Date A Live (Indonesia):Jilid 1 Bab 4

From Baka-Tsuki
Jump to navigation Jump to search

Bab 4: Date Dadakan[edit]

Bagian 1[edit]

“... yah memang, sudah pastinya mereka akan menutup sekolah pada kejadian-kejadian seperti ini...”

Shidou menapaki jalanan curam yang memanjang dari depan sekolah sambil menggaruk belakang kepalanya.

Itu adalah hari setelah ia menamai si Spirit Tohka.

Shidou telah berangkat sekolah seperti biasa, dan setelah melihat gerbang yang tertutup rapat dan bangunan sekolah yang telah hancur menjadi timbunan puing-puing, ia mengeluh atas kebodohannya.

Ia sendiri ada di sana ketika sekolah dihancurkan, jadi harusnya siapapun akan berasumsi kalau sekolah akan ditutup... namun ketika menghadapi kejadian yang begitu tidak riil seperti itu, mungkin saja pikirannya tanpa sadar melepaskan diri dari kenyataan.

Tambah lagi, ia telah menghabiskan semalaman kemarin dalam meeting dengan yang lainnya, mengulas ulang rekaman percakapannya dengan Tohka dan membahasnya kembali, karena itu kapasitas mentalnya mungkin telah berkurang karena kurang tidur.

“Haah... mungkin aku belanja sebentar kali ya.”

Seraya melepas sebuah keluhan, ia berbalik ke arah yang berlainan dengan jalan ke rumah.

Pada kenyataannya mereka telah kehabisan telur dan susu, dan pulang ke rumah begitu saja terasa aneh baginya.

Namun—baru saja beberapa menit berlalu, Shidou berhenti lagi.

Tersandar marka ‘Dilarang Masuk’ di jalan sana.

“Oh, jalanan ditutup...?”

Tapi andai kata marka tersebut tidak ada di sana, sudah jelas sekali jalanan tersebut tidak bisa dipakai.

Aspal yang terkoyak hingga hancur berantakan, dinding-dinding beton yang roboh, dan bahkan gedung multi-tenant juga runtuh.

Seakan baru saja terjadi perang di sini.

“—Ah, ini kan...”

Ia ingat tempat ini. Tempat ini merupakan bagian dari zona spacequake di mana ia pertama kali bertemu Tohka.

Sepertinya para Petugas Restorasi belum menanganinya, pemandangan kehancuran itu tetap tidak berubah dari sepuluh hari yang lalu.

“......”

Ketika ia mengingat wujud sang gadis dalam pikirannya, ia mengeluh pelan.

—Tohka.

Seorang Spirit—gadis pembawa malapetaka—dia yang tak bernama sampai kemarin.

Kemarin, setelah berbicara dengannya lebih lama dari yang pernah ia lakukan sebelumnya, dugaan Shidou telah ditegaskan.

Gadis itu benar-benar memiliki kekuatan yang tak bisa dibayangkan.

Sampai pada titik di mana semua organisasi di dunia akan setuju kalau ia adalah ancaman.

Pemandangan yang terlihat di hadapannya adalah bukti dari itu.

Hal semacam ini benar-benar tidak bisa didiamkan saja.

“...do...”

Namun di saat bersamaan, tidak mungkin dia akan menggunakan kekuatan tersebut dengan ceroboh, layaknya monster yang nekat, tanpa ampun.

“...i, do...”

Shidou membenci wajah murung yang diperlihatkan gadis itu. Ia tidak bisa membiarkannya sama sekali.

“Hey, Shido...”

… ya, pikiran-pikiran tersebut terus berputar-putar di dalam kepalanya, jadi sebelum ia menyadarinya, ia berakhir menapaki jalan kembali ke arah gerbang sekolah.

“... jangan abaikan aku!”

“—Huh?”

Sebuah suara terdengar—dari sisi lain area yang ditutup.

Shidou memiringkan kepala kebingungan.

Bagaikan membelah udara yang dingin, suara itu begitu indah.

Seperti suara yang pernah ia dengar di suatu tempat... tepatnya, di sekolah pada hari sebelumnya.

… sebuah suara yang tidak ia kira akan terdengar di waktu dan tempat seperti ini.

“U-Umm—”

Shidou memfokuskan pandangannya ke arah tersebut sambil membandingkan suara yang baru ia dengar dengan suara dalam memorinya.

Dan kemudian, seluruh tubuhnya membeku.

Dia ada tepat di depan matanya.

