nggak tau!"


"Tiba-tiba, itu muncul di depan jalur kapal!"


Di dek yang sudah sangat lorong, para cewek juga sedang panik.


"Sebuah pusaran....!"


"Pusaran?"


Mendengar Fianna, yang sedang menggunakan seluruh tenaganya untuk mengendalikan kapal, Kamito bertanya.


"Itu adalah semacam pusaran yang dihasilkan saat sebuah aliran leyline terganggu. Biasanya, itu cuma muncul di laut—"


Ckreaaaaak—Dengan suara penuh tekanan, kapal itu semakin miring.


"Kyahhh!"


"Owa!"


Melihat Claire kehilangan keseimbangannya dan berguling-guling di dek tanpa henti, Kamito bergegas menangkap tangannya.


"Dapat.... Apa kau baik-baik saja?"


"....Y-Ya... M-Makasih."


Tersipu merah, Claire mengangguk.


".....! Ini buruk! Kapalnya tertarik kesana!"


Meskipun Fianna terus menuangkan divine power kedalam kristal roh yang tertanam pada helmnya, jalur kapalnya tetap tak berubah. Bukan cuma itu saja, kapalnya terus tertarik kearah pusat pusaran.


Sejak awal, ini adalah sebuah kapal yang mengikuti energi dari divine power uang mengalir dalam leyline. Mengandalkan divine power yang dikerahkan oleh seorang princess maiden nggak akan cukup untuk mengendalikan kapal.


"Pada tingkat ini, kapalnya akan patah—"


Claire berkata dengan kecemasan terpampang jelas di wajahnya.


"Ellis, bisakah kau menggunakan sihir roh angin untuk mengangkat seluruh kapal?"


"....Tidak, mengangkat kapal sebesar ini akan sangat sulit."


Ellis menggeleng. Meski begitu, dia masih menggunakan Ray Hawk untuk mengendalikan angin, berusaha semampu yang dia bisa untuk melawan kemiringan kapal.


"Lihat! Ada sesuatu di tengah pusaran!"


Fianna berteriak keras-keras. Kamito memfokuskan matanya dan menatap ke kedalaman badai pasir itu.


Di bagian tengah pusaran, dia bisa meihat sebuah objek menyerupai sepasang gunting raksasa.


Sepasang gunting yang terbuka dan tertutup seolah menunggu kapal yang dinaiki Kamito.


"Apa itu... seekor roh? Tidak tunggu, apa itu seekor binatang sihir....?"


"—Itu adalah seekor undur-undur, biasanya dikenal sebagai Penghancur Kapal."


Vorpal Sword yang ada di pinggang Kamito berbicara.


"Restia, harusnya kamu memberitahuku lebih awal kalau ada monster semacam itu!"


"Gimanapun juga, aku nggak menyangka seekor monster dari seribu tahun yang lalu masih hidup di wilayah sini."


Kamito merasa bahwa Restia secara mental menjulurkan lidahnya meskipun dia dalam wujud pedang iblis.


"Y-Yang benar saja~...."


"Kalau rahang raksasa itu menangkap kita, kapal ini akan hancur dengan mudah."


"Ya, aku bisa membayangkan itu—"


Kamito menggaruk kepalanya kemudian berdiri di haluan kapal.


"Kamito, apa yang akan kau lakukan?"


Melihat itu, Claire menanyai dia.


"Pokoknya, aku harus mengalahkan monster itu dulu—"


"Dimengerti. Kami akan membantumu."


Mengangkat cambuk apinya, Claire mengangguk. Ellis dan Rinslet juga mengeluarkan elemental waffe mereka masing-masing.


Dalam hal ini, mereka sudah memiliki pemahaman yang kuat.


Merapal sihir terbang, Ellis membentuk pusaran angin di sekitar Kamito.


"Ayo lakukan, Restia."


"Fufu, serahkan padaku—"


Pedang iblis kegelapan itu memancarkan petir hitam legam.


Memegang Vorpal Sword, Kamito terbang kearah pusaran pasir itu.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 4 - Sang Penjaga Makam[edit]

Bagian 1[edit]

".....Sheeesh. Nggak heran ini disebut Gurun Kematian Merah."


"Astaga, Nona Rubia. Dia harusnya memberitahu kita sebelumnya."


"Jangan salahkan kakakku. Nee-sama mungkin nggak tau kalau monster semacam ini hidup disini."


Mendengar gerutuan Fianna sambil mengibaskan pasir yang menempel di rambutnya, Claire mengangkat bahu dan menjawab.


Setelah matahari terbenam, di gurun itu di malam hari—


Kamito dan rekan-rekannya duduk di pasir, memandang langit malam berbintang.


Ditelan oleh pusaran pasir, kapalnya mengalami retakan yang besar, hampir mengubahnya menjadi puing-puing.


Kristal roh reaktor kemudi yang terekspos memancarkan cahaya putih pucat, samar-samar menerangi sekitarnya.


....Ini terjadi karena tindakan Kamito—Bukan.


Saat Rinslet mengunakan Freezing Arrow untuk menyegel pergerakan monster itu, Kamito mengeluarkan teknik khusus dari Absolute Blade Arts, secara sepektakuker mengalahkan mahluk raksasa itu dengan satu serangan.


....Akan tetapi, apa yang terjadi setelahnya sangatlah tak terduga.


Didalam pusaran pasir itu, ternyata ada puluhan undur-undur yang bahkan memiliki rahang yang lebih besar.


"Siapa yang nyangka kalau ditengah pusaran itu merupakan sarang monster. Bahkan aku gagal mengetahuinya dengan mataku sendiri."


"Ya, nggak seorangpun menduga ada begitu banyak binatang mengerikan seperti itu berkumpul, gampangnya...."


Melihat kekalahan salah satu dari mereka, mendorong kawanan binatang itu menghancurkan kapal pasir tersebut dengan rahang mereka.


Dalam waktu yang sempit, Kamito dan rekan-rekannya kabur dari kapal dan berhasil mengalahkan para binatang itu, tapi berakhir terdampar di tengah gurun dan nggak punya pilihan selain berkemah diluar.


Setelah mengamati sekeliling, ternyata disekitar sini merupakan kuburan dari banyak kapal pasir yang terkubur di pasir selain kapal yang dinaiki kelompoknya Kamito. Kemungkinan besar, banyak kapal pedagang yang menuju ke Ghul-a-val telah terseret kedalam sarang monster itu setelah kehilangan kontak.


"....Matahari sudah sepenuhnya terbenam."


"Kristal roh reaktor kemudi masih utuh. Nggak bisakah kapalnya diperbaiki?"


Claire bertanya.


"Itu mendekati mustahil."


Menatap sisa-sisa kapal yang hancur, Ellis menggeleng.


Bahkan bagi Ellis, yang ahli dalam pertukangan yang mana memungkinkan dia untuk membangun sebuah rumah untuk Kamito hanya dalam waktu tiga jam, dengan bantuan kekuatan Simorgh, memperbaiki kapal ini disini akan mustahil.


"Sepertinya kita harus berkemah disini malam ini."


"Ya...."


Berjalan di gurun secara sembarangan tanpa mengetahui arah sama halnya dengan bunuh diri. Setelah di tempatkan di hutan belantara dimasa saat dia di Sekolah Instruksional, Kamito memiliki kenangan yang pedih dari pengalaman semacam itu.


Untungnya, sebagian besar dari barang bawaan mereka diberikan pada Fianna untuk disimpan di demensi alternatif didalan Georgios dan dengan begitu barang bawaannya aman. Kalau mereka kehilangan makanan dan air mereka, semua orang kemungkinan besar akan tewas disini, dan gurun ini akan menjadi kuburan mereka.


"O api, menarilah—"


Claire membakar beberapa kayu yang patah yang tertancap di pasir untuk dijadikan penerangan.


"O angin abadi, berikan kami kedamaian—Air Wall."


Ellis merapal sebuah mantra, menggunakan dinding angin untuk menyelimuti area sekitar tempat kemah mereka.


"Kuharap Putri Saladia selamat—"


Fianna mendesah dan bergumam.


Memang, nggak ada jaminan bahwa Saladia Kahn bisa tetap selamat di gurun ini dimana banyak binatang raksasa mengintai. Meskipun sang putri itu sendiri dianggap sebagai seorang elementalis yang kuat, seseorang pasti berpikiran dia nggak akan bertahan lama melawan gelombang demi gelombang serangan dari binatang-binatang itu.


"Kudengar Putri Saladia memiliki seorang pengawal."


"Ya, menurut rumor, seseorang sepertinya mengalahkan para penjaga kerajaan Teokrasi."


Ellis mengangguk.


"Itu pasti seseorang yang sangat kuat—"


Tiba-tiba, Kamito menatap tanah yang ada disamping kakinya, disana ada pasir yang agak menyembul.


"....Hmm?"


Kamito memasukkan tangannya kedalam pasir itu dan meraih sesuatu yang menggeliat dibawah pasir.


Dia mengangkatnya untuk melihatnya, itu adalah seekor mahluk berwarna seperti pasir dengan capit yang besar, mirip lobster.


"Apa? Apa ini versi mudanya undur-undur yang tadi?"


"Kamito-san, itu adalah kalajengking pasir."


Rinslet berdiri sambil matanya berkilauan.


"Jangan-jangan itu bisa dimakan?"


"...Warnanya yang merah membuatku ngeri. Aku lebih suka nggak memakannya."


Memasang ekspresi rumit, Claire berkomentar.


"Meskipun ada racun pelumpuhnya, kalau kamu memotong ekornya dan mengeluarkan racunnya, maka nggak masalah."


"Sungguh....?"


"Serahkan saja padaku—datanglah, Fenrir!"


Dengan jentikan jari Rinslet, seekor roh es iblis muncul, dikelilingi oleh badai es. Dari mulutnya yang terhubung dengan Astral Zero, peralatan dapur terus bermunculan satu persatu.


Yang paling mencolok adalah sebuah panci yang berkilauan.


"Kau mau buat apa?"


Melihat itu, Ellis bertanya.


"Kare spesial yang dibuat dengan kalajengking pasir."


"Kare? Apa itu?"


"Kurasa itu bukanlah masakan rumah yang umum di Ordesia. Kare awalnya berasal dari Kerajaan Balstan, tapi kini, itu lebih terkenal sebagai makanan yang dimasak oleh para princess maiden Divine Ritual Institute."


"Ini dibuat oleh Ratu yanv melayani Elemental Lord Tanah, untuk para princess maiden yang menjalani pelatihan yang ketat. Bukan cuma bernutrisi dan memperkuat tubuh, tapi juga mengisi kembali divine power. Di Divine Ritual Institute, mereka menyajikan kare seminggu sekali."


Fianna yang terbiasa tinggal di Divine Ritual Institute, mengangkat jari telunjuknya dan menjelaskan pada kelompok itu.


"Jadi begitu. Aku jadi gak sabar untuk mencicipinya."


"Pertama-tama, aku harus memasak beberapa rempah untuk membuat roux[1]. Claire, siapkan Nona Roh Kucing Neraka."


"Sheeesh, Scarlet bukanlah tungku, paham?"


Meski mengeluh, Claire masih memanggil roh kucing neraka miliknya.


Scarlet meringkuk di lubang kecil di pasir. Setelah menaruh pancinya diatas punggung Scarlet, Rinslet secara teratur memasukkan herbal bumbu dan rempah-rempah kedalam panci satu persatu.


Segera setelah pancinya ditutup, suara mendidih bisa terdengar.


Semua orang duduk di sekitar Scarlet yang diselimuti api, menunggu karenya matang.


"....Gimanapun juga, mencari Makam Raja Iblis saat ini merupakan ide yang buruk "


Claire mendesah dan bergumam sendiri.


Dia benar. Sekarang mereka telah kehilangan kapal, pilihan mereka satu-satunya adalah kembali ke kota yang punya oasis.


"Di bagian Ghul-a-val mana kita berada?"


"Nggak tau. Kristal roh untuk mengidentifikasi arah nggak bekerja disini."


"Harusnya kita sudah hampir di bagian tengah gurun, tapi kita bahkan nggak menemukan tanda-tanda reruntuhan."


"Selain itu, kita bahkan nggak tau seperti apa Makam Raja Iblis itu."


Ellis dan Rinslet mengangkat bahu sama-sama.


"....Aku betul-betul ingin mencari tempat untuk memurnikan diriku. Terlalu banyak kotoran dan sirkulasi divine power jadi terpengaruh."


Claire menatap seragamnya yang kotor karena pasir. Memang, kesampingkan Kamito yang merupakan seorang laki-laki, nggak bisa mandi akan jadi masalah hidup dan mati bagi para cewek bangsawan ini.


"Apa kita akan mencari oasis?"


"Kurasa nggak akan mudah untuk menemukannya. Gimanapun juga, ini adalah Gurun Kematian Merah, diabaikan oleh para roh—"


"Betul juga sih."


"......."


Lalu—


Fianna yang sedang merenung sambil menundukkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun, tiba-tiba mengangkat kepalanya.


"Hmm, siapa yang mau mencoba mandi pasir?"


"Mandi pasir?"


Claire dan para cewek mengangkat alis mereka sambil memasang ekspresi terkejut di wajah mereka.


"Ya, apa kalian tau kalau pasir yang telah dimurnikan oleh cahaya matahari itu semurni air?"


"A-Apa betul begitu?"


"Aku nggak pernah dengar soal ini."


"Selalu ada pertama kali untuk segalanya, ayo—"


Dihadapkan dengan pertanyaan dari Claire dan yang lainnya, Fianna mengangguk dan menjawab dengan penampilan percaya diri.

Bagian 2[edit]

Dengan pandangannya sepenuhnya gelap—


"....H-Hei, apa kalian belum selesai?"


Kamito bertanya takut-takut.


"B-Belum geblek!"


"Sudah pasti belum!"


Akan tetapi, yang dia dapatkan adalah jawaban-jawaban semacam ini.


"Sejujurnya, postur ini agak nggak nyaman...."


Kamito yang matanya ditutupi mencoba memutar tubuhnya.


Akan tetapi, pasir yang menimbun dia nggak bergeming sedikitpun.


Yah, dia bisa saja menggeliat keluar kalau dia betul-betul ingin kabur—


Tapi kalau dia melakukannya, dia harus mempersiapkan diri untuk menerima serangan dari Claire dan para cewek.


"....."


....Dia bisa mendengar apa yang terdengar seperti gemerisik kain yang menggoda.


Mungkinkah mereka sedang melepas pakaian dalam mereka...?


(...Ngomong-ngomong, ini kelihatan betul-betul buruk dari semua perspektif.)


Kamito mendesah dalam-dalam dalam hatinya.


Seluruh tubuhnya ditimbun dalam pasir, dan matanya ditutup.


Kalau ada yang melihat ini, mereka mungkin akan memperlakukan dia sebagai orang aneh yang otaknya sudah gangguan... Tidak, ini sudah cukup menyimpang meskipun tanpa memerlukan seorang pengamat.


Haaa, bisa dikatakan, dikubur didalam pasir seperti ini juga bisa dianggap sebagai jenis pemurnian.


(Daripada membuatku gak bisa melihat, kenapa nggak ganti pakaian di tempat yang lebih jauh?)


Itulah yang dia pikirkan.


Kemungkinan, Claire dan para cewek mungkin menganggap bahwa dia sudah cukup jauh.


...Hanya disaat-saat seperti ini Kamito betul-betul mengutuk pendengarannya yang sangat tajam yang diasah selama latihannya di Sekolah Instruksional.


"E-Entah kenapa, jantungku berdebar kencang, s-segera setelah aku menyadari aku telanjang diluar ruangan...."


"Y-Ya.... Aku netadar seperti aku melakukan sesuatu yang gak bisa disebutkan..."


Nggak sadar kalau Kamito bisa mendengar mereka, para cewek mulai berbisik diantara mereka sendiri.


"Tapi perasaan kebebasan ini betul-betul menakjubkan. Bahkan bikin ketagihan...♪"


"Fianna, A-Apa yang kau bicarakan!?"


Suara gemerisiknya semakin banyak.


".....Ugh, p-pasirnya... masuk ke tempat-tempat aneh... Ah... Sungguh menjengkelkan."


"Sensasinya.... ugh... terasa agak menjijikkan. A-Aku lebih senang mandi menggunakan air."


Sek-sek.... Suara paha yang digosok-gosokkan.


(Woi, yang benar saja....!)


Didalam pasir, Kamito tersipu merah.


"U-Uwah! A-Apa ini....!?"


Lalu, Ellis berteriak.


"Ellis, ada apa?"


"B-Bukan apa-apa... Uh, umm...."


"Tunggu sebentar, ada apa dengan pakaian dalam itu! Itu mengencangkan payudaramu, kan!?"


"Aku menyangka Ellis begitu tegas dan sopan. Ternyata kau berani juga...."


"Kapten, i-ini gak senonoh!"


"S-Salah, bukan begitu!"


Ellis membantah dengan nada suara terisak.


"Apa maksudmu salah?"


"I-Ini adalah pakaian renang kakaku! Sepertinya aku memasukkannya kedalam tasku secara gak sengaja..."


"Ah, aku paham..."


"Seorang cewek yang ternyata kikuk."


Fianna bergumam agak jengkel.


"....Hiks."


....Nggak bisa melihat apa-apa, Kamito membayangkan pemandangannya.


Dibandingkan dengan postur luar biasa milik Ellis, Velsaria sudah pasti terhitung ramping.


Kalau Ellis memakai pakaian dalam milik Velsaria, akan seperti apa itu penampilannya....?


....Gimanapun juga, Kamito adalah seorang cowok remaja.


Saat ini, cewek-cewek di usianya sedang memakai pakaian memalukan didekatnya.


Meskipun matanya tertutupi, itu hanya merangsang imajinasinya lebih jauh lagi.


(....! T-Tidak....!)


Kamito menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran menjengkelkan yang muncul didalam benaknya.


Akan tetapi, para cewek mulai memurnikan diri mereka dengan mandi pasir, tanpa mengetahui semua upaya Kamito.


"Baiklah, pertama mari kita membilas tubuh kita dengan pasir."


Fianna terlihat sangat menikmati.


"A-Aku merasa agak jijik...."


"Rasanya aneh."


Selain gerutuan verbal mereka, Kamito bisa mendengar gemerisik dari para cewek yang menciduk pasir.


"...~, nn... Ah... Perasaan dari pasir yang meluncur terasa begitu geli."


"Pasirnya ke pantatku... Nn, pasirnya nempel..."


"...Ah, m-menyelinap melewati... payudaraku... Hyah♪"


"Ellis, mandi kayak gitu nggak akan membuat payudaramu bersih♪"


"Y-Yang Mulia, apa yang kau lakukan, guh.... Ah♪"


Bahkan erangan-erangan keluar dari Ellis yang biasanya tegas dan sopan.


(A-Apa yang terjadi...!?)


Mau tak mau Kamito menelan ludah.


....Pada tingkat ini, itu terasa seperti segala macam hal gila akan terjadi!


(K-Kurasa aku harus masuk kedalam pasir dan pergi....)


Earth Stealth Movement—Menggunakan sebuah teknik pembunuh dari Sekolah Instruksional, dia memutar tubuhnya, menggali kedalam pasir.


Tapi mungkin karena hal ini, atau mungkin karena memang nggak terikat kuat, penutup matanya terlepas.


"...!"


Dengan begitu, pemandangan yang diterangi oleh api memasuki mata Kamito.


Claire membeku, dipertengahan melepas celana dalamnya untuk menyingkirkan pasir. Rinslet sedang mengangkat pantatnya yang indah kearah Kamito. Adapun untuk Fianna, dia sedang menggunakan pasir untuk menggosok payudara lembut milik Ellis yang meluap dari potongan kain segitiga yang menahan payudaranya.


Pemandangan indah yang seperti mimpi membuat otak Kamito nge-blank, membuat dia membeku di tempat.


"...! U-Uwah! K-Kamito, a-apa, a-apa yang kau lakukan!?"


Menyadari tatapannya, Claire berteriak sembari wajahnya memerah padam.


"N-Nggak tau malu!"


"K-Kamito, dasar bejat!"


"T-Tidak tunggu! Penutup matanya terlepas secara nggak sengaja—"


Menyadari nyawanya dalam bahaya, Kamito segera bangun dari pasir.


Melihat tubuh bagian atasnya yang telanjang, cewek-cewek itu menjerit.


"A-Apa yang kau tunkukkan pada kami!? D-Dasar bejat! Tukang pamer! Binatang bejat!"


"Sekarang siapa yang tukang pamer, lihatlah dirimu sendiri..."


Menerima gelombang tuduhan-tuduhan sepihak dari Claire, Kamito nggak mundur.


"S-Selain itu, kalau kalian mau mandi pasir, kenapa nggak melakukannya ditempat yang lebih jauh!?"


"I-Itu—"


"Nggak perlu. Nggak setiap hari aku memakai pakaian renang. Kamito-kun perhatikanlah baik-baik♪"


"K-Kau, k-kau, apa yang kau bicarakan? Dasar putri idiot, dasar putri bejat!"


Claire terus memukul-mukulkan tangannya pada Fianna. Tubuhnya yang berkembang yang berbalut pakaian renang, sangatlah menarik hingga membuat jantung Kamito berdebar-debar kencang.


"P-Pokoknya, Kamito, berbaliklah sekarang!"


"Baik...."


Melihat Claire hendak mengayunkan cambuknya setiap saat, Kamito buru-buru memalingkan tatapannya.


Tepat saat dia menghela nafas "syukurlah"....


"....Huh?"


Dia mau tak mau mengeluarkan suara bodoh.


Didepan dia—


Seekor raksasa melayang di udara, memancarkan cahaya biru-putih.


"Ap—"


Sebelum dia bisa menyelesaikan kata "apa", seketika itu...


CRAAASH!


Raksasa itu mendarat di tanah.


"Kyahhhhh!"


"A-Apa yang terjadi!?"


Gelombang kejut dari pendaratan itu menghempaskan segala yang ada di sekitar, menciptakan awan debu dan pasir yang besar.


"....! A-Apa itu!?"


Nyaris gagal tetap berdiri, Kamito membuka matanya dan menatap raksasa yang ada dihadapan dia sekali lagi.


Raksasa itu memiliki tubuh berotot dan kepala banteng.


Membawa sebuah pedang bermata dua, raksasa itu berdiri tegak sambil menatap Kamito dengan cermat.


"A-Apa-apaan ini, kau....!"


Terbatuk berulang kali karena pasir, Claire berteriak, masih mengenakan pakaian renangnya.


"....! Berani-beraninya kau... karenya.... Gak bisa dimaafkan!"


Rinslet dengan mengeluarkan busur elemental waffe miliknya. Dihempaskan oleh angin, panci yang kosong menggelinding ke kakinya.


...Karenya betul-betul habis.


"Kalian berdua, tahan!"


Melihat Claire dan Rinslet hendak menyerang, Fianna bergegas menghentikan mereka.


"Itu roh lho."


"Seekor roh? Tapi Yang Mulia, bukankah tidak ada roh di gurun ini?"


Ellis bertanya penuh keraguan.


Memang, nggak ada roh yang tinggal di Ghul-a-val... Seperti itulah seharusnya.


(Terus mahluk apa ini...?)


Kamito terkejut.


...tidak, raksasa yang ada didepan dia sudah pasti adalah seekor roh.


Terlebih lagi, roh itu sangat dekat dengan humaniod—seekor roh tingkat tinggi. Memang, nggak akan mengejutkan kalau roh tingkat tinggi tinggal di gurun—


Sesaat kemudian—


Wham—raksasa berkepala banteng itu mengayunkan pedang besar yang ada ditangannya.


Ujung dari pedang itu berada tepat didepan hidung Kamito.


"...! Kamito!"


Claire berteriak ketakutan.


Akan tetapi, Kamito tetap diam tak bergerak, karena dia nggak merasakan permusuhan.


—Aku adalah penilai—yang bertugas menilai apakah engkau layak.


Raksasa itu berbicara. Suara yang berat memggema di gurun.


"Layak? Untuk apa?"


—Tuanku hanya akan menyambut orang yang layak ke Makam—


"Makam katamu?"


Kamito segera menyadarinya.


(Mungkinkah roh ini...?)


"Penjaga dari Makam Raja Iblis...?"


Dibelakang dia, Claire berbicara penuh keterkejutan.


"....Aku mengerti. Jadi kau adalah penjaga gerbang."


Menatap ujung pedang yang diarahkan padanya, Kamito berkata.


Makam Raja Iblis memiliki penjaga, ini memang wajar.


Akan tetapi, dia nggak pernah menyangka kalau penjaganya akan muncul secara aktif seperti ini—


(Tapi sebenarnya ini adalah keuntungan kami...)


Karena roh ini muncul—


Maka sangat tinggi kemungkinannya bahwa Makam Raja Iblis memang benar-benar ada di gurun ini.


"Lalu—"


Menatap balik roh itu, Kamito berbicara.


"Lalu bagaimana caranya kami membuktikan apakah kami layak atau tidak?"


—Hanya ada satu metode untuk menilainya. Tunjukkan kekuatan engkau.


"...Begitukah."


Kamito mengangkat bahu.


Dia melangkah mundur beberapa langkah dan mencabut dua pedang, roh-roh terkontraknya, yang menancap di tanah—Demon Slayer dan Vorpal Sword.


Lalu dia tersenyum tak kenal takut.


"—Sangat pas untukku."


Kalau syarat yang diminta adalah keturunan kerajaan atau sesuatu seperti ini, Kamito betul-betul akan tak berdaya—


Tapi seorang kawan yang hanya perlu ditaklukkan dengan kekuatan, itu membuat semuanya jadi mudah.


"—Kamito, jangan ceroboh."


Segera setelah dia mengambil pedang iblis kegelapan, suara Restia terdengar didalam kepalanya.


"Restia, kamu tau roh ini?"


"Ya. Ini adalah salah satu dari 72 roh yang digunakan oleh Raja Iblis dimasa lalu, roh penjaga, Sphinx. Kalau menggunakan sistem klasifikasi manusia, itu adalah roh kelas archdemon."


"Kelas archdemon, huh?"


Diantara misi di Akademi Roh Areishia, ini adalah sebuah target tingkat kesulitan maksimum. Mereka dikatakan sebagai roh-roh yang hanya tinggal dibagian terdalam Hutan Roh. Bahkan Velsaria Eva butuh beberapa minggu untuk memgalahkan seekor roh kelas archdemon sendirian.


Akan tetapi, Kamito gak terpengaruh.


"Itu bukan kelas legenda atau kelas mitos kan? Nggak masalah—"


Mengucapkan kata-kata yang berani, Kamito menuangkan divine power pada kedua pedangnya.


Pedang baja suci bersinar putih perak, sedangkan pedang iblis kegelapan menjadi diselimuti cahaya demonik hitam legam.


"Kamito, kami akan bertarung juga."


"Aku harus balas dendam untuk kareku!"


Cewek-cewek itu mempersiapkan elemental waffe mereka masing-masing dan bersiap menyerbu.


Akan tetapi, Kamito menggeleng.


"Makasih, tapi akan lebih baik kalau kalian mundur saja—"


"K-Kenapa!?"


"Bahkan kami juga bisa membantu!"


"Ya, aku tau. Tapi kalian nggak akan bisa mengeluarkan kekuatan tertinggi roh terkontrak kalian kalau kalian belum menyelesaikan pemurnian kalian, kan?"


"Uh...."


Claire langsung terdiam.


Flametongue yang ada di tangannya hanya memiliki sedikit dari api yang biasanya. Elemetal waffe milik Ellis dan Rinslet juga berada dalam kondisi yang sama.


"Semuanya, serahkan ini pada Kamito-kun."


"B-Baiklah...."


Bergumam, Aku nggak memberiku pilihan— Claire menghilangkan Flametongue.


"Kamito, tanggung sendiri akibatnya kalau kau kalah, ngerti?"


Kamito dalam diam mengangguk dan melangkah maju.


Faktany, ada alasan lain kenapa Kamito memilih bertarung sendiri.


Roh ini mengatakan—Tunjukkan kekuatan engkau.


Kalau seluruh tim bekerjasama untuk mengalahkan roh itu, mereka mungkin akan dianggap nggak layak.


—Ohhhhhhhhhhhhhhhhh!


Si penilai—Sphinx—meraung, mengguncang tanah seperti sebuah gempa bumi.


Suasananya langsung menjadi tegang. Kamito merasakan aura intimidasi yang tajam merangsang kulitnya.


"Waktu yang sangat pas. Nah sekarang coba kita lihat apakah aku layak atau tidak—"


Kamito menyeringai.


Sesaat kemudian, dia melepaskan divine power yang dikonsentrasikan dibawah kakinya dan menyerbu ke depan dengan kekuatan penuh.

Bagian 3[edit]

(Seekor roh besar kelas archdemon, aku akan mengunakan Bentuk Penghancur untuk mengakhiri ini dalam sekali serbu!)


Gaya bertarung daru melakukan sebuah tarian pedang sangatlah berbeda dari gaya bertarung untuk memburu roh.


Tarian pedang menekankan pertukaran berbagai teknik pedang yang mendebarkan dengan lawan, sedangkan memburu roh menekankan pertempuran langsung antara kekuatan melawan kekuatan.


Menuangkan seluruh divine power kedalam kedua elemental waffe miliknya, Kamito melepaskan serangan ganas dalam satu tarikan nafas—


Ini adalah cara berburu yang diajarkan Greyworth pada dia melalui pertarungan latihan


"Ohhhhhhhh!"


Divine power yang bersinar dilepaskan dari seluruh tubuhnya menerangi gurun dimalam hari dengan sangat terang.


Kamito melepaskan sebuah teknik pedang ganda dari Teknik Pedang Absolut—Ledakan Tarian Pedang Spiral, Sambaran Seribu PetirAbsolute Blade Arts—Bursting Blossom Spiral Blade Dance, Thousand Strikes of Swift Thunder.


Bukannya sebuah teknik pedang anti-personil, teknik ini diciptakan untuk mengalahkan roh-roh besar.


Sphinx mengayunkan pedang besarnya secara horizontal.


Disertai dengan badai pasir yang menderu, serangan itu menyerang Kamito.


(Trik murahan—)


Dihadapkan dengan sebuah tarian menggila dari pedang angin yang tak terhitung jumlahnya, Kamito menyerbu kedepan tak gentar.


Lintasan-lintasan dari pedang-pedang angin itu mustahil untuk dibaca.


Akan tetapi, hanya dengan melihat aliran pasir yang ada di udara, penghindaran bukanlah hal yang sulit.


Pedang-pedang angin itu mengikis pipinya, darah terciprat, tapi Kamito menyerbu kearah dada raksasa itu, sepenuhnya tak terpengaruh.


