The World God Only Knows Bahasa Indonesia:Volume 2 Chapter 3

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 3: Rainy Blue Story[edit]

Penaklukan kali ini benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya. Saat hujan, Keima tiba-tiba berkata,

"Aku suka kamu."

Dan yang dia dapatkan sebagai balasan adalah sebuah tamparan.

Plak! Tamparannya bergema dengan keras.


"..Jangan melecehkanku."

Mereka sedang berdiri di depan pagar besi.

Di bawah mereka, mengalir sungai abu-abu gelap yang mencerminkan langit hitam diatasnya.

Hanya terdengar suara hujan dan air mengalir.

"_"

'The God of Conquest', Dewa Penakluk, Keima memegang bekas tamparan di wajahnya dan terus menatap gadis itu. Wajahnya tak menunjukan keterkejutan atau amarah.

Dia hanya terus menatap gadis itu.

Dan kemudian,

"Terimalah ini."

Dan mencoba kembali untuk mendekatinya.

Dengan kata lain,

"Mawar benar-benar cocok untukmu."

Keima berlutut di tanah yang berlumpur dan memberikan buket bunga mawarnya. Sebagai catatan, dia mengenakan jas koktail putih.

Dia tak peduli pakaiannya kotor.

"Terimalah ini."

Dia mengatakannya dengan segenap hatinya.

"_"

Sang gadis tetap membisu sambil terus menatap buket bunganya.

Matanya benar-benar tanpa emosi.

Matanya sama sekali tak tergerak.

Ia tak terlihat bahwa ia tergerak oleh Keima sama sekali. Ia memiliki rambut pendek biru muda, wajah yang cantik, dan kulit putih yang bersih. Ia benar-benar gadis yang sangat cantik. Namun, ekpresinya kekurangan emosi, yang seharusnya dimiliki oleh manusia, karenanya, orang akan mengira ia adalah boneka yang bisa bergerak dan berbicara.

Ia menggerakkan tangannya yang kecil dan putih,

"Aku tidak mau."

Dan kemudian, ia mengambil buket bunga itu dan meremasnya.

"...Berapa kali harus kujelaskan? aku tidak membutuhkan orang lain."

Ia betul-betul melempar bunga itu jauh ke sisi pagar yang lain.

Jatuh ke dalam sungai.

"!"

Perbuatannya membuat Elsie, yang mengamati dari kejauhan, tak dapat berkata-kata. Namun, Keima tidak cemberut sama sekali.

Dia benar-benar tenang.

Pandangannya mengikuti buket mawar merah yang mengalir bersama air sungai.

"...Fu."

Dia menatap dengan berani dan nampak sangat termotivasi.

"Aku akan mencoba meluluhkan hatimu, tak peduli berapa kali aku harus mencoba."

Dia melambaikan tangannya. Meski tak sebanyak bunga yang barusan, muncul setangkai mawar di jarinya.

Dia mempelajari trik sulap ini hanya untuk ditunjukan kepada gadis ini.

Tekniknya begitu mengagumkan siapapun akan terpukau bila melihatnya.

Gadis itu mengedipkan matanya yang tak menunjukan emosi apapun,

"Apa kamu idiot?"

Keima tergelak.

"Aku bukan idiot."

"Aku rasa kamu memang idiot, jika tidak kamu tak akan meremehkanku. Tiga hari yang lalu, kamu menangis dan mencoba mendapatkan simpatiku. Dua hari yang lalu, kamu mencoba terlihat mengintimidasi. Kemarin, kamu menjadi olahragawan. Jadi apa hari ini? gentleman profesional? Pesulap?"

"..."

Keima tersenyum dengan misterius.

"..."

Gadis itu menatap Keima dalam diam, kemudian menghela napasnya.

"Pergi. Jangan sampai aku melihatmu lagi."

Ia mendorong pundak Keima ke samping dan beranjak pergi. Keima tidak melawan dan membiarkan dirinya didorong olehnya.

Gadis itu sedikit munundukan kepalanya dan pergi melewati Keima.

Tercium aroma ringan sang gadis. Kepalanya tepat berada di samping pundak Keima, dan jika diperhatikan secara seksama, ia agak mungil.

Keima menunggu gadis itu berjalan sesaat, kemudian memecahkan keheningan dengan menggaruk kepala dan bertanya,

"... Sekarang hujan. kenapa kamu tak membawa payungmu?"

"..."

Gadis itu berhenti, dan kemudian berbalik.

"...Kamu sudah bertanya sebelumnya. Aku hanya akan menjawab sekali."

"Un."

"Karena aku,"

Ia terlihat benar-benar tanpa ekpresi,

"Aku bukan apa-apa. Aku tak punya apapun yang kuanggap berharga."

Keima menatap wajahnya, kemudian memberikan senyum kering.

"Aku mengerti."

"...Aku pergi kalau begitu."

Begitulah, gadis itu kembali pergi menyonsong hujan.

Ia tidak membawa payung.

Dan ia membiarkan dirinya basah oleh hujan.

"..."

Keima terus menatap sosok kurus itu pergi hingga tak terlihat di ujung yang lain sebelumnya akhirnya menghela napas.

"Eh."

"Kami nii-sama_"

Saat ini, Elsie terbang turun dari langit.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Ia mengkhawatirkan Keima, yang mendapat tamparan di wajah oleh gadis itu. Kemudian, ia tampak sedikit marah.

"Gadis itu sungguh keterlaluan! Ia kasar dan bahkan membuang bunga yang sudah kusiapkan. Uu~!"

"-"

Keima memasukan tangannya ke dalam saku celana dan terus melihat ke arah gadis itu.

"Kami nii-sama."

Elsie bertanya dengan hati-hati.

"Kamu sudah mengeceknya?"

"Ya."

Keima menganggukan kepala seraya memberikan ekspresi misterius,

"Investigasi selesai."

“…”

Dia mengalihkan pandangannya kepada Elsie dan terlihat serius sebelum berkata,

"Fuse Aoba...ia."


"Adalah seorang jenius."

Kata-kata inilah yang mengawali cerita kelahiran gamer galge.