Seorang gadis sedang sedikit bersandar di puncak bukit-bukit reruntuhan tersebut, mengenakan gaun yang jelas-jelas tidak cocok dengan keadaan sekitarnya.

“T-Tohka!?”

Betul, kecuali pikiran atau mata Shidou sedang menipunya, gadis itu tak diragukan lagi adalah Spirit yang ia temui di sekolah pada hari sebelumnya.

“Sadar juga akhirnya, ba~ka ba~ka.”

Wajahnya, yang kecantikannya cukup untuk membuat seseorang gemetar, diwarnai ketidak-senangan. Dia menendang tumpukan puing-puing yang kemudian berbunyi *tong*, dan mendekati Shidou menyusuri aspal yang setengah utuh.

Mungkin karena menghalanginya, Tohka menendang marka ‘Dilarang Masuk’ sambil menggerutu dan sampai di depan Shidou.

“A-apa yang kau lakukan, Tohka...?”

“... nu? Apanya yang apa?”

“Kenapa, kau ada di tempat seperti ini...!?”

Shidou melirik ke belakangnya seraya berteriak, dan menangkap pandangan berbagai orang seperti sekelompok wanita yang sedang berbicara dan penduduk sekitar yang sedang berjalan-jalan dengan anjingnya.

Tidak ada seorangpun yang berlindung di shelter. Artinya, tanda peringatan spacequake belum berbunyi.

Pada dasarnya, ini artinya baik <Ratatoskr> maupun AST belum menyadari goncangan awal sebelum Spirit muncul.

“Meskipun kau tanya kenapa...”

Bagaimanapun, orangnya sendiri kelihatannya tidak peduli dengan situasi yang aneh ini sama sekali. Dia melipat lengannya, sepertinya tidak tahu kenapa Shidou meributkan hal ini.

“Bukannya kau yang mengajakku, Shido? Itu lho... date.”

“Ap—”

Bahu Shidou gemetaran mendengar pernyataan santainya.

“K-kau ingat...?”

“Hm? Apa, kau pikir aku idiot atau apa?”

“Bukan, bukan itu maksudku...”

“—Hmmf, apalah. Yang penting Shido, ayo cepat kita mulai date itu. Date date date date.”

Tohka terus mengulang date date dengan intonasi yang unik. [1]

“A-aku mengerti! Aku mengerti, jadi berhenti mengulang kata itu!”

“Eh, kenapa? …...ah, Shido, jangan bilang kau memanfaatkan kenyataan kalau aku tidak tahu artinya, lalu mengajariku kata yang tidak sopan dan mesum?”

Selagi pipinya bersipu merah menyala, Tohka mengangkat alis.

“—! Ti-tidak, tidak! Itu kata yang benar-benar murni!”

Ia menggaruk pipinya seraya berkata demikian.

Itu sedikit bohong sebenarnya. Selama kita masih membicarakan manusia, itu adalah sebuah kata yang dapat bermakna sangat kotor.

Shidou berbalik dengan tatapan tidak nyaman.

Para wanita itu sedang tersenyum lebar, melihat padanya seakan mereka sedang melihat sesuatu yang menawan.

Yah, terlihat juga keraguan yang tercampur dalam pandangan mereka, dikarenakan penampilan aneh Tohka.

“... nu?”

Tohka kelihatannya telah menyadari pandangan-pandangan itu juga. Dia menyembunyikan diri di balik Shidou, dan mengamati mereka dengan tajam.

“... Shido, siapa mereka? Musuh? Perlu kubunuh?”

“Hu... huh!?”

Bahu Shidou gemetar setelah mendengar Tohka tanpa pikir panjang mengucapkan pikiran berbahaya semacam itu dengan tiba-tiba.

“Jangan, jangan, jangan, kenapa kau bilang begitu? Mereka cuma wanita-wanita biasa.”

“Apa yang kau bicarakan, Shido? Mata yang berapi-api itu... bukankah mereka seperti burung pemangsa? Tidak mungkin mereka tidak mengincarku. … mereka bisa jadi masalah nantinya kalau kita membiarkan mereka. Kupikir lebih baik musnahkan mereka sebelum itu terjadi.”

… yah, memang benar kalau mata mereka bersinar-sinar, tapi...

Pertama-tama ia harus memikirkan topik pembicaraan baru.

“Jangan khawatir. Sudah kubilang bukan? Tidak banyak manusia yang akan menyerangmu.”

“... hmph.”