"Absolute Blade Arts, Bentuk Penghancur—Bursting Blossom Spiral—"


Tiba-tiba, dia menghentikan aktifasi teknik pedangnya dan memasang kuda-kuda bertahan dengan menyilangkan pedang kembar miliknya.


Sebuah tembakan cahaya berwarna merah melintasi ujung pedangnya.


(....Apa!?)


BOOOM!


Sebuah ledakan menghasilkan gelombang kejut, membuat Kamito terlempar.


"Guh—"


Sambil memulihkan posturnya dan mendarat di pasir, tembakan kedua ditembakkan pada dia.


Sebelum pikirannya secara aktif membuat keputusan, tangan kanannya secara reflek mengayunkan Demon Slayer.


Clang— Suara yang keras menggema.


Ditepis, tembakan cahaya itu menghantam suatu tempat secara diagonal dibelakang dia. Sebuah pilar api muncul disertai suara ledakan.


Kalau terkena serangan itu secara langsung, akan membuat Kamito berubah menjadi arang dalam sekejap. Tidak, berupaya bertahan akan sia-sia saja kalau dia nggak punya roh pedang terkuat di tangannya.


Sungguh serangan yang memiliki akurasi dan kekuatan yang mengerikan—


(...Cih, serangan barusan adalah—)


Sekarang Kamito bisa membaca gerakan Sphinx sepenuhnya.


Jika demikian—


Kamito secara paksa mendongak ke langit.


Disana—


Seekor raksasa berkepala anjing melayang di udara, memegang tongkat ditangannya.


"....Cih, ada satu lagi!?"


Secara nggak sadar ekspresi Kamito menjadi kaku.


"Bentar dulu, nggak ada yang memberitahuku apapun..."


Berkebalikan dengan Sphinx berkepala banteng yang terspesialisasi dalam pertarungan jarak dekat, Sphinx berkepala anjing itu nampaknya adalah tipe yang berfokus pada serangan jarak jauh.


"—Sphinx adalah sebuah sistem dari empat entitas yang bertugas dalam peran-peran yang berbeda."


"Apa-apaan itu, memberitahuku setelah terjadi sangatlah gak adil!


"Kamito, kau pasti menemukan cara untuk menanganinya."


Restia membalas secara acuh tak acuh.


....Kata-katanya sama persis dengan ketika Greyworth menempatkan dia di hutan tiga tahun yang lalu.


Akan tetapi, melawan dua roh kelas archdemon secara bersamaan bukanlah sebuah tantangan yang dia hadapi selama masa pelatihan yang nggak manusiawi dari Greyworth—


"Roh kelas ecek-ecek seperti ini bukanlah tandingannya Kamito."


Est menimpali dengan komentar yang nggak jauh beda.


(Roh kelas ecek-ecek...)


Dari sudut pandang Est, mungkin roh kelas archdemon hanyalah setingkat itu—


Sambil meringis dalam hatinya, Kamito mengangkat kedua pedangnya.


....haaaa, dia sudah membual pada Claire dan para cewek bahwa dia akan menangani ini sendirian.


Meskipun lawannya bertambah satu, dia gak punya pilihan selain terus menyerang.


(Gimanapun juga, aku punya dua roh ultimat di sisiku—)


Raksasa berkepala banteng meraung dan menyerbu.


Sphinx ini mungkin menyimbolkan kekuatan.


Tipe petarung jarak dekat yang menekankan kekuatan—Ini tidaklah sulit untuk dihadapi bagi Kamito.


(Yang jadi masalahnya Sphinx berkepala anjing, huh—)


Melayang-layang di udara, Sphinx berkepala anjing itu sepertinya bertugas untuk melindungi Sphinx berkepala banteng. Mencari celah nggak akan mudah.


Ohhhhhhhhhhhhh!


Dihadapkan dengan ayunan Sphinx dengan kekuatan penuh—


Kamito menggunakan bagian belakang dari Demon Slayer untuk menangkis dan menepis.


Adu kekuatan akan sangat nggak menguntungkan bagi dia. Dengan langkah yang gesit, Kamito—


"Absolute Blade Arts, Bentuk Ketiga—Shadowmoon Waltz—Major Double Turn."


Dia mengeluarkan serangan-serangan membabi buta yang ganas.


Petir hitam dan kilatan putih saling bercampur. Partikel-partikel divine power yang membentuk tubuh Sphinx itu berhamburan di gurun merah layaknya tetesan darah.


Akan tetapi, roh kelas archdemon itu nggak mengalami kerusakan parah.


(Terlalu lemah, huh—)


Shadowmoon Waltz adalah sebuah teknik dari Absolute Blade Arts untuk pertarungan kelompok.


Meskipun unggul dalam jumlah serangan, teknik itu lebih lemah dalam kekuatan.


(Tidak, bukan itu yang jadi masalah disini—)


Pedang besar milik Sphinx itu melintas. Kamito agak membungkuk, menghidari pedang itu tepat waktu.


(Secara gak sadar aku takut menggunakan divine power—)


Absolute Blade Arts membutuhan penggabungan manipulasi dari divine power dengan gerakan serangan. Kalau dia mengkonsumsi terlalu banyak divine power secara gak sengaja, kekuatan Elemental Lord Kegelapan yang bersemayam didalam tubuhnya mungkin akan bangkit. Secara berlebihan takut akan hal ini, Kamito secara gak sadar membatasi dirinya sendiri.


Akan tetapi, hal ini membuatnya mustahil untuk mengalahkan roh-roh yang sangat tangguh.


(Sesaat. Dalam waktu yang sesaat, sebuah ledakan dari divine power—)


Sambil menghidari ayunan serangan itu, Kamito melangkah masuk kedalam celah yang terbuka dari lawannya.


(Sepuluh detik—tidak, tujuh detik. Aku akan habis-habisan. Bisakah kalian menahannya?)


"Ya, Kamito—"


"Serahkan padaku—"


Pedang kembar terkuat itu menjawab dangan cahaya putih dan hitam.


Sphinx di depan dia mengayunkan pedang besarnya, terselimuti angin puyuh. Menghidari serangan itu dengan waktu yang pas, Kamito melangkah keatas pedang itu saat perang tersebut menancap di tanah, lalu melompat ke kepala musuh.


Lalu—


"Absolute Blade Arts, Bentuk Kedua—Meteor!"


Sebuah teknik turunan dari Purple Lightning—Dimaksudkan untuk membunuh dengan satu serangan, serangan itu menghantam kepalanya dangan ganas.


Demon Slayer, yang diresapi dengan divine power seluruh tubuhnya—


Menghantam tanduk Sphinx itu.


"Kamito—!"


Restia memperingatkan. Tentu saja, Kamito juga tau. Serangan yang sebelumnya, yang telah dia pelajari gerakan awalnya dari Sphinx yang ada di udara.


Saat mendarat, dia segera bergerak. Kamito memutari punggung roh berkepala banteng itu, menggunakan tubuhnya yang besar sebagai perisai.


Tembakan cahaya dihujankan, menembus seluruh tubuh Sphinx itu.


BOOOOOM!


Terjadi ledakan. Bahkan dengan roh sebagai perisai, seseorang nggak akan selamat tanpa terluka kalau terkena ledakan itu.


Akan tetapi, Kamito sudah nggak ada disana. Disaat tembakan cahaya itu menghantam, Kamito memanfaatkan awan debu sebagai penghalang untuk mendekati Sphinx yang ada di udara.


Sphinx berkepala anjing itu berputar, menciptakan bola api yang tak terhitung jumlahnya di sekitar tongkatnya.


(Telat—)


Kamito dengan lincah meluncurkan Demon Slayer.


Akan tetapi, bukannya mengincar Sphinx yang ada diatas, targetnya adalah tanah yang berjarak beberapa langkah didepan dia.


Bola-bola api yang berkumpul di ujung tongkat itu berubah menjadi tembakan cahaya, meluncur ke bawah seperti hujan api yang panas—


Lalu, Kamito melompat. Menginjak gagang pedang suci yang menancap di tanah, dia membuat divine powernya meledak.


Ini berbeda dari Pengurangan Medan biasa yang dilakukan dengan mengkonsentrasikan divine power dibawah kakinya dan membiarkannya meledak—


Sebaliknya, dia membuat divine power yang tertuang kedalam Demon Slayer kembali pada dia dengan cara yang sangat ganas.


"Absolute Blade Arts, Bentuk Ketujuh—Biting Dragon!"


Kayaknya anak panah yang meninggalkan tali busur—


Meluncur keatas, Kamito mengayunkan pedang iblis kegelapan di udara.


Bersama dengan tongkat yang ada di tangannya, Sphinx itu langsung terbelah menjadi dua.


Roh berkepala anjing itu berubah menjadi partikel cahaya dan menghilang. Seperti yang diduga, Sphinx ini kurang dalam daya tahan.


Pembalikan menggunakan sisa momentumnya, Kamito lalu mendarat di pasir.


"Sekarang, satu lawan satu—"


Mencabut Demon Slayer, Kamito berbalik untuk menghadap Sphinx berkepala banteng.


"Mari kita akhiri ini—"


Menuangkan divine power pada kedua pedangnya, Kamito bersiap mengeluarkan teknik tertinggi dari Absolute Blade Arts—Bentuk Penghancur.


Lalu—


—Kekuatan engkau, luar biasa.


Sphinx itu menurunkan pedang besar yang ada di tangannya dan berbicara.


"...?"


—Jalan Makam terbuka. Penerus Raja Iblis dipersilahkan bertemu dengan Ratu.


Mengatakan itu, tubuh Sphinx itu berubah menjadi partikel cahaya dan perlahan-lahan menghilang—


"H-Hei....!"


Sebelum Kamito bisa menghentikan Sphinx itu—


Dia menghilang tanpa jejak.


...Hanya menyisakan debu yang tertiup angin.


"Uh, kurasa, aku diterima...?"


Dihadapkan dengan kesimpulan yang muncul secara anti-klimaks—


Kamito merasa sangat lelah, membeku di tempat.


"Kamito!"


"Kamito-kun!"


Para cewek berlari mendekat dari belakang puing-puing kapal, tempat mereka menonton pertempuran.


"Kamito-san, apa kamu baik-baik saja?"


"Ya, nggak masalah...."


Kamito mengangguk secara ambigu.


Meskipun kedua roh kelas archdemon itu sangat kuat, dibandingkan dengan Greyworth di masa keemasannya yang dia lawan di Dracunia, mereka bukanlah apa-apa.


"Ngomong-ngomong, apa tepatnya kelayakan itu...."


Kamito bergumam sendiri, lalu....


"Apa itu!?"


Ellis berteriak, menunjuk ke gurun dimana pasir berhembus.


"...?"


Semua orang melihat kearah yang sama.


Disana—


"A-Apa itu—?"


Berada jauh di cakrawala, sebuah bayangan muncul.


"Jelas-jelas barusan nggak ada apa-apa..."


"Memang..."


Cewek-cewek itu bergumam terkejut, saling bertukar tatap.


Setelah jeda singkat—


"Mungkinkah itu...."


Fianna perlahan-lahan mulai bicara.


"...Apa itu Kota Raja Iblis?"

Bagian 4[edit]

Larut malam. Didalam sebuah ruangan dimana sebuah lampu kecil menyala—


Rubia Elstein saat ini sedang membaca dokumen rahasia yang ditemukan dari Scorpia.


Sebagian besar dari dokumen-dokumen rahasia ini adalah tentang Perang Ranbal.


Ini adalah perang besar dimulai dari sebuah wilayah kecil diantara Ordesia dan Kerajaan Suci Lugia yang akhirnya melibatkan seluruh benua.


Meskipun gencatan senjata selamanya telah ditandatangani oleh kedua negara itu sejak 20 tahun yang lalu, pengaruh perangnya masih tersisa dimana-mana.


(Eksperimen untuk mentransfer kekuatan roh pada manusia, eksperimen untuk merangsang roh-roh untuk menghancurkan diri agar energi internal mereka mengamuk... Ini lebih mengerikan daripada yang dibayangkan—)


Rubia menyalakan api di ujung jarinya dan membakar tumpukan dokumen menjadi abu.


Kejahatan parah semacam itu, sampai-sampai mengubah para roh menjadi alat pedang, sangatlah memuakkan.


Teokrasi tidaklah sendirian. Di kala itu, setiap ngarar melakukan hal yang serupa.


Bahkan negara asalnya, Kekaisaran Ordesia, telah meneliti segel persenjataan terkutuk dan roh-roh militer kelas strategi yang dimodifikasi menjadi senjata penghancur masal.


(Aku nggak punya hak untuk mencemooh kebodohan semacam itu, kurasa—)


Rubia Elstein menyipitkan matanya yang seperti ruby dan mencemooh dirinya sendiri.


Dia telah merusak tubuhnya sendiri dengan segel persenjataan terkutuk demi mendapatkan kekuatan, dengan demikian mendiskualifikasi dirinya sendiri sebagai seorang princess maiden murni.


Tentu saja, dia nggak menyesalinya. Tapi—


(Tubuh hina ini nggak lagi memiliki hak untuk memegang tangan adikku—)


Inilah satu-satunya hal yang dia rindukan, membebani pikirannya.


(Tapi pria itu—)


Tiba-tiba, wajah Kamito muncul dalam benaknya.


Teringat pertama kalinya dalam hidupnya menunjukkan tubuh telanjangnya pada seorang pria, dia langsung tersipu, wajahnya menjadi panas.


Dia nggak pernah mengalami perasaan seperti itu dalam hidupnya.


Segera setelah Rubia berpikir tentang Kamito, hatinya menjadi gelisah.


(Kenapa—?)


Lalu, tiba-tiba, dia merasakan rasa sakit yang tajam ditangan kanannya.


Wajahnya mengernyit karena rasa sakit itu, rasanya separah dibakar api, dia mengarahkan tatapannya pada tangan kanannya, yang dia lihat—


Sebuah lambang merah, menyimbolkan api, bersinar terang.


"....Ap...a...?"


Rubia melebarkan matanya yang seperti ruby.


Ini adalah tanda yang gak menghilang bahkan setelah dia mendiskualifikasi dirinya sendiri sebagai seorang princess maiden.


—Segel dari kontrak roh yang dibentuk dengan Elemental Roh Api.


Catatan Penerjemah[edit]

  1. campuran bumbu-bumbu dan tepung untuk membuat saus atau mengentalkan sup. Penampakannya mirip krim. Aku gak tau apa sebutannya, jadi aku biarkan bahasa inggris
Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 5 - Kota Raja Iblis[edit]

Bagian 1[edit]

Sebuah kota tiba-tiba muncul dari balik badai pasir.


Saat Kamito dan para cewek sampai di gerbang kota, fajar sudah hampir menyingsing.


"Kamito... Apa kita berhalusinasi? Ataukah ini adalah sebuah fatamorgana?"


"Itulah yang kupikirkan—"


Kamito bergumam. Pemandangan didepan dia sangatlah mencengangkan, membuat dia diam terpaku.


...Bahkan dengan semua ini berada tepat didepan matanya, itu tetaplah sulit dipercaya.


Dikelilingi oleh dinding kota yang kokoh, tempat ini bukanlah semacam reruntuhan kuno—


Sebaliknya, itu adalah sebuah kota metropolitan yang sangat sibuk, dipenuhi dengan kerumunan orang yang riuh dan ramai.


"....N-Nggak mungkin, gimana bisa kota semacam ini ada di tengah-tengah gurun?"


Claire terus berkedip-kedip dan bahkan dia mencekik leher Kamito.


"....Hentikan, sakit tau."


Meskipun mereka semua punya banyak pertanyaan dalam benak mereka—


Kamito dan rekan-rekannya tetap melangkah masuk melewati gerbang.


Jalan utamanya terbentang dari gerbang kota yang mana dipenuhi warga yang tak terhitung jumlahnya dan toko-toko yang berbaris di sisi kiri-kanannya. Kereta-kereta kuda yang penuh muatan mondar-mandir di plaza.


Orang-orang di jalanan mengenakan pakaian yang mirip dengan pakaian dari Teokrasi, tapi ada sedikit perbedaan dalam desain aksesorisnya dan cara mereka memakai sorban dibandingkan dengan warga Mordis.


"Ini bukan hasil dari sihir roh atau sebuah penghalang—"


Menyeka keringat dari keningnya, Fianna berbicara.


"Orang-orang disini kelihatan hidup."


Claire dan para cewek saling bertukar tatap. Kalau ini adalah sebuah halusinasi yang dihasilkan oleh sihir roh atau penghalang, Fianna akan mengetahuinya—itulah yang mereka pikirkan.


"M-Mustahil! Gimanapun juga, ini adalah gurun kematian!"


"Itu benar. Sulit untuk mempercayai meskipun aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."


"Aku juga nggak bisa mempercayainya. Bukan masalah roh apa, hal semacam ini—"


"Mustahil—aku nggak yakin dengan itu, Yang Mulia."


Bulu-bulu hitam legam melayang di langit saat roh kegelapan muncul mengenakan pakaian berwarna hitam.


"Restia—"


"Kalau seseorang meminta pada roh yang kuat, seperti Elemental Lord, bukankah hal semacam ini bisa saja terjadi?"


"Apa, kau bilang kau mengetahui sesuatu, roh kegelapan?"


Mendengar ini, Claire mengernyit, tapi Restia menggeleng.


"Ini nggak bisa dibilang tau, tapi aku bisa membayangkan seseorang yang mampu melakukan ini selain roh-roh yang kuat."


"Raja Naga Dracunia, contohnya?"


"Memang. Itu mungkin saja bagi roh setingkat itu."


"Ini Makam Raja Iblis, kan?"


Kali ini Kamito yang bertanya.


"Ya, meskipun secara teknis, ini lebih tepat kalau dibilang Kota Raja Iblis daripada Makam. Nggak diragukan lagi ini adalah Alkazard, ibukota Zoldia, kerajaan Raja Iblis Solomon. Selain itu, kota ini kelihatan sama persis seperti seribu tahun yang lalu."


Restia mengangguk dan berbicara dengan ekspresi yang agak bingung.


Nggak seorangpun meragukan dia. Gimanapun juga, dia telah melihat sendiri Kota Raja Iblis seribu tahun yang lalu dengan matanya sendiri—


"Uh, sebenarnya apa yang terjadi?"


"Siapa tau...?"


Restia memejamkan matanya dan menggeleng.


Sepertinya kenyataan ini juga membuat dia bingung.


Ini adalah Kota Raja Iblis, yang seharusnya sudah dihancurkan oleh Sacred Maiden Areishia seribu tahun yang lalu.


Kenapa kota ini masih ada tanpa berubah sedikitpun sampai hari ini?


"Lihat! Orang-orang yang keluar dari gerbang menghilang secara perlahan-lahan—"


Mendengar suara Claire, Kamito dan yang lainnya melihat ke arah gerbang kota.


"A-Apa yang terjadi sebenarnya...?"


"A-Apa mereka adalah halusinasi? Tapi—"


Rinslet merasa takut. Ellis bergumam sambil memasang penampilan yang menunjukkan bahwa dia gak bisa memahami semua ini.


"....Yah, diam saja disini nggak ada gunanya."


Claire mengangkat bahu dan mengalihkan tatapannya pada alun-alun yang dipenuhi orang.


"Ayo masuk dan memeriksanya."


"Yeah—"

Bagian 2[edit]

Kamito dan rekan-rekannya berjalan di jalan yang mengarah ke alun-alun.


Ada sebuah kanopi yang dipasang diatas jalan utama yang penuh dengan orang-orang yang datang dan pergi. Keramaian dan suasana ini mengingatkan pada pasar di Mordis.


Pastinya, seorang pria berjalan bersama lima cewek manis di kota akan menarik banyak perhatian. Disepanjang jalan, para pria di toko-toko terus melirik Kamito.


Dilatih di Sekolah Instruksional, Kamito sedikit memahami bahasa lain selain dari bahasa yang dipakai sehari-hari. Akan tetapi, dia sama sekali nggak bisa memahami apa yang dikatakan para pedagang.


Dia cuma bisa mengatakan bahwa bahasa itu agak mirip dengan bahasa Teokrasi—


"Restia, apa kamu bisa mengerti apa yang mereka katakan?"


Oleh karena itu, dia menanyai Restia yang berjalan disamping dia.


"Hmm, binatang cabul, raja iblis bejat, penghipnotis, dan sebagainya...."


...Dia mendapatkan jawaban yang sepenuhnya nggak ingin dia ketahui.


"Nggak mungkin! Bukankah Raja Iblis Bejat adalah julukan dari Akademi!?"


"Fufu, legenda Kamito sebagai Raja Iblis Malam Hari sudah cukup untuk menembus ruang dan waktu."


"Yang benar saja!"


Melihat Kamito membantah jengkel, Restia terkikih.


Lalu, Claire yang melihat-lihat sekeliling, bergumam dengan penampilan rumit di wajahnya.


"....Dari yang terlihat, aku bisa bilang kalau mereka terlihat seperti orang normal."


"Ya, dan kau bisa menyentuh mereka juga. Sulit untuk menganggap semua ini sebagai sebuah halusinasi."


Sambil menopang dagunya, Fianna setuju.


"....Siapa yang melakukan ini, dan kenapa?"


Melewati jalan utama yang ada penutupnya, mereka sampai di jalanan yang langsung diterangi oleh langit biru yang cerah.


Tiba-tiba, Ellis menyadari sesuatu dan berbicara.


"....Apa itu?"


Diarah dia menunjuk—


Sebuah bangunan raksasa berbentuk segi empat berdiri di tengah kota.


Dindingnya yang berwarba abu-abu dengan kilauan metalik memantulkan cahaya matahari.


Dibandingkan dengan pemandangan kota yang sibuk, gaya bangunan bersejarah ini terlalu mencolok.


"Apa itu... Sebuah tempat bersejarah? Di pusat kota ini?"


"Aku belum pernah melihat tempat kayak gitu dimanapun di benua."


Mendengar pertanyaan Claire, Fianna menjawab.


"Kelihatannya itu bukan kastil."


"Restia, apa kamu tau apa itu?"


Saat Kamito bertanya....


"Tidak, dilokasi itu dulu adalah istana Raja Iblis."


Restia menggeleng.


"Apa yang terjadi?"


Awalnya Kamito berpikir kota ini adalah replika asli dari Kota Raja Iblis seribu tahun yang lalu.


Namun, keberadaan segi empat raksasa itu telah meruntuhkan tebakannya.


Karena bangunan semacam ini ditempatkan secara sengaja di bagian tengah, itu pasti mewakili semacam tujuan dari pendiri kota ini—


"Mungkinkah itu adalah Makam Raja Iblis?"


"....Kemungkinan besar begitu."


Kamito setuju dengan pikiran Claire.


Sebuah bangunan raksasa menggantikan istana original.


Itu nggak butuh lompatan logika yang besar untuk menebak bahwa ini adalah Makam Raja Iblis.


"Pertama-tama, kurasa kita harus menyelidiki piramida itu."


"Yeah—"


Lalu, Kamito menyadari.


Restia sedang merenung sambil menopang dagunya, menatap piramida itu.


"Ada apa, Restia?"


"Entah kenapa, bangunan itu betul-betul membuatku merasa ganjil—"


Dia menjawab secara ambigu.


"Ya, itu mungkin benar, tapi—"


Merentangkan sayapnya yang hitam legam, Restia melayang di udara, membuat pasir bertebaran.


"Aku akan memeriksanya dari dekat—"


"H-Hei, Restia!?"


Sebelum Kamito bisa menghentikan dia—


Roh kegelapan itu terbang ke arah piramida.


Menatap punggungnya saat dia terbang menjauh, Kamito cuma bisa tersenyum masam.


"....Seperti biasa, dia melakukan apapun sesuka dia."


"Beneran deh, tetap bersama salah dasar-dasar dari kerja sama tim!"


Claire begitu jengkel hingga twintailnya berdiri tegak.


"Untuk sekarang ini, kita harus menyelidiki kota ini terlebih dahulu."


Ellis memberi saran.


"....Ya, ada sangat banyak misteri disini."


Mendengar itu, Kamito setuju.


Dan juga, dia cukup kuatir apakah Putri Saladia ada disini atau tidak. Gimanapun juga, menemukan kota ini adalah hal yang mustahil jika seseorang menerima kualifikasi penilaian dari Sphinx.


"Sebelum itu, kita harus membuat basis dulu di suatu tempat dan beristirahat."


"Ya, pemurnian yang tepat akan bagus—"


"S-Setuju!"


Tersiksa oleh panasnya gurun, Rinslet menyuarakan persetujuannya penuh kegembiraan.

Bagian 3[edit]

Dengan sayap hitam legam miliknya dibentangkan, roh kegelapan menatap piramida itu dari atas.


Istana Raja Iblis legendaris—The Zohar Palace—pasti telah dihancurkan oleh Pasukan Pembebasan yang dipimpin oleh Sacred Maiden Areishia.


Kalau dipikir-pikir, piramida itu pasti batu nisan untuk mengingat Raja Iblis, kan?


(...nggak ada pintu masuk. Apa dindingnya terbuat dari orihalcum?)


Restia mencabut sehelai bulu dan menjatuhkannya pada bangunan raksasa yang ada dibawahnya.


Petir hitam legam segera meledak dipermukaan piramida.


Lalu buku itu menghilang tanpa bekas.


(Nggak disangka sihir dariku ditangkis, sungguh roh tingkat tinggi....)


Memasang ekspresi seolah harga dirinya telah terluka, Restia bergumam.


Sebuah penghalang telah dipasang, penghalang yang mampu menetralkan serangan dari roh-roh tingkat tinggi.


Ini membuktikan bahwa ini bukanlah bantuan raksasa bersejarah biasa.


"....Selanjutnya, apa yang harus kulakukan?"


Restia menyilangkan tangannya dan menghela nafas.


"Karena sihirku gak mempan, maka untuk menghancurkan penghalangnya dibutuhkan Nona Pedang Suci yang diresapi dengan divine power milik Kamito dalam jumlah yang besar, atau api dari cewek kucing neraka itu?"


Aku harus menyelidiki lebih banyak lagi terlebih dahulu—tepat saat dia hendak mendarat....


"Apakah kau Restia Ashdoll sang roh kegelapan....?"


"....!?"


Tiba-tiba, dia mendengar suara dalam benaknya.


(...Apa?)


Dia mempertajam kewaspadaannya terhadap sekelilingnya, tapi nggak bisa mengetahui darimana asal dari suara itu.


Lalu—


"Aku telah menunggumu begitu lama—"


Suara itu berbicara lagi.


Pada saat yang sama, sebuah perubahan terjadi pada dinding yang barusaja dia serang.


"....Eh?"


Permukaan piramida itu berputar seperti marshmallow.


Lalu tiba-tiba terbuka mengungkapkan sebuah lubang besar.


Lubang itu nampaknya memberi isyarat pada dia untuk masuk.


"Apa kau memanggilku?"


"Ya. Kau, serta penerus yang kau pilih—"


Lalu, Restia akhirnya menyadarinya.


Identitas dari penguasa Kota Raja Iblis yang misterius ini.


"Aku paham sekarang—"


Menyipitkan matanya yang berwarna senja, dia bergumam pelan—


Lalu, roh kegelapan itu mengepakkan sayapnya dan mendatar di lubang yang terbuka.

Bagian 4[edit]

"Huh? Apa-apaan kota ini!?"


Disuatu tempat di kota, seorang pria muda sedang mengutuk dengan jengkel.


"Masing-masing dari mereka bertindak seperti hidup padahal mereka sebenarnya sudah mati! Ini membuatku muak!"


"Tenanglah, Jio Inzagi."


Seorang cewek muda mengenakan cadar mencoba untuk menenangkan si pria muda yang kehilangan ketenangannya.


"Ini adalah Kota Raja Iblis, nggak berubah sejak seribu tahun yang lalu. Fakta bahwa kota ini tetap terpelihara sampai hari ini adalah bukti bahwa kekuatan Raja Iblis tersembunyi disini."


"....Gak perlu kau katakan aku juga sudah tau, putri."


Jio Inzagi mengungkapkan temperamen yang liar.


"Akan tetapi, peti matinya ada didalam makan besar yang bodoh itu. Nggak ada pintu masuk, dan aku juga nggak bisa menghancurkannya. Apa-apaan ini! Kita sudah dua hari kan berada disini?"


Memang, merekalah yang pertama melangkahkan kaki ke kota aneh ini dua hari yang lalu.


Setelah berjalan tanpa arah di Ghul-a-val, mereka bertemu dengan Shpinx.


Terhadap roh yang menyebut dirinya sendiri sebagai penjaga Makam, Jio Inzagi bukanlah tandingannya.


Itu bukanlah musuh yang bisa dikalahkan dengan trik-trik murahan dan segel persenjataan terkutuk.


Oleh karena itu, dia tidak diakui layak memasuki makam.


Akan tetapi, berbeda dengan Saladia Khan.


Dia tidak mengalahkan roh kuat itu dengan kekuatan.


Saat dia memanggil grimoire elemental waffe miliknya—Alf Laylah Wa-Laylah—dan merapal sesuatu, semacam kode, Sphinx itu lenyap tanpa melakukan apapun.


Lalu, kota ini tiba-tiba muncul di gurun.


Sang putri kedua, mewarisi garis keturunan dinasti Kahn, sudah pasti memiliki kunci yang mampu memasuki makam.


Jio mendapati itu gak bisa dipercaya bahwa Sphinx nggak mengakui dia, penerus Raja Iblis—


Tapi terserahlah, gimanapun juga mereka berhasil masuk ke kota Raja Iblis ini.


Akan tetapi, masalah mereka masih jauh dari kata selesai. Menurut sang putri, peti mati Raja Iblis tersembunyi dibawah tanah di dalam Makam Raja Iblis yanh ada di pusat kota.


Namun, mereka nggak bisa menemukan pintu masuk kedalam piramida itu.


Dan juga, ada penghalang pengaman yang menyelimuti dinding luarnya.


"Sialan, kekuatan Raja Iblis sudah didepan mata, namun aku—"


Menatap piramida raksasa itu, Jio Inzagi mengepalkan tangannya erat-erat.


"Mungkin garis keturunan dinasti Kahn saja nggak cukup untuk mengaktifkan Makamnya."


"Huh? Lalu buat apa aku membawamu kesini?"


"I-Itu nggak seperti aku memohon padamu untuk menyelamatkan aku!"


Saladia Kahn membantah nggak senang.


"Huh, apaan ini, lelucon garing? Dasar gak berguna!"


"Jaga perkataanmu! Dasar kurang ajar, ketahuilah bahwa aku, dari dinasti Kahn, aku—"


"Tunggu."