Alasan kenapa meraka berdua berinteraksi adalah karena hal yang benar-benar sepele. Nama gadis itu adalah Fuse Aoba, Keima dan Elsie bertemu dengannya di jalan (ketika mereka akan membeli game).

Gadis yang tak terlihat emosional berjalan melewati mereka. Keima melirik sekilas, dan pada saat yang sama, Elsie,

“Ah, kami nii-sama, ada respon!”

DURUDURDURUDURU! Ia menekan jepit rambut berbentuk tengkoraknya dan berkata.

“…Begitu.”

Saat itu, Keima menghela napas.

Dia hanya berpikir bahwa penaklukan lainnya akan dimulai, hanya itu.

Tak lama kemudian, Keima menyelidikinya secara menyeluruh.

Gadis itu dipanggil Fuse Aoba.

Ia tinggal di rumah satu kali perberhentian kereta dari keluarga Katsuragi, dan seperti Keima, sekolah di SMA Maijima kelas dua.

Keluarganya yang lain hanya orangtuanya.

Ia jarang pergi keluar. Keliatannya ia jarang pergi keluar tapi orang tuanya jarang pulang ke rumah.

Keima dengan cepat menyelidiki semua ini dengan cara yang bahkan dapat membuat seorang detektif bangga, dan kemudian mulai menyelidiki target penaklukannya. Pada dasarnya, yang dia gunakan adalah lewat kebetulan dan interaksi, dan kemudian menemukan aktivitas dan kebiasaannya untuk menentukan perbedaan antara keduanya sedikit demi sedikit.

Pertemuan, interaksi, meningkatkan kesempatan untuk berbicara.

Akan tetapi, dalam proses ini,

“…”

Keima seringkali berpikir dengan wajah mengkerut dan melipat tangannya. Dikarenakan sangat jarang melihat Keima seperti ini, Elsie,

“Ada apa, kami nii-sama?”

Bertanya dengan ragu.

“Dia orang yang seperti ini."

Keima bergumam pada dirinya sendiri. Dan kemudian, yang membuat Elsie terkejut, Keima benar-benar menjalankan apa yang bisa disebut strategi 'nyatakan cinta' yang gegabah. Keima terus berganti perannya setiap hari seperti yang dia katakan pada Aoba saat hari hujan di jembatan itu.

Dan kemudian,

“…Jangan ganggu aku!”

Tiap kali, dia akan ditampar oleh Aoba. Elsie tampak sangat shock, tapi Keima,

“Tampaknya aku benar..."

Dia bergumam,

“Ia benar-benar seorang 'jenius'."

Baik Keima maupun gadis itu, Elsie sama sekali tidak dapat memahami mereka.

“Erm, kenapa Aoba-san adalah seorang jenius..."

Saat ini, Keima,

<Titik awal menaklukan seorang Gadis>

Langsung memulai sebuah pelajaran...

<Bagian yang kurang adalah bagian yang bisa diperbaiki, yang berarti kemungkinan yang tak terbatas!>

Keima memakai jas berwarna putih, berdiri di depan dan menulis dengan semangat '45. Elsie duduk di tempat duduk yang berada di depan papan tulis dan terlihat kebingungan saat ia,

“Pe, Permisi."

Mengangkat tangannya, tapi Keima mengacuhkannya.

“Mari kita mulai pelajarannya."

Dia menepuk tangannya, dan benar-benar terlihat seperti seorang pengajar.

“Untuk mengklasifikasikan tipe gadis-gadis, ada banyak poin sebagai titik awal, seperti kepribadian. Ambil satu kepribadian sebagai contoh, yang disebut tsundere ialah gadis yang memiliki lidah yang kejam tetapi pemalu dan akan bersemu ketika ia sendiri... itu adalah pengetahuan dasar. Juga, ada tipe ketua kelas yang rapih dan taat, tipe kakak cewe, dan kita bisa mengklasifikasi mereka sebanyak yang kita inginkan. Akan tetapi, aku akan fokus kepada 'bagian yang kurang'."

“…Bagian yang kurang, kan?"

Elsie telah menyerah mempertanyakan Keima dan memilih menjadi murid yang penurut.

Keima mendorong kacamatanya.

“Betul. Sekarang, biarkan aku memberi satu contoh. Apakah kamu masih ingat tentang penaklukan anggota klub lari Takahara Ayumi?"

“Y,Ya."

Bahkan jika Elsie ingin melupakannya, ia tidak bisa. Itu adalah kala pertama ia bekerja dengan Keima.

“Saat itu, Ayumi merasa bahwa ia dipilih secara resmi sebagai wakil dikarenakan ia beruntung, jadi ia kehilangan 'kepercayaan diri' dalam dirinya ketika ia tak dapat berlari dengan baik. Kamu mengerti, kan?"

“U~uu.”

Elsie mencoba mengingat kembali.

Itu adalah kala pertama ia bertemu dengan Keima, dan sekarang, hal pertama yang muncul adalah wajah terkejutnya Keima dan rasa khawatirnya apakah Keima akan baik-baik saja. Akan tetapi, kejadiannya sama seperti yang Keima katakan.

“Un, Aku mengerti."

Keima menganggukan tangannya.

“Jadi aku menggunakan 'kepercayaan diri' untuk mengisi kekosongan itu. Ada sesuatu yang perlu kamu perhatikan disini."

Keima mulai mencoret kembali papan tulis dengan semangat.

<Seorang pelatih bukanlah seorang pacar, tapi bukan ide yang buruk untuk menggabungkan keduanya!>

Setelah menulis ini, dia kembali menjelaskan.

“Aku hanya punya satu tujuan, dan itu adalah untuk membuat ia jatuh dalam 'sungai cinta'. Karenanya, aku tidak boleh hanya membiarkan ia memiliki 'kepercayaan diri', tapi aku perlu membiarkan 'diriku' membuatnya merasa 'percaya diri'. Akan lebih mudah untuk menjelaskannya seperti ini. Ketika 'Aku' menggantikan 'kepercayaan diri' Takahara Ayumi, dan ketika keduanya adalah sama, maka penaklukan selesai."

“?”

Elsie menopang dagunya menggunakan jarinya dan melihat langit-langit dengan bingung.