Meskipun Tohka masih belum menurunkan kewaspadaannya, setidaknya dia sudah tidak terlihat akan menyerang sewaktu-waktu.

“Apalah. Jadi, tentang date itu—”

“A-a-ayo pergi dari sini dulu pertama-tama. Oke?”

Shidou mengatakan itu pada Tohka, yang terus melanjutkan tanpa malu-malu, dan dengan buru-buru berjalan.

“Nu. Hey, Shido, kita pergi ke mana!”

Tohka berjalan mengikutinya, dan mengeraskan suara dengan tidak senang selagi berjalan di sampingnya.

Bersama Tohka, Shidou memasuki sebuah gang belakang yang sepi, dan akhirnya menghela nafas lega.

“Jadi kau sudah menenangkan diri rupanya. Dasar, orang aneh. Ada apa sebenarnya?”

Tohka menyipitkan mata dalam kekecewaan.

“Tohka... apa yang terjadi setelah semua itu kemarin?”

Ada setumpuk hal-hal yang ingin ia tanyakan, tapi yang pertama keluar dari mulutnya adalah yang satu itu.

Bibir Tohka bergerak sembari memberengut.

“Tidak ada apa-apa kok, seperti biasa saja. Mereka mengayunkan pedang yang tidak membelah apapun, menembakkan meriam yang tidak mengenai apapun. —Lalu pada akhirnya, tubuhku menghilang dengan sendirinya.”

“... menghilang?”

Shidou menelengkan kepalanya, kebingungan.

Kalau diingat-ingat, Kotori dan yang lainnya juga menduga seperti itu, tapi mereka tidak mengerti benar bagaimana cara kerjanya sama sekali.

“Cuma berpindah dari dunia ini ke suatu ruang lain.”

“A-ada yang semacam itu? ...tempat seperti apa itu?”

“Aku tidak tahu pasti.”

“... apa?”

Shidou mengernyit mendengar jawabannya.

“Segera setelah aku pindah ke sana, dengan sendirinya aku memasuki kondisi layaknya tidur. Dari yang bisa kuingat, rasanya seperti melayang-layang di ruang gelap. —Sejauh yang kurasakan, seperti tertidur saja.”

“Lalu, apa kau datang ke dunia ini setelah bangun?”

“Bukan begitu juga.”

Tohka menggelengkan kepala dan melanjutkan.

“Biasanya, aku tidak pernah bisa memilih kapan untuk datang ke sini, aku cuma dikirim secara tidak beraturan dan berakhir di sisi ini. Yah, kurasa seperti dibangunkan tiba-tiba.”

“......”

Shidou menahan nafas.

Ia mengerti bahwa spacequake terjadi ketika para Spirit muncul di dunia, tapi kalau apa yang Tohka katakan benar, berarti mereka muncul di sini bukan karena keinginan mereka.

Kalau begitu kejadiannya, bukankah spacequake benar-benar seperti kecelakaan belaka?

Memaksakan tanggung jawab pada Tohka—kepada para Spirit—itu terlalu tak beralasan tidak peduli bagaimanapun kau melihatnya.

Pada saat itu, satu pertanyaan lagi melintasi pikiran Shidou.

Ada satu bagian dari cerita Tohka barusan yang kurang pas.

“... apa maksudmu ‘biasanya’? Apa hari ini berbeda?”

“......”

Pipi Tohka berkedut sedikit, mulutnya melengkung sembari memberengut, dan dia memalingkan pandangannya sambil memiringkan kepala.

“Hmph, ma-mana aku tahu.”

“Jawab yang benar. Bisa jadi itu sesuatu yang sangat penting.”

Namun Shidou terus mendesak.

Begitulah—kalau Tohka telah datang ke dunia ini dengan kemauannya sendiri hari ini, maka itu mungkin alasan mengapa tidak ada spacequake.

Akan tetapi entah mengapa, pipi Tohka sedikit bersipu kemerah-mudaan, dan tatapannya tajam.

“Kau memaksa sekali. Pembicaraan ini sudah selesai.”

“Tidak, tapi—”

Shidou mulai berbicara, namun Tohka menyentak tanah dengan satu kaki.

Aspal yang diinjaknya langsung mencuat naik, dan kilatan cahaya memancar darinya.

“Whoa...!?”

Cahaya itu menyentuh Shidou, lalu berpencar bagaikan kembang api dengan suara gemercik.

“—Ayo, cepat beritahu apa arti date.”

Tohka berkata dengan tidak sabar.

“... muu.”