Tiba-tiba—


Jio Inzagi membungkam mulut Saladia.


"...! Mmph, mmmph, mmph!"


"Tenanglah. Hei, apa itu?"


"...?"


Jio Inzagi menatap keatas.


Saladia mengernyit dan mengikuti tatapannya, disana—


Sesosok aneh melayang di udara diatas piramida.


Seorang cewek cantik, dengan sayap hitam legam—


"Apa itu seorang roh...?"


Melepaskan tangan Jio dari mulutnya, Saladia berbisik.


Mata Jio Inzagi terbelalak, menatap cewek yang melayang itu.


"....Urgh... Aku tau, ah... Aku, tau... roh itu—"


"Ada apa denganmu?"


"...Dia adalah roh, yang menghapus, ingatanku..."


Dari tenggorokannya keluar suara menggerang.


Roh kegelapan dari Sekolah Instruksional yang menjadi partner dia sebelumnya.


Kenapa dia ada di tempat seperti ini?


"....Roh, kegelapan... Resti... a... Restia Ashdoll!"


Dipenuhi kemarahan, raungan Jio Inzagi menggema di jalanan.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 6 - Pedagang Misterius[edit]

Bagian 1[edit]

Kamito dan rekan-rekannya pergi mengelilingi piramida, mengikuti jalanan untuk mencari penginapan.


Bangunan besar lain dengan penampilan mencolok muncul didepan mereka.


"Apa itu?"


"Sebuah bangunan yang aneh banget."


Ellis memiringkan kepalanya.


"Itu adalah sebuah barnea, sebuah tipe komplek akomodasi kuno."

Fianna mengangkat jari dan menjelaskan.


"Dengan kata lain, sebuah hotel?"


"Ya, cukup mirip. Harusnya ada fasilitas pemandian didalamnya, memungkinkan kita untuk memurnikan diri."


"Eh, benarkah?"


Wajah Claire yang tersenyum menjadi cerah.


"Itu bukan mandi pasir, kan?"


"Tentu saja bukan."


Menurut Fianna yang punya kontak dengan budaya asing sembari tumbuh di Divine Ritual Institute, barnea adalah fasilitas gabungan yang besar berpusat pada sebuah kuil untuk memuja para roh dan termasuk pemandian, restoran dan akomodasi. Meskipun itu langka di wilayah barat dari benua seperti Ordesia, tapi kuil-kuil semacam ini sebenarnya sudah umum di Teokrasi.


Ngomong-ngomong, banyak hotel yang dipesan untuk para bangsawan saat mereka menginap di Ragna Ys selama Blade Dance yang mirip dengan hotel ini juga. Festival Roh Air yang Kamito hadiri bersama Leonora sebagai partner yang diadakan di kolam pinggir danau juga bagian dari fasilitas hotel semacam ini.


"Haruskah kita membuat basis kita disini mulai dari sekarang?"


"Kurasa, tapi bukankah tarif kamarnya cukup mahal?"


Bertindak sepenuhnya nggak seperti seorang putri bangsawan dari mantan keluarga duke, Claire mengungkapkan sebuah kekuatiran warga sipil.


....Memang, harga disini terlihat jauh lebih mahal daripada penginapan biasa.


"Hmph, sepele sekali. Serahkan masalah semacam itu padaku."


Mengibaskan rambut pirang platinumnya, Rinslet menyatakan penuh kebanggaan.


"Aku tau sesuatu seperti ini akan terjadi, jadi aku membawa banyak uang dari rumah."


Dengan jentikan jarinya, Fenrir, yang duduk di samping kakinya, mengeluarkan koin emas kekaisaran.


"Kau memperlakukan seekor roh tingkat tinggi sebagai celengan...."


"Selalu berpersiapan seperti biasanya."


Rinslet dengan percaya diri membusungkan dadanya.


"Tapi apa mata uang Kekaisaran bisa digunakan di kota ini?"


Mendengar pertanyaan masuk akal dari Ellis—


"..."


Rinslet membeku dalam posturnya yang percaya diri.


"T-Titik buta yang sangat tak terduga!"


"....Sheeeesh, harusnya kau menyadarinya sejak awal."


Claire mendesah dalam-dalam.


Kamito menatap toko-toko disekitar. Mereka menggunakan uang, tapi berbeda dari uang yang beredar di benua.


"Ooh... nggak disangka aku membawa uang... tapi nggak berguna disini?"


Melihat tuannya menundukkan penuh kesedihan, Fenrir menjilat pipi Rinslet.


"Uh, kalau aku nggak salah ingat, koin emas kekaisaran Ordesia mengandung emas asli, kan?"


Kamito tiba-tiba teringat sesuatu dan menanyakannya.


"Ya, itu adalah koin emas asli."


"Kalau begitu nggak bisakah kau mencari seseorang untuk membeli koin-koin itu dengan emas?"


"Nggak bisa dipercaya Kamito bisa dapat idrle yang bagus. Meskipun mungkin kita akan rugi, sudah nggak ada pilihan lain."


Mendengar saran Kamito, Claire mengangguk.


"A-Apa boleh buat!"


Rinslet bersemangat lagi dan mengangkat wajahnya.


"Dan bukan cuma uang. Aku penasaran apakah jimat-jimat dan kristal roh bisa dijual disini juga?"


Kamito dan rekan-rekannya melihat ke sekeliling, mencoba mencari seorang pedagang untuk membeli koin-koin emas mereka.


Berharap mereka bisa menjualnya dengan harga yang bagus—


"Aku merekomendasikan jangan melakukannya. Para pedagang Alkazard sangatlah serakah. Mereka akan menipu kalian mentah-mentah segera setelah mengetahui kalian adalah para amatir."


"....!?"


Mendengar suara yang tiba-tiba itu, Kamito secara paksa memalingkan kepalanya ke belakang—


Yang berdiri disana adalah seorang pria dengan senyum yang ramah, mengenakan pakaian seperti seorang pedagang gurun. Dia muncul tanpa disadari oleh mereka.


"....Siapa kau?"


Kamito bertanya terkejut.


Pria itu terlihat sedikit lebih tua dari Kamito, mungkin 20 tahun atau lebih. Berkulit agak gelap. Bermata hitam. Wajahnya yang tegas sepertinya mengingatkan pada seekor elang liar.


"Maaf. Aku Safian, seorang pedagang dari Zohar."


Pria itu membungkuk pada kelompok Kamito.


"Zohar kau bilang?"


Claire berseru terkejut.


Berbicara secara logis, ibukota Teokrasi saat ini nggak akan ada dijamannya Raja Iblis, seribu tahun yang lalu.


Terlebih lagi, ada perbedaan yang jelas antara pria inu dan penduduk Kota Raja Iblis.


(...Dia menggunakan bahasa yang sama dengan kami, bahasa umum benua.)


Kamito bertukar tatap dengan Claire.


Claire mengangguk ringan. Sudah jelas, mereka telah menemukan sesuatu yang punya petunjuk.


"Kau bukan warga kota ini?"


Mendengar itu, pria itu mengangguk.


"Memang. Sama seperti kalian, orang-orang dari luar."


"Itu benar."


Sambil menatap mata pria itu, Kamito mengangguk penuh kewaspadaan.


"Sepertinya kalian punya pertanyaan untukku."


Pria itu tersenyum lalu memalingkan tatapannya kearah barnea.


"Yah, ini bukanlah tempat untuk berbincang-bincang. Gimana kalau kita bicara sambil makan?"

Bagian 2[edit]

Meskipun ada rasa curiga terhadap pedagang misterius yang muncul secara tiba-tiba—


Kamito dan rekan-rekannya masih memutuskan untuk mendengarkan apa yang mau dia katakan.


...Gimanapun juga, cuma ini satu-satunya petunjuk dalam situasi yang susah dipercaya dan sepenuhnya nggak masuk akal ini.


Mungkin pria ini punya informasi mengenai keberadaan Putri Saladia, atau mengetahui sesuatu tentang piramida aneh itu.


"Lebih baik jangan terlalu mempercayai dia. Gimanapun juga dia kelihatan mencurigakan."


Claire berbisik pelan di telinga Kamito.


"Kurasa nggak baik menilai dari penampilan."


"Memang benar.... Tapi berkebalikan dengan gimana aku terlihat, aku sebenarnya seorang dengan karakter yang punya penilaian yang mengagumkan."


"Benarkah? Aku ingat pertama kali kita bertemu, kau langsung menuduhku sebagai seekor binatang bejat."


"Kesan pertama itu nggak terlalu melenceng dari kenyataannya."


"Yang benar saja...."


"Hei Claire, apa yang kau bicarakan dengan Kamito-kun?"


Fianna mendekat pada mereka berdua, mencoba ikut dalam percakapan.


Nggak peduli dengan apa yang dilakukan Kamito dan yang lainnya—


Pedagang muda itu berjalan menuju ke pintu masuk sebuah barnea raksasa.


Didalamnya terdapat sebuah taman indah dengan sebuah air mancur. Bunga-bunga segala macam warna bermekaran.


"Quseir Amra ini awalnya sebuah tempat untuk memuja roh-roh di kota. Penampilan saat ini adalah hasil dari perluasan secara berkelanjutan, termasuk fasilitas pemurnian dan peristirahatan untuk para princess maiden dan sebuah kuil untuk membuat persembahan."


Safian manatap banguan besar didepan dia dan berbicara.


"....Aku mengerti."


Quseir Amra sepertinya adalah nama dari barnea ini. Penampilannya yang unik adalah hasil dari perluasan bukannya semacam desain artistik.


Lantai bawah bangunan ini adalah sebuah restoran besar yang menghadap pada taman. Didalamnya nggak banyak orang.


Safian membawa kelompok Kamito ke sebuah meja.


"Silahkan duduk—"


Dipersilahkan duduk, Kamito dan rekan-rekannya duduk pada sebuah sofa.


Para nona muda semuanya duduk disamping Kamito m meskipun ada ruang di samping pedagang muda itu, nggak seorangpun duduk disampingnya. Meskipun mereka lebih terbiasa dengan itu sekarang, tentunya para nona bangsawan muda ini nggak biasa membuat kontak dengan pria.


"Kamito, a-aku merasa seperti kita menarik perhatian...."


Ellis dengan gugup menunduk, dengan takut-takut melihat sekeliling pada meja-meja sekitar.


Memang, meja mereka cukup mencolok. Mereka bahkan bisa mendengar bisikan-bisikan dari sekeliling.


"Gimanapun juga, cara berpakaian kalian cukup langka. Terlebih lagi—"


Safian tersenyum masam.


"Ada lima cewek cantik, tentu saja, orang-orang akan memperhatikan."


"....Woi, aku laki-laki."


Kamito menatap tajam pedagang yang ada didepan dia.


"Bercanda. Tapi dengan sedikit dandanan kau pasti akan jadi seorang cewek yang cantiknya luar biasa—"


"Sialan kau—"


Kamito mengerahkan niat membunuh yang besar pada tatapannya, tapi Safian tetap nggak terpengaruh, cuma tersenyum.


"Ayo makan dulu. Aku kelaparan."


"Setuju!"


Mendengar saran Claire yang kelaparan, Rinslet setuju sepenuh hati.

Bagian 3[edit]

"Nah sekarang, darimana aku harus memulai?"


Mengarahkan tatapannya pada kelompok Kamito, Safian perlahan-lahan mulai berbicara.


"...Kau bukan warga kota ini, kan?"


Claire yang pertama menanyakan pertanyaan.


"Tepat, aku bukan dari sini. Selain itu, masih diperdebatkan apakah penduduk kota ini adalah manusia atau bukan."


Teringat pada penduduk yang lenyap segera setelah mereka meninggalkan gerbang kota, Kamito dan para cewek saling bertukar tatap satu sama lain.


Tentunya, apakah mereka semacam halusinasi bukannya orang asli...?


"Gimana kau bisa sampai ke sini? Orang biasa nggak mungkin bisa datang ke sini kan?"


Mendengar pertanyaan Kamito....


"Ya, aku sendiri mendapati itu cukup luar biasa juga—"


Safian menatap langit-langit dan mulai menceritakan kisahnya.


"Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Aku bersama rekan-rekanku berangkat dari Zohar dengan sebuah karavan menuju ke Kekaisaran Quina. Dalam perjalanan, kami tiba-tiba diterjang badai pasir yang ganas—"


Menurut dia, dia menerima sebuah pekerjaan dari perkumpulan untuk mengangkut kristal-kristal roh ke Ibukota Kekaisaran Quina dan insiden terjadi saat perjalanan.


Saat berlayar di gurun, mereka terjebak dalam kekacauan leyline, membuat mereka terlempar jauh dari jalur mereka. Kecelakaan semacam itu sesekali terjadi di gurun.


Saat dia sadar, kapalnya tersesat di Ghuk-a-val, dan akhirnya hancur dan dimakan oleh binatang-binatang raksasa.


Meskipun dia bisa kabur, dia berakhir terpisah dari rekan-rekannya di kapal, berkeliaran di gurun selama berhari-hari.


Beberapa hari setelah itu, karena kehabisan makanan dan air, dia berada diambang kematian—


"....Roh itu muncul."


"Roh?"


"Ya, roh raksasa berkepala banteng."


Kamito dan para cewek saling bertukar tatap.


....Tentunya, mereka ingat roh itu juga.


Itu adalah Sphinx yang sebelumnya dilawan Kamito di gurun.


"Roh itu menyembuhkan tubuhku yang hampir mati dan membawaku ke kota aneh ini. Setelah itu, aku tinggal disini selama lebih dari setengah tahun dan bahkan memulai bisnis. Sungguh nggak bisa dipercaya. Seraya tinggal disini, aku perlahan-lahan bisa mengerti bahasa mereka."


Safian tersenyum masam dan mengangkat bahu.


"....Benarkah? Kau telah banyak menderita juga."


meski sependapat, Kamito masih gak bisa santai sepenuhnya.


Sphinx—roh itu menyebut dirinya penilai.


Apa mungkin seekor roh yang menyerang tanpa pandang bulu, yang cuma mempedulikan kelayakan Raja Iblis, betul-betul menolong seseorang begitu saja?


(Oh yah, mustahil bagi manusia untuk memahami roh, yang melakukan apapun yang mereka suka...)


Tiba-tiba, dia menatap segel roh yang ada di tangan kirinya, teringat seorang roh kegelapan yang melakukan apapun yang dia mau. Apa dia masih menyelidiki piramida itu?


"Apa ada orang lain sepertimu?"


Kali ini, giliran Fianna yang bertanya.


"Uh, itu, orang-orang yang dibawa kesini oleh roh—"


"Ya, aku sudah menjumpai beberapa orang. Dari apa yang mereka katakan padaku, mereka dibawa kesini setelah terdampar di Ghul-a-val seperti aku."


"Apa mereka nggak bisa pergi?"


"Jangan bilang kalau kau akan menghilang segera setelah kau keluar dari gerbang kota—"


Claire bergumam gugup, tapi Safian tersenyum dan menggeleng.


"Nggak perlu kuatir soal itu. Kau bisa keluar dari gerbang kapanpun, tapi—"


"Tapi?"


"Ada binatang-binatang menakutkan yang tinggal di Ghul-a-val diluar. Nggak ada kapal pasir disini, jadi upaya apapun untuk pergi mungkin akan membuatmu jadi mayat di gurun itu."


"....Aku paham."


Memang, sulit membayangkan orang biasa berjalan di gurun itu kecuali mereka adalah para elementalis. Para pedagang yang menaiki kapal pasir betul-betul mempertaruhkan nyawa mereka demi bisnis.


"Lalu kau berencana tinggal di kota ini selamanya?"


"Sepertinya itu nggak terlalu buruk. Setelah tinggal disini beberapa waktu, aku merasa cukup nyaman."


Safian sedikit mengangkat bahu.


....Ya, kurasa dia mengatakan yang sebenarnya.


"Kami adalah elementalis. Kami bisa membantumu kalau kau mau pergi."


"Terimakasih atas tawaran baiknya. Aku akan mempertimbangkannya."


Mendengarkan saran Ellis, yang memiliki rasa tanggung jawab yang kuat, Safian mengangguk ambigu.


"Ngomong-ngomong, baru-baru ini apa kau pernah bertemu seorang cewek yang datang dari luar seperti kami? Harusnya beberapa hari yang lalu—"


Kamito dengan santai mencoba bertanya tentang Putri Saladia—


"...Tidak, satu-satunya orang luar yang kutemui belakangan ini adalah kalian."


Akan tetapi, Safian cuma menggeleng.


Sepertinya dia nggak berbohong.


Kalau begitu, sang putri belum sampai?


Saat mereka bercakap-cakap, makanan dan minuman mereka diantar ke meja.


"Wow, kelihatannya lezat..."


Perut Claire bergemuruh pelan.


"Yah, mari kita lanjutkan percakapan kita nanti. Waktunya makan."


Safian mengangkat gelas anggurnya dan tersenyum tulus.


Bir beraroma mawar. Roti yang baru matang. Kambing asap yang dibuat dengan banyak rempah. Beberapa jenis acar. Campuran daging dan telur goreng...


Meskipun ada beberapa sayuran yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, makanan yang disajikan nggak jauh beda dari yang mereka makan di Teokrasi.


"Kelihatannya cukup enak."


"Y-Ya... Tunggu, apa itu betul-betul aman untuk dimakan?"


Claire kelihatan agak kuatir. Memang, Kamito sendiri juga punya keraguan apakah makanan yang dimasak di kota ini sama dengan makanan normal.


"Rasanya nggak buruk."


"Hmm... Seorang ksatria wajib memakan apa yang harus dimakan."


....Sangat kelaparan karena berjalan di gurun, Risnlet dan Ellis segera mulai memakan hidangannya.


(....Haaaaa, kurasa nggak apa-apa. Pedagang ini juga makan.)


Sebelum para nona muda menghabiskannya, Kamito mengambil beberapa daging dan memasukkannya kedalam rotinya untuk dimakan.


"Apa ini sate daging panggang?"


Mengambil sate daging hitam, Rinslet bertanya kebingungan.


"Daging paus pasir. Kau bisa menangkapnya di wilayah ini."


"Nggak mungkin. Paus pasir sudah punah sejak lama."


Mendengar itu. Claire yang memiliki pengetahuan luas bergumam pelan.


Kamito mencicipi daging paus pasir itu juga.


"....Ini rasanya nggak seenak itu."


Bukan cuma dagingnya keras, tapi juga memiliki rasa yang bahkan nggak bisa dihilangkan dengan bumbu.


"Hmm, tekstur ini lebih mirip dengan daging naga tanah yang ku makan di Dracunia...."


"Kamito, kau pernah makan daging naga sebelumnya?"


"Ya, di restoran di Dracunia, bersama Leonora.... Owwwww!"


Duduk disamping dia, Claire menginjak kakinya keras-keras.


"A-Apa yang kau lakukan!?"


"D-Disaat kami mempertaruhkan nyawa, berlatih di Dragon's Peak. Be-Berani-beraninya kau pergi kencan!?"


Rumble rumble rumble rumble rumble...!


Twintail milik Claire berdiri seperti kobaran api.


"P-Padahal aku menghormati Leonora-dono sebagai seorang ksatria terhormat—"


"Aku memang gak boleh menurunkan kewaspadaan."


Ellis dan Rinslet juga melotot marah pada Kamito.


"—Terimakasih atas makanannya."


Segera setelah selesai makan, mejanya dipenuhi dengan piring-piring kosong.


Melihat tumpukan piring kosong itu, orang-orang di meja sekitar mengeluarkan suara-suara tercengang.


Para cewek elementalis biasanya memang rakus. Mereka makan tanpa menahan diri karena menggunakan roh mengkonsumsi divine power.


"Biar aku yang bayar."


Berkata demikian, Safian mengeluarkan dompetnya.


Mendengar itu, Rinslet berdiri dan menyibakkan rambutnya dengan megah.


"Hmph, ketahuilah bahwa kami adalah bangswan. Kamu nggak jatuh serendah itu sampai-sampai membutuhkan belas kasihan dari warga sipil."


"Meskipun kami dalam pengasingan."


"K-Kesampingkan itu, makanan ini biar aku yang bayar atas nama margrave Laurenfrost. Maukah kau menukar coin-coin emas kekaisaran ini untuk aku?"


"Ya, sesuai keinginanmu."


Safian tersenyum canggung dan menukar mata uang kota dengan koin-koin emas kekaisaran.


Apa yang dia serahkan adalah koin-koin yang agak buruk bentuknya dengan gambar seorang pria muda.


"Aku nggak pernah melihat mata uang seperti ini di benua."


"Tentu saja, ini adalah koin-koin dari seribu tahun yang lalu."


"......."


Tiba-tiba, Kamito merasakan perasaan disonansi yang aneh dan terus menatap koin-koin itu.


"Ada apa, Kamito?"


"Oh, bukan apa-apa...."


Wajah di koin itu terasa agak familiar—


(...Apa aku cuma terlalu kepikiran?)


"Apa ada fasilitas pemurnian disini yang cocok untuk pembersihan badan?"


Lalu, Fianna menanyai Safian.


"Sebuah pemandian pemurnian untuk para princess maiden berlokasi nggak jauh dari sini."


"Bagus sekali. Akhirnya aku bisa mandi secara normal."


Claire menghela nafas lega.


"Apa rencanamu, Kamito? Maukah kau mandi bersama kami?"


Fianna menunduk ke depan, mengungkapkan belahan dadanya, menggoda Kamito.


"A-Aku akan ke kamar menaruh barang bawaan kita, lalu memeriksa piramida itu."


Kamito langsung tersipu dan berpaling.


"Eh, apa kau mau ke piramida sendirian?"


"Aku cuma mau jalan-jalan memeriksa sekeliling. Dan juga, Restia mungkin ada di sekitar sana."


Mengatakan itu, Kamito memalingkan wajahnya pada Safian lagi.


"....Ngomong-ngomong, apa kau mengetahui sesuatu tentang piramida itu?"


"Hmm. Aku gak tau apa-apa."


Safian menggeleng.


"Bahkan warga lokal pun nggak tau siapa yang membangunnya atau pun kenapa. Aku mencoba menyelidikinya sebelumnya, tapi nggak bisa menemukan apapun yang menyerupai pintu masuk—"


"....Aku mengerti. Sepertinya kita harus menyelidikinya dengan sabar."


"Baiklah, kami akan memurnikan diri kami dulu sebelum bergabung denganmu."


"Oke."


"Ijinkan aku membawa barang bawaan kalian, kalau kalian nggak keberatan. Agar nggak tersesat di Qusier Amra."


"....Makasih."


Mengangguk ringan, Kamito mengambil Demon Slayer dan berdiri.


Faktanya, itu adalah saran yang sempurna bagi Kamito.


Ada sesuatu yang ingin dia pastikan.

Bagian 4[edit]

Dengan Safian yang memimpin jalan, Kamito berjalan di tangga memutar di Quseir Amra. Mirip dengan bangunan Akademi Roh Areishia, tata ruang bagian dalamnya sangat rumit dan membingungkan. Dikatakan bahwa, tata ruang unik dari Akademi sejalan dengan prinsip dari mesin roh.


(...Tapi disini, pastinya karena peluasan berkelanjutan yang gak direncanakan.)


Terus memperhatikan pedagang yang berjalan di depan dia, Kamito merenung.


Setelah menapaki tangga melingkar dan melewati lorong lain, mereka sampai di blok peristirahatan.


"Penginapannya ada disini. Yang perlu kau lakukan adalah merapikannya."


"....Kau betul-betul membantu. Terimakasih banyak."


"Sama-sama. Gimanapun juga, sangat jarang menemukan orang yang masuk kota ini secara gak sengaja. Kalau boleh aku membantu—"


Sebelum dia bisa menyelesaikan kata-katanya, Kamito mendekat dengan cepat.


Seketika, dia menekankan jari telunjuknya pada leher pria itu.


"....?"


Pria itu kelihatan bingung.


"Kau—Siapa kau sebenarnya?"


Kamito bertanya dengan dingin.


Jari telunjuknya ditekankan pada arteri karotid. Ini adalah teknik pembunuhan yang Kamito pelajari saat masih kecil di Sekolah Instruksional. Membunuh orang ini sekarang ini sangatlah mudah.


Akan tetapi—


Safian tetap tenang dan tersenyum percaya diri.


Dia nggak mungkin nggak sadar dalam situasi seperti apa dia. Gimanapun juga, Kamito telah menunjukkan niatnya untuk membunuh, hingga cukup untuk membuat orang biasa merasakannya.


"Seorang pedagang biasa—Apa menurutmu aku akan betul-betul menelannya utuh-utuh? Saat kau pertama muncul di depan kami, sepenuhnya tanpa tanda."


Memang, saat pria itu berbicara pada mereka di jalan, Kamito nggak menurunkan kewaspadaannya terhadap sekelilingnya. Dia akan menjadi orang pertama yang menyadari segera setelah seseorang secara sengaja mendekati para cewek.


Akan tetapi, pria ini muncul didepan kelompok Kamito tanpa membuat sedikitpun suara.


"Aku bukannya membual kalau aku bilang kau bisa dihitung salah satu orang yang mampu melakukan ini di depanku. Setidaknya pada tingkat guruku atau salah satu anggota Number yang terspesialisasi dalam operasi pengintaian. Seseorang seperti itu adalah seorang pedagang biasa? Dibawa kesini oleh Sphinx saat sekarat di tengah perjalananmu? Mana ada orang yang akan percaya kebohongan semacam itu."


"...Begitu ya."


Safiab tersenyum masam dan mengangkat bahu.


"Tapi kau nggak betul-betul bisa menyalahkan aku karena nggak punya hawa kehadiran."


".....!?"


Seketika, Kamito membelalakkan matanya.


"Bagaimanapun juga, sejak awal aku memang seseorang yang nggak pernah ada."


Tanpa disadari...


Safian menghilang dari depan matanya lalu berdiri di belakang Kamito.


(...! Dia lenyap tanpa kusadari!?)


Keringat dingin mengucur di pipi Kamito.


....Ini mustahil. Perhatian Kamito nggak lepas dari pria yang ada didepannya, tidak sedetikpun.


Tapi faktanya dia telah memyelinap dari genggaman Kamito.


(....Sihir roh untuk pergerakan ganda? Tidak, itu bukanlah trik semacam itu—)


Pria itu pasti berpindah selama terjadi celah dalam perhatian Kamito. Nggak lebih dari itu.


Tubuh Kamito menjadi kaku. Safian berbicara pada dia.


"Kau harus menggunakan Demon Slayer kalau kau betul-betul berniat mengancam aku."


".....! Gimana bisa kau tau tentang Est!? Siapa kau sebenarnya—"


"Aku adalah sebuah pecahan."


"....Pecahan?"


"Ya, sebuah pecahan dari penyesalannya, tersisa di Kota Raja Iblis ini—"


"....? Apa yang kau bicarakan?"


Safian tersenyum dan berputar membelakangi Kamito, berjalan menuruni tangga yang tadi mereka lewati.


"Aku senang bertemu denganmu, penerus Raja Iblis dan pemegang Pedang Suci. Gadis itu pasti yang memandumu serta rekan-rekanmu kesini."


".....! Tunggu, apa-apaan maksudnya semua ini?"


Kamito buru-buru mengejar dia.


Akan tetapi Safian yang seharusnya sedang menuruni tangga, sudah lenyap tanpa suara.

Bagian 5[edit]

Sebuah kapal pasir besar telah sampai di kamp dari para ksatria Lugia.


Bukan sebuah kapal pedagang. Ini adalah sebuah kapal militer milik Kerajaan Suci.


Ini adalah sebuah kapal militer yang secara aktif digunakan untuk mengangkut persediaan selama Perang Ranbal. Akan tetapi, kebanyakan kapal ini sudah tidak dioperasikan lagi, hanya tinggal tujuh kapal yang menyandang nama kosong dari Armada Gurun.


Menimbulkan awan debu dan membawa bendera Kerajaan Suci, kapal itu berhenti di dekat kamp.


Diatas kapal itu adalah seorang kardinal dari Des Esseintes, dewan pemerintahan tertinggi dari Kerajaan Suci, dan delapan anggota Sacred Spirit Knight yang ditugaskan sebagai bodyguard—


Diatas pasir di depan kapal itu, Lurie Lizaldia menyapa kardinal.


"Lebih lama daripada yang diharapkan, Millennia—"


"Perbaikan kapal ini butuh banyak waktu. Kapal ini mengubah tiga roh militer menjadi arang segera setelah bangkit."


Seorang cewek muda yang menggemaskan mengenakan pakaian putih polos menuruni tangga.


Dia terlihat berusia 13 atau 14 tahun. Yang paling mencolok adalah rambut pirangnya yang berkilauan, kulitnya pucat dan selembut porselen, dan mata ungu yang jernih. Akan tetapi, yang nggak cocok dari penampilan cewek menggemaskan ini adalah sebuah penutup mata di mata kirinya.


Dia adalah Millennia Sanctus—Des Esseintes ketigabelas.


Meskipun peringkatnya nggak terlalu tinggi dalam kedudukan dewan internal, dia memiliki ikatan yang erat dengan kepemimpinan militer. Bahkan dalam Des Esseintes rahasia, dia memancarkan hawa keberadaan yang sangat mengerikan.


"Kau sepertinya sudah terlibat masalah."


"Sebuah penghalang yang menjengkelkan. Dan juga, ada Sphinx."


Lurie sedikit mengangkat bahu. Dalam hal hirarki, seorang kardinal Des Esseintes pastinya berperingkat lebih tinggi daripada Lurie, seorang tamu umum, tapi ada suasana diantara mereka yang seperti teman dekat.


STnBD V17 BW05.jpg


"Walah walah, harusnya menghilangkan penghalang sangatlah mudah bagimu?"


"Itu adalah penghalang yang cukup spesial. Berada dalam distorsi dimensi kecil antara alam manusia dan Astral Zero, seluruh Kota Raja Iblis berada disana."


Dimasa lalu, ruang pemakaman dimana roh-roh milik Raja Iblis tersegal telah muncul di bawah tanah Akademi Roh Areishia. Penghalang ini mungkin memiliki sifat yang mirip.


Itu memberi sebuah tantangan bahkan bagi Lurie yang terspesialis dalam sihir penghalang.


"Jadi begitu—"


Millennia Sanctus melihat kearah gurun yang panas menyengat.


Tiba-tiba, dia tersenyum gembira.


"Cewek itu ada disini—"


"...?"


"Kakakku—bukan, adik? Aku merasakan dia, dia dan aku layaknya saudara kembar."


"Mungkinkah Ren Ashbell ada disini?"