Tampaknya ia masih belum mengerti.

Keima menghela nafasnya.

“Kasus kedua. Apakah kamu masih ingat dengan klub judo Kasuga Kusunoki?"

“Tentu aku ingat!"

Elsie segera menganggukan kepalanya.

“Ahli beladiri itu?"

“Betul."

Keima mengangguk dan kembali menghadap Elsie.

"Kekurangannya adalah sudut pandang 'aku' yang jelas. 'Aku sebagai seorang ahli beladiri' dan 'aku sebagai seorang wanita' membuat ia bingung, dan seperti yang kukatakan, ada tanda-tanda keretakan disana. Karena itu, aku memberikan petunjuk padanya untuk memecahkan masalah ini. akhirnya, ia memilih untuk menjadi 'ahli beladiri', meninggalkan 'sisi feminim'-nya untuk diurus di kemudian hari, dan membentuk 'dirinya'."

“…”

“Sederhananya, ia memutuskan untuk berlatih lebih keras, dan setelah menjadi lebih kuat, barulah ia akan mengejar sisi feminim-nya. Dan orang yang memberi ide ini dalam dirinya adalah aku."

“Ya, itu benar."

Elsie terus mengangguk.

“Seperti itulah."

Keima menulis lagi dengan cepat,

<Ingat, kepekaan seorang gadis adalah pintu menuju kisah romantis.>

Dan kemudian memukul papan tulisnya.

Dalam benak Elsie seketika muncul gerbang besar yang bergemuruh terbuka dan cahaya bersinar dari dalamnya.

“Saat 'Aku' mengisi bagian yang kurang dari targetku, 'kisah romantis' akan tercipta."

“…Dengan kata lain."

Renung Elsie.

“Kamu harus bisa mengatasi masalah target?"

“Betul."

Keima memberikan senyum yang jarang ia berikan dan menganggukan kepalanya.

“Bagus. Benar sekali, Elsie.”

Karena jarang bagi Elsie dipuji, ia pertama terlihat bingung, dan kemudian,

“Hehehe.”

Ia merebahkan kepalanya di atas meja dan tersenyum dan wajahnya menjadi sedikit memerah. Saat ini, Keima terlihat sangat bingung.

“?”

Elsie merasa agak aneh, dan Keima menghela napas ketika ia mengatakan,

“Tapi sekali aku menyebutkan Fuse Aoba, keadaan akan menjadi rumit."

“Memangnya kenapa?"

Elsie bertanya mengenai apa yang Keima pikirkan,

“Apa kekurangan Aoba-san?"

“Gadis itu."

Keima nampak sangat berat hati.

“Ia memiliki terlalu banyak kekurangan."

“Eh?”

Elsie mau tak mau berseru.

“dengan kata lain,"

Keima kemudian menatap Elsie dan berkata,

“Dalam hal target penaklukan, ia bisa jadi yang paling sulit untuk ditaklukan, karena ia tak memiliki hasrat untuk apapun."

Elsie tak dapat berkata-kata untuk sejenak...

“Kamu bilang ia kurang segalanya, dan,"

Sementara Elsie masih bergumam, Keima menghela napas lagi dan berkata,

“Biasanya, manusia memiliki hal yang disukai dan tak disukai, dan memiliki kelebihan dan kekurangan yang berperan dalam mengembangkan karakter mereka. Dengan kata lain, Karena interaksi semua orang berbeda-beda di kehidupan nyata, akan ada titik awal untuk penaklukannya. Dan ini adalah minat yang dimiliki seseorang di dunia nyata."

“…”

“Sebagai contoh, Takahara Ayumi memiliki 'minat' pada olahraga lari, dan ia sudah memiliki kemampuan yang bagus di bidang itu, tapi 'kehilangan' kepercayaan dirinya, yang mengakibatkan timbulnya celah di hatinya, mengerti?"

“Ah, aku mengerti."

“Selanjutnya, Kasuga Kusunoki, 'aku sebagai ahli beladiri' dan 'aku sebagai seorang wanita' keduanya saling bertentangan, makanya timbul celah di hatinya. Kamu mengerti?"

“Mengerti."

“Kemudian,"

Keima sedikit tersenyum, dan kemudian berkata,

“Coba bayangkan Ayumi yang tak memiliki minat pada olahraga lari dan tak peduli jika ia tak dapat berlari, atau Kasuga Kusunoki yang tak berpikir bahwa menjadi menjadi seorang ahli beladiri atau menjadi seorang wanita itu penting dan merasa tak perlu menjaga harga diri dan martabatnya."

“Ah!”

Elsie mau tak mau berseru,

“Jadi..."

Ia kemudian mengangkat tangan guna menutupi mulutnya.

“Itulah masalahnya."

Tegas Keima.

“Biasanya, titik-titik awal penaklukan meliputi kelebihan dan kekurangan target, kebiasaan, minat, emosi, kepribadian. Jika orang itu tak memiliki apapun."

Dia berhenti,

“Secara teori mustahil untuk menaklukannya..."

“Uu.”

Elsie hampir tak dapat berkata apa-apa.

“I... itu berarti."

“Orang seperti ini sangat jarang. Karena kemampuan mereka sangatlah unik sehingga mereka kehilangan minat pada apapun di dunia nyata, bahkan pada dirinya sendiri. Di dalam hati orang biasa, dia pasti mengharapkan sesuatu dan memimpikan masa depan mereka,"

Lanjut Keima,

“Akan tetapi, Hati Aoba tak berpikir 'alangkah bagusnya jika aku bisa melakukan ini'. Alasan mengapa aku dengan sengaja mencoba segala macam cara untuk mendekatinya semata-mata untuk mengetes respon dan kemampuanya...pada dasarnya, ia sepertinya tak mempunyai hal yang ia minati, banggakan atau ingin ia lindungi. Ini bisa terjadi karena ia sudah begitu sempurna semenjak awal dan dapat melihat segalanya denga jelas. Karena ia adalah seorang jenius tak ada lagi yang ingin ia dapatkan."

“…”

Elsie melambai-lambaikan tangannya dengan panik.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan?"

“…”

Keima merenung sejenak.