Menghadapi nada bicara yang tidak kenal kompromi itu, Shidou tidak dapat berbuat apa-apa selain terdiam.

Kalau ia menanyakannya lebih lanjut, hasilnya bisa jadi adalah berkas cahaya sama seperti kemarin.

Shidou menghabiskan sedikit waktu bergumam sendiri sebelum berbicara.

“... itu ketika seorang lelaki dan gadis pergi ke luar dan mencari kesenangan bersama-sama... menurutku begitu.”

“Cuma itu?”

Tohka menatapnya, seakan ternganga akan betapa antiklimaksnya hal yang ia ucapkan.

“Y-ya...”

Meskipun ia bilang begitu, ia masih kebingungan karena ia juga belum pernah pergi dalam sebuah date.

Yakni, ia tahu beberapa hal dari manga dan drama, namun sejauh itulah pengetahuannya.

Tapi Tohka menggerutu dengan tangannya terlipat di depan dadanya.

“... jadi intinya, kemarin Shido bilang mau main bersama, kita berdua?”

“... y-yah... iya... kurang lebih.”

Karena satu dan lain hal yang tadi itu 20% lebih memalukan ketika ia mengatakannya mentah-mentah. Ia menjawabnya sambil menggaruk pipinya dengan canggung.

“Begitu.”

Ekspresi Tohka sedikit berseri selagi mengangguk, dan dia mengambil langkah lebar untuk keluar dari gang tersebut.

“H-hey, Tohka—”

“Apa, Shido? Bukannya kita akan bersenang-senang?”

“—! K-kau mau...?”

“Bukannya kau bilang kau mau?”

“Ah... yah, itu benar, tapi...”

“Kalau begitu cepat. Kalau tidak aku nanti berubah pikiran.”

Tohka berkata sembari lanjut berjalan.

Dan kemudian, Shidou menyadari isu yang fatal.

“To-Tohka! Pakaianmu itu tidak beres...!”

“Apa?”

Mata Tohka terbelalak karena keterkejutan yang sangat ketika Shidou mengatakan itu.

“Memangnya apa yang salah dengan AstralDress-ku? Ini adalah pelindungku dan teritoriku[2] Aku tidak akan memaafkan cercaanmu.”

“Kau terlalu mencolok seperti itu...! Bahkan AST akan menyadarinya!”

“Nu.”

Sepertinya setelah sadar kalau begitu memang akan merepotkan, Tohka memasang wajah tidak senang.

“Apa yang harus kulakukan, kalau begitu?”

“Uhm, kau harus mengganti pakaianmu, tapi...”

Sepercik keringat mengaliri pipi Shidou. Tidak ada pakaian perempuan di sini, dan membawa Tohka sampai ke sebuah toko akan jadi menyusahkan juga.”

Juga, dompetnya tidak sepenuh itu.

Selagi ia mencari-cari ide dalam isi otaknya, Tohka dengan tidak sabar berbicara.

“Pakaian seperti apa yang bagus? Beritahu itu saja.”

“Eh? Ah...”

Meski dia bertanya pakaian seperti apa, ia tidak bisa segera menjawabnya.

Namun, saat itulah, seragam yang tidak asing melewati ujung penglihatannya.

“Ah...”

Seorang siswi yang tidak dikenalnya sedang menapaki jalan dengan wajah mengantuk.

Mungkin dia seorang murid yang karena suatu alasan, juga tidak mendengar kabar kalau sekolah ditutup, sama seperti Shidou.

“Tohka, yang itu. Pakaian seperti itu sepertinya boleh.”

“Nu?”

Tohka melihat ke arah yang ditunjuk Shidou, dan menempatkan tangannya di dagu.

“Hmm, begitu. Jadi yang seperti itu bisa, huh?” kata Tohka.

Dia lalu mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya dengan rapat secara bersamaan.

Lalu, sebuah bola cahaya hitam muncul dari ujung jarinya, tertuju pada siswi tersebut.

“Tunggu, apa yang mau kau lakukan!?”

Dengan panik, Shidou menepuk tangan Tohka.

Saat itulah, tembakan fotosfer dari jari Tohka, menyerempet rambut siswi tersebut, dan mengenai dinding di belakangnya.

Suara pelan *gong* berbunyi, dan pecahan-pecahan kecil dinding tersebut tersebar kemana-mana.

“Hii...!?”

Bahu sang siswi gemetar karena kejadian yang tiba-tiba tersebut, dan dia dengan ketakuan melihat ke sekitarnya.