"Nggak salah lagi. Bagaimana cara mereka masuk ke Makam itu. Aku penasaran?"


Dengan jari di bibirnya, Millennia tersenyum.


"....Sepertinya aku bisa melawan laki-laki itu lagi."


Lurie Lizaldia menunjukan kilatan jahat di matanya.


"Itu adalah sesuatu yang layak dinantikan. Ren Ashbell sang Penari Pedang Terkuat melawan pemenang Blade Dance 15 tahun yang lalu—kalau kedua belah pihak bertarung habis-habisan, kira-kira siapa yang akan menang?"


"—Kau sudah tau jawabannya."


Mengatakan itu, Lurie menatap ke arah kapal.


"Apa Tuan sudah sepenuhnya bangkit? Sepertinya jadwal aslinya harus dipercepat."


"Tidak, masih setengah bangkit."


"Apa itu nggak menimbulkan masalah?"


"Itu sudah cukup untuk membuka penghalangnya."


Millennia mengayunkan tongkatnya sambil terkikih, membuat tongkatnya berdering.


Bagian sisi kapal terbuka. Para Sacred Spirit Knight mulai menurunkan sebuah box menggunakan tali.


Sebuah box logam berwarna putih. Bentuknya menyerupai sebuah peti mati.


Dipimpin oleh Luminaris, para paladin menunjukkan ekspresi gugup.


Di fasilitas laboratorium Ibukota Kerajaan Suci, entitas yang tertidur dalam peti mati ini telah membakar roh-roh militer menjadi arang dalam sekejap.


Millennia Sanctus dengan lembut menyentuh tepi peti mati itu.


Lalu dia merapalkan kata-kata pemanggilan yang digunakan oleh para Ratu.


"La ura me aluara shin, erul ragna volcas— ig alusiagi im, ys areisia—"


Artinya "Tirani agung, hadir dalam api abadi, melampui logika kebaikan dan kejahatan, sang eksekutor dari peradilan." ini adalah bahasa Ancient High yang mana sangat sedikit manusia yang mengerti.


Dahulu kal, bahasa ini telah hilang selama era Perang Roh—


"—Firg fomalhaut volcanicus."


Saat perapalan diselesaikan dengan kata-kata yang berarti "perwujudan dari seluruh api di dunia ini"....


Penutup peti mati itu langsung bersinar merah panas dan api merah berkobar.


Panas yang teramat sangat, yang mana terasa seperti itu akan membakar daging dari tubuh seseorang, menyebabkan para ksatria di sekitar melangkah mundur.


Lalu—


Dari kobaran api itu—menunjukkan penampilannya.


Yaitu—


Seorang cewek yang mengenakan pakaian berwarna merah.


Rambutnya sepinggang berwarna merah. Matanya seperti rubi yang disertai api yang terang didalamnya.


Di kepalanya ada dua tanduk yang melengkung.


Seindah karya seni yang terbuat dari kaca, ada suasana rentan pada tubuhnya.


Diselimuti api, cewek itu mengarahkan tatapannya pada para ksatria yang ada di sekelilingnya dengan ekspresi yang dingin diwajahnya.


Lalu dia menyuarakan ketidaksenangan.


"Apa kalian orang-orang yang berani mengganggu tidurku?"


Itulah yang dia katakan.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 7 - Makam Raja Iblis[edit]

Bagian 1[edit]

Merasa seperti dia telah dipermainkan oleh roh...


Kamito selesai check in di meja depan dan memasuki kamar hotelnya.


Itu adalah sebuah ruangan sederhana dan tapi dengan sebuah ranjang disamping jendela dan sebuah lemari kecil untuk menyimpan barang-barang berharga. Area kamar itu tidaklah luas, tapi bagi seorang pengunjung biasa, setidaknya sepreinya bersih dan lantainya disapu dengan bersih. Bahkan para putri bangsawan seperti Claire dan para cewek gak akan mengeluh, mungkin.


(...Apa-apaan pria itu?)


Sudah jelas, dia bukanlah pedagang biasa. Akan tetapi, Kamito mendapati itu sulit dibayangkan kalau dia merupakan seorang roh. Pria itu mungkin bukan seorang roh tingkat tinggi yang terwujud dalam bentuk manusia.


(....Seorang elementalis?)


—Gak mungkin. Itu lebih mustahil lagi.


Dalam teori, Kamito merupakan satu-satunya elementalis laki-laki. Oh yah, itu mungkin saja ada tiruan Raja Iblis seperti Jio Inzagi yang dia lawan sebelumnya—


Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan.


Siapa dan dengan niat apa, membuat Kota Raja Iblis ini yang mana sudah hancur seribu tahun yang lalu, muncul?


Keberadaan Putri Saladia. Tujuan dari Kerajaan Suci mengirim para ksatria ke gurun perbatasan.


Dan juga—


Kamito melihat keluar dari jendela.


Dalam bidang pandangnya, piramida raksasa menjulang tinggi gak peduli kemana dia menatap.


(...Sudah kuduga, satu-satunya pilihanku adalah mencoba menerobosnya, kurasa?)


Menaruh barang bawaannya di lantai, Kamito memanggil pedang suci di tangannya.


"Est, apa kau bangun?"


'Ya, Kamito—'


Est membuat bilahnya bersinar untuk menanggapi. Kamito kemudian bilang pada dia:


"Kencan yuk."


'...!?'

Bagian 2[edit]

Setelah bilang begitu, Kamito meninggalkan hotel bersama Est.


Biasanya, Est akan tetap dalam wujud pedang saat Kamito membawa dia keluar ke kota Akademi untuk belanja dan mengerjakan hal lain, tapi hari ini, Kamito meminta dia untuk tetap dalam wujud manusia. Dibandingkan berjalan-jalan sambil membawa sebuah pedang, berjalan bersama seorang cewek sepertinya akan mengurangi kecurigaan yang timbul, mungkin.


Dan juga, ada mimpi-mimpi yang belakangan ini Est alami.


Kamito ingin mengajak dia berjalan-jalan untuk mengubah suasana.


"Kamito betul-betul Raja Iblis Malam Hari... Raja Iblis betulan."


"Tunggu sebentar, aku berlebihan saat menyebutnya sebuah kencan."


Untuk menghindari terpisah dalam kerumunan orang, Kamito memegang tangan Est erat-erat.


...Dari sudut pandang seorang pengamat, mereka berdua mungkin terlihat lebih seperti sepasang kekasih yang sedang kencan daripada seorang roh terkontrak bersama kontraktornya.


Atau mungkin, sepasang saudara yang akrab. Tidak, atau mungkin—


(...Seorang pedofil bersama seorang gadis muda, kuharap tidak.)


Para cewek di pinggir jalan menatap Kamito sambil berbisik pelan. Tentunya mereka pasti memuji seberapa imutnya Est... Dia berharap itulah yang mereka bisikkan.


"Tapi sudah lama sekali sejak aku pergi bersamamu seperti ini."


"Ya, itu benar...."


Saat di Akademi, Kamito mengajak Est jalan-jalan di kota Akademi di hari libur. Tapi sejak Blade Dance dimulai, keseharian berubah menjadi sangat sibuk. Mencari-cari kesempatan tidaklah mudah.


Segera setelah Blade Dance berakhir, Kamito kehilangan ingatannya dan Est berakhir dalam kondisi tersegel. Saat kembali ke Akademi dari Laurenfrost, dia bersama Restia. Benar-benar sudah lama sekali sejak dia terakhir kali berjalan-jalan santai dengan Est, cuma mereka berdua saja, seperti ini.


STnBD V17 BW06.png


"Kamito, itu apa?"


"Itu atraksi jalanan. Aku tau bagaimana melakukan aksi yang mirip juga."


"Seperti?"


"Melempar pisau. Itu adalah sebuah pendidikan yang diperlukan di Sekolah Instruksional."


Est tampak cukup senang bagi Kamito. Dia penasaran apakah Est menikmati hiruk pikuk di jalanan. Meskipun bagi orang lain Est mungkin tanpa ekspresi seperti biasanya, Kamito memahaminya.


"Ngomong-ngomong—"


Menatap alun-alun yang ramai, Kamito bergumam pelan.


"...Ini terasa berbeda dari Kota Raja Iblis yang kubayangkan."


Meskipun dia gak berpikir itu adalah salah satu dari kota-kota iblis bengis yang dikelilingi oleh hutan semak berduri seperti yang diceritakan dalam dongeng-dongeng kuno, tak pernah dia menyangka kalau itu adalah sebuah kota makmur semacam ini. Abaikan Mordis atau Zohar, tingkat kemakmuran ini menyaingi ibukota kekaisaran Ordesia.


Dan juga ekspresi wajah orang-orang sangat ceria. Seseorang gak bisa melihat rasa takut sedikitpun karena hidup dibawah kekejaman Raja Iblis.


"....to, Kamito—"


"Hmm?"


Merasakan tarikan di lengan bajunya, Kamito menengok kebelakang... Dan mendapati mata ungu menatap dia dengan tajam.


"Kamito, aku lapar."


"Oh betul juga, kalau dipikir-pikir, kamu terus tidur sampai sekarang."


Satu-satunya kelemahan roh pedang ultimate ini adalah konsumsi kekuatan yang sangat besar. Para roh sebenarnya nggak perlu makan seperti manusia, tapi kondisi Est lain daripada yang lain. Karena kontrak mereka yang gak lengkap, dia harus mengandalkan pada makan sampai batas tertentu untuk mengisi divine power.


"Baiklah... Gimana kalau kita cari tempat untuk makan?"


Bertanya-tanya apakah ada toko yang menjual makanan didekat sini, Kamito melihat sekeliling.


Lalu, Est menunjuk ke tengah alun-alun.


"Kamito, lihat sebelah sana—"


Kedua mata ungunya berkilauan.


Kamito mengikuti tatapan Est, dan mendapati kerumunan orang berkumpul di depan sebuah kios terbuka tertentu


Seorang pria berotot terus memutar potongan daging besar yang ditusuk, memanggangnya.


Itu adalah kebab, sebuah hidangan terkenal dari wilayah gurun. Penjaga tokonya akan menyajikannya dengan mengiris daging itu sesuai kebutuhan untuk di gulung di piring bersama dengan banyak sayur-sayuran.


"Sepertinya cukup lezat."


Aroma daging panggang itu memasuki hidung mereka, merangsang nafsu makan mereka.


Mata Est terfokus tanpa bisa diganggu gugat pada daging panggang itu.


Kamito tersenyum masam, lalu menyerahkan beberapa uang pada penjaga toko dan membeli kebab. Dia mendapatkan uang sebelumnya dengan bertukar dengan pedagang misterius itu.


"Ini sangat lezat, Kamito."


Memegang kebab dengan kedua tangannya, Est menikmati gigitan demi gigitan, makan tanpa ekspresi.


"Syukurlah kamu menyukainya."


Melihat kegembiraan Est di wajahnya yang tanpa ekspresi, Kamito merasa lega.


Lalu, mereka berjalan kearah piramida.


Kota Raja Iblis sepertinya dibangun dengan berpusat pada piramida itu.


(Aku ingat Restia mengatakan bahwa lokasi itu awalnya adalah istana Raja Iblis—)


Tiba-tiba penasaran, Kamito mengarahkan perhatiannya pada segel roh di tangan kirinya.


Hubungannya masih ada, tapi sejak beberapa saat yang lalu, gak ada tanda-tanda bahwa Restia akan mendengarkan panggilannya.


Haaaaa, kalau masalah Restia, ini sudah biasa sejak lama—


"Kamito—"


Lalu, Est menggenggam tangannya erat-erat.


"Ya, ada apa?"


"Sekarang ini, kau sedang kencan denganku, Kamito."


Sepertinya dia menyadari kalau Kamito mengarahkan perhatiannya pada Restia.


....Aku gak bisa percaya dia menyatakan monopoli.


"....Est."


Menghadapi Est yang terus menatap dia dengan teguh, Kamito cuma bisa tersenyum masam.


"Baik, aku cuma akan fokus padamu sekarang."


Dia dengan lembut menggenggam tangan Est yang kecil.


"Kalau begitu ayo lakukan sesuatu yang sedikit lebih mirip kencan—"


Bergumam, Kamito menatap pasar di jalan dan berjalan ke sebuah toko yang menjual aksesoris.


Itu adalah sebuah toko kecil yang menjual barang-barang kerajinan dari permata dan kristal roh, kalung dsb. yang diletakkan pada tikar.


"....Est, kamu mau yang mana?"


"....?"


"Itu hadiah untukmu."


Kamito menjelaskan agak malu-malu.


"Sangat jarang sekali aku membelikan sesuatu seperti ini untuk Est."


Gimanapun juga, Est bisa membuat benda setelah dia melihatnya, mau itu pakaian ataupun barang lain. Sebagai hasilnya, Kamito itu biasanya membelikan dia makanan atau suvenir lokal bukannya aksesoris.


Mendengar itu, Est membelalakkan matanya.


"Aku senang sekali, Kamito."


Dia berkata pelan.


"Kamito, tolong pilihkan yang cocok untukku. Aku akan menerimanya dengan senang hati."


"Kamu akan senang kalau aku yang memilihnya?"


"Ya, Kamito. Keinginanmu adalah perintah bagiku."


"Hmmm, aksesoris yang cocok untukmu, huh...."


Hal pertama yang muncul dalam benaknya adalah kaos kaki selutut.


....Tapi mereka mungkin tidak menjual kaos kaki selutut disini.


"Aku akan senang asalkan kau yang memilihnya, Kamito."


"K-Kalau begitu.... Gimana dengan ini?"


Mengatakan itu, Kamito mengambil sebuah cincin kecil dengan motif pedang. Dia pikir desain sederhana ini akan cocok dengan Est daripada perhiasan megah yang menggunakan permata.


Dia menyerahkan cincin itu pada Est, lalu Est memeriksanya tanpa sedikitpun ekspresi.


Lalu Est memasang cincin itu pada jarinya, jari yang memiliki simbol kontrak roh sejak jaman kuno.


"....Uh, apa kamu menyukainya?"


"Kamito—"


Est menatap wajah Kamito.


"Kamito, aku akan selalu menjadi roh terkontrakmu, selamanya."


Dia berbicara tanpa ekspresi seperti biasanya.

Bagian 3[edit]

"Apa kau yang mengganggu tidurku?"


Cewek berambut merah menatap para paladin yang berlutut di depannya.


Gelombang panas yang mengerikan membakar udara. Dihadapkan dengan hawa kehadiran yang kuat yang memancar dari seluruh tubuh cewek itu, bukan hanya para Sacred Spirit Knight yang dipimpin oleh Luminaris, bahkan Lurie juga menahan nafasnya.


(Bagaimanapun juga dia adalah seorang Penguasa, meski dalam keadaan setengah terbangun....)


15 tahun yang lalu, Lurie dihadiahi sebuah pertemuan dengan para mahluk yang dikenal sebagai para Penguasa. Teror ekstrim yang dia alami pada saat itu telah kembali pada dia sekarang.


"Penguasa, kami telah membangunkan anda sesuai dengan perjanjian dengan tuan saya."


Mengatakan itu, Millennia Sanctus berlutut dan menunduk pada cewek itu.


"Hmm—"


Cewek yang dipanggil "penguasa" itu menghela nafas gak senang.


"Perjanjian, huh? Memang, aku telah bertukar perjanjian dengan penguasa itu."


Berkata demikian, dia perlahan-lahan mengamati pemandangan disekitarnya.


"Dimana ini?"


"Ini Ghul-a-val. Sebuah daratan yang dahulu dikenal sebagai Kerajaan Zoldia—"


"Aku tidak ingat hal semacam itu."


"Karena anda telah kehilangan ingatan anda, Penguasa."


"—Begitu kah? Aku paham."


Cewek itu berbicara jengkel.


"Dan juga, apa permohonanmu?"


"Kami ingin meminjam kekuatan anda, Penguasa, untuk membakar sebuah penghalang—"


"Oh? Sebuah penghalang—"


Sepertinya menyadari sesuatu, cewek itu mengarahkan tatapan ke kejauhan di gurun.


Di kedalaman matanya yang seperti rubi, kobaran api cerah sedikit bergejolak.


"Sebuah celah dimensi huh? Jarang sekali menemui celah dimensi yang begitu besar."


"Bisakah anda menghancurkannya?"


"—Pertanyaan bodoh. Apa maksudmu kau mau mengujiku?"


"Saya tidak selancang itu."


Millennia tersenyum dan menggeleng tenang.


"Mahluk yang licik."


Bergumam, cewek itu perlahan mengulurkan tangannya ke samping kearah gurun.


Lalu—


"Menarilah, kobaran api merah yang memanggil kehancuran—Hell Blaze."


Sebuah cahaya merah terang muncul di tengah telapak tangannya.


Bola api itu ditembakkan seperti kilatan cahaya.


BOOOOOOOOOOOOOOM!


Sebuah ledakan raksasa dihasilkan, menyaingi hantaman sebuah meteor.


Angin dari ledakan itu menyapu sekeliling, menghamburkan pasir merah.


Seperti sebuah gempa bumi, gemuruhnya menggema kemana-mana. Para paladin menjadi pucat.


"I-Ini adalah apa yang telah.... mengubah negeri Elstein menjadi lautan api, api milik... Penguasa—"


Kata-kata ini keluar dari Luminaris, pemimpin ksatria, yang menahan nafas.


Tapi dia tidak sepenuhnya benar. Cewek ini bukanlah seorang Penguasa yang utuh.


Dia adalah sebuah avatar di alam manusia, sebuah perwujudan dari Penguasa yang terpisah dari tubuh utama.


Volcanius—Elemental Lord yang berkuasa atas elemen api di dunia ini.


Sebuah avatar saja memiliki kekuatan semacam itu—


Kobaran api dari sihir roh menghilang ke Astral Zero.


Setelah apinya padam—


Kota Raja Iblis, bergoyang seperti sebuah fatamorgana, muncul.

Bagian 4[edit]

Bagian dalam Quseir Amra serumit sebuah labirin karena perluasan berkelanjutan yang gak terorganisir.


Dipandu oleh seorang pekerja perempuan, Claire dan para cewek sampai di sebuah pemandian umum di blok yang berbeda.


Fasilitas pemurnian di Akademi Roh Areishia pada dasarnya tanpa dekorasi, memberi suasana ketentraman. Disini, di pemandian umum didekorasi dengan bunga warna-warni dengan pemandangan alam di lukis di dinding.


"....Sungguh tempat pemurnian yang indah. Ini sangat mengingatkan aku pada pemandian air panas Elstein."


Menggunakan handuk untuk menutupi dadanya yang masih berkembang, Claire berseru kagum.


Area mandinya dipenuhi uap, dengan enam bak mandi raksasa yang terbuat dari batu. Beberapa princess maiden muda sedang menikmati berendam disana. Fasilitas pemurnian umum di Teokrasi cenderung bergaya sauna, menggunakan uap untuk membersihkan tubuh, tapi disini, itu tampak seperti menggunakan metode mandi.


"Jadi mereka menggunakan kristal-kristal roh api untuk memanaskan air."


"Sama seperti pemandian air panas di Laurenfrost."


Rinslet mencelupkan jarinya pada bak mandi.


"Akan tetapi, ini aneh."


Fianna memiringkan kepalanya dan berkomentar.


"Kok bisa?"


"Gimanapun juga ini adalah Ghul-a-val, daratan yang diabaikan oleh para roh. Tapi tempat ini bisa menggunakan kristal roh untuk memanaskan bak mandi sebesar ini dengan cara yang stabil—"


"Kalau dipikir-pikir, kau betul juga...."


Kalau mekanisme roh bisa beroperasi secara stabil di gurun, nggak ada perlunya bagi mereka untuk menaiki kapal pasir tua dan berantakan itu kesini.


"Yang pasti, kota ini dipengaruhi oleh suatu kekuatan yang luar biasa..."


"Yah, kesampingkan itu dulu, mari kita mandi terlebih dulu."


"Aku setuju."


Para nona muda itu melepas handuk mereka dan berjalan ke tempat mandi.


"...Hwah~ sudah kuduga, pemandian air panas memang yang terbaik. Ini lebih efektif daripada cuma mandi biasa."


Setelah membilas diri mereka di tempat mandi, menghilangkan pasir yang menempel pada rambut mereka, Claire dan para cewek membenamkan diri mereka di bak mandi terbesar yang dipenuhi dengan air panas yang beruap.


Berendam di air panas sampai pundak mereka, mereka seketika merasa seluruh tubuh mereka tenang.


"Hmm, rasanya seperti mandi pasir nggak mengisi banyak divine power. Mungkin karena kita berada di Ghul-a-val...."


Melepas kuncirnya, Ellis setengah menutup matanya dalam kenyamanan.


"Ellis... Apa payudaramu tambah besar?"


STnBD V17 BW07.png


Mengatakan itu, Claire menatap dada Ellis.


"....! A-Apa yang kau bicarakan? T-Tidak mungkin... Kurasa...."


Ellis tersipu malu, tergagap. Faktanya, baru-baru ini dia mulai merasa bahwa armor Sylphid Knight jadi agak sesak.


"Astaga, Claire juga tambah besar, meski cuma sedikit."


"Hya!"


Fianna menyambar Claire dari belakang, memegang dadanya, menyebabkan Claire berteriak secara menggemaskan.


"....A-A-Apa, a-apa yang kau lakukan, dasar putri bejat?!"


"Astaga, apa tebakanku tepat?"


"Hmph, teknik memperbesar payudara yang kuajarkan pada dia akhirnya menunjukkan hasil, aku paham."


"...~~~~~~~!"


Rambut merah milik Claire mulai menyala, meningkatkan suhu air dengan cepat.


"P-Panas sekali....!"


"Ini adalah pemandian umum, ingat!"


Rinslet buru-buru merapal sihir roh, memasukan bongkahan es kedalam bak mandi.


Mungkin mendengar keributan, para cewek yang bertugas pada servis pijat bergegas mendekat, dengan sopan berbicara dalam bahasa asing untuk mengingatkan kelompok Claire agar bersikap sopan.


....Mengabaikan keributan tuan mereka, para roh terkontrak sedang menikmati istirahat mereka di samping.


Takut air, Scarlet berbaring diatas sebuah kristal roh yang menyala merah panas, menjilati api yang berkobar dengan lidahnya. Simorgh bertengger pada sebuah tanaman dengan sayap terentang. Berenang di sebuah bak mandi, Fenrir populer dengan para princess maiden dari afiliasi lain.


Karena afinitas baja milik Georgios berarti lemah terhadap uap air, jadi bukannya mewujudkan diri, dia tetap di Astral Zero untuk beristirahat.


"Mmmmmm~.... Ini surga...."


Calire meregang seperti seekor kucing sambil meminum air beraroma mawar. Bagi Claire yang tumbuh sebagai seorang putri bangsawan yang dimanja, suatu perjalanan melintasi gurun yang gersang tetaplah cukup melelahkan bagi dia.


"Ya, kita harus berterimakasih pada pedagang itu."


Saat Rinslet menjawab pelan—


"..."


Claire dan yang lainnya terdiam canggung.


"....A-Ada apa?"


"Sebenarnya, tentang itu—"


Ellis berbicara dengan serius.


"Apa segala yang dikatakan pedagang itu betul-betul benar?"


"Yah—"


Claire mengangguk dengan ekspresi serius.


"Meskipun dia gak terlihat seperti orang jahat, kurasa berbahaya untuk sepenuhnya mempercayai perkataannya. Dia bilang dia adalah seorang pedagang dari Zohar, tapi aku betul-betul meragukan kebenarannya."


Mengesampingkan apakah Rinslet percaya atau tidak—


Claire dan yang lainnya mendapati pedagang itu cukup mencurigakan.


Sphinx yang muncul di gurun, roh penjaga ini seharusnya telah diberi tugas untuk menentukan seorang pengunjung layak memasuki Kota Raja Iblis.


Apa roh itu akan betul-betul menolong seorang pedagang biasa yang sekarat?


"Aku ingat dia mengatakan bahwa ada orang lain yang dibawa kesini selain dirinya sendiri. Jika demikian, kita harus menanyai orang-orang itu terlebih dahulu—"


"...Anggap saja dia mengatakan yang sebenarnya tentang itu."


Sebagai tanggapan pada saran Fianna, Claire mengangkat bahu dan menjawab.


"N-Ngomong-ngomong...."


Lalu Ellis berbicara ragu-ragu.


"Ada apa, Ellis?"


"Umm, itu menyadarkan aku sekali lagi barusan... A-Aku masih takut berhadapan dengan p-pria."


"Y-Ya... Aku juga paham itu."


"Ya.... Aku bisa bersimpati."


...Mendengar komentar jujur Ellis, Claire dan Rinslet mengangguk.


Meskipun menghabiskan hari-hari mereka bersama Kamito telah membantu mereka menyesuaikan diri—


Mereka pada dasarnya adalah nona-nona muda yang polos.


"Hmm, namun dari semua orang, kau nggak takut pada Kamito-kun?"


Fianna mencubit lengan Ellis.


"K-Kamito itu spesial... Tunggu, a-anda ingin membuat saya mengatakan apa?"


Ellis tersipu, uap keluar dari kepalanya.


"....Syukurlah, jadilah lebih jujur."


Sambil memeras rambutnya, Fianna berbicara dengan jengkel.


"...~Terus Yang Mulia, apa yang anda rasakan tentang...."


"Tentang apa?"


"....Itu, uh... T-Tentang Kamito... Apa yang anda rasakan—"


Dengan Fianna menatap lurus padanya, Ellis tergagap ambigu berkebalikan dengan gayanya yang biasanya tegas bermartabat.


Melihat itu, Fianna mendesah dan mengangkat bahunya, lalu....


"—Aku mencintai Kamito-kun."


Dia mengatakannya dengan mudah.


"Y-Yang Mulia!?"


Ellis membelalakan mata coklatnya. Claire dan Rinslet juga merasa jantung mereka berdetak kencang.


Fianna juga memalingkan tatapannya pada mereka berdua, tersipu sambil mengeluarkan gelembung di permukaan air.


"... Bagaimana tepatnya yang kalian semua rasakan?"


"...A-Aku... uh.... merasa positif, t-tentang Kamito...."


"A-Aku juga... Uh, umm...."


Rinslet tampak kuatir dan menatap Claire.


Claire tersipu merah padam, mulutnya terbuka dan tertutup.


"I-Itu bukan seperti aku... aku...cinta—"


"Cinta?"


"...~~~~~! O-Ooooooh.... B-Baik, aku akan mengatakannya!"


Claire berteriak hampir sepenuhnya pasrah.


"Aku mencintai Kami—"


BOOOOOOOOOOOM!


Lalu, sebuah ledakan besar terdengar dan pemandian umum berguncang keras.


"A-Apa-apaan ini!?"


"Apa yang terjadi!?"


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 8 - Ratu Kota Raja Iblis[edit]

Bagian 1[edit]

"Tempat ini betul-betul besar."


Inilah hal pertama yang Kamito ucapkan.


Menengadah dari bagian bawahnya, dia menyadari piramida itu jauh lebih besar daripada yang telah dia bayangkan. Ukurannya sama seperti Nefescal Palace di Kekaisaran Ordesia.


Piramida itu dikelilingi oleh taman yang besar, yang mana bertindak sebagai bukti untuk mendukung apa yang dikatakan Restia—ini dulunya merupakan lokasi dari sebuah istana.


Ini menimbulkan pertanyaan, siapa yang bertugas memelihara taman ini? Memelihara taman sebesar ini dalam kondisi yang bagus harusnya membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Atau mungkin tanaman di Kota Raja Iblis ini tidak tumbuh?


"Bahannya... Logam?"


Menyentuh dinding berwarna putih itu, Kamito merasakan tekstur yang dingin.


Setidaknya itu nggak terasa seperti batu atau ubin.


(...Pedagang Zohar itu bilang bahwa nggak ada pintu masuk.)


Kamito berjalan-jalan di sekitar, tapi jangankan pintu masuk, dia bahkan nggak bisa menemukan satupun retakan di dindingnya.


Meskipun dia nggak yakin kecuali dia mengitari bangunan itu, tapi nggak adanya pintu masuk mungkin memang benar.


"Nah, apa yang harus aku lakukan kalau begitu...?"


Dihadapkan dengan bangunan yang sangat besar ini, Kamito nggak tau gimana memecahkan masalahnya. Terakhir kali dia merasakan seperti ini adalah ketika Greyworth mengirim dia untuk membersihkan dan merapikan sebuah rumah besar.


Akan tetapi, harusnya nggak salah lagi bahwa piramida ini merupakan Makam Raja Iblis.


"Apa ada password...? Atau persyaratan tertentu harus dipenuhi agar bisa masuk?"


Kamito penasaran apakah Sphinx itu mungkin muncul lagi untuk menguji dia untuk kelayakan memasuki makam. Akan tetapi, tebakan ini jelas-jelas nggak mungkin.


(...Itu akan menghemat banyak upaya kalau Sphinx itu datang.)


Berpikir begitu, Kamito menoleh pada Est.


"Est, bisakah kamu mengurus ini?"


"Ya, aku adalah pedang tercintamu, Kamito. Oleh karena itu, gak ada yang gak bisa aku potong di dunia ini."


"Ada apa dengan penalaran yang gak bisa kupahami ini... Terserahlah, ayo kita coba."


"Serahkan padaku."


Est sedikit membusungkan dadanya dan mengangguk.


Dengan demikian, Kamito memegang tangan Est dan menuangkan divine power pada dia.


"Ratu Baja yang tak berpihak, pedang suci yang menghancurkan kejahatan—sekarang jadilah pedang baja dan jadilah kekuatan di tanganku!"


Tubuh Est segera menghilang. Disaat yang sama, Demon Slayer muncul di tangan Kamito.


‘—Kamito, inginkan aku mendemonstrasikan kekuatan pembunuh iblis milikku padamu sekarang.’


Meski dia nggak menuangkan banyak divine power pada pedang itu, bilah berwarna putih-perak itu bersinar terang.


....Kayaknya Est sedang dalam suasana hati yang bagus hari ini.


"Kalau begitu ayo lakukan—"


Kamito melangkah kearah dinding.


"Haaaaaaah!"


Dia mengerahkan kekuatannya dan mengayunkan Demon Slayer dengan kuat.


Claaaaaaang!


Dengan suara yang memekakan telinga—


Bilah Est yang bersinar putih-perak, menebas dinding piramida.


(Bagus!)


Serangannya berhasil. Setidaknya dinding ini tidaklah gak bisa dihancurkan.


‘Gimana, Kamito?’


Suara Est terdengar bangga.


"Ya, itu baru Est-ku... Hmm, eh?"


Lalu Kamito menyadari sesuatu.