“Tidak, masih ada cara. Jika ia tak punya minat...akan kuciptakan minat untuknya."

“Eh?”

Elsie terlihat benar-benar bingung dan tak mengerti apa yang Keima maksudkan. Keima mengulangi ucapannya.

“Aku ingin ia mempunyai 'hasrat', memiliki sesuatu yang berharga untuk dirinya. Dengar, Elsie, setidaknya ia bisa menolakku. Jika ia benar-benar tak memiliki minat terhadap dunia ini, ia mungkin bahkan tak akan menganggapku sama sekali. Dalam hal itu, ia mungkin memiliki pikiran yang bertentangan, namun fakta bahwa ia memiliki arwah pelarian dalam dirinya bisa jadi sebuah bentuk pertanda baginya. Dengan kata lain, jika tetap dibiarkan, ia tak akan pernah puas."

Dia menambahkan,

“Ada sebuah kemungkinan."

Sebuah sinar berkelap-kelip di mata Keima.


Setelah itu, Keima benar-benar mencoba mendekati Fuse Aoba, menemuinya di sekolah, di rumah, ketika mereka keluar, dan mencoba berinteraksi dengannya. Keima,

“Ada banyak cara berinteraksi dengan seorang gadis,"

Mengatakan,

“Dan tak masalah meski ia sengaja menghindariku."

Dan mengatakan dengan bangga,

“Maksud dari sebuah pintu adalah untuk dibuka. Tak ada pintu yang tak bisa dibuka di dunia ini."

Dengan keyakinan ini, Keima mencoba berbagai macam cara untuk mengajaknya keluar, memicu segala macam pertemuan, dan semua nampak ajaib.

“Cukup! Aku tak mau melihatmu!"

Atau,

“Berapa kali harus kukatakan aku tak punya minat pada hal-hal ini sama sekali?"

Atau,

“…Kamu lagi?"

Walaupun ia sering marah atau menghela napas atau bahkan mengeluh pelan, tak peduli apakah ia berpura-pura tak ada di rumah, sedang menelepon atau melarikan diri, Keima bakal tetap menemukannya. Karenanya, secara tidak sadar, ia jadi sering pergi dengan Keima. Jika seseorang yang sedang meneliti tentang psikologi melihat ini, mereka akan terkesima dan bertanya pada Keima bagaimana dia melakukannya.

Ini menunjukan betapa beragamnya taktik yang Keima gunakan.

Tapi dua minggu kemudian,

“Haa.”

Keima menghela napas.

“…Sudah ada kemajuan?"

Dia terlihat begitu murung dengan hasilnya sehingga Elsie mau tak mau bertanya.

Keima mencoba membuat Aoba merasakan segala macam hiburan, olahraga, memancing, hiking, mencoba berbagai makanan, perpustakaan, berbelanja, nonton, dan bahkan pergi ke kasino. Tapi untuk kesemuanya,

“Membosankan.”

Dan,

“Terlalu simple.”

Aoba hanya berkesimpulan seperti itu.

Seperti yang Keima perhatikan sejak awal, Aoba benar-benar seorang genius.

Pertama, olahraga. Tak perduli jenis olahraga apapun, ia menunjukan kemampuannya yang hebat. Juga, bahkan jika itu olahraga yang pertama kali ia ikuti, ia langsung bisa mengikuti.

Sekali pelatih menunjukan bagaimana bermain bilyar, Aoba langsung bisa memasukan semua bola. Ketika mereka pergi memancing, ia berhasil menangkap banyak sekali ikan yang dapat memenuhi isi freezer dan bahkan membuat nelayan yang berada didekatnya penasaran untuk datang melihat.

Pernah sekali Keima bertanya, tampaknya ia langsung bisa mengerti isi pelajarannya begitu ia mendengarnya, jadi ia tak perlu membuka buku. Ia sering membaca buku, namun tetap bisa mengingat semuanya begitu ia selesai membolak balik halamannya. Ketika menonton film, meski jalan ceritanya sangat tak terduga, ia bisa mengetahui bagaimana akhir ceritanya dan mulai menguap. Bahkan ketika mencoba makanan enak, ia tidak merasa kagum seakan berkata 'mudah bagiku untuk membuat ini'.

Ia sudah tak tertarik dengan apapun.

Tapi ia juga begitu berbakat tak ada satupun yang tak bisa ia kerjakan.

Karenanya, Aoba merasa tak ada yang berharga.

“Ia pada dasarnya seorang jenius yang buruk.”

Keima cemberut sembari mengelus keningnya dan menghela napas.

“…”

Elsie tampak mengkhawatirkan Keima dan berpikir,

(Aoba-san, ia,)

Cara ia melihat Keima mencoba mendekati Aoba, ia mulai berpikir,

(Jangan-jangan…)

Tiba-tiba muncul sebuah ide dalam hatinya.


Pada suatu ketika,

“Baiklah, ayo kita main ini sekarang."

Lokasinya adalah kamar Aoba, dan Keima mengeluarkan segala macam jenis game table-top[1] saat mengatakannya.

Sebagai catatan, yang menakjubkan seiring berjalannya waktu, Keima bisa masuk ke kamar Aoba. Ia mengenakan rok mini putih dan kaos biru dan ia duduk di kursi dengan acuh dan memamerkan kaki putihnya.

Dua anak SMA berduaan dalam kamar mengenakan pakaian rumah.

Dalam beberapa hal, sepertinya ia benar-benar cuek terhadap Keima.

Namun, Keima dan Aoba tahu bahwa itu tidak benar. Alasan mengapa Aoba membiarkan Keima masuk ke dalam kamarnya dikarenakan pertimbangan yang sangat sederhana yaitu 'karena kamu akan selalu mencari diriku sepanjang waktu, sekalian saja kamu menjagaku jadi aku tak perlu pergi keluar'.

Di sisi lain, Keima sendiri tidak salah paham.

Dia sudah tahu maksud Aoba dan sejak awal dia memang tak punya niat buruk. Biasanya, jika seorang gadis seumurannya membiarkan laki-laki masuk ke dalam kamarnya, tidaklah berlebihan bila menganggap hal ini sebagai kesempatan. Akan tetapi, pejuang ini yang telah melewati banyak pertempuran takkan mempunyai pikiran senaif itu.