Akan tetapi seakan menyimpulkan kalau itu disebabkan karena ia setengah tertidur, dia memiringkan kepalanya kebingungan dan pergi.

“Apa yang kau lakukan? Kau membuatku meleset.”

“Bukan itu yang seharusnya kau katakaaaaaaan! Itu harusnya kata-kataku!”

“Aku bermaksud melumpuhkannya dan melepas pakaiannya, tapi...”

Tohka menelengkan kepalanya seakan bertanya kalau ada yang salah dengan itu.

Shidou menghela nafas dalam-dalam dari dasar perutnya, dan menopang dahi dengan tangannya.

“Dengar, Tohka. Kau tidak boleh menyerang orang-orang. Kau tidak boleh sama sekali.”

“Kenapa tidak?”

“... tidakkah kau merasa sebal ketika AST menyerangmu? Dengar aku—kau tidak boleh melakukan hal yang tidak disukai orang-orang.”

“...hmmf.”

Bibir Tohka terkatup rapat karena tidak puas ketika Shidou mengatakannya.

Alih-alih tidak setuju dengan apa yang ia katakan, sepertinya dia tidak senang dengan cara Shidou berbicara padanya seakan ia sedang berbicara kepada seorang anak kecil.

“... aku mengerti. Aku akan mengingatnya.”

Dengan ekspresi tersebut, Tohka menyetujui.

Selanjutnya, dia mengangkat wajahnya sedikit sepertinya mengingat sesuatu, dan berkata,

“—mau bagaimana lagi. Sepertinya aku harus mengurus pakaianku sendiri, bagaimanapun caranya.”

Dengan begitu, dia menjentikkan jari-jarinya.

Tepat setelah dia melakukannya, gaun yang dipakainya mulai lenyap di udara... atau seperti itulah kelihatannya, akan tetapi seakan menggantikannya, partikel-partikel cahaya berkumpul menyelimutinya, mengelilingi tubuhnya dan membentuk siluet baru.

Setelah beberapa detik, Tohka berdiri di sana, memakai seragam Raizen High School yang dikenakan siswi tadi.

“Ap... ap-apaan ini?”

“Aku melepas AstralDress-ku dan membuat pakaian baru. Tapi aku cuma membuat dari yang kelihatannya saja jadi detilnya mungkin sedikit beda, namun seharusnya tidak masalah.”

Ucap Tohka dengan bangga, sambil melipat tangan, dan berkata ‘hmmf’.

“Kalau kau bisa melakukan yang semacam itu seharusnya lakukan dari awal tadi!”

Shidou berseru, dan Tohka mengibaskan tangannya seraya berkata ‘iya, iya’.

“Yang penting, kita mau kemana?”

“M-mengenai itu—”

Shidou menyentuh telinga kanannya untuk meminta bantuan.

Lalu, ia akhirnya sadar. Sekarang ini, Shidou tidak memasang intercom di telinganya.

Dan tentu saja, tidak ada kamera yang melayang di sekitarnya.

Bagaimanapun juga, para crew Kotori dari <Fraxinus> belum mendeteksi keberadaan Tohka sama sekali.

Dengan kata lain, mereka benar-benar sendirian.

Shidou merasa sedikit pusing.

Tekanan ini membuat perutnya sakit.

Ada perbedaan besar ketika Kotori dan Reine tidak ada di belakangnya untuk memberikan masukan-masukan bagus.

“Ada apa, Shido?”

“... tidak kenapa-napa.”

Shidou mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali, dan mulai berjalan dengan kaku. Segera setelahnya, Tohka berbicara.

DAL v01 223.jpg

“—Shido. Kau berjalan terlalu cepat. Pelan-pelan sedikit.”

“... a-ah, maaf...”

Ia mengatur langkahnya setelah diperingatkan. Kecepatan langkah mereka berbeda pada dasarnya, jadi sudah sewajarnya kalau Shidou berada lebih di depannya... entah mengapa terasa aneh.

Begini rupanya rasanya berjalan-jalan bersama seseorang.

Bagi Shidou, yang belum pernah pergi ke manapun dengan seorang gadis dalam hidupnya, ini adalah sensasi yang baru (ngomong-ngomong, Kotori yang melompat dan berjingkrak di depan Shidou tidak bisa dijadikan referensi).

Berpikir seperti itu—Shidou melirik Tohka yang berjalan di sisinya.