"E-Est... K-Kamu nyangkut!"


‘....?!’


Dengan setengah bilahnya menancap di dinding, pedang suci itu tak bisa bergerak sedikitpun m


"K-Kuharap kita nggak dalam masalah...."


‘...Kamito, selamatkan aku.’


Suara Est terdengar agak cemas. Ini merupakan kejadian yang langka.


"B-Bertahanlah, aku akan segera mencabutmu.... Berat sekali!"


Kamito menempatkan satu kakinya pada dinding dan menarik pedang itu kuat-kuat, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mencabut pedang suci tersebut.


Lalu, kakinya yang ada pada dinding kehilangan pijakannya.


(...Huh?)


Sebelumnya dia bisa merasakan perasaan disonansi ini...


"....! Uwaaaaaaaahhhh!"


Tiba-tiba, dinding itu terbuka dan mengungkapkan sebuah lubang. Kamito jatuh seolah tersedot.

Bagian 2[edit]

"—! Ahhhhhhhhhhhh!"

Tertelan oleh lubang vertikal yang gelap gulita, terlalu dalam untuk dilukiskan, Kamito terus jatuh.


Angin berhembus melewati telinganya. Tekanan udaranya membuat Kamito gak bisa bernafas.


(...! Aku dalam masalah besar sekarang!)


Gak seperti terakhir kali saat terjatuh di jurang es di Laurenfrost....


Meskipun dia ingin menggunakan pedangnya untuk memperlambat jatuhnya, sekarang ini nggak ada dinding di sekitar dia untuk menancapkan pedangnya.


(Melepaskan divine power masih memungkinkan untuk memperlambat jatuh—)


Tapi melakukan itu hanya akan menunda hal yang tak terelakkan lagi.


(...Cih, apa yang harus kulakuka!?)


‘Kamito, panggil roh kegelapan—’


"....! B-Betul—!"


Kamito mengangkat tangan kirinya dan menuangkan divine power pada tangannya.


"—Datanglah, Restia!"


Segel roh bergambar bulan sabit di tangan kirinya bersinar terang didalam kegelapan.


"..."


...Akan tetapi, nggak ada tanda-tanda bahwa gerbang pemanggilan akan terbuka.


(...Gah, d-dasar roh egois!)


Kamito berteriak dalam hatinya.


Kalau dipikir-pikir lagi, dia selalu nggak ada disampingnya di setiap saat-saat kritis. Contohnya, tiga tahun lalu, selama pelatihan dari Greyworth saat roh kelas archdemon mengejar dia, Restia berada di Astral Zero, ngemil sambil bersantai-santai.


Akan tetapi, gak ada waktu buat mengeluh saat ini. Meskipun Kamito nggak tau kemana lubang ini mengarah, kalau dia jatuh ke dasar seperti ini, tentunya yang menunggu dia adalah....


(....Sial, tamat sudah riwayatku.)


Saat dia berpikir demikian—


"...!?"


Tiba-tiba, tubuhnya mengapung.


"...A-Apa yang terjadi?"


Berat badannya nampak lenyap secara tiba-tiba.


Mengapung di dalam kegelapan, Kamito turun secara perlahan.


"...A-Apa aku selamat...?"


Turun perlahan-lahan di kegelapan tanpa ujung—


Setelah beberapa saat, kaki Kamito akhirnya menyentuh lantai.


"......"


Selain suaranya sendiri, sekeliling sepenuhnya hening, dia nggak bisa mendengar suara lain.


Kamito menarik nafas lalu membuat bilah Est bersinar.


Cahaya terang dari bilah berwarna putih-perak menerangi sekeliling.


Kamito menyangka dikelilingi oleh logam anorganik—


".....! Tempat apa ini!?"


Tapi diterangi oleh cahaya pedang suci, apa yang memasuki pandangannya adalah—


Sebuah pemandangan yang sepenuhnya berbeda dari bayangan Kamito.


Didepan matanya adalah sebuah langit-langit yang dihiasi kristal roh dalam jumlah yang tak terhitung dan sebuah aula kuil yang besar. Pilar-pilar batu besar berjajar di tengahnya sedangkan di dindingnya terdapat ukiran patung-patung yang rumit.


Itu nggak kelihatan seperti sebuah "makam" yang berasal dari seribu tahun yang lalu.


Kesannya seperti istana seorang raja.


‘—Kamito, aku tau tempat ini.’


Bilah Est berkedip.


"....Est, jangan bilang kamu mendapatkan kembali ingatanmu?"


‘Tidak. Tapi tempat ini adalah—’


"—The Great Temple of the Celestial Demon. Seribu tahun lalu, ini adalah tempat dimana Raja Iblis dan Sacred Maiden melakukan pertempuran terakhir mereka."


"...!?"


Mendengar suara yang berasal dari atas...


Kamito menengadah.


Dengan bulu-bulu hitam legam beterbangan, seorang cewek berpakaian hitam muncul.


"Restia—!"


Kamito berseru terkejut saat cewek roh kegelapan itu turun perlahan-lahan di depan dia.


STnBD V17 BW08.png


"Kamito, apa kamu menikmati pemandangan diluar?"


"....Ayolah, aku memanggilmu berkali-kali."


Kamito melotot pada dia.


"Aku minta maaf soal itu. Didalam Makam ini, koneksi dengan dunia luar tidak berjalan lancar. Akan tetapi, aku mendengar panggilanmu barusan."


"Kalau memang begitu, harusnya kamu datang secepatnya."


"Gimanapun juga, aku tau kamu nggak akan jatuh sampai dasar. Bukankah itu menyenangkan?"


Melihat Restia tersenyum manis, Kamito mendesah.


"....Jadi, tempat apa ini? Dekorasi yang megah ini gak kelihatan seperti sebuah makam—"


"Ini adalah istana Raja Iblis. Atau lebih tepatnya, ini merupakan sebuah tempat yang dibangun dengan mencontoh istana itu."


Menatap langit-langit Kuil Agung, dia menjelaskan.


"Bedanya dimana?"


"Istana yang asli sudah lama lenyap. Ini merupakan satu-satunya tempat yang dia ciptakan didalam Makam Raja Iblis, yang menyerupai tempat aslinya."


"—Dia?"


Kamito bertanya.


"Ya, tuan dari Makam Raja Iblis ini."


"Apa?"


Restia tertawa kecil lalu menatap kearah sebuah pintu yang mengarah ke kedalaman ruangan.


"Ikuti aku, Kamito. Ratu Kota Raja Iblis ingin bertemu denganmu."

Bagian 3[edit]

"....Apa kita belum sampai juga, Restia?"


"Sedikit lagi—"


Sambil menggunakan bilah pedang suci untuk penerangan—


Kamito berjalan di koridor yang seperti tak berujung.


Tuan yang mengundang Kamito ke Makam ini sepertinya berada di bagian terdalam dari piramida ini.


Mahluk seperti apa yang memerintah kota ini?


Restia menggunakan kata "dia (perempuan)" untuk menyebutkan penguasa itu—


Setelah berjalan selama 10 menit atau lebih, sebuah gerbang baru muncul di depan mereka.


Tertanam di bagian tengah gerbang itu adalah sebuah kristal roh besar. Restia menempatkan tangannya di atasnya dan gerbang itu perlahan-lahan terbuka, kedua pintunya terbuka ke kedua sisi.


Didalam gerbang itu adalah kegelapan.


"Disini, Kamito."


"Aman kah masuk kedalam?"


Kamito bertanya agak gugup. Restia mengangguk.


Merendahkan bilah pedang suci yang bersinar redup, Kamito melangkah masuk.


Lalu—


"—Aku sudah lama menunggumu, penerus Raja Iblis."


"...!?"


Dia mendengar suara yang sejernih kaca. Lalu sebuah cahaya menyilaukan muncul.


Kamito memblokir cahaya itu dengan tangannya.


Apa yang muncul dihadapan Kamito adalah—


Sebuah pilar kristal transparan mengapung di tengah kegelapan.


Pilar itu bersinar berwarna-warni dan berputar pelan.


"Apa ini sebuah kristal roh?"


Kamito membelalakkan matanya, berseru terkejut.


Kristal berwarna-warni itu gak diragukan lagi merupakan satu kristal roh.


Akan tetapi, kristal roh paling besar yang pernah digali di seluruh benua ukurannya cukup kecil untuk dipegang dengan dua tangan. Pilar semacam ini nggak mungkin ada.


Kamito tercengang, seluruh tubuhnya membeku—


Lalu, ada perubahan dalam warnanya.


Di bagian tengah kristal transparan itu, suatu sosok muncul.


(...Apa?)


Kamito memfokuskan matanya pada cahaya berwarna-warni itu.


Dan melihat, kemunculan dari cahaya itu—


Seorang wanita cantik, kulitnya seputih salju, mengenakan sebuah gaun berkain tipis.


Dia terlihat sedikit lebih tua dari Kamito. Wajahnya pucat dan cantik disertai rambut berwarna hijau yang seelok emerald.


Matanya semerah darah. Garis anggun dari telinganya berakhir pada bentuk runcing.


Kecantikan, kesakralan dan kemutlakkannya membuat Kamito menahan nafas.


"....Seorang Roh?"


Dia bergumam, tapi gak lama setelah dia berbicara, dia menyadari seberapa bodohnya kata-katanya.


—Sesosok mahluk seperti ini sudah pasti seorang roh.


Ini adalah roh humanoid keenam yang Kamito temui.


Est. Restia. Iseria Seaward, perwujudan Elemental Lord Air yang mereka temui di Ragna Ys. Wujud sejati Scarlet, Ortlinde. Dan yang terakhir, adalah Bahamut, Raja Naga Dracunia. Masing-masing dari mereka adalah roh tingkat tinggi yang memiliki kekuatan yang sangat besar.


Kalau begitu, roh yang ada didepan dia saat ini juga—


Didalam kristal yang berkilauan, bibirnya bergerak lembut.


"—Penerus Raja Iblis. Sudah lama aku menunggu kedatanganmu."


Suaranya selembut suara seorang ibu, namun disaat yang sama juga sepolos suara seorang putri muda.


Mendengar suara ini, yang mana menyentuh hati sanubari, Kamito secara gak sadar menurunkan kewaspadaannya.


"...Menungguku?"


Dia bertanya kalem.


"Ya, di Makam ini, selama seribu tahun—"


"S-Seribu tahun....?"


Apaan yang dia bicarakan?


Kamito berpaling untuk melihat Restia yang ada dibelakangnya.


"....Uh, bisakah kamu menjelaskan dengan cara yang sederhana?"


Dia meminta bantuan.


"...Apa kalian berdua saling mengenal?"


"Kenal—kurasa bisa dibilang begitu, kalau sampai sejauh mengetahui."


Restia memiringkan kepalanya, agak kebingungan.


"Kedengarannya sangat samar."


"Ya. Faktanya, aku dan dia nggak pernah ngobrol lama."


"Huh...."


"—Mau bagaimana lagi."


Lalu, roh didalam kristal itu berbicara.


"Bagaimanapun juga, dia adalah senjata paling menakjubkan yang digunakan oleh dia. Menghabiskan sebagian besar waktunya di medan perang. Sebaliknya, aku kebalikannya, selalu berada di istana ini—"


"...Dia?"


"Raja Iblis Solomon."


Mendengar pertanyaan Kamito, Restia menjawab.


".....Apa!?"


Mendengar itu, Kamito membelalakkan matanya. Restia mengangkat bahu dan mendekat ke telinga Kamito.


"Bukankah sudah kusebutkan di Mordis? Satu-satunya roh yang membuat kontrak dengan Raja Iblis Solomon—"


"Oh..."


Kamito teringat.


Sebelum menaiki kapal, dia memang mendengar Restia menyebutkan tentang itu.


"Lalu dia adalah—"


"Ya, tepat. Dia adalah roh Iris. Ratu Kota Raja Iblis, mengawasi Makam Raja Iblis ini selama seribu tahun ini."

Bagian 4[edit]

"Roh Iris—"


Satu-satunya roh yang dipercayai oleh Raja Iblis Solomon, membuat kontrak dengan dia—


(...Jadi ini orangnya?)


Kamito menatap kristal roh yang mengapung di udara.


Roh yang dipanggil Iris itu cuma tersenyum tenang, menatap Kamito.


"....Tunggu sebentar. Aku ingat kamu bilang padaku kalau roh itu menghilang ke suatu tempat di Astral Zero setelah kematian Raja Iblis, kan?"


"Ya. Itulah yang kupercayai."


Restia mengangguk.


"Akan tetapi, aku salah. Dia nggak tinggal di alam manusia ataupun pergi ke Astral Zero. Justru dia tetap disini, mengawasi Makam Raja Iblis—"


"Kalau begitu..."


Kamito menarik nafas lalu menanyai roh yang berada di dalam kristal itu.


"Apa kau yang menciptakan Kota Raja Iblis ini? Uh, dan penduduk disini...."


Kalau itu benar—


Kekuatan miliknya pasti menyaingi para Elemental Lord.


Tapi—


"Tidak. Kota ini bukan diciptakan dengan kekuatanku."


Ratu Kota Raja Iblis itu menggeleng pelan.


"Ini adalah sebuah pecahan ingatan, di tempatkan di suatu celah antara alam manusia dan Astral Zero dengan kekuatan Raja Iblis. Aku hanya menggunakan kekuatan Makam ini untuk mempertahankan status quo."


"....Pecahan ingatan?"


Istilah yang digunakan ratu itu membuat Kamito cukup penasaran.


...Suatu kebetulan? Dia ingat pedagang Zohar itu mengatakan hal yang sama.


"Kebenaran dari Kota Raja Iblis terdiri dari ingatan-ingatan Raja Iblis seribu tahun lalu, ditempatkan di sebuah celah dimensi. Dan piramida ini merupakan sebuah perangkat sihir raksasa untuk mempertahankan kota, kan?"


"Ya, kota ini, orang-orang yang tinggal disini, termasuk aku... semuanya adalah ilusi yang hanya bisa ada di sebuah celah dimensi."


"...Sejujurnya, aku gak memahami apapun tentang sihir."


Kamito berbicara sambil menggaruk kepalanya.


Kalau Fianna ada disini, dia mungkin bisa memberi penjelasan yang rinci.


"Kota ini merupakan suatu warisan dari Raja Iblis yang telah lenyap seribu tahun lalu. Dan kaulah yang mengelola kota ini, benar begitu?"


"Pada dasarnya seperti itu. Pemahaman ini sudah benar."


Warga kota, yang menghilang saat mereka keluar dari dinding kota, yang penampilannya nggak ada bedanya dengan manusia hidup, sebenarnya diciptakan sesuai dengan ingatan Raja Iblis.


Dan juga, tempat ini sepertinya bukanlah alam manusia yang familiar bagi Kamito.


Roh terkontraknya Raja Iblis Solomon.


Selama seribu tahun, dia terus menjaga peti mati Raja Iblis dan ingatan-ingatannya.


Apakah itu kesetiaan terhadap Raja Iblis, atau mungkin—


Berpikir demikian, Kamito menyadari bahwa dia belum menanyakan poin kuncinya.


"Jadi kenapa kau mengundangku kesini, ratuku?"


Berbicara secara logis, dia nggak ingin siapapun tau tentang keberadaan dari Kota Raja Iblis.


Akan tetapi, Sphinx telah menilai kelayakan Kamito, lalu menunjukan jalan ke celah dimensi ini.


Untuk tujuan apa?


"Karena ada hal-hal yang harus kusampaikan pada penerus Raja Iblis." Kata sang ratu.


"Hal yang harus kau sampaikan padaku?"


"Ya. Aku ingin menyampaikan kebenarannya padamu. Kuharap kau tidak melakukan kesalahan yang sama yang dia lakukan —"


(...Kesalahan?)


Kamito bertanya-tanya dalam benaknya.


Kesalahan apa yang dia bicarakan sebagai roh terkontrak Raja Iblis?


"Sentuhlah kristalnya, Kazehaya Kamito."


Lalu ratu itu, menyebut nama Kamito untuk yang pertama kalinya.


"Jangan khawatir, sebentar saja, untuk mensinkronasikan pikiranmu."


Kamito menoleh pada Restia.


Restia mengangguk pada dia.


"....."


Setelah ragu-ragu sebentar, Kamito perlahan-lahan mengulurkan tangannya.


Sejujurnya, dia masih waspada—


Tapi dia memilih untuk mempercayai penilaian Restia.


Saat ujung jarinya menyentuh permukaan kristal itu cahaya berwarna-warni itu langsung bersinar lebih terang.


(....!?)


Lalu, pandangan Kamito menjadi putih polos.


Disaat yang bersamaan, ingatan-ingatan dalam jumlah yang banyak masuk kedalam pikirannya.


(Ini.....!)


"Tolong pahamilah. Apa yang sebenarnya yang terjadi seribu tahun lalu—"


Suara roh Iris menggema di telinganya—


Lalu kesadaran Kamito lenyap.

Bagian 5[edit]

Seribu tahun lalu—


Disaat Ghul-a-val masih merupakan suatu tempat dengan tanah yang subur.


Seorang anak laki-laki lahir di sebuah desa kecil didekat perbatasan Kerajaan Zoldia.


"Nama anak laki-laki itu adalah Solomon Yelsion. Meskipun seorang laki-laki, dia bisa menggunakan roh-roh layaknya para princess maiden—"


Gambaran dari anak laki-laki itu menggunakan segala macam roh muncul dalam pandangan Kamito.


Gambarannya tidak terlalu jelas, tapi Kamito tau bahwa anak laki-laki itu di usia yang hampir sama dengan dirinya. Dia memiliki rambut hitam panjang. Cukup tinggi. Di tampak lebih kuat daripada Kamito.


(...Jadi ini Raja Iblis Solomon?)


Kamito memperhatikan dengan cermat gambaran itu.


Mungkin karena dia telah melihat dirinya sendiri memakai topeng tengkorak di Mordis, bayangan Kamito tentang Raja Iblis sama sekali gak sesuai dengan anak laki-laki ini.


"Dia adalah seorang pria berhati baik serta bijak dan pemberani. Dia tidak pernah menggunakan roh untuk kepentingan pribadinya. Sebaliknya, dia menggunakan kekuatannya untuk melawan binatang binatang sihir dan roh-roh yang mengancam manusia—"


Gambaran yang di tampilkan pada benak Kamito terus berubah layaknya air yang mengalir.


Pria muda itu menyelamatkan desa-desa manusia, melenyapkan roh-roh jahat, dan melindungi negerinya dari para penakluk serakah.


Akhirnya, dia mulai dikenal sebagai seorang pahlawan, mendapatkan status tepat dibawah raja. Memuji-muji dia atas prestasinya, sang raja bahkan memberikan putri semata wayangnya untuk dinikahkan dengan dia.


Orang-orang di kerajaan memuji sang pahlawan, berharap dia menjadi raja yang selanjutnya.


Selama pahlawan Solomon masih hidup, kemakmuran kerajaan akan berlanjut. Itulah yang diyakini semua orang.


Akan tetapi—


"Beberapa orang cemburu atas prestasinya dan merasa sangat tersinggung. Mereka adalah para pengikut dan para jendral yang melayani kerajaan sejak lama, serta para tetua dari princess maiden yang mengkomando para roh—"


(...Itu wajar sekali.)


Kamito bergumam dalam benaknya.


Entah itu seribu tahun yang lalu ataupun sekarang, sifat manusia nggak banyak berbeda. Kudeta yang terjadi di Ordesia dan Teokrasi sebelumnya merupakan buktinya.


"Mereka menggunakan segala macam rencana licik, berusaha menjatuhkan sang pahlawan, berharap untuk mengungkapkan kejahatan-kejahatannya. akan tetapi, mereka tidak berhasil. Karena mereka tidak bisa menemukan satupun kesalahan dari pahlawan kebenaran dan mulia itu—"


Para pengikut raja memfabrikasikan laporan yang tidak menguntungkan tentang pahlawan itu, tapi rencana mereka digagalkan satu per satu oleh tindakan dan sikap sang pahlawan itu sendiri. Seseorang bahkan mencoba mengirim pembunuh untuk membunuh sang pahlawan, tapi mereka segera menyadari bahwa itu sia-sia. Pahlawan Solomon dilindungi oleh berkah para roh sepanjang waktu.


Pada akhirnya, rencana-rencana jahat mereka diketahui oleh sang raja.


"Murka terhadap para pengikutnya yang licik, raja memerintahkan mereka untuk dikirim pada para roh sebagai pengorbanan hidup. Akan tetapi, Solomon meminta agar raja bermurah hati. Dengan demikian, nyawa para penjahat itu diselamatkan oleh pahlawan yang mereka benci."


Sang pahlawan dengan hati lapang memaafkan mereka. Tak seorangpun yang tidak pernah berbuat salah. Semua orang pasti mengalami saat-saat melemahnya mental. Dia berharap mereka bisa bekerjasama demi kemakmuran kerajaan, itulah yang dia katakan—


"Orang-orang yang mencoba untuk membahayakan dia merasakan rasa malu yang mendalam dan menyesali perbuatan mereka. Akan tetapi, suatu minoritas kecil semakin membenci dia setelah kejadian ini—"


Para pengikut ini berpura-pura menyesali perbuatan mereka, namun secara sembunyi-sembunyi memperhatikan sang pahlawan, sungguh-sungguh berharap menemukan suatu kesalahan. Beberapa orang menjadi bawahan setia sang pahlawan sedangkan yang lainnya mempertahankan ikatan pertemanan dengan dia.


Dengan demikian, beberapa tahun kemudian, kesempatan yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang.


"Putra yang diberkahi para roh, Solomon Yelsion. Tulus, baik hati dan rendah hati, dia yang memegang gelar pahlawan, melakukan suatu tabu besar—"


Mengatakan itu, sang ratu mendesah dalam-dalam.


"....Tabu?"


"Dia jatuh cinta pada seorang gadis dari ras Elfim, musuh kerajaan—"


Pemandangan didepan mata Kamito berubah.


Yang muncul berikutnya adalah suatu gambaran dari seorang gadis hutan berambut hijau dan bermata merah.


"....Seorang Elf?"


"Sepertinya itu adalah sebutannya sekarang."


Roh Iris tersenyum.


"Mereka para manusia yang bermigrasi dari Astral Zero di jaman kuno. Keturunan mereka dikenal sebagai Elf saat itu. Seribu tahun lalu, para Elf bersekutu dengan para roh untuk menentang kerajaan manusia untuk melindungi Promordial Forest."


Banyak pertempuran terjadi diantara Kerajaan Zoldia dan para Elf. Meskipun para Elf kalah jumlah, para roh hutan memiliki kekuatan yang besar, oleh karena itu mereka bisa terus melawan selama bertahun-tahun."


Sang pahlawan dan gadis hutan itu bertarung berkali-kali di medan pertempuran—


Setelah proses ini, mereka jatuh cinta.


Gadis itu menghianati desa hutan yang membesarkan dia, sedangkan Solomon menghianati kerajaan.


Meski dia telah menikahi putri sang raja, dia tetap jatuh cinta pada seorang Elf dan bahkan memiliki anak dengan Elf itu.


Mengetahui hal ini terjadi, para pengikut licik itu bersuka cita dan secara diam-diam melaporkan pada sang raja.


Mereka mengatakan sang pahlawan bekerja sama dengan para Elf dan akan meninggalkan kerajaan—


"Mendengar bahwa sang pahlawan adalah seorang penghianat, sang raja murka. Lalu dia memerintahkan para jenderalnya untuk mengirim suatu pasukan ekspedisi penghukum ke desa Elf dimana gadis hutan itu tinggal—"


Pemandangan dari hutan yang terbakar hebat diputar didepan mata Kamito.


Suara-suara dari para Elf yang dipenuhi kepedihan dan kebencian menggema di telinganya.


"Desa itu dibakar habis. Gadis hutan dan anak sang pahlawan.... terbunuh."


Hari itu, pria muda yang sebelumnya dikenal sebagai pahlawan berubah menjadi penjelmaan amarah.


Dia melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, bertarung bersama para roh hutan.


Melawan mantan pahlawan yang seorang diri bertarung di banyak medan pertempuran, pasukan kerajaan mengalami saat-saat yang sulit.


Tapi setelah pertempuran selama berbulan-bulan, pada akhirnya—


Sang pahlawan jatuh kedalam perangkap dan ditangkap.


Dia dikenai siksaan keras. Tenggorokannya rusak, dan segel-segel roh yang ada diseluruh tubuhnya dihapus, dan kekuatannya sepenuhnya diambil—


Dalam keadaan tak berdaya semacam itu, dia diseret di depan rakyat kerajaan.


Warga yang dulunya memuji-muji dia tanpa henti sebagai seorang pahlawan, menggunakan mulut-mulut yang sama untuk mengutuk dia dan melempari dia dengan batu.


Lalu, pria muda yang dulunya dikenal sebagai pahlawan, merasa putus asa untuk pertama kalinya, merenungi kebodohannya sendiri.


Apa itu yang dia lindungi selama ini?


Di tempat eksekusi, dia menatap langit dan mengutuk umat manusia.


"—Lalu, sebuah suara menanggapi dia."


"....Sebuah suara?"


Kamito tiba-tiba merasa waspada, tentang suara yang didengar Raja Iblis. Apakah itu suara yang sama yang memanggil Kamito sebelumnya, suara dari Elemental Lord Kegelapan?


Tapi sebelumnya Restia memberitahu Kamito di Mordis.


Raja Iblis yang kukenal nggak membangkitkan kekuatan Elemental Lord Kegelapan—


"—Bukan, itu bukanlah suara Elemental Lord Kegelapan."


Sang ratu membantah pemikiran itu.


"Huh?"


Kalau suara yang didengar Solomon sang pahlawan bukan suara Elemental Lord Kegelapan—


Terus suara siapa itu....?


"Ini adalah suara dari salah satu Elemental Lord, penguasa dunia ini, yang membuat kontak dengan dia—"


Roh Iris menyebutkan namanya dengan sebuah bisikan


Holy Lord Alexandros—Pemimpin dari Lima Elemental Lord Agung.


"...!?"


Mendengar kata-kata yang tak terduga seperti itu, Kamito terkesiap.


Alexandros.


Sang Penguasa Cahaya, dianggap yang paling agung dari semua Elemental Lord.


Dan juga Sang Elemental Lord yang entah kenapa tidak ada saat Kamito menenangkan Blade Dance tiga tahun yang lalu.


—Nama itu, kenapa nama itu muncul sekarang?


"Sang Holy Lord menawarkan semacam kontrak pada dia diambang kematian yang telah mengutuk dunia—" Lanjut sang roh Iris.


"....Kontrak?"


"Sang Holy Lord mengatakan pada dia bahwa gadis tercintanya bisa dibangkitkan dari kematian jika dia menggunakan kekuatan keajaiban yang melampaui dunia manusia. Dan kekuatan itu juga akan memberi dia kekuatan—"


Di tempat eksekusi, Solomon sang pahlawan menanyai suara itu.


‘Engkau yang memberiku godaan, apa bayarannya?’


Sang Holy Lord menjawab dia.


—Engkau harus menjadi Raja Iblis untuk membawa kekacauan dan kehancuran pada dunia.


(...!?)


Kamito merasa kebingungan. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benaknya.


Sang Holy Lord seharusnya tau bahwa Solomon adalah reincarnasi dari musuh, Elemental Lord Kegelapan.


Kenapa seorang Elemental Lord, yang harusnya menjaga ketertiban dunia, menginginkan kekacauan dan kehancuran dunia?


"Dia membentuk sebuah kontrak dengan sang Holy Lord dan menerima keajaiban yang melampaui dunia manusia. Apa yang terjadi setelah itu sama seperti yang tercatat dalam sejarah dan diwariskan hingga sekarang—"


Setelah mendapatkan kekuatan keajaiban, dia membunuh semua rakyat kerajaan itu.


Lalu dia membunuh sang raja, membunuh para pengikut, membunuh putri yang dulunya adalah istrinya—


Di dalam istana Kerajaan Zoldia yang terbakar, dia meraung keras.


Dengan demikian, elementalis muda, yang dulunya dikenal sebagai pahlawan—


Dia terlahir kembali sebagai Raja Iblis yang paling mengerikan dalam sejarah.

Bagian 6[edit]

—Pandangannya menjadi gelap.


Kamito membuka matanya, dan mendapati yang ada didepan dia adalah kristal dimana roh Iris tersegel.


"—Inilah kebenaran yang ingin kusampaikan, penerus."


"....."


Kamito dengan lembut menjauhkan jari-jarinya dari permukaan kristal dan menatap roh Iris.


Rambut hijau, mengingatkan pada hijau menyegarkan dari hutan. Mata merah, semerah darah. Garis anggun dari telinganya yang merupakan karakteristik dari ras itu.


"Sepertinya sang Holy Lord menepati janjinya pada Raja Iblis—"


Dengan perasaan campur aduk di wajahnya, Kamito berbisik.


Dia menyadari identitas sejati roh Iris itu.... Dengan kata lain, itulah yang terjadi.


"Tebakanmu benar. Holy Lord memberi dia kekuatan keajaiban dan membangkitkan aku. Aku hidup lagi, tapi kali ini sebagai mahluk yang tak bisa musnah yang tidak kenal apa itu kematian lagi—seorang roh."


Membangkitkan orang mati—hanya ada satu kekuatan di dunia ini yang mampu melakukan suatu keajaiban semacam itu.


—Anugerah yang dihadiahkan oleh para Elemental Lord pada masing-masing pemenang Blade Dance.


"—Setelah mendapatkan kekuatan dari Holy Lord, tertelan kebenciannya pada dunia ini, dia meluncurkan perang yang melanda seluruh benua. Aku gagal menghentikannya. Hatinya sudah dirusak oleh kehancuran. Yang bisa kulakukan hanyalah menghadapi takdir bersama dia, untuk mendampingi dia sampai akhir dari kehidupannya sebagai satu-satunya roh terkontrak sang Raja Iblis."


Ratu Kota Raja Iblis menatap lembut mata Kamito dan berkata.


"Aku mengundangmu kesini untuk memberitahumu kebenaran ini. Kuharap kau tidak membuat kesalahan yang sama seperti dia—"


Raja Iblis Solomon adalah pria muda yang pernah dikenal sebagai pahlawan.


Tapi tertelan kebencian, dia menjadi seseorang yang dikenal sebagai Raja Iblis.


....Nggak seorangpun bisa menjamin bahwa hal yang sama nggak akan terjadi pada Kamito.


Kesampingkan sang Holy Lord yang maha kuasa untuk sekarang ini—


Kamito beberapa kali hampir tertelan oleh kekuatan Elemental Lord Kegelapan.