Dia hanya menggunakan situasi ini untuk menganalisa hasil yang akan datang.

“Ini, bagaimana dengan game ini?"

Dia mengeluarkan game perang table-top <Risk>.

“Kemudian ini! Ini! Dan ini!"

Dan Catur, Shogi, dan Game Promosi Peringkat (China) dan game lainnya.

Aoba menyipitkan matanya dan menghela napas.

“Apa kamu bodoh?”

“Jangan memarahiku. Aku tak ingin melakukan semua ini."

“…Kenapa kamu harus melakukan semua ini?"

Keima tak menjawab.

Dia sangat ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia tak mengatakan apapun.

“Entahlah?"

“…toh pada akhirnya aku tak akan menang."

“…”

Keima terdiam sejenak sebelum tersenyum.

“Ada kemungkinan kecil, tapi itu tidak sama dengan nol."

“…”

Aoba mendongak ke arah Keima tanpa emosi. Keima mengakui bahwa ada kemungkinan dia kalah bermain game. Bahkan bagi Aoba, yang tak terlalu akrab dengan Keima, rasanya sangat aneh. Jika Elsie ada di sebelah mereka, ia pasti akan membelalakan matanya karena kaget.

Dengan kata lain,

“Aku akui kalau kamu cukup lumayan."

“…”

Aoba membuka lututnya dan maju mendekati Keima, tak memperdulikan bahwa celananya terlihat. Keima terbatuk datar.

“…Kita mulai."

Pada saat ini, mata Aoba menangkap sesuatu. PFP yang berada diantara tumpukan game diatas meja mulai menyala.

PFP itu sudah ada dalam mode standby, dan tenaga utamanya menjadi aktif bila digerakan.

“…”

Aoba melirik Keima, dan kemudian,

“Aku lebih memilih memainkan ini dibanding game-game ini."

Ia berusaha mengambil PFPnya. Apa ini hanya sekedar dorongan sesaat?

Atau takdir?

“Eh?”

Keima sedikit panik,

“…Tidak, jangan sentuh itu!"

Dan mencoba untuk merebut PFPnya kembali.

Anak ini yang selalu bermuka datar tak perduli berapa kalipun dia ditolak terlihat sedikit gelisah.

Hal ini tampaknya semakin menggelitik rasa penasaran dalam diri Aoba.

“Heh.”

Ia langsung menekan tombolnya.

“WAH, TU, TUNGGU!"

Keima cemberut.

“Jangan-jangan kamu... tidak, tapi."

Keima ingin merebut PFPnya kembali, dan Aoba hanya terus menatapnya tanpa emosi.

“…”

Dan memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik bantal dibawah kaki Keima dengan cepat. Lalu,

“Ugh!”

Keima jatuh dengan kepalanya terbentur lantai.

Dia pingsan.


Pada saat dia sadarkan diri, matahari mulai terbenam dan meninggalkan jejak oranye melalui jendela. Keima membuka matanya, dan Aoba, yang duduk di bantal manik-manik, menoleh.

“Terlalu mudah."

Dan memberikan PFPnya kepada Keima.

“Eh?”

Keima tak dapat bereaksi.

“Aku sudah."

Dalam waktu singkat itu, Keima mengerti semuanya.

“Ah.”

“Menyelesaikannya."

Gadis ini.

Jangan-jangan.

“Apa ada yang lebih sulit?"

Wajah Aoba menunjukan ekspresi yang tak pernah Keima lihat sebelumnya. Ekspresi bangga, dan yang lebih penting, penuh dengan rasa pencapaian.

Biasanya, apapun yang terjadi.

Apapun yang ia lakukan, tak pernah ada rasa puas terlintas di wajahnya. Ia, yang tak bisa tertarik dengan dunia nyata, memberi respon terhadap 'dunia sempurna' dalam galge, dan sedikit banyak, memang bisa diperkirakan.

Kemudian, Keima melihat sinar cahaya, dan juga firasat bahwa akan terjadinya akhir yang tragis...

Roda takdir.

Mulai berjalan.


Hari itu, Keima memindahkan sebagian besar software game dan sebuah komputer ke dalam kamar Aoba kemudian tertawa,

“Kamu bisa memainkan game manapun yang kamu mau."

Usulan ini sudah merupakan sebuah pengecualian bagi Keima.

“Aku jamin kamu bisa menemukan semuanya disini, dan semua dari segalanya ada dalam game-game ini!"

Ia melambaikan tangannya dengan cepat.

Dan untuk Aoba,

“…Kenapa aku harus mendengarkanmu?"

Ia bergumam.

“Jangan berpura-pura bodoh."

Mata tajam Keima menyipit.

“…”

Aoba sendiri tetap diam.

Tak dapat diketahui apakah ia kesal atau ia merasakan sesuatu.

Ekpresi Keima tampak seperti pelatih yang menemukan murid berbakat saat dia terus memberikan motivasi.

“Kamu adalah seorang 'jenius', jadi seharusnya kamu sudah mengetahuinya, kan? Kamu akhirnya menemukan jenis hiburan ini yang bisa membuat darahmu bergejolak, bukan? Ini tak mengikuti logika dan rutinitas sehari-hari. Ini hanyalah sebuah game. Kamu mengerti, kan?"

Keima berkata sembari menyalakan komputernya. Tak lama, layarnya menyala, dan judul sebuah galge muncul di layar.

“Mulai hari ini."

Keima perlahan memberi acungan jempol.

“Tak ada yang bisa menghentikanmu."

Aoba menatap Keima tanpa ekpresi untuk sesaat.

Dan Elsie, yang ikut memindahkan game-game itu bersama Keima, terlihat khawatir dan gugup melihat semua ini.

Tak beberapa lama.

“…Betapa bodohnya."

Aoba bergumam.

“Begitu sederhana… Aku hanya memerlukan sepuluh hari untuk menaklukan semua game yang ada disini, kau tahu?"

Keima menyeringai.

“Tunjukan padaku kalau begitu."

Mendengar Keima mengatakan ini.

“Humph, gampang."

Aoba duduk perlahan didepan komputer dan mulai mengetik keyboard dengan menggebu-gebu. Elsie menghela napas.

Aku mengerti, akhirnya aku bisa mengambil kesimpulan.

(Gadis ini, Aoba)

Sama seperti Kami nii-sama.

Inilah kesimpulan yang Elsie buat.


Setelah ini, Keima mulai mendatangi kamar Aoba secara teratur. Hal ini dilakukannya agar dia bisa mengirimkan sebagian dari koleksinya yang sangat banyak itu padanya.

Aoba terus memainkan game dari yang satu ke yang lain.

Jika perlu adanya penggambaran tentang ini, persis seperti seorang pelatih yang sedang mengatur perkembangan latihan dan membiarkan muridnya menyelesaikannya.

Nampaknya game yang dibawa Keima hanya dipilih secara acak, tapi sebenarnya semua dipilih dengan teliti. Metodanya mirip dengan apa yang dilakukan seorang pelatih.

“Gampang. Aku cuma perlu sepuluh hari."

Meski ia sesumbar, beberapa game membuatnya kesulitan. Ini merupakan kali pertama dalam hidupnya dimana ia tak dapat menyelesaikan sebuah rintangan.

“!”

Melihat ia begitu tercengang dan hanya terdiam,

“Fufu, jadi kamu juga kena jebakan ini ya."

Keima, yang sedari tadi berdiri dibelakangnya, memecah keheningan dan terkekeh.

Sebagai catatan, entah kenapa, dia mengenakan pakaian olahraga dan membawa pedang bambu. Selain itu, Elsie, yang datang hari ini untuk membantu Keima memindahkan game, berpakaian layaknya manajer klub dan memakai pakaian olahraga dan membawa minuman olahraga dikepala.


Dan terlihat benar-benar khawatir.

Keima mengetukkan pedang bambunya ke bahunya dan berkata,

“Karena kamu tak punya pengalaman di segi ini, mau bagaimana lagi. Kalau kamu tak bisa menaklukan sebagian besar game yang dikeluarkan oleh perusahaan game ini, kamu tak akan tahu jawabannya."

“Uu.”

Fuse mengerang.

<Game Over>

Kata-kata ini benar-benar membuatnya kesal.

“A, aku tidak terima! Aku tidak terima... bisakah aku ganti ke game yang lain? Betapa bodohnya."

Dan begitulah, Aoba segera mengambil game yang lain.

“…”

Keima menyeringai.

“Baiklah, kalau begitu pilih game ini."

Aoba lanjut menyelesaikan game-game itu dengan kecepatan yang luar biasa, dan ia menggunakan daya lihat, pemahaman dan wawasan yang sungguh tak bisa dipercaya dan menaklukan 2 game setiap harinya.

Ini benar-benar tak dapat dipercaya.

Saat Aoba bermain game menggunakan komputer, Keima akan bermain game dengan PFPnya di belakangnya.

Tiap kali Aoba tertahan.

“Kamu memilih pilihan yang salah disitu. Jika rutenya masih belum jelas, jangan langsung mengambil kesimpulan."

Keima memperingatkan Aoba,

Sambil tetap memainkan game-nya,

Tanpa mengangkat kepalanya sama sekali.

Aoba tercengang saat ia berbalik.

“…Kamu tak bisa pergi keluar dari infinite world, kan?

Dengan itu, Keima menjelaskan permasalahannya.

Sembari terus memainkan game handheld-nya.

“Fufufu, Madoka-chan, sudah waktunya. Sebentar lagi, masa depan akan terhubung dengan masa kini!"

Dia melepaskan tawa yang bisa membuat orang yang mendengarnya bergidik.

“Itu kebiasaan burukmu, selalu melaju sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Kamu juga perlu memperhatikan bagaimana para gadis di dunia game berpikir."

Dan dia dengan tegas memberikan instruksi yang membangun kepada Aoba.

“…”

Aoba tetap diam, dan Keima menghela napas.

“Dengar. Jika kamu merasa tindakan Sayo berdasarkan rasa percayanya pada Ryouko, oke. Tapi, kamu tidak mengerti hubungan mereka di balik layar. Jika kamu ingin membuat keputusan sekarang, kamu harus mempertimbangkan gedung penelitian keluarga Ninomiya dan hubungan politik keluarga Amakusa."

“…”

“Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Kamu melihat dengan sudut pandang yang terlalu sempit. Jangan mengambil keputusan hanya dengan melihat hal-hal sedikit demi sedikit. Kamu harus melihat sesuatunya secara menyeluruh. Dunia galge sangatlah luas dan dalam. Kamu harus ingat itu."

Kemudian, dia,

“Ohh! Aku melihatnya, Madoka! Aku melihat ruang dan waktu bergerak!"

Ada air mata di matanya.

“…”

Aoba tetap diam untuk waktu yang lama,

“…Bagaimana kamu bisa tahu kalau kamu bahkan tidak melihat apa yang aku lakukan?"

Dan bertanya datar.

Keima tertawa.

“Karena semua game yang telah aku mainkan semuanya tersimpan dalam kepalaku."

“Semua?”

Aoba terdengar bingung.

“…Kau monster."

“Itu tak seberapa."

Keima melanjutkan permainannya dan menjawab sekenanya.

“Ini tidak sulit. Kalau kamu sudah jatuh cinta pada game, kamu juga bisa. Karena kamu,"

Saat ini, dia menaklukan gamenya tepat di depan Aoba,

“Mempunyai bakat untuk dapat melakukannya."

Dan kemudian, dia berkata,

“Uu, jalan ceritanya sangat menyentuh..."

Dan kemudian dia mengusap matanya dengan sapu tangan.

“…”

Aoba terus menatap Keima dengan seksama.

Dan ia tiba-tiba terlihat bingung.

“!”

Ia buru-buru membalikan pandangannya kembali ke layar game di komputer.

Itu karena,

Ia merasakan emosi bermunculan dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.


Tak beberapa lama Aoba membeli sebuah komputer dan PFP untuk dirinya sendiri, dan mulai bermain sepanjang waktu di rumah.