"...Aku mengerti semuanya sekarang, tapi apa yang harus kulakukan?"


Kamito menanyai sang ratu.


Dia nggak berpikir dia akan berakhir seperti Raja Iblis Solomon, tapi—


"—Aku punya sebuah saran, penerus."


Roh Iris menjawab dengan tenang.


"Saran?"


"Apa kau pernah mempertimbangkan tentang tinggal disini di Kota Raja Iblis?"


"—Huh?"


Kamito secara gak sadar mengeluarkan suara bodoh.


"....Uh, apa maksudmu?"


...Lonjakan logika ini terlalu besar. Pikirannya nggak bisa menangkapnya.


Tinggal di kota ini?


"Ini adalah sebuah celah dimensi yang terisolasi dari alam manusia serta Astral Zero. Entah itu para Elemental Lord maupun musuhmu seharusnya tak akan bisa menemukanmu disini. Dengan demikian, tak ada perlunya bagimu untuk bertarung. Kekuatan Elemental Lord Kegelapan tidak akan bangkit dan kau harusnya bisa hidup dengan damai, di kota abadi ini dimana waktu terulang selamanya—"


"..."


Setelah mendengarkan Iris—


Kamito menarik nafas dan menoleh ke arah Restia.


"Memang, ini bisa jadi merupakan tempat paling aman di benua. Setidaknya, itu mungkin lebih baik daripada terus lari dari Kekaisaran Ordesia."


"...! Restia!?"


"Aku cuma mengatakan faktanya, Kamito. Nggak peduli kemana kau pergi, mau itu ke ujung dunia sekalipun, aku akan selalu berada disampingmu—"


Mata berwarna senja milik Restia menatap Kamito.


"Jika kau mau, para selir yang kau bawa kesini juga bisa tinggal disini juga."


"...Mereka bukan para selirku."


Membantah kata-kata ratu, Kamito tertunduk.


Sebuah tempat yang tentram, dimana waktunya terhenti abadi.


Memang, tinggal disini mungkin aman. Entah itu Elemental Lord Kegelapan ataupun Kerajaan Suci, dia bisa melupakan mereka semua dan hidup dengan damai.


Bisa dikatakan, Kamito sudah pasti nggak ingin menjadi Raja Iblis—


....Tapi misalkan jika Claire atau cewek lain di kelompoknya terbunuh didepan dia?


Sejujurnya, Kamito nggak yakin dia akan bisa mengendalikan dirinya sendiri.


Lalu ada fakta bahwa dia telah melupakan segalanya di masa lalu demi mencari Restia—


"Aku....."


Saat Kamito mengepalkan tangannya.


Ada suara dari atas. Piramidanya sedikit berguncang.


".....Ada apa?"


"....! Mungkinkah?"


Roh Iris berseru terkejut.


"Apa yang terjadi?"


"—Penyusup. Seseorang telah menghancurkan penghalang piramida."


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 9 - Lurie Lizaldia[edit]

Bagian 1[edit]

BOOOOOOOOOM!


Sebuah bola api yang berkobar menghantam piramida secara langsung dari depan.


Dinding ini, yang mana sihir roh biasa tak bisa menggoresnya sedikitpun, langsung berlubang karena leleh oleh api tersebut.


Penduduk Kota Raja Iblis menjerit panik dan berhamburan. Bahkan para kehidupan virtual yang diciptakan dari ingatan Raja Iblis merasakan takut—


Percikan api berhamburan di udara dipantulkan dalam mata seorang cewek yang berdiri didepan makam.


Cewek itu hanya menatap dinding yang meleleh tanpa sedikitpun emosi.


"—Jadi hanya sampai sebatas ini kekuatanku saat ini, aku paham."


Cewek itu menunduk, menatap telapak tangannya, bergumam pelan.


Para Sacred Spirit Knight yang bertindak sebagai bodyguard berdiri disamping dia seraya teror terpampang jelas di wajah mereka.


Dia menembakkan api miliknya yang mampu melenyapkan roh militer dalam sekejap, namun dia bilang "hanya sampai sebatas ini"—


"Menghancurkan Makam ini akan sangat mudah kalau kekuatan penuhnya pulih, kurasa." Kata Millennia Sanctus.


Meskipun kata-katanya agak kurang ajar terhadap seorang penguasa, cewek itu gak peduli.


"Aku tidak tertarik pada sebuah makam. Lebih baik—"


Berkata demikian, cewek itu menatap jalanan di arah yang berlawanan.


"Aku ingin melihat-lihat kota manusia."


"Elemental Lord, apa anda tertarik pada sebuah kota manusia?"


Luminaris menyuarakan keraguannya.


"Memangnya ada yang salah dengan itu?"


"T-Tidak. Maafkan ketidaksopanan saya!"


Suara Luminaris bergetar saat dia buru-buru berlutut di tanah.


Cewek itu mengarahkan tatapan dingin pada dia, lalu...


"Aku sudah memenuhi perjanjiannya. Mulai sekarang, aku akan melakukan apa yang aku suka."


Berkata demikian, dia berjalan kearah alun-alun.


"...A-Apa Tidak apa-apa, Cardinal?"


Dengan ekspresi panik, Luminaris bertanya.


"Uh... M-Membiarkan monster semacam itu berkeliaran seenaknya sendiri seperti ini—"


"Dia tidaklah mudah dikendalikan."


Yang menjawab pertanyaan itu adalah Lurie Lizaldia.


"Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau, gimanapun juga perjanjian tuan kita terus menahan dia. Yah, kurasa bodyguard harus dkerahkan—atau haruskah aku menyebutnya, pengawasan?"


"Dimengerti....!"


Luminaris menunduk, membawa beberapa bawahannya bersama dia dan mengejar cewek itu.


"Baiklah kalau begitu—"


Lurie berbalik dan menatap lubang yang meleleh di Makam Raja Iblis.


"Jalannya sudah terbuka. Waktunya untuk menyambut sang putri tidur, Millennia."

Bagian 2[edit]

"....Penyusup?"


Kamito menanyai Iris. Serangan biasa seharusnya gak bisa menembus dinding Makam Raja Iblis ini—


Akan tetapi, Ratu Kota Raja Iblis menatap langit-langit dengan serius.


"Seorang elementalis manusia. Dan juga, yang satunya... seorang roh? Bukan, salah... Mahluk yang bukan manusia ataupun roh, menuju kesini."


"Mahluk yang bukan manusia ataupun roh?"


"Ya, mendekati seorang roh dalam hal sifat dasar, tetapi memiliki sisi yang tak dapat dipahami—"


"—Millennia Sanctus."


Lalu, Restia berbicara.


"Seorang kardinal dari Kerajaan Suci. Di Dracunia, dia mencoba membunuh Raja Naga—"


"Cewek itu huh..."


Ingatan dari serangan di Akademi melintas di benak Kamito.


Tertutupi sebuah penutup mata, mata kirinya mengandung Kegelapan Dunia Lain yang mampu membuat para Elemental Lord menjadi gila.


Cewek itu jelas-jelas terasa berbeda dari roh biasa—


"Jadi para ksatria Kerajaan Suci telah menemukan kota ini?"


"Pastinya."


"....Tidak mungkin, itu mustahil!"


Suara Iris bergetar.


"Secara teori, kecuali dianggap layak oleh Sphinx, orang lain seharusnya tidak mungkin mencapai tempat ini, apalagi menemukannya—"


"Tapi kenyataannya orang itu datang. Jadi gak bisa dipungkiri lagi."


Kamito mengangkat bahu dan berkata.


"Orang-orang itu pasti mengincar peti mati Raja Iblis yang kau jaga."


".....!"


Sang ratu melebarkan mata merahnya.


Menurut Rubia, para ksatria Kerajaan Suci sudah mulai menjelajahi Ghul-a-val bahkan sebelum Putri Saladia pergi ke gurun itu. Jika demikian, target mereka mungkin bukanlah sang putri ataupun kelompok Kamito, akan tetapi, targetnya pasti sesuatu yang tersembunyi didalam Makam Raja Iblis ini.


(Tapi itu sulit dibayangkan bahwa mereka betul-betul mempercayai sebuah legenda tentang kekuatan Raja Iblis bersemayam di peti mati—)


Menatap langit-langit, Kamito menggenggam gagang Demon Slayer.


Lalu menatap mata sang ratu, dia berkata.


"Saran yang barusan.... Maaf, aku harus menolaknya. Tinggal disini dengan damai mungkin tidaklah buruk, tapi nampaknya situasinya tidak mengijinkan aku untuk melakukan itu."


Pada akhirnya, dia harus mengandalkan dirinya sendiri untuk melindungi apa yang dia pedulikan dan tempat-tempat yang dia anggap rumah.


Itulah tepatnya prinsip dasar yang Greyworth tanamkan pada dia.


"Aku mengerti."


Sang Ratu Kota Raja Iblis menggeleng sedih.


"Memang disayangkan. Akan tetapi, aku tidak bisa menghentikan keputusanmu. Faktanya, kedamaian kota ini telah dihancurkan di depan mataku."


"Ya, kedamaian telah hancur."


Kamito menanggapi.


"Tapi jangan kuatir. Aku akan melindungi apa yang kau lindungi.


Gimanapun juga, Kamito harus membuat perhitungan Kerajaan Suci cepat atau lambat.


Mereka pernah menargetkan Restia selama Blade Dance, lalu menyerang Akademi Roh Areishia.


Orang akan menduga mereka mengetahui kehadiran Kamito disini sekarang.


"Aku sangat senang, penerus. Aku hanya ingin menjaga orang yang telah beristirahat dalam damai."


Sang Ratu Kota Raja Iblis membungkuk dalam-dalam pada Kamito.


"Ya, serahkan saja padaku. Meski kami tidak berhubungan darah. Raja Iblis Solomon masih terhitung sebagai seorang leluhur bagiku, kurasa—"


Mendengar candaan santai Kamito, sang ratu tersenyum bahagia.


"Memang. Kalau begitu aku akan memberimu, keturunan dia, sebuah hadiah kecil."


"...Hadiah?"


Kamito bertanya terkejut—


Dan melihat sang ratu mulai merapal mantra tak familiar dalam bahasa High Ancient.


Lalu...


Sebuah pusaran kegelapan muncul diatas kepala Kamito, lalu sesuatu jatuh ke tangannya.


"—Terimalah ini, Ren Ashbell, Penerus Raja Iblis."


"Apa ini...?"


Menatap kain hitam legam ditangannya, Kamito bertanya kebingungan.


".....! Itu adalah Garb of the Lord, Kamito."


"...Garb of the Lord?"


Mendengar roh kegelapan itu berbicara penuh semangat, Kamito bertanya.


"Itu adalah barang legendaris yang dipakai Raja Iblis Solomon di medan perang."


"....! T-Tidak mungkin!?"


Kamito hampir melemparkan kain hitam legam itu.


"Ya, jubah hitam ini tak diragukan merupakan apa yang dia pakai. Kutukan yang besar disulam kedalam kainnya mampu menyerap sihir roh dari semua afinitas dan membelokkan pedang musuh."


"S-Sebuah kutukan... Apa benar-benar gak apa apa? Uh, sepertinya, aku akan dikutuk..."


"Tenang saja. Jubah itu tidak akan memiliki pengaruh yang besar padamu yang memiliki kekuatan kegelapan."


"A-Aku mengerti....."


...Terus tanpa kekuatan kegelapan, apa yang akan terjadi pada pemakainya?


(Aku jadi takut untuk menanyakannya...)


"Kamu betul-betul harus menerima ini, Kamito!"


Restia harus mengepakkan sayap hitam legamnya.


....Sejauh yang bisa dia ingat, Restia selalu sangat bergairah dengan artifak-artifak sihir.


"...D-Dimengerti. Kalau begitu aku akan menerimanya dengan senang hati."


Kamito membuka jubah hitam itu dan memakainya diatas seragam Akademinya.


...Terbuat dari bahan apa ini? Itu terasa hampir gak ada bobotnya.


Tahan terhadap senjata, mampu menyerap sihir roh, apa klaim semacam itu betul-betul benar?


"Sekarang kau telah mengenakan jubah asli milik Raja Iblis... Aku merasa bahwa kau memperagakan gaya Raja Iblis pada akhirnya."


"Fufu, cocok sekali denganmu, Kamito."


‘Dark Kamito, sangat gagah.’


Kesampingkan Restia, bahkan Est ikutan bicara kayak gitu sekarang.


....Apa-apaan itu Dark Kamito?


"Itu benar-benar tampak cocok."


Menatap Kamito yang mengenakan pakaian itu—


Sang ratu tampak mengenang, kelopak matanya agak turun, matanya menampilkan penampilan lembut.


"—Semoga beruntung."

Bagian 3[edit]

"Gak salah lagi, itu para ksatria Kerajaan Suci."


Melihat kearah alun-alun, Claire berbicara pelan.


"....! Bagaimana caranya mereka sampai disini!?"


Mendengar itu, Ellis merendahkan suaranya dan bergumam.


"Siapa yang tau? Apa mereka juga mengalahkan Sphinx?"


Mereka berada di menara lonceng yang cukup tinggi hingga bisa melihat seluruh alun-alun.


Setelah mendengar ledakan saat mereka berada di Quseir Amra. Claire dan para cewek segera memakai seragam mereka. Claire dan Ellis yang memiliki mobilitas tinggi, adalah yang pertama pergi untuk melihat situasinya.


Melihat kebawah, mereka melihat pemandangan penghancuran yang mengerikan.


Dari gerbang kota sampai piramida, semua bangunan dalam garis lurus telah lenyap sepenuhnya.


(Kenapa mereka melakukan itu...?)


Itu mustahil untuk dipahami dengan akal sehat.


Apa itu sekedar membuka jalan ke piramida?


"Apapun itu, tujuan mereka pasti Peti Mati Raja Iblis yang tersembunyi didalam sana, kan?"


"Ya...."


Sambil bersembunyi di belakang sebuah pilar di menara lonceng, Ellis mengatakan kesetujuannya dengan suara pelan. Meskipun dia menggunakan sihir angin untuk menyamarkan suara untuk meredam suara, nggak ada salahnya berhati-hati dan waspada.


"Jumlah musuh sekitar 10 atau lebih. Dalam perkiraan secara konservatif termasuk roh-roh militer, kurasa."


"Hmm, Luminaris Saint Leisched juga ada disini—"


Menatap alun-alun, Claire dengan tenang menganalisis potensi tempur milik musuh.


Musuh terdiri dari para ksatria roh. Terlebih lagi, mereka adalah unit elit.


Meskipun mereka berdua bisa bertahan melawan para ksatria roh setelah berlatih di Dracunia, melawan begitu banyak musuh secara bersamaan bukanlah keputusan yang baik.


(Dan juga—)


Claire mengamati seorang cewek yang berdiri di tengah alun-alun


Itu adalah seorang cewek manis berambut merah panjang dan mengenakan pakaian merah.


(Siapa cewek itu...?)


Claire menelan ludah.


Dia bisa merasakan tekanan yang membuat orang merinding meski melihat dari kejauhan.


"Dia adalah roh berlevel tinggi. Mungkin selevel Ortlinde, bahkan mungkin lebih tinggi lagi—"


"...Bukan seorang musuh yang bisa kita hadapi."


Ellis setuju. Keningnya pun berkeringat.


"Kau masih belum mencapai Kamito?"


"Belum. Aku mengirim peliharaan angin di area yang luas barusan, tapi—"


"...tsk, cowok sialan. Kemana perginya dia disaat-saat genting kayak gini!?"


"Hmm, kurasa dia mungkin belum menyadari situasinya...."


Ellis bergumam penuh kekhawatiran.


"Ayo kembali untuk berkumpul dengan Fianna dan yang lainnya."


"Aku setuju. Lebih baik memindahkan Yang Mulia ke suatu tempat yang aman."


Tepat saat mereka hendak menghentikan pemantauan dan mundur...


—Teror yang mengerikan.


"...!?"


Merasa seperti seseorang telah menggenggam jantungnya, seluruh tubuh Claire membeku.


"Ada apa, Claire?"


"...Ugh, El...lis.. Cepat lari—"


"Apa?"


Ellis menoleh kearah alun-alun, dan mendapati—


Cewek berambut merah itu menatap kearah mereka.


"Apa kita ketahuan!?"


Dari jarak sejauh ini, dengan sebuah penghalang angin yang aktif. Mustahil!


Sebuah bola api kecil muncul di tangan cewek itu


Bola api itu melesat kencang.


"Ellis!"


"...! Angin ganas, mengamuklah!"


Hanya sekejap saja.


Bola api yang melesat itu hampir menghantam menara lonceng itu.


Tombak sihir itu menghasilkan banyak pedang angin untuk menghadangnya.


BOOOOOOOOOOOOOM!


Terjadi sebuah ledakan. Api yang menyebar langsung melahap sekeliling.


"Kyahh!"


Terhempas karena ledakan itu, dua cewek itu terlempar ke udara.


"...! Simorgh!"


Di udara, Ellis melepaskan elemental waffe miliknya. Lalu muncullah roh angin iblis menangkap kedua cewek yang sedang jatuh itu dan menepis gelombang kobaran api dengan Wind Wall.


"Ellis, kita selamat...!"


"...! Apa yang terjadi!?"


Dengan kepulan debu memblokir pandangan mereka, mereka berdua mendarat di sebuah tumpukan dari puing-puing bangunan yang hancur.


Berdiri sambil dikelilingi kobaran api, Claire menyeka keringat dari keningnya.


Mereka di kelilingi oleh kobaran api yang ganas. Mereka tidak melihat siapapun di dekat menara lonceng itu, jadi sepertinya tidak ada korban jiwa—


"A-Apa-apaan kekuatan itu... Bukankah itu sihir roh?"


Sesaat sebelum ledakan, mereka melihat sebuah bola api kecil di ujung jari cewek itu.


Apa mungkin sebuah bola api sekecil itu menyebabkan kehancuran yang besar dalam sekejap mata?


"Itu kelihatan cukup mirip dengan sihir Fireball—"


"Fireball katamu?"


Mendengar gumaman Claire, Ellis mengerang.


Fireball adalah sebuah mantra pemula dalam sihir api dengan kekuatan yang tidak terlalu besar.


Misalnya, sebuah Fireball ditembakkan oleh Claire, bahkan dengan perapalan penuh, maksimal hanya akan bisa meledakkan sebuah rumah.


"Kurang ajar. Yang barusan bukanlah Fireball—"


"...!?"


Mendengar suara seorang cewek, Claire dan Ellis berpaling ke belakang.


Dan disana—


Berdirilah cewek yang barusan ada di alun-alun.


Dia memiliki rambut merah yang panjang. Di kedua sisi kepalanya terdapat apa yang tampak seperti tanduk yang melingkar.


Mengenakan pakaian merah, cewek itu berdiri di atas menara lonceng yang runtuh, dengan angkuh menatap mereka.


"—Itu adalah Flare Burst."


"...! Apa!?"


"Flare Burst, kau bilang?"


Flare Burst adalah sebuah tipe sihir pengalihan yang menggunakan cahaya menyilaukan untuk mengganggu pandangan musik dengan menembakkan bola-bola cahaya dalam jumlah yang banyak dari telapak tangan seseorang. Pada dasarnya potensi kerusakannya adalah nol.


Tapi serangan yang barusan—


(...Nggak mungkin, itu bahkan jauh lebih kuat daripada Hell Breath milikku!)


Hell Breath adalah sihir api terkuat dalam sihir roh serangan milik Claire.


Meskipun pikiran rasional Claire menolak pemikiran bahwa serangan itu hanya dimaksudkan untuk menakuti—


Cewek itu memancarkan tekanan yang sangat besar.


Sebagai seorang princess maiden, bakat alami Claire menyaingi bakat Fianna. Intuisinya yang tajam membuat dia lebih mampu daripada Ellis untuk merasakan aura yang kuat di depan mereka.


Akan tetapi, Claire menggunakan keteguhannya yang luar biasa untuk menatap roh yang kuat ini.


"K-Kau, siapa kau sebenarnya? Kau adalah orang yang menghancurkan kota, kan?"


Lalu—


"—Apa kau menanyakan nama asliku? Gadis kecil."


"...!?"


Kobaran api muncul di seluruh tubuh cewek itu.


Debu beterbangan. Claire dan Ellis mau tak mau harus mundur.


"Aku tidak senang dengan tatapan kasarmu. Apa yang memberimu keberanian untuk menatapku seperti itu? Jika jawabanmu gagal memuaskan aku—"


Sosok cewek itu tiba-tiba menghilang.


Lalu, dia muncul tepat didepan Claire dan Ellis secara tiba-tiba.


"Kematian adalah hukumannya."


"...Ah... ooh...!"


Seluruh tubuh Claire membeku, seperti seekor tikus yang ditatap seekor kucing.


Tekanan mengerikan itu telah melumpuhkan kakinya.


Lalu—


"Hisssss!"


Pusaran api muncul di udara, kucing neraka berwarna merah melompat keluar untuk menghadang cewek itu.


Dengan kobaran api ganas dilepaskan dari seluruh tubuhnya. Scarlet mengancam roh yang ada di depan mereka.


"Scarlet!"


"Oh?"


Menatap kucing neraka yang ada di kakinya, cewek itu tampak terkejut.


"Seekor roh yang luar biasa. Aku bisa tau kalau itu adalah roh bernama."


Dia langsung mengetahui tingkatan Scarlet, tapi tetap tak bergeming.


(...Ini menyiratkan seberapa kuatnya roh ini—)


Dengan keringat bercucuran di keningnya, Claire mati-matian berpikir.


Apa ada cara untuk menciptakan celah untuk kabur mumpung roh ini tidak menyerang dengan kekuatan penuh?


Ellis, dengan perlindungan angin, mungkin bisa kabur sendirian. Tapi dengan pikirannya sebagai ksatria, dia nggak akan pernah setuju dengan saran seperti itu.


Lalu—


"Hmm..."


Apa dia teringat sesuatu?


Roh berpenampilan cewek itu terus melihat bolak-balik bahaya si kucing neraka yang ada yang ada di kakinya dan Claire.


Lalu—


Mengulurkan jari telunjuknya, dia menunjuk pada Claire.


"....!"


Pasrah terhadap sebuah bola api yang mungkin akan ditembakkan dari ujung jari itu, Claire memejamkan mata.


"—Aku berubah pikiran."


"...Huh?"


Claire membuka matanya dan mengeluarkan suara bodoh.


"Aku menyukaimu. Karena itulah, aku akan mengabaikan kejahatanmu yang menatapku seperti tadi."


"U-Uh..."


"Apa lagi? Kau tidak puas?"


Melihat cewek itu mengerutkan kening, Claire buru-buru menggeleng.


"T-Tidak! T-Tapi kenapa tiba-tiba begitu...."


"Sebuah perasaan... Kau sangat mirip...."


"Sangat mirip? Siapa?"


"....Siapa? Aku sendiri juga tidak tau."


"...?"


Penampilan bertanya-tanya muncul di wajah Claire.


"Tapi dalam ingatanku, ada seorang princess maiden yang memiliki wajah yang sangat mirip denganmu."


Mata jernih yang seperti rubi milik cewek itu menatap wajah Claire


(...A-Apa-apaan Cewek ini?)


Cewek ini gak diragukan lagi merupakan seorang roh tingkat tinggi, teramat sangat kuat.


Tapi untuk roh sekuat ini—


Kenapa dia menunjukkan ekspresi gelisah semacam itu?


STnBD V17 BW09.png


(....Dan juga, seorang princess maiden yang sangat mirip denganku?)


Lalu, cewek itu mengulurkan tangannya dan meraih lengan seragam Claire.


"Gadis kucing neraka, aku bisa memaafkan kejahatanmu, tapi kau harus mengikuti perintahku."


"....Huh?"


Secara spontan Claire bereaksi.


....Apa yang akan dia minta?


(Akankah dia mengambil Ellis sebagai korban untuk pertukaran mengampuni nyawaku?)


Claire nggak akan pernah setuju pada permintaan semacam itu—


Menatap lurus pada Claire, cewek itu berbicara.


"Temani aku berkeliling kota ini—"

Bagian 4[edit]

Mengenakan Grab of the Lord diatas pakaiannya, Kamito bergegas melewati koridor yang mengarah ke Great Temple of Celestial Demon.


Tempat dimana pertarungan terakhir antara Raja Iblis dan Sacred Maiden terjadi.


Dia bisa menggunakan teknik dua pedang dengan bebas disana.


Penyusupnya adalah Kardinal Millennia Sanctus.


Jika demikian, lawannya bukanlah seseorang dari tingkatan yang lebih rendah seperti Luminaris. Kalau tebakannya tepat, penyusup yang satunya gak lain gak bukan adalah mantan ksatria Number yang mendampingi Millennia dalam serangan di Akademi.


(Lurie Lizaldia, huh?)


Dia pernah melawannya sekali.


Itu terjadi di bawah tanah di bawah Kota Akademi, di tempat yang disebut Burial Chamber Raja Iblis—


Pada saat itu, Kamito dalam keadaan amnesia.


(Seorang elementalis yang sangat terampil dalam teknik pertarungan. Dia lebih kuat daripada ksatria Number manapun yang pernah kulawan.)


Akan tetapi, dia masih dibawahnya Greyworth. Inilah kesan Kamito terhadap dia.


Tetap saja, dia sepertinya belum bertarung serius saat itu—


"Restia, tentang apa yang dikatakan ratu—"


Tiba-tiba teringat sesuatu, Kamito berbicara pada pedang iblis kegelapan yang ada di tangannya.


‘Apa itu?’


"Apa itu betul? Dia bilang Holy Lord menawarkan sebuah kontrak pada Raja Iblis Solomon."


‘Ini adalah pertama kalinya aku mendengarnya. Aku nggak pernah menduga bahwa kelahiran sang Raja Iblis akan melibatkan pemimpin dari para Elemental Lord—’


"Jadi kamu juga nggak tau."


‘Ya, aku sudah bilang sebelumnya. Bagi Raja Iblis, aku nggak lebih dari sebuah senjata yang luar biasa. Aku biasanya disegel didalam cincin, dilarang berbicara pada dia seperti ini. Sekarang kalau kupikir-pikir lagi tentang itu, dia mungkin sudah tau kalau aku adalah petunjuk yang diciptakan oleh Elemental Lord Kegelapan—’


"Legenda menggambarkan dia menggunakan 72 roh. Tapi bagi Raja Iblis, hanya Iris yang merupakan roh terkontraknya yang sebenarnya..."


Sambil berlari, Kamito bergumam dengan ekspresi aneh.


"Tapi kalau apa yang dia katakan itu benar, kenapa Holy Lord Alexandros membentuk suatu kontrak semacam itu dengan Raja Iblis?"


Logisnya Kelima Elemental Lord Agung seharusnya yang bertanggung jawab mempertahankan kedamaian dan ketertiban dunia.


Oleh karena itu, itulah sebabnya mereka melawan Elemental Lord Kegelapan yang mengganggu keseimbangan dunia.


Lalu kenapa....?


(Seribu tahun lalu, apa Holy Lord sudah gila, terpengaruh oleh Kegelapan Dunia Lain?)


Kalau memang begitu, maka masuk akal, tapi—


(Tiga tahun lalu, saat aku menenangkan Blade Dance, singgasana Holy Lord kosong—)


...Sejak kapan singgasana itu kosong? 15 tahun lalu, pada turnamen sebelumnya, atau 24 tahun lalu saat Greyworth menang?


Kenapa cuma singgasana Holy Lord saja yang kosong?


Misterinya mustahil untuk diselami.


—Apa Holy Lord betul-betul terpengaruh oleh Kegelapan Dunia Lain?


(...Apapun itu, satu-satunya cara untuk mencari tau adalah menanyai orang-orang dari Kerajaan Suci itu, kan?)


Kerajaan Suci Lugia adalah sebuah negara religius yang menyembah Holy Lord Alexandros.


Mereka mungkin bertindak sesuai dengan kehendak Holy Lord yang menghilang. Kemungkinan besar inilah yang terjadi.


Menempatkan tangannya pada kedua pedang miliknya, Kamito mempercepat larinya.

Bagian 5[edit]

Lurie Lizaldia berjalan menerobos kegelapan di Makam Raja Iblis.


Markas Raja Iblis Solomon di masa lalu, tempat ini cukup rumit, menjadikannya sebuah labirin yang kacau.


Ini pasti kelakuan dari penjaga Makam.


"Trik murahan untuk mencegah penyusupan."


Lurie mengungkapkan senyum samar dan menggunakan sihir roh untuk menghilangkan ruang didepan dia.


Setelah ruang tersebut lenyap, lorong tidak karu-karuan muncul.


"Mana kesabaranmu, Yggdra? Seperti bukan dirimu saja."


"Ya, aku sangat gak sabaran. Gimanapun juga, keinginanku akan segera terwujud—"


Lurie melepaskan cahaya ke lantai.


Lantai aula itu langsung runtuh, retakan-retakan terbuka dan mengungkapkan sebuah lubang hitam yang besar.


Millennia menciptakan medan kekuatan bulat dan mereka berdua turun perlahan-lahan.


Yggdra Saint Asoritess.


Ini adalah nama dari cewek yang pernah memiliki impian menyelamatkan umat manusia.


Lahir di sebuah desa perbatasan, dia dianugerahi dengan bakat penyembuhan sejak lahir.


Disebut kelahiran kembali sacred maiden, cewek ini mengelilingi dunia untuk menolong penduduk yang menderita karena perang dan orang-orang yang terluka di medan perang.


Dia dengan teguh percaya bahwa misinya didunia ini adalah untuk menyelamatkan yang lemah.


Akan tetapi, pada suatu ketika, cewek itu tau... Dia sadar.


Perang Ranbal. Selama perang yang paling kejam ini, yang dipicu oleh konflik antar negara—


Orang-orang yang dia selamatkan tak lama setelah itu dikirim ke medan perang selanjutnya. Beberapa dari mereka tewas sedangkan yang lainnya membunuh banyak musuh.


Pada akhirnya, tindakan dia menyelamatkan orang-orang hanya berujung pada menghasilkan lebih banyak kematian.


Demi mengubah dunia yang gila ini—


—15 tahun yang lalu, Yggdra berpartisipasi dalam Blade Dance.


Niatnya adalah untuk menggunakan kekuatan keajaiban dari para Elemental Lord untuk menghilangkan kebencian dari dunia ini.


(—Kalau aku mengakhiri semuanya, maka dosaku yang besar akan diampuni, kan?)


Pakaian putih polos tanpa sebercak kotoran, berkibar. Dia menatap kedalam lubang gelap itu.


Saat cahaya suci menerangi kegelapan, dunia akan terlahir kembali dengan kebaikan dan kebenaran kan?