“Di dunia ini, semua game mempunyai hard disk-nya masing-masing. Hard disk adalah hidup seorang gamer. Tak ada masa depan untuk mereka yang hanya meminjam dari orang lain, kamu mengerti?"

Alasannya karena usulan Keima tersebut.

Selama ini.

Semenjak saat ia bertemu Keima dan mulai bermain game, sekitar 3 minggu kemudian, Aoba jadi selalu mendengarkan semua perkataan Keima.

Tentu saja,

“Kamu seorang idiot dalam hidup, iya kan?"

Atau,

“Kamu cuma bersemangat saat bermain game, iya kan?"

Aoba bakal sering mengejek Keima seperti ini, tapi ia nampak lebih lembut karena ia mulai tersenyum.

Keima pun,

“Kamu masih punya kebiasaan menggunakan kemungkinan saat membuat keputusan. Cobalah dan pikirkan perkembangan yang lain."

Atau,

“Terlalu cepat untukmu melewati semua! Mulai dari hal yang mendasar, yang utama!"

Terus mengajari Aoba seperti ajaran seorang guru.

Benar sekali.

Dengan kata lain.

Mereka adalah guru dan murid.

Bagaimanapun Aoba mencoba menolaknya.

Sudah bisa diperkirakan bahwa ia akan jatuh hati pada galge.


Hari itu, Aoba dalam perjalanan pulang ke rumah. di tengah hujan, ia memegang tas besar sambil berjalan di jembatan. Dalam tasnya berisi beberapa game baru yang baru saja dirilis.

Keima tidak memintanya untuk membeli game tersebut.

Ia membelinya atas keinginannya sendiri.

Ia berpikir setidaknya ia perlu membeli sendiri game yang baru. Lalu diam-diam ia akan menaklukan gamenya dan mengejutkan Keima. Selain itu, jika ia terus memainkan game yang Keima bawa, ia akan terus mengikuti jejak kaki Keima.

Karena dia sudah menaklukan semua game yang ada di rumahnya.

Karenanya, Aoba setidaknya ingin,

“Ya ampun? Kamu masih memainkan game ini? Aku sudah lama menaklukannya, kamu tahu?"

Keima memujinya juga.

Semua untuk alasan yang kekanak-kanakan ini.

Bahunya bergerak saat ia tertawa. Ia kemudian mendongak dan tampak terkejut atas tindakannya sendiri.

Aneh?

Aku baru saja tersenyum.

“…Apa aku"

Ia menyipitkan matanya.

“Berubah?"

Dikarenakan ia sangat pintar, ia mulai menyadari sesuatu. Setelah bertemu dengan Keima, hidupnya berubah secara drastis.

Contohnya, ia dulu tak akan peduli dengan gerimis yang terus turun, namun sekarang ia nampak khawatir dan terus memperhatikan tas yang ada ditangannya.

Bahkan dengan tas plastik yang membungkus tasnya, ia tetap khawatir dengan game di dalamnya.

Ia khawatir game-nya akan basah.

Ia... yang dulu tak peduli meski basah kuyup,

Sekarang benci bila basah.

Dan tak ingin terkena air hujan.

Tiba-tiba,

“Menurutku."

Telah ada seseorang yang memayunginya di samping Aoba, dan Aoba terkejut.

“Jika kamu ingin membeli game saat cuaca sedang buruk, setindaknya siapkan alat-alat anti hujan."

Ia melihat Keima berdiri tepat di depannya.

“!’

Aoba menatap Keima dalam diam.

“Ini."

Keima menghela napas dan mengajaknya.

“Ayo kita pergi."

Dan berjalan terburu-buru. Aoba memutar matanya dan berjalan di sampingnya, dan saat ia menunduk, ia melihat Keima juga membawa sebuah tas.

(Ah.)

Ia pikir.

Jadi dia juga pergi membeli game yang dirilis hari ini seperti dirinya. Juga,

“…”

Bahunya.

Dan saat Aoba melihat bahu Keima yang satunya basah kuyup oleh hujan.

“!”

Sesuatu dalam dirinya tampak ngeh.

Aoba akhirnya menyadari sesuatu.

Ia selalu berpikir bahwa bahkan jika ia basah kuyup atau bahkan jika tak ada hari esok, semua tak menjadi masalah. Tapi sekarang berbeda.

Hidupnya mempunyai arti.

Ia menyadari hal ini dalam hatinya.

Melihat Aoba seperti ini, Keima menghela napas.


Semuanya berakhir dalam diam yang tak dapat dipahami.

Mereka berdua bediskusi mengenai game di dalam kamar Aoba.

Dalam satu bulan terakhir, Aoba menunjukan kemajuan yang luar biasa.

Tentu saja, ia tak dapat menyamai 'Dewa Penakluk' Keima, namun kemampuan dan wawasannya bukanlah sesuatu yang dapat dimengerti oleh gamer biasa. Meskipun ia masih kekurangan pengalaman, ia menggunakan inderan dan instingnya yang luar biasa sebagai gantinya.

Keima mengangguk diam saat ia mendengarkan Aoba. Aoba membicarakan semua tanpa buru-buru.

Dibandingkan dengan saat pertama kali, perubahan ini sungguh mengejutkan.

Mereka berdua membicarakan hal-hal yang menarik dalam game juga bagian yang tidak mereka suka.

Dan juga bug[2] dan rahasia yang mereka temukan.

“…”

“…”

Setelah beberapa saat, mereka berdua terdiam. Mereka tak dapat meneruskan obrolannya, dan hasil akhirnya tak dapat dibendung lagi. Mereka berdua adalah jenius, dan sadar bahwa waktu untuk perpisahan sudah dekat. Aoba telah mulai jatuh hati pada Keima untuk waktu yang lama.

Keima tiba-tiba menatap Aoba, dan ekpresi Aoba menjadi malu-malu. Setelah beberapa saat, dia berkata,

“Kamu telah melakukannya dengan baik."

Itu adalah ungkapan tulus dari hatinya.

“Aku telah mengajarimu dasar-dasarnya. Sekarang kamu harus mulai belajar dari itu.

Keima memberikan senyum yang lembut.

“Ini adalah tes kelulusan. Kamu harus menaklukan game yang kuberi ini dalam waktu 1 jam."