(Sebuah dunia tanpa kebencian ataupun peperangan—)


Cahaya dari tongkat suci yang dipegang oleh Millennia Sanctus menerangi lubang gelap itu.


Mereka berdua turun perlahan-lahan ke suatu tempat seperti aula besar.


Great Temple of Celeatial Demon, ini adalah tempat dimana Sacred Maiden melawan Raja Iblis di masa lalu.


"Lokasi yang sempurna untuk tarian pedang. Apa dia ada disini?"


"—Ya. Aku bisa merasakannya."


Mata ungu Millennia bersinar mengerikan dalam kegelapan.


Kristal roh dalam jumlah yang banyak di Great Temple of the Celestial Demon menyala.


"Kau yang disana, aku sudah menunggumu. Lurie Lizaldia—"


Disaat yang sama, suatu sosok muncul dari kegelapan.


Seorang pria muda mengenakan pakaian hitam, memegang pedang iblis kegelapan dan pedang baja suci—


"Kita ketemu lagi, Ren Ashbell."


Lurie Lizaldia tertawa pelan dan mengulurkan tangannya ke udara.


Pemenang Blade Dance 15 tahun yang lalu dan pemenang 3 tahun lalu.


—Kedua Penari Pedang bertemu.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Chapter 10 - Dua Penari Pedang[edit]

Bagian 1[edit]

—Ratu baja tak berpihak, pedang suci yang diselimuti kegelapan sejati.
—Sekarang wujudkanlah Sword of the Celestial Demon dan jadilah kekuatan di tanganku!


Lurie Lizaldia mengulurkan tangan ke udara.


Lalu tubuh Millennia Sanctus berubah menjadi partikel cahaya dan menghilang.


Melihat benda yang terwujud di tangan Lurie sesaat setelahnya—


(....! Apa-apaan itu?)


Kamito terkejut.


Ingatannya dari pertempuran di bawah tanah kota Akademi terbangun. Elemental waffe yang dia saksikan saat itu seharusnya sebuah pedang iblis yang mengerikan, mirip dengan pedang iblis milik Greyworth.


Tapi kali ini, ditangannya adalah pedang bermata dua bersinar dengan cahaya sakral berwarna putih-perak.


Millennia Sanctus.


Meskipun Iris mendeskripsikan dia sebagai mahluk yang bukan roh maupun manusia—


Karena dia bisa berubah menjadi sebuah elemental waffe, itu artinya dia adalah seorang roh?


Kamito menatap pedang putih-perak yang ada ditangan Lurie.


Mungkin seorang roh pedang seperti Est. Dekorasi gagangnya tampak cukup mirip.


Meski mungkin bukan di kelas yang sama sebagai Demon Slayer, mengingat Millennia Sanctus juga bisa berwujud manusia, maka pastinya dia adalah roh tingkat tinggi.


Leher Kamito sedikit berkeringat.


"Serahkan relik sakral itu, Ren Ashbell."


"Relik sakral?"


"Apa yang tersembunyi di bagian terdalam Makam ini."


Lurie mengacungkan elemental waffe miliknya yang berbentuk pedang secara miring.


Kamito gak pernah melihat kuda-kuda semacam itu sebelumnya. Itu bukanlah ilmu pedang Ordesia.


"Ironis sekali. Kerajaan Suci menganggap Peti Mati Raja Iblis sebagai sebuah relik sakral?"


"—Fufu, orang bodoh yang gak ketulungan."


Seketika, rasa haus darah milik Lurie memancar.


"...!?"


Dalam sekejap mata, Lurie menutup jarak.


Ini adalah pengurangan medan, sebuah kemampuan teknik beladiri yang dilakukan dengan mengkonsentrasikan divine power dibawah kaki lalu meledakkannya. Akan tetapi, kecepatan Lurie sangat tinggi. Hanya sekejap mata saja, dia sudah menutup jarak dengan Kamito yang berada di kejauhan untuk bertarung.


Percikan api berhamburan. Dentuman baja yang berhantaman menggema di seluruh kuil.


Menggunakan Demon Slayer, Kamito memblokir serangan pertama.


(...! Apa-apaan kekuatan yang gila ini!?)


Menggunakan momentumnya, Lurie mengayunkan pedangnya kuat-kuat.


Kamito terhempas karena dampaknya.


"Sialan....!"


Kamito dengan cepat menikamkan Demon Slayer pada lantai untuk mengurangi tekanannya.


Dengan seringai ganas di wajahnya, Lurie melangkah maju.


Boom—dengan suara yang menyerupai tembakan proyektil, dia menyerbu.


Kamito mengayunkan pedang sucinya dari posisinya yang menghadap ke bawah, menggunakan reaksi kekuatan dari pergerakannya untuk menepis pedang milik Lurie.


Saat pedang membentuk tebasan semi-memutar, Kamito melompat disaat yang bersamaan.


Moonlit Sky Dash—Ini adalah pergerakan setengah matang dari Absolute Blade Arts yang gak mengkonsumsi divine power.


Jubah hitam milik Raja Iblis berkibar di udara. Lalu—


"Absolute Blade Arts, Bentuk Kedua—Meteor!"


Kamito menyilangkan kedua pedangnya dan mengayunkannya ke bawah.


BOOOOOOOOM!


Dampak yang besar dilepaskan bersamaan dengan suara ledakan.


Lantai batu itu terhempas, membentuk sebuah retakan besar.


—Akan tetapi, dia terlambat. Lurie sudah melompat.


Dengan punggungnya menghadap puing-puing yang berhamburan, Kamito menghentak tanah, melakukan serangan lanjutan.


"Absolute Blade Arts, Bentuk Pertama—Purple Lightning."


Dia melepaskan ledakan divine power seketika. Meninggalkan afterimage, dia menyerbu lurus kearah musuh.


Kecepatan aktivasi dari teknik ini secepat petir yang menyambar di langit, karena itulah diberi nama begitu.


Akan tetapi, Lurie sudah siap. Bibirnya sedikit tersenyum.


"—Hari kemurkaan, pedang utusan, bergegaslah ke posisi kalian!"


"...!?"


Apa yang muncul didepan Kamito adalah pedang cahaya yang tak terhitung jumlahnya bermunculan dari lantai.


Ini adalah sihir roh berafinitas baja. Akan mudah menggunakan kekuatan Demon Slayer untuk menghempaskan pedang-pedang itu, tapi—


(jebakan, huh?)


Kamito merasakannya melalui nalurinya. Ada sesuatu yang gak menyenangkan pada kuda-kuda pedang Lurie.


Sihir roh itu adalah sebuah taktik untuk memancing dia menyerbu.


Clang—!


Kamito menikamkan pedangnya ke lantai untuk menghentikan pergerakannya. Lalu dia segera melompat ke samping.


Mata Lurie sedikit melebar. Pastinya, dia berencana untuk menyerang balik.


Semua pedang cahaya yang mengarah pada Kamito mulai mengejar dia layaknya sekawanan ikan.


"Absolute Blade Arts, Bentuk Ketiga—Shadowmoon Waltz, Putaran Ganda!"


Tiga tebasan pedang beruntun sepenuhnya menjatuhkan pedang-pedang cahaya itu.


Dia mendarat. Saat ujung pakaiannya menyentuh tanah, Lurie langsung mendekat dari depan.


"—Mistral Arc!"


Menusuk dengan tajam, dia mengeluarkan teknik pedang pembunuh.


Itu adalah tusukan yang cepat menyaingi Purple Lightning yang barusaja Kamito gunakan.


Terlambat untuk memblokir. Kamito memiringkan kepalanya tepat waktu dan menghindar. Pipinya tergores ringan, menghasilkan sepercik darah. Jika dia terlambat menghindar sedikit saja, kepala Kamito akan terlepas dari tubuhnya.


"...!"


Kamito sedikit kehilangan kesimbangan. Segera setelahnya—


"—Éclair Orage!"


Serangan pedang ganas yang seperti badai menyerang Kamito.


Kamito bergegas menggunakan kedua pedangnya untuk bertahan. Akan tetapi, dia gagal menepis semua serangan itu. Gerakan-gerakan pedang bewarna putih-perak yang membabi buta tanpa ampun menebas bahu Kamito.


"Gah...!"


‘—Kamito!’


Est berteriak.


"...Ohhhhhhhhh!"


Kamito menghela nafas panjang. Bukannya goyah, dia melangkah maju.


Karena terkejut, Lurie buru-buru mundur.


"—Maju dan tembuslah, Vorpal Blast!"


Dilepaskan dari bilah pedang iblis, petir hitam legam ditembakkan ke arah Lurie—


"—Hari penghakiman, lindungilah yang telah ditandai!"


Sebuah lingkaran sihir muncul didepan dia. Penghalang cahaya yang menetralisir petir iblis kegelapan.


Grand Alexandros—Sihir roh tingkat atas yang hanya orang-orang yang memiliki peringkat saint yang bisa menggunakannya.


"—Sayang sekali. Kekuatan roh kegelapan gak mempan padaku."


Memang, sihir roh suci yang dia digunakan sangat tidak menguntungkan bagi Restia, seorang roh kegelapan. Inilah tepatnya kenapa saat Blade Dance tiga tahun lalu, Ren Ashbell menghadapi pertarungan yang sangat sulit melawan paladin Luminaris.


(Dia kuat—)


Diantara semua lawan yang pernah Kamito lawan, Lurie gak diragukan lagi memang tingkat atas.


Jika pedang Greyworth seperti badai, maka pedang Lurie seperti angin kencang.


Pastinya, terakhir kali mereka bertarung di bawah tanah Akademi, dia cuma menguji Kamito.


"Kuat seperti yang mereka katakan, seperti yang diharapkan dari Penari Pedang terkuat."


Lurie mengatakan pujian.


"Hal yang sama juga untukmu. Miraculous Healer, yang benar saja."


Memegang bahunya, Kamito mengucapkan julukan Lurie saat dia masih bagian dari Number.


"Penyembuhan adalah profesiku. Ilmu pedang cuma sekedar hobi."


"Bohong. Kau lebih kuat daripada siapapun di Number."


Mengatakan itu, Kamito meludahkan darah ke kakinya.


"Yggdra Saint Asoritess, pemenang Blade Dance 15 tahun yang lalu."


"Ah, jadi kau tau—"


Mendengar dia, Lurie tersenyum masam.


"Meski penampilanku sepenuhnya berbeda dari saat itu."


Dia adalah penyembuh tingkat atas. Mengubah penampilannya akan sangat mudah.


"Kenapa kau bergabung dengan Kerajaan Suci meski kau adalah seorang pemenang Blade Dance?"


Memasang kuda-kuda dengan pedang ganda kegelapan dan baja di tangannya, Kamito bertanya.


"Aku akan mengatakannya padamu kalau kau bisa mengalahkan aku."


Demikian pula dengan Lurie, dia memasang kuda-kuda dengan pedang suci miliknya dimiringkan.


"Kita berdua sama-sama pemenang Blade Dance. Mari kita putuskan disini siapa yang layak menyandang nama Penari Pedang terkuat."


"....Sama-sama pemenang? Ayolah—"


Kamito tertawa tak kenal takut.


"Ada banyak pemenang Blade Dance, tapi akulah yang terkuat sepanjang waktu, gak ada orang lain lagi."


Mengatakan itu, Kamito melepas Garb of the Lord yang dia pakai.


"....? Apa yang kau lakukan—"


Gak bisa memahami tindakan Kamito, Lurie mengernyit.


Kamito menggerakkan lehernya memutar dan menekankan tanganya pada bahunya.


Nggak ada luka di tempat dimana pedang Lurie menebas.


Kemungkinan, Garb of the Lord telah melindungi dia. Nama artifak legendaris memang bukan pajangan belaka, propertinya bukanlah gurauan.


‘Kamito, apa yang kau lakukan!?’


Melihat Kamito melepas jubahnya, Restia menggerutu.


"....Tunggu, kamu pasti sudah menyadarinya."


‘.....’


Saat dihadapkan dengan argumennya, roh kegelapan itu tetap diam karena malu.


"Sepertinya aku harus meminta maaf pada Iris-san, tapi ini sangat jauh dari gayaku sendiri."


Faktanya, Kamito sudah merasakan sedikit perasaan disonansi saat dia pertama kali memakai jubah hitam itu—


Dia memastikannya saat dia mengeluarkan Absolute Blade Art—Purple Lightning.


Rupanya, kutukan yang ada dalam kain hitam itu akan mengganggu aliran divine power.


Meskipun sifat pertahanannya sangat luar biasa. Memakainya akan menumpulkan ketajaman Absolute Blade Arts yang membutuhkan pengendalian divine power secara tepat.


Pastinya, ini adalah sesuatu yang hanya bisa digunakan dengan efek penuh oleh Raja Iblis Solomon.


Kembali dalam penampilan seragam Akademi Roh Areishia yang akrab dengannya, Kamito melakukan beberapa ayunan pedang dengan gerakan yang santai.


"Sudah ku duga, pakaian ini yang dipersiapkan oleh nenek peot itu sangat sesuai denganku."


"Apa kau yakin? Ren Ashbell."


Melihat dia, Lurie berbicara.


"Berkat pakaian hitam itulah kau lolos dari luka kritis barusan, kan?"


"Kurasa begitu...."


Kamito mengakuinya dengan sederhana.


Sama seperti yang Lurie katakan, kalau tebasan yang sebelumnya mengenai dia secara langsung, bahunya akan terluka parah.


Akan tetapi—


"Jangan kuatir. Pedangmu nggak akan mengenai aku lagi."


"...! Lucu sekali—Ren Ashbell!"


Rasa haus darah Lurie memancar.

STnBD V17 BW10.png

Bagian 2[edit]

"Apaan sih yang kau lakukan!?"


"A-Apa aku punya pilihan? Kita akan dibakar sampai jadi arang kalau aku menolak."


"Memang sih..."


Sambil berjalan di jalan utama, Ellis dan Claire saling berbisik.


Mereka melirik ke belakang mereka—


Seorang roh dengan penampilan seorang cewek muda berjalan beberapa langkah dibelakang mereka, memperhatikan bangunan-bangunan dengan penasaran.


Karena suatu alasan yang gak diketahui, roh itu sepertinya menyukai Claire, bertanya tentang ini itu di sepanjang jalan dan bahkan bertanya tentang hal-hal yang ada di alam manusia.


(...Siapa sebenarnya cewek ini?)


Gak diragukan lagi dia adalah roh berperingkat tinggi, tapi jika begitu, kenapa dia bersama para ksatria Kerajaan Suci? Misalkan dia adalah roh yang digunakan untuk militer, nggak mungkin dia bisa bertindak begitu bebas dan seenaknya sendiri.


(Atau mungkin dia bukan bagian dari kelompok mereka?)


Apapun itu, situasi saat ini sangatlah tak terduga bagi para ksatria Kerajaan Suci juga.


Saat ini, para ksatria itu pastinya mengirim roh-roh untuk melacaknya. Meskipun Ellis mengirim roh-roh angin untuk mengganggu pelacakan, akan tetapi—pertarungan sudah pasti akan terjadi segera setelah mereka bertemu.


(Sebelum itu terjadi, kami harus bertemu dengan Kamito secepatnya...)


Sambil berjalan di jalanan bersama cewek itu dan membuat dia terus senang, mereka harus mencari Kamito tanpa ditemukan oleh para ksatria Kerajaan Suci. Ini merupakan misi yang cukup sulit.


"Gadis kucing neraka, bangunan apa itu? Aku merasakan kekuatan roh api sejenisku."


Dengan mata yang dipenuhi keingintahuan, cewek itu menunjuk sebuah bangunan yang memiliki sebuah cerobong asap.


"Itu adalah sebuah tempat pembuatan tembikar. Didalamnya, mereka menggunakan roh-roh api untuk membakar tembikarnya."


Sebagai seorang siswa terhormat yang berpengetahuan, Claire menjelaskan pada dia.


"Oh aku mengerti... Bumi memang bagus. Meskipun bumi keras kepala, kami bisa rukun."


Cewek itu mengangguk puas, bergumam sendiri.


"Tempat pembuatan tembikar yang besar juga punya roh air dan angin, serta para princess maiden untuk melayani mereka. Roh-roh air bertugas mengadoni tanah liat sedangkan roh-roh angin bertugas mengeringkannya."


"Air... Cewek itu susah dihadapi buatku..."


Menarik lengah Ellis, Claire berbisik pada telinganya.


"Hmm, dia sepertinya bukan roh yang jahat. Kita lanjutkan pengamatan."


"Aku setuju. Akan tetapi, kenapa cuma padamu saja dia bersikap begitu ramah? Apa kau tau sesuatu?"


"Seperti yang kubilang, aku cuma kebetulan mirip dengan princess maiden yang dulunya kontraktornya—"


"Apa kebetulan semacam itu bisa terjadi?"


"Siapa yang tau...."


"Apa yang kalian berdua bisikan?"


".....!"


Berbicara secara sembunyi-sembunyi, kedua cewek itu langsung terkejut.


"B-Bukan apa-apa!"


"C-Cuma membicarakan kemana melanjutkan tur kita selanjutnya."


"Hmmm, kalau begitu gak apa-apa—"


Mendengar jawaban Claire, cewek itu segera kembali bersuasana hati bagus—


"Terus tempat apa yang ingin kau tunjukkan padaku berikutnya?"


Dengan mata yang dipenuhi dengan rasa penasaran, dia menatap mereka.


Claire merenung sebentar—


"Sebelum aku menunjukkan jalannya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan."


"Permintaan diterima. Kau memperoleh ijinku. Tanyalah."


Selalu mempertahankan sikap angkuhnya, cewek itu mengangguk.


"Barusan di alun-alun, bukankah kau bersama dengan para ksatria Kerajaan Suci? Apa mereka temanmu?"


"Orang-orang itu, huh—"


Mendengar itu, cewek itu memainkan rambutnya karena bosan.


"Aku cuma meminjamkan sedikit kekuatan pada mereka karena mereka bilang mereka ingin meminta bantuanku. Mengenai apa yang mereka lakukan, aku gak tau."


(...Dengan kata lain, meskipun mereka bekerja sama, dia tidak diperintah?)


Claire merenung.


"Jadi mereka lah yang memintamu untuk menghancurkan kota?"


"Hmm. Lebih tepatnya, mereka meminta untuk membuat lubang di piramida itu."


"A-Aku mengerti...."


Pastinya, penghancuran dalam garis lurus di kota adalah sekedar membuat jalan pintas.


"A-Apa!? Aku nggak bisa mempercayainya kau menghancurkan kota karena alasan semacam itu!"


Seperti yang diduga, Ellis mulai marah.


"Kenapa kau begitu marah? Bukannya itu cuma sekedar bangunan saja?"


"...Apa!?"


"Ellis, tenanglah!"


Claire buru-buru menahan Ellis yang memiliki rasa keadilan yang tinggi—


Lalu dia menanyai cewek itu yang memiringkan kepalanya kebingungan.


"...Aku paham sekarang. Tapi tolong jangan bakar kota lagi."


Claire menatap mata cewek itu.


Sebagai tanggapan, cewek itu mengedipkan matanya, yang kebetulan berwarna sama dengan mata Claire—


"....Begitu mirip, seperti yang kuduga."


Cewek itu bergumam pelan.


"Baiklah. Aku membakarnya hanya karena itu menghalangi jalanku. Penghancuran yang tidak diperlukan bukanlah kesenanganku."


(...Hmm, dia bisa diajak bicara.)


Sebenarnya kuatir kalau dia mungkin marah, Claire menghela nafas lega.


...Berikutnya, mereka bertiga melanjutkan berjalan di jalanan, sampai di alun-alun lain.


Nggak ada satupun orang yang ada di alun-alun ini. Mungkin karena ledakan yang sebelumnya, semua orang telah melarikan diri.


"Sepertinya Kamito sempat berada di alun-alun ini—"


Mendengar bisikan dari angin, Ellis berbicara.


"Astaga, kemana sih perginya dia....!?"


Tak pernah terpikir oleh kedua cewek itu bahwa Kamito sudah berada didalam piramida.


Lalu, cewek roh itu mengendus udara.


"Ada aroma di udara. Gadis kucing neraka, apa itu?"


Dia menunjuk pada sebuah toko yang gak ada penjualnya.


"Itu adalah toko makanan. Sampai belum lama ini, tempat ini seharusnya merupakan sebuah pasar yang sangat ramai—"


"Tapi semua orang nampaknya sudah melarikan diri."


"A-Aku sudah bilang aku nggak akan melakukannya!"


Cewek itu berpaling karena malu.


"Ngomong-ngomong, apa itu sebuah persembahan?"


Disertai kibaran pakaian merahnya, dia berjalan dengan cepat mendekati toko itu.


"Oh tidak, jangan mengambil sesuatu tanpa ijin!"


"Mencuri itu dosa!"


Claire dan Ellis buru-buru mengejar dia.


Nampaknya itu adalah sebuah toko yang menjual makanan panggang.


Nggak seperti toko-toko yang penuh gaya di kota Akademi, toko itu nggak memiliki jendela kaca untuk pameran atau semacamnya disini.


Apa yang menarik minat cewek roh itu adalah makanan panggang yang mirip donat dengan taburan banyak gula diatas kue yang dipanggang.


"Gadis kucing neraka, aku mau yang satu itu."


"Mau sih tidak masalah, tapi kau harus membayarnya."


"Tidak. Bukankah itu sudah sewajarnya bahwa apapun yang aku mau harus dipersembahkan padaku?"


Dia mengatakan filosofi barbar sebagai tanggapan.


"Kalau tidak dipenuhi, aku mungkin harus membakar segalanya—"


"T-Tunggu, hentikan! Kenapa kau menyimpulkan seenaknya begitu!?"


Melihat sebuah bola api muncul di tangan cewek itu, Claire mau tak mau harus berteriak.


"Bukankah kau baru saja berjanji untuk tidak menghancurkan kota!?"


"Hmmm, betul juga...."


Secara tak terduga, cewek itu mengangguk patuh dan menghilangkan api itu.


"*sigh* aku merasa aku seperti cuma bisa menurut saja...."


Claire mendesah dan mengeluarkan beberapa perak yang dia tukarkan sebelumnya.


"Kita harus menaruh uangnya dengan benar. Maka itu nggak apa-apa, kan?"


"....Itu tetaplah kurang tepat, tapi aku akan mengabaikan yang satu ini."


Ellis yang tegas tampak menyetujuinya.


"..."


Memegang sebuah donat, cewek roh itu menatap donat itu.


"Ada apa, kau gak mau memakannya?"


"Bagaimana cara memakan ini?"


"Gigitlah, seperti ini—"


Claire membuka mulutnya dan menggigit sebuah donat. Para putri bangsawan biasanya memiliki peluang yang sangat sedikit menemui makanan seperti ini, tapi Rinslet sering membuat donat sebagai selingan.


Meskipun donat itu nggak baru keluar dari pemanggang, rasanya manis, empuk dengan permukaan yang renyah. Sangat lezat.


"Hmm..."


Menirukan Claire, cewek itu mulai menggigit.


"Aku mengerti. Ini enak. Layak dipuji."


Dengan mulutnya penuh dengan donat, dia tampak sama menggemaskannya dengan seekor peliharaan kecil.


Mungkin karena dia dalam suasana hati yang bagus, di ujung dari tanduknya yang melengkung ada api kecil yang menyala.


(....Kalau aku punya adik, akankah dia seperti ini?)


Claire tiba-tiba teringat sesuatu.


"Hei...."


"Ada apa, gadis kucing neraka?"


"....Aku tanya lagi, siapa namamu?"


"Claire, umm—"


Ellis memasang wajah panik.


Menanyakan nama pada seorang roh tingkat tinggi akan dianggap sebagai perilaku kasar.


Faktanya, cewek itu tampak cukup marah saat Claire menanyakan nama aslinya sebelumnya.


Akan tetapi—


"Gimanapun juga, susah untuk memanggil dia tanpa sebuah nama."


Claire berargumen balik.


"Nggak harus nama sejati, sebuah nama panggilan seperti Scatlet juga nggak apa-apa."


"Hmm, sebuah nama panggilan, huh? Kalau begitu—"


Cewek roh itu mengangguk.


"Panggil aku Penguasa."


"...Huh?"


"Hmm, ada apa dengan teaksimu?"


"Uh, sepertinya kau salah tangkap—"


Tepat saat Claire mau mengeluh...


"—Lord Volcanicus!"


Sebuah suara keras menggema di seluruh alun-alun.


"......!?"


Claire berbalik—


Dan melihat sekelompok ksatria dengan pedang terhunus, mengepung alun-alun itu.


Suara itu milik Luminaris dari Sacred Spirit Knight.


"....! Kita ketahuan—!?"


Ellis segera mengeluarkan elemental waffe miliknya—Ray Hawk.


Ayla Cedar adalah seorang pasukan khusus di Scared Spirit Knight. Dia terspesialisasi dalam pengintaian dan pelacakan. Sepertinya, roh bayangan miliknya, Shade Wolf, telah mengikuti mereka.


Mata Luminaris terbelalak kaget.


"Claire Rouge dari Ordesia. Kenapa kau ada disini!?"


"....! Claire, apa yang harus kita—"


Ellis menggigit bibirnya dan menanyai Claire yang ada di belakangnya.


....Tapi Claire tidak menjawab.


"Claire?"


Ellis menoleh ke belakang—


"....Apa kau bilang Volcanicus?"


Dengan wajah pucat pasi, Claire menatap cewek roh itu.

Bagian 3[edit]

"—Hiver Défense!"


Tikaman Lurie Lizaldia meninggalkan jejak lintasan seperti petir. Ini adalah sebuah teknik pedang yang dilakukan dengan penguasaan pengurangan medan yang sangat tinggi. Kecepatannya setara dengan kecepatan Purple Lightning.


Dihadapkan dengan sebuah serangan semacam itu—


"Jangan pikir kau masih melawan aku yang barusan—"


"!?"


Saat dia petarung itu berpapasan, Kamito menggunakan pedang iblis miliknya untuk menyerang balik teknik milik Lurie.


Perhitungan waktu yang sempurna untuk memperhitungkan kecepatan pedang musuhnya dan bahkan sudut dari pedang musuh, Kamito melakukan sebuah serangan balik sempurna.


Tikaman Lurie di desain untuk melakukan serangan lanjutan setiap saat meski serangan pertama gagal.


Tapi Kamito dengan mudah menggagalkan niat itu.


Lurie terhempas ke samping, terlempar sambil terseret di tanah.


Divine power yang terang meninggalkan jejak afterimage dalam kegelapan. Lalu, dia mulai berputar dan menghentak tanah, mengayunkan pedangnya seperti sebuah cambuk.


Akan tetapi, Kamito sudah membaca serangannya terlebih dahulu. Secara paksa melakukan serangan saat keseimbangan rusak akan menyebabkan pembukaan yang kritis—Kamito mengangkat Demon Slayer dengan lihai.


Dengan suara keras dari benturan logam, tangan Lurie dipantulkan keatas.


Kamito segera mengayunkan pedang iblis kegelapan, menyerang dia dengan kuat.


"Gah...!"


Menyaksikan pergerakan tarian pedang miliknya yang nyaris tampak seperti pertunjukan yang spektakuler, Lurie gemetar dalam teror.


Pergerakan seluruh tubuh Kamito sepenuhnya berbeda dari dia yang barusan.


Apa perubahan sebesar itu bisa dilakukan cuma dengan melepaskan pakaian hitam miliknya?


"....Aku paham. Sepertinya kau gak cuma membual saja."


Mungkin menyadari dia akan kewalahan dalam pertarungan jarak dekat, Lurie menghentak lantai dan mundur.


Lalu membuat sebuah tanda tangan, dia dengan cepat merapal sihir roh.


Zap zap—tujuh bola cahaya disertai petir muncul, mengarah pada Kamito.


Ini adalah Lightning Ball—sihir roh tingkat tinggi yang menembakkan bola berelemen petir suci.


Hanya ada segelintir elementalis di Kerajaan Suci yang mampu merapalkan mantra tujuh kali secara bersamaan.


"Bisakah kau menghindari semuanya, Ren Ashbel!?"


"Aku gak perlu menghindar!"


Kamito menarik nafas dan berputar, mengayunkan Demon Slayer.


Bersinar dengan cahaya putih-perak, pedang itu menyapu bola-bola petir yang mengelilingi Kamito sekaligus.


"Kau menghapusnya cuma dengan aura pedang!?"


Wajah Lurie dipenuhi keterkejutan.


Secara menakjubkan, hanya menyentuh divine power yang menyelimuti bukan pedang suci sudah cukup untuk menghapus sihir roh tingkat tinggi.


"Maaf, trik murahan gak akan mempan terhadapku—"


Kamito meledakkan divine power dibawah kakinya terhadap tanah, menutup jarak dalam satu gerakan.


Sebelum dampaknya sampai, tebasan dari pedangnya datang terlebih dulu.


"Absolute Blade Arts, bentuk perantaraIntroductory Form—Bursting Cherry Blossom Flurry!"


Suatu serangan pedang disertasi afterimage yang tak terhitung jumlahnya.


Ini adalah sebuah teknik turunan dari Bentuk Penghancur, bentuk kesembilan dari Absolute Blade Arts.


Sebuah teknik pedang anti-personil yang merupakan kunci untuk menguasai teknik ultimate, Bursting Blossom Spiral Blade Dance.


Sebuah tarian tebasan yang membabi buta dari cahaya dan kegelapan.


Serangan beruntun tak terhitung jumlahnya yanb dilakukan oleh kedua pedang itu mengungguli pertahanan Lurie dengan kuantitasnya.


Kecepatan dan ketepatan dari pedang miliknya berada pada tingkatan yang sepenuhnya berbeda dari yang sebelumnya.


Tak lama setelah itu, pertahanan Lurie dipaksa terbuka dan dia melakukan gerakan yang salah.


"—Sudah lama aku menantikan ini, Lurie."


Melihat itu, Kamito berkata.


"—Inilah Ren Ashbell, sang Penari Pedang Terkuat."


"...!?"


Menggunakan Demon Slayer, Kamito menghantam serangan kuat pada pedang suci milik Lurie yang terangkat.


Dengan percikan api yang berhamburan, tubuh mungilnya terlempar karena dampaknya.


"...Uhuk... Huff—"


"..."


Menatap dia yang tersungkur di lantai, Kamito mengacungkan pedang suci miliknya pada dia.


"Seseorang setingkat kau seharusnya bisa paham. Kau nggak bisa mengalahkan aku."


"Ini belum, berakhir... Ren Ashbell...!"


"...!?"


Lurie berdiri, menikamkan pedang suci miliknya pada lantai.


Seluruh tubuhnya diselimuti cahaya suci lalu luka-lukanya perlahan mulai sembuh.


Dia tersenyum sinis.


(..Jadi begitu—)


Kamito menyadari apa yang mendukung kekuatan yang besar milik Lurie.


Siapapun itu—


Meskipun ahli bela diri yang terkenal pun akan rentan pada rasa takut naluriah dalam alam bawah sadar mereka.


Akan tetapi, Lurie tidak takut cidera.


Bakatnya sebagai seorang penyembuh ajaib adalah bawaan lahir dan akan secara otomatis menyembuhkan luka tubuhnya tanpa perlu niat yang disengaja.


Oleh karena itu, rasa takut naluriahnya terhadap cidera sudah melemah.


Memanhg, ini bisa dianggap suatu kekuatan juga.


(Akan tetapi, itu—)


Suatu kekuatan yang sangat rumit. Ini juga merupakan suatu kekuatan yang hanya bisa didapatkan oleh maso sejati seseorang dengan melalui pengalaman-pengalaman yang menyakitkan.


Lurie menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat pedang suci miliknya yang bersinar.


"Majulah, ayo lanjutkan tarian pedang kita, Ren Ashbell—"


"..."


Kamito menyiapkan pedang gandanya lagi.


‘—Kamito, aku paham, kan?’


"Ya."


Mendengar suara Restia, Kamito mengangguk ringan.


Meskipun dia yang memiliki keuntungan disepanjang waktu ini—


....Ini gak bisa dipertahankan. Pertarungan tidak boleh berlangsung lama.


Secara berturut-turut menggunakan Absolute Blade Arts akan mengkonsumsi divine power, menyebabkan cadangan divine power milik Kamito sendiri terkuras.


(Ini akan buruk kecuali aku menyelesaikan semuanya secepat mungkin.)

Bagian 4[edit]

"...Apa kau bilang Volcanicus?"


Claire begitu terkejut hingga seluruh tubuhnya membeku.


Mungkin nggak ada seorangpun di benua yang gak tau nama ini.


Elemental Lord Api Volcanicus, memerintah atas roh-roh api, salah satu dari lima Elemental Lord.


(Jangan bilang... cewek ini adalah...?)


Pikirannya kacau, Claire tiba-tiba teringat sesuatu.


(Kalau dipikir-pikir lagi, Nee-sama sebelumnya mengatakan—)


Dia ingat itu adalah saat mereka pergi untuk menyelamatkan Fianna yang dipenjara—


Di atas kapal terbang, kakaknya telah menyebutkannya.


Di kuil Elemental Lord, mereka tekagr membebaskan Elemental Lord Api dari perusakan Kegelapan Dunia Lain.


Disaat itu, Elemental Lord Api lenyap dan dipindahkan ke suatu tempat—


Bukankah itu ibukota suci Alexandria?


(Betul, nggak salah lagi....)


Claire menggigit bibir keras-keras.


Cewek ini adalah perwujudan dari Elemental Lord Api.


Dia sama dengan perwujudan Iseria Seaward yang dipindahkan ke Astral Zero.


Jika begitu, ini wajar saja bagi dia memiliki kekuatan yang mampu menghancurkan sebuah kota dalam sekejap.


(Cewek ini adalah Elemental Lord Api... yang menghancurkan kampung halamanku....!)


"Lord Volcanicus, tolong menjauhlah dari orang-orang itu!"


Di pintu masuk alun-alun, Luminaris berteriak.


Akan tetapi, cewek roh itu melotot pada dia.


"Apa-apaan kalian ini? Aku sekarang sedang bersenang-senang dengan mereka."


Rambut merah cewek itu berdiri tegak, melambai seperti api.


Aura kemarahan yang mencengangkan itu membuat para Sacred Spirit Knight membeku.


Hanya Luminaris yang mampu berdiri tegak.


"O Penguasa, harap maafkan kami. Kami hanya memenuhi tanggungjawab kami sebagai bodyguard anda."


"Oh? Memangnya kau siapa sampai-sampai mengkhawatirkan keselamatanku?"


".....!?"


Dihadapkan dengan amarah Elemental Lord Api yang membara, Luminaris menjadi pucat pasi.


Satu-satunya alasan kenapa Elemental Lord Api tidak mengubah para ksatria itu menjadi arang adalah karena dia telah berjanji pada Claire barusan.


"Aku gak perlu bodyguard. Aku akan tetap bersama orang-orang ini."


Mengatakan itu, dia menoleh pada Claire.


Sekarang, dia menyadarinya untuk pertama kalinya.


Tatapan Claire pada dia telah sepenuhnya berubah.


"Sungguh, ah...."


"...ada apa?"


"Kau benar-benar Elemental Lord Api..."


Twintail milik Claire berdiri tegak layaknya kobaran api.


Seolah melihat musuh bebuyutan, Claire melotot pada cewek itu.


"Kenapa, gadis kucing neraka?"


"Kau, semuanya karena kau, Nee-sama dan orangtuaku...!"


Air mata mengalir dari mata jernihnya yang seperti rubi.


Hujan api. Kota-kota yang terbakar. Teriakan penderitaan yang tiada henti. Orang-orang yang berlari ke kastil.


Dengan kutukan-kutukan dari orang-orang di latar belakangnya, pada hari itu dia di buang dari kastil bersama dengan orangtuanya


"....Apa yang kau bicarakan?"


Cewek roh itu menampilkan penampilan bingung, berdiri diam membeku.


Kemungkinan besar menyimpulkan ini adalah peluang terbaik untuk mendapatkan dia kembali—


"Harap tinggalkan mereka, Penguasa."


Luminaris menghunus pedangnya dan menyerbu dengan cepat. Dia berniat untuk memanfaatkan peluang ini untuk menjatuhkan Claire.


"—Jangan harap kau akan berhasil!"


Memegang Ray Hawk, Ellis memblokir dia.


"Menyingkirlah, lalat kecil!"


Luminaris mengayunkan pedang suci miliknya, Murgleis.


Dihadapkan dengan pedang itu yang bersinar dengan cahaya suci—


"...!"


Ellis memblokir menggunakan gagang dari tombak sihir miliknya.


"Apa?"


Luminaris membelalakkan mata birunya karena terkejut.


Dia tak pernah menduga serangan tak kenal ampun miliknya diblokir.


"Apa cuma itu yang bisa kau lakukan, Dame Luminaris?"


"...Gah!?"


Angin berkumpul di ujung tombak Ray Hawk, menghasilkan gemuruh yang menggelegar.


"Rasakan ini....!"


Melemparkan udara yang terkompres, Ellis menghempaskan pedang suci itu.


Tak menduga sebuah serangan balik dari orang yang dia anggap lalat kecil, Luminaris kehilangan keseimbangan.


Ellis nggak melewatkan kesempatan ini. Dengan segera, dia memutar tombak sihir miliknya dan menyerang dengan kecepatan kilat.


Terselimuti dalam angin sihir, ujung tombak itu menembus gauntlet mitril milik paladin itu, menghancurkannya.


"Sialan kau!"


Luminaris jatuh dalam keadaan kebingungan.


Ellis Fahrengart.


Putri kedua dari Duke Fahrengart, berasal dari sebuah keluarga bangsawan Ordesia yang ternama dengan generasi-generasi tradisi militer.


Sejauh itulah yang diketahui Luminaris tentang Ellis.


Saat memasuki Blade Dance, Luminaris memfokuskan hampir semua perhatiannya pada kakak angkat Ellis, Velsaria Eva, sepenuhnya nggak peduli pada adiknya.


"Dame Luminaris, aku dulu mengagumi, karena bertarung di Blade Dance melawan Ren Ashbell—"


Memutar tombak sihir angin di satu tangan dengan lihai, Ellis berbicara.


"—Tapi itu dulu, aku yang sekarang lebih kuat daripada kau."


Dia melangkah maju, menutup jarak.


Tusukan berkecepatan dewa yang diselimuti badai, ditepis oleh Luminaris menggunakan pedang suci itu.


"Jangan terlalu sombong, ksatria siswa!"


"Aku kembalikan kata-kata itu padamu. Jangan meremehkan Sylphid Knight!"


Elemental waffe mereka berhantaman lagi dengan ganas.


Sebuah badai yang seperti angin puyuh mengelilingi bilah yang bersilangan.


Saat tarian pedang mereka semakin sengit—


Claire dan Elemental Lord Api terus saling menatap dalam diam.


"Gadis kucing neraka—"


Volcanicus yang pertama memecah keheningan.


"Apa kau membenciku?"


"...Uh—"


Claire tak bisa berkata apa-apa.


Dia bahkan nggak yakin dengan perasaannya sendiri.


(....Apa cewek ini betul-betul Elemental Lord Api yang menghancurkan kampung halamanku?)


Tidak, tunggu, cewek ini nggak diragukan lagi adalah perwujudan dari Elemental Lord, tapi—


Claire teringat perwujudan Elemental Lord Air yang dia temui di Ragna Ys.


(Dia kehilangan hampir semua ingatannya sebagai seorang Elemental Lord....)


Jika demikian, Elemental Lord ini mungkin telah kehilangan ingatannya juga.


Dengan kata lain, dia mungkin tidak ingat apa yang dia lakukan di masa lalu.


"....Bisakah aku menanyakan sebuah pertanyaan?"


Kata Claire.


"Apa kau masih ingat nama princess maiden yang sangat mirip denganku?"


"......."


Elemental Lord itu menggeleng pelan.


"Aku tidak ingat namanya, tapi—"


Dia menjawab dengan kesedihan yang terlihat jelas.


"Dia adalah temanku yang berharga. Inilah satu-satunya hal yang bisa kuingat dengan jelas."


"...Aku mengerti. Kalau begitu—"


Mendengar itu—


Claire menguatkan tekad dalam hatinya.


Cewek ini adalah musuh yang menghancurkan Elstein. Akan tetapi—


"Volcanicus, aku ingin membawamu menemui seseorang."


"....apa?"


"Buatlah keputusan sekarang. Akankahbkau kembali pada orang-orang Kerajaan Suci itu atau ikut bersama kami?"


"...!"


Elemental Lord itu menatap mata Claire yang seperti rubi. Mungkin melalui Claire, dia melihat sosok teman tercintanya yang sangat mirip dengan Claire.


Setelah beberapa saat keheningan—


"....Itu tidak mungkin."


Dia menggeleng.


"Kenapa?"


"Aku terikat sebuah perjanjian dengan orang-orang itu. Aku tidak bisa melanggarnya."


"Tidak mungkin....!"


Dengan senyum lemah, Elemental Lord Api mengibaskan pakaiannya.


"Meski sebentar, aku sangat menikmati kesempatan ini, gadis kucing neraka."


Dikelilingi oleh kobaran api yang ganas, cewek itu perlahan-lahan menghilang.


Claire cuma bisa bilang "ah" tapi tak bisa mengejar dia.


"...A-Apa-apaan ini!"


Tak mampu menekan emosi yang tak bisa dia sebutkan apakah itu kemarahan atau sesuatu yang lain, Claire terus menghentak-hentak tanah.


Lalu—


"Claire—"


Memegang tombak sihir, Ellis mendarat pelan di samping dia.


"Dia kembali ke Astral Zero, kan?"


"Ya, kemungkinan besar begitu...."


Mengangguk, Claire meluruskan postur berdirinya.


Dia melihat sekeliling, dan mendapati mereka berdua dikepung oleh 10 anggota Sacred Spirit Knight.


....Mempertimbangkan semua hal, peluang menangnya tipis kalau mereka harus melawan ksatria sebanyak ini secara bersamaan.


"Terobos pengepungan dan kabur."


"...Ya."


Mengatakan itu, Ellis mengacungkan Ray Hawk sedangkan Claire mengeluarkan Flametongue.


Kedua cewek itu berlari secara bersamaan.

Bagian 5[edit]

Di panggung dimana Raja Iblis dan Sacred Maiden berduel, terdengar suara benturan pedang yang tiada hentinya.


Secara kebetulan, salah satu pertarungnya adalah seorang princess maiden yang orang-orang sebut sacred maiden ajaib—


Sedangkan yang satunya adalah penerus Raja Iblis, memegang Demon Slayer.


Tarian pedang dilakukan di seluruh aula besar ini tampak seperti perulangan dari era legenda masa lalu.


"Hari ini, langit biru meratap, bumi berguncang marah—"


Jubah putih polos berkibar. Lurie Lizaldia merapal sihir roh.


Pedang cahaya suci yang tak terhitung terbang, memotong barisan pilar batu yang ada di jalurnya.


Akan tetapi, Kamito sudah menghilang dari lantai.


Melompat dengan bebas diantara pilar-pilar batu yang runtuh, dia mengarah pada Lurie untuk menyerang.


Ini adalah pergerakan tiga dimensi tingkat tinggi—tenik pembunuhan dari Sekolah Instruksional.


Bagi seseorang yang setingkat Kamito, dinding dan lantai tidak ada bedanya bagi dia.


"—Maju dan tembuslah, Vorpal Blast!"


Dilepaskan dari suatu sudut mati, petir hitam legam diikuti lintasan yang tak bisa diprediksi menyerang Lurie.


Sebagai tanggapan, Lurie merapal sihir pertahanan untuk menetralisir petir iblis itu.


"Kekuatan roh kegelapan nggak berguna terhadapku."


"Tentu saja aku tau itu!"


Craaash!


Karena jatuhnya pilar-pilar batu, terjadi awan debu yang tebal.


Dalam lingkungan yang mengganggu pandangan mereka sepenuhnya, bilah putih-perak berkilauan.


Demon Slayer dan pedang suci tanpa nama milik Lurie saling bertebasan, menghasilkan percikan api berulang kali.


"...!"


"Ini bukanlah ilmu pedang seorang ksatria, Ren Ashbell. Apa kau cemas?"


"Kita sedang duel sekarang, bukan melakukan sebuah tarian pedang untuk penonton."


Bersilangan pedang dalam jarak dekat, Kamito berteriak.


Kecepatan, kekuatan, penilaian, pengalaman, divine power, tingkatan roh terkontrak—


Dalam semua aspek ini, Kamito lebih unggul dari Lurie.


Akan tetapi—


(Tapi akulah yang terpojok, huh?)


Dia mengerang.


Jubah Lurie bersinar pendar.


Luka-lukanya akan selalu sembuh dalam sekejap. Kekuatan aneh bawaan lahir itu—sebuah kekuatan yang bisa seseorang sebut sebuah kutukan—terus melindungi dia secara otomatis.


Itu akan selalu seperti itu meski dia sendiri tidak menginginkannya, kan?


Mengalahkan sacred maiden ajaib dibutuhkan melakukan serangan fatal pada dia dalam satu serangan.


Akan tetapi, Kamito nggak mau membunuh Lurie. Gimanapun juga, ada hal-hal yang ingin dia tanyakan.


...Tidak, itu bukanlah alasan yang sebenarnya.


(Aku bukan lagi seorang pembunuh dari Sekolah Instruksional.)


Restia dan teman-teman yang dia temui di Akademi telah memberi dia hati seorang manusia.


Oleh karena itu, dia nggak akan pernah menggunakan kekuatan para roh untuk merenggut nyawa orang lain.


Lalu, satu-satunya cara untuk mengalahkan regenerasi tanpa akhir milik Lurie adalah menunggu sampai dia kehabisan divine power.


Akan tetapi, Kamito nggak bisa melakukan itu juga.


Dia memiliki batas waktu yang merepotkan.


Kalau dia terus mengerahkan divine power seperti ini—


Kekuatan Elemental Lord Kegelapan akan melahap dia.


Tidak, kekuatan kegelapan sudah mulai menggerogoti kesadaran Kamito.


Waktunya sudah habis.


Dia harus memutuskan.


"—Pedangmu melambat, Ren Ashbell!"


Pedang suci milik Lurie melintas.


Bukannya menggunakan ilmu pedang ksatria ortodoks, dia menggunakan teknik modifikasi dari tarian para princess maiden.


Dia sudah terlatih dalam tarian pedang, awalnya dimaksudkan untuk melakukan persembahan pada para roh, dan mencapai penguasaan yang sangat tinggi.


"—Senang sekali."


"Apa kau menyindir?"


Sambil memblokir serangan-serangan pedang, Kamito berbicara.


"Aku merasa sangat gembira karena bertarung dengan Penari Pedang Terkuat."


"—Sungguh?"


Kamito merasakan sengatan yang tahan dalam hatinya, seolah ditusuk oleh duri kecil.


Apa yang akan dilakukan Kamito—


Dalam arti tertentu, itu mungkin lebih kejam daripada merenggut nyawa Lurie.


Kalau dia menggunakan teknik dari Absolute Blade Arts ini, Lurie tak akan pernah bisa menari pedang lagi.


Ini adalah sebuah Absolute Blade Arts tabu yang dilarang oleh Greyworth untuk Kamito gunakan.


Setelah menggunakannya sekali, dia telah bersumpah untuk tidak pernah menggunakannya lagi.


Kamito menghentak tanah, melompat mundur.


Lurie berhenti di tempat bukannya mengejar dia.


Mereka berdua sama-sama mundur.


"Apa kau kehabisan pilihan, Ren Ashbell?"


"Tidak."


Mengatakan itu, Kamito menusukkan Vorpal Sword ke tanah.


‘....Kamito?’


Restia bereaksi dengan suara terkejut.


"—Maaf, Restia. Teknik Absolute Blade Arts ini nggak bisa digunakan dengan dua pedang."


Dan juga, elemen kegelapan gak mempan pada Lurie.


Restia tampaknya menyadari apa yang akan dilakukan Kamito dan segera terdiam.


Kamito memegang Demon Slayer dengan dua tangan.


"Kau mau apa?"


"Aku gak akan bilang 'jangan benci aku'. Persiapkan dirimu."


Dia mengkonsentrasikan peredaan divine power dari seluruh tubuhnya ke bilah pedang.


—Dia nggak menggunakan teknik ini selama tiga tahun.


Tapi tubuhnya masih mengingat Absolute Blade Arts ini.


Ironisnya, itu karena dia paling was-was pada teknik yang satu ini.


Mungkin merasakan tekanan tenang dari Kamito...


Lurie menuangkan divine power kedalam pedang suci tanpa nama miliknya.


Lalu—


Mereka berdua bergerak.


Keduanya melangkah maju disaat yang bersamaan dan berlari.


"—Hiver Défense!"


Lurie menggunakan sebuah teknik yang mirip dengan Purple Lightning.


Sebuah tikaman sembrono yang dilakukan oleh orang yang tidak takut cidera.


"Ohhhhhhhhhhhhhh!"


Adapun untuk Kamito—


Dia menerima serangan itu dengan tangan kirinya.


Bilah pedang itu masuk kedalam dagingnya disertai rasa sakit yang teramat sangat, tapi Kamito menahannya dan—


Mengincar jantung dimana semua saluran peredaran berkumpul, dia menikamkan pedang suci miliknya tepat disana.


"Cough—Huff—"


Bukannya baja, Demon Slayer itu merupakan sebuah pedang cahaya murni.


Sampai saat ini, segalanya terjadi sama seperti saat dia menikam jantung Velsaria—


Saat itu, Kamito menghapus segel persenjataan terkutuk.


"Teknik Pedang absolut, Bentuk Hampa—Penghancur JiwaAbsolute Blade Arts, Void Form—Soul Extinction!"


Disaat Kamito berteriak, divine power yang dilepaskan mengamuk didalam tubuh Lurie.

Bagian 6[edit]

"Sepertinya ini adalah akhirnya."


Memegang pedang suci miliknya, Lurie Lizaldia tumbang di tempat.


Dia nampaknya mengerti apa yang terjadi pada dirinya.


Cahaya pendar yang menyelimutinya menghilang. Kemungkinan besar kekuatan ajaib nggak akan lagi menyembuhkan dia.


Tertikam oleh Demon Slayer, dadanya tidak menunjukkan goresan ataupun luka.


Akan tetapi, sesuatu yang terpenting bagi para elementalis telah dihancurkan oleh Kamito.


Absolute Blade Arts, Void Form—Soul Extinction.


Absolute Blade Art yang dilarang oleh gurunya.


Dia telah menghancurkan sistem peredaran dalam tubuh manusia untuk mengendalikan divine power.


Lurie tak lagi bisa merapal sihir roh ataupun membentuk kontrak dengan roh.


Kekuatan ajaib untuk menyembuhkan orang lain. Kekuatan ini, yang mana telah menyelamatkan banyak sekali orang dimasa lalu, telah hancur di tangan Kamito.


Kamito tidak menyesalinya. Gimanapun juga, kemungkinan mustahil mengalahkan dia dengan cara lain.


Tepatnya karena Lurie kuat, Kamito harus menggunakan teknik terlarang dari Absolute Blade Arts.


Kamito menatap Lurie yang terkapar di lantai.


Lalu—


"Kau berjanji bilang padaku kalau aku menang, kan? Bisakah kau memberitahuku kenapa kau melayani Kerajaan Suci padahal kau sudah merupakan salah satu dari Number Kekaisaran?"


"....Kurasa aku memang sudah berjanji. *sigh* mau gimana lagi."


Lurie bergumam sendiri.


"Aku lahir dengan kekuatan untuk menyembuhkan. Aku berpikir bahwa menggunakan kekuatan ini untuk menyelamatkan orang adalah misi yang dipercayakan padaku, jadi aku menyembuhkan banyak orang cidera di medan perang."


Akan tetapi—Dia tersenyum lemah.


"Kepercayaanku salah. Untuk setiap nyawa yang kuselamatkan, dua kali lipat dari itu akan hilang saat orang-orang yang kuselamatkan kembali ke medan perang. Ke-absurd-an semacam itu berulang lagi dan lagi."


Lurie bercerita dengan suara tenang, yang mana membuat keputusasaannya semakin nampak.


"Oleh karena itu, karena itulah aku ingin berubah. Untuk mengubah dunia yang tak masuk akal ini dan—"


"Lalu kau ikut Blade Dance untuk—"


"Ya, berharap untuk mengubah dunia, aku menempatkan semua harapanku pada keinginan yang diberikan oleh para Elemental Lord—"


Lurie menatap keatas, pikirannya mengambang seolah mengenang lima belas tahun yang lalu.


"Uh, keinginanmu...."


Di pertengahan kalimat, Kamito berhenti.


....Itu sudah sangat jelas kalau dia berpikir tentang keadaan saat ini di benua.


"Ya, itu mustahil. Bahkan keajaiban dari para Elemental Lord tak bisa mengabulkan harapanku—"


"......"


"....Tapi pada saat itu, dalam kekecewaanku, aku mendengar suara tuanku di pikiranku."


"Tuanmu?"


Kamito mengulangi kata-katanya. Lurie melanjutkan.


"Tiga tahun yang lalu, saat kau menang, bukankah ada sebuah singgasana yang kosong?"


Kamito terkesiap.


Lord of Light—Holy Lord Alexandros.


Apakah Lurie yang membebaskan Holy Lord?


"Apa tujuan Holy Lord? Apa niatnya dalam secara rahasia mengendalikan Kerajaan Suci dari balik layar?"


Suara Kamito menjadi kasar saat dia menanyai Lurie.


Lurie tertawa pelan, mungkin karena dia menikmati melihat Kamito kehilangan ketenangannya.


"Tuanku berniat membangun kembali dunia dari nol, untuk mengembalikan segalanya pada keadaan yang tepat. Untuk mengubah dunia ini, yang mana telah melenceng ke jalan yang salah karena kesalahan Elemental Lord Kegelapan—"


"...! Apa maksudmu—"


"Pada akhirnya kau akan mengerti, Ren Ashbell. Di kuil Elemental Lord, kau melihatnya juga, kan?"


Kamito dalam diam menelan ludah.


Di kuil Elemental Lord, dilahap oleh Kegelapan Dunia Lain—


Kamito melihat pemandangan itu.


—Suatu pasukan yang terdiri dari para malaikat dalam jumlah yang tak terhitung berdiri ditengah kegelapan yang tak berujung.


"Cepat atau lambat, itu akan ada disini."


Lurie Lizaldia berbicara dengan suara sadistik.


"....Apa kau bilang!?"


Kamito tak bisa berkata apa-apa.


....Apa maksudnya dia?


"Yang bisa kita lakukan cuma bersiap ketika waktunya tiba. Untuk tujuan ini, Peti Mati yang tersembunyi didalam Makam ini sangatlah penting—"


Lurie menggeleng pelan lalu bangkit berdiri.


"...! Lurie, kau...?"


Kamito mengernyit.


Dia yang sekarang ini, dia seharusnya gak bisa melakukan apapun, tapi—


‘Kamito, aku punya firasat buruk tentang ini—’


Suara Restia memperingatkan didalam pikirannya.


Lalu, Kamito menyadari.


Ada cahaya mengerikan dari jantung Lurie saat dia berdiri seperti hantu!


(Itu.....!)


Bersinar di dadanya adalah sebuah kristal roh seukuran kepalan tangan.


Dan juga itu adalah Bloodstone berwarna merah darah—


"...Sebuah Bloodstone!"


Kamito mengerang secara spontan.


Ini adalah sebuah kristal roh dengan kemurnian tertinggi yang hanya bisa diambil dari Astral Zero.


Sebelumnya, Kamito melihat Jio Inzagi menggunakan kristal itu untuk memerintah para roh.


Dibandingkan dengan kristal roh normal, Bloodstone mampu menyegel roh-roh yang jauh lebih kuat.


"Apa kau pernah mendengar senjata bernama ledakan roh?"


Mengatakan itu, Lurie Lizaldia tersenyum jahat.


"...!?"


Ledakan roh adalah sebuah senjata dari era Perang Ranbal yang ditunjuk disegel dengan perjanjian internasional.


Itu mampu menyegel ratusan roh secara bersamaan, mengkompres mereka lalu merangsang mereka untuk bereaksi satu sama lain untuk menghasilkan suatu ledakan besar.


Daya ledaknya cukup untuk menghancurkan sebuah kota kecil dengan mudah.


Itu adalah sebuah hasil dari kegilaan yang diciptakan selama masa peperangan.


"Piramida ini digunakan untuk melindungi segel Peti Mati itu. Oleh karena itu, yang perlu kulakukan adalah menghancurkan piramida itu sendiri."


"...! Kau merencanakan ini sejak awal—"


".....Ini hanyalah upaya terakhir."


Lurie tersenyum.


"....Aku merasa sangat terhormat karena melakukan tarian pedang dengan Penari Pedang Terkuat. Ini adalah perasaan sejatiku."


Mengatakan itu, dia menusuk jantungnya sendiri dengan pedang suci miliknya.


Lalu, cahaya merah meledak.


Sebelumnya Halaman Utama Selanjutnya

Epilog[edit]

Bagian 1[edit]

Sebuah ledakan yang sangat besar mengguncang Makam Raja Iblis.


Seseorang bisa membayangkan kekuatan penghancurnya dari suara yang bahkan bisa terdengar dari tempat pemakaman ini yang dilindungi oleh penghalang yang paling aman.


Didalam sebuah kristal berwarna-warni, roh Iris mendesah putus asa.


".....! Aku tak pernah menyangka mereka akan menghancurkan seluruh Makam—"


Crack—Sebuah retakan besar muncul di permukaan kristal roh itu.


Dengan runtuhnya piramida itu—perangkat sihir untuk mempertahankan penghalangnya—ini juga menyiratkan kehancuran yang akan segera terjadi pada pengelolanya, Iris sendiri.


Dengan kata lain, segel dari Peti Mati Raja Iblis, yang dia jaga selama bertahun-tahun, akan segera diangkat.


Apa yang Raja Iblis Solomon segel menggunakan kekuatan terakhirnya, yang mana tidak boleh dibebaskan—


Memang, apa yang dia jaga bukanlah sisa-sisa dari Raja Iblis.


Jasad tubuhnya sudah kembali ke ketiadaan. Saat ini, hanya sisa-sisa dari jiwanya yang ada di kota ini.


Peti Mati Raja Iblis. Yang bersemayam didalam objek yang memakai namanya adalah—


Creak, crack—Retakan dalam jumlah yang tak terhitung memenuhi permukaan kristal.


Lalu, cahaya terang berwarna-warni memancar keluar ke segala arah dari retakan-retakan itu—


Dengan demikian kristal itu hancur berkeping-keping.

Bagian 2[edit]

"Master."


"Ada apa, Est?"


Pada hari itu, menghadap roh pedang yang secara aktif memulai percakapan dengan dirinya yang mana itu sangat jarang, gadis muda itu memiringkan kepalanya kebingungan.


"Master, apa kau tidak punya orangtua? Seperti manusia-manusia lain—"


"...Ya."


Gadis itu menunjukkan kesedihan di wajahnya dan mengangguk.


"Aku diangkat sebagai anak oleh kepala desa ini dan dibesarkan. Aku tidak tau seperti apa orangtuaku."


Ini tidaklah jarang. Disisi lain, diambil oleh seseorang yang baik hati dan dibesarkan dengan kasih sayang, itu dianggap seperti keajaiban—


Kenapa orangtuanya meninggalkan dia? Gadis itu tidak tau. Dia pernah bertanya pada kepala desa dan para penduduk desa, tapi tak seorangpun yang mau memberitahu dia.


Tak ada gunanya mengetahuinya. kata kepala desa.


Itu adalah permana kalinya kepala desa yang lembut berbicara dengan suara kasar pada gadis itu.


Setelah itu, dia dilarang membicarakan tentang orangtuanya lagi di desa.


"Akan tetapi, aku tidak merasa kesepian—"


Berkata begitu, gadis itu tersenyum pada roh pedang rekannya.


Kepala desa dan para penduduk desa memperlakukan dia dengan baik.


Terlebih lagi—


"Sekarang, aku punya kamu, Est—"


Gadis itu meletakkan tangannya diatas kepala roh pedang itu, dengan lembut membelai rambut putih-perak yang berkilauan itu.


Tanpa ekspresi sampai sekarang, rou pedang itu menunjukkan getatan dalam matanya.


"—Aku juga, Master."


"...Hmm?"


Tanya gadis itu.


"Aku juga. Aku tidak tau darimana aku berasal atau dimana aku lahir."


"Jadi begitu—"


Dia telah mendengar kisah-kisah tentang para roh datang dari suatu tempat diluar dunia ini. Legenda-legenda mengatakan doa dan harapan manusia dikristalkan menjadi elemen, dilahirkan di dunia lain—


....Apakah Est berbeda dari para roh lain?


"Kalau begitu, kamu sama dengan aku, Est."


"—Ya, Master."


—Ini adalah sebuah mimpi tentang Sacred Maiden dan Pedang Suci di masa lalu.


Halaman Utama