“…”

Aoba terdiam untuk beberapa waktu.

“…Tak peduli apa,"

Dan kemudian bertanya,

“Apa aku benar-benar harus melakukannya?"

Keima mengangguk terdiam.

“‘Kamu seharusnya sudah mengetahuinya.’”

Dia menyatakan ini dengan ekpresinya.

Aoba tetap terdiam untuk waktu yang lama, dan kemudian bertanya kembali,

“Biarkan aku bertanya satu pertanyaan."

Ia menunjukan ekpresi yang tegas pada Keima.

“Tes ini... termasuk bagaimana kamu mendekatiku, apakah semua itu hanyalah sebuah permainan bagimu?"

Keima menggelengkan kepalanya.

“Aku sekedar memberimu pengakuan, itu saja."

Ekpresinya memberikan kelembutan yang tak dapat dijelaskan.

“Kamu adalah murid, junior dan teman seperjuanganku, jadi,"

Dia berkata dengan yakin,

“Jangan kecewakan aku."

Aoba tak bisa bergerak untuk sesaat, dan setelah beberapa waktu, ia mengangguk perlahan.

Aoba mengetik dengan kecepatan yang mengejutkan di komputer, dan seperti saat pertama kali, Keima berdiri tepat di belakangnya dengan tangan terlipat sembari melihat ke layar. Kata-kata bergulir turun dari layar dengan sangat cepat, dan orang biasa mungkin tak akan mampu mengikuti, jangankan mengerti isinya, yang pada dasarnya mustahil.

Akan tetapi, untuk kedua orang jenius ini,

“Oh, Aku sudah lama tak memainkan game dari perusahaan ini. Keseimbangan naskah dan gambarnya lumayan bagus."

“Jika harus memilih, aku lebih suka ‘Shooting Star NANANA’…”

Aoba terlihat sangat santai, dan dengan mudah,

Melanjutkan bermain game sambil lalu.

Kadang,

“Tinggal 30 menit lagi!"

Atau,

“Tuh kan. Kamu tidak mempertimbangkan situasi pihak yang lain, karena itu kamu menyadari petunjuk semudah itu."

Keima memberi beberapa saran.

Namun, sejalan dengan perkembangan game-nya.

“Itu benar."

Atau,

“Begitu saja."

Dia hanya menganggukan kepala dalam diam.

Dia menutup matanya dengan puas, dan bahkan tak berkata apa-apa di tahap terakhir game. Ini tampak seperti dia telah menyelesaikan misinya dan dia pun memutuskan hanya melihat dari samping.

Terkembang senyum di bibir Keima.

Tapi tidak dengan Aoba,

“…”

Ia tampak semakin murung.

Semakin game-nya berjalan, semakin jelas ia terlihat tak bisa menerimanya, dan ia menjadi semakin sedih... ketika waktu yang tersisa hanya tinggal semenit lagi.

Ia hanya tinggal memutuskan untuk melihat ending-nya.

“…”

Kedua tangannya berhenti.

“Ada apa?"

Keima menghela napas dan bertanya.

“…”

Namun, Aoba tak menjawab.

Ia mengepalkan tangannya erat dan terus menatap lututnya tempat tangannya berada.

Air mata mengalir dari matanya.

Bahunya juga mulai gemetar.

Jika ia menaklukan game ini, ia tak akan lagi bisa melihat Keima.

Tapi bukan hanya Keima. Ia sudah mengetahuinya dengan jelas.

“Kamu punya dua pilihan, tapi hasilnya sama saja."

Dia menghela dan dengan dinginya mengangkat dua jari sebelum berkata.

Keima menekuk jari yang pertama.

“Pertama, kamu bisa duduk disitu sampai kamu meninggal karena umur."

Dan kemudian menekuk jari lainnya.

“Pilihan yang lain adalah untukmu mencari sesuatu yang selalu kamu cari dalam hatimu yang kering itu."

“…”

Matanya berkilat.

“Jawab aku, Fuse Aoba.”

“…” “Orang seperti apakah dirimu?"

Saat ini, air mata mengalir dari mata Aoba yang berkaca-kaca.

Apa yang hati keringnya akhirnya dapatkan,

Adalah seseorang yang bisa ia ajak bicara, seseorang yang bisa mengimbanginya.

Dan yang selalu ia cari selama ini,

“Aku,”

Aoba berkata serak,

“Tepat berada di belakangmu."

Ia mengangkat tangannya,

“Mengejarmu, dan suatu hari nanti aku akan berlari bersamamu."

Pak. Dia menekan tombol enter.

Ia sudah tahu.

Suatu hari, mereka akan pergi.

Ia sudah tahu.

Ia tak bisa bersamanya selamanya.

Ia sudah tahu.

Maka dari ituIn that case.

“Setidaknya biarkan aku mengangkat kepalaku dan pergi meninggalkanmu. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa berlari bersamamu."

Air mata mengalir saat ia tersenyum dan berdiri.

“Selamat tinggal, Keima."

Saat ini, Keima secara perlahan mendekati Aoba dan mencium bibirnya pelan. Aoba menangis dan menutup mata saat ia menerima ciuman darinya.


Keima bergerak mundur dan bergumam,

“Selamat tinggal, muridku."

Suatu hari,

Kita akan bertemu kembali.


Tak lama berselang.

Di dunia galge,

‘Maihime’.

Muncul seorang jenius dengan nama itu.

Karena kecepatannya menaklukan game yang mengejutkan dan teori yang menakjubkan, ia menjadi terkenal di internet.

Ketika di wawancarai oleh majalah game, ia menjawab,

“Tentu saja."

Ia membuka wawancara,

“Disatu sisi, karena aku suka bermain game. Akan tetapi,"

Ia menunjukan antusiasme yang tak dapat dipercaya seraya berkata,

“Aku merasa bahwa jika aku terus bermain, aku bisa bertemu dengan seseorang, seseorang yang penting bagiku."


Hari ini, sang 'Dewa Penakluk' Keima sibuk menaklukan galge di suatu tempat..

Hanya untuk menyelematkan gadis-gadis itu.


Referensi Penerjemah[edit]