Apa yang ia lihat bukanlah monster yang dapat membelah langit dan bumi dengan satu ayunan pedang, namun sebaliknya hanyalah seorang gadis biasa.

Selagi mereka meninggalkan gang tesebut dan memasuki jalan besar di mana terbaris berbagai toko-toko di sisinya, Tohka mengernyitkan alis dan dengan gugup memandang ke sekitarnya.

“... a-apa-apaan orang sebanyak ini. Apa mereka sedang merencanakan perang besar-besaran!?”

Kelihatannya dia dikagetkan dengan jumlah orang dan mobil yang tidak bisa dibandingkan dengan yang biasanya dia lihat. Sambil waspada di segala arah, Tohka berkata dengan suara serius.

Lalu, di ujung jari-jemari kedua tangannya, total sepuluh bola cahaya kecil muncul. Shidou buru-buru menghentikannya.

“Seperti yang kubilang! Tidak ada yang mengincar nyawamu di sini!”

“... benarkah?”

“Benar.”

Shidou berkata demikian, dan Tohka dengan seksama memandang ke sekeliling lagi, untuk saat ini memadamkan bola-bola cahaya itu.

Lalu—tanpa diduga, kewaspadaan yang mewarnai wajah Tohka meluntur.

“Huh...? Hey Shido, bau apa ini?”

“... bau?”

Ia memejamkan matanya dan mencium bau di sekelilingnya, dan seperti yang dikatakan Tohka, ada bau harum tertinggal di udara.

“Ahh, mungkin dari arah sana.”

Sembari mengatakan ini, ia menunjuk ke sebuah toko roti di sebelah kanan.

“Hohoo.”

Mengatakan itu, Tohka memandang ke arah tersebut.

“... Tohka?”

“Nu, kenapa?”

“Mau masuk?”

“......”

Shidou bertanya, dan jari-jari Tohka bergerak sedikit selagi mulutnya melengkung memberengut. Lalu, dengan timing yang menakjubkan, *guurururu*, perut Tohka keroncongan. Kelihatannya bahkan Spirit sekalipun dapat merasa lapar.

“Kalau Shido mau aku tidak akan menolak untuk masuk.”

“... aku mau. Aku benar-benar mau masuk.”

“Kalau begitu, aku tidak punya pilihan kan!”

Dengan sangat girang, Tohka merespon, dan dengan semangat membuka pintu toko roti tersebut.



“......”

Bersembunyi di balik bayang-bayang dinding, Origami menatap dengan seksama pasangan lelaki-gadis yang sedang berbicara di depan toko roti, dan tanpa mengubah ekspresinya satu milimeter sekalipun ia menghela nafas perlahan.

Ia tadinya pergi ke sekolah hanya untuk mendapatinya tutup, dan dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melihat Shidou sedang berjalan bersama dengan seorang siswi.

Itu saja sudah menjadi situasi yang luar biasa serius. Seperti kekasih saja, ia diam-diam mulai membuntuti mereka.

Namun—ternyata ada masalah yang lebih besar lagi dari itu.

Siswi itu, Origami mengenalnya.

“—Spirit.”

Diam-diam ia berbisik.

Benar. Monster. Keabnormalan. Malapetaka yang akan menghancurkan dunia.

Makhluk yang bukan manusia itu, yang semestinya dimusnahkan oleh grup Origami, sedang mengenakan satu stel seragam dan berjalan di samping Shidou.

“......”

Namun kalau ia dengan tenang memikirkannya, hal seperti itu tidak mungkin terjadi.

Sebelum seorang Spirit muncul, sebagai pendahulu, sebuah goncangan awal dengan tingkat yang abnormal akan terdeteksi. Tidak mungkin Squad observasi AST meloloskan itu.

Namun, kalau begitu peringatan spacequake seharusnya sudah berbunyi seperti hari sebelumnya, dan sebuah perintah juga seharusnya sudah tersampaikan pada Origami.

Origami mengeluarkan handphone-nya dari tas dan membukanya. Tidak ada pesan.

Kalau begitu, maka gadis itu ternyata bukanlah seorang Spirit, namun hanya seseorang yang memiliki kemiripan belaka.

“... tidak mungkin seperti itu.”

Dengan pelan, bibirnya bergerak. Tidak mungkin Origami salah mengenali wajah sang Spirit.

“......”

Origami menekan beberapa tombol di handphone-nya, membuka halaman address dan menghubungi sebuah nomor.

Lalu.

“—AST, Sersan Kepala Tobiichi. A-0613.”

Ia mengucapkan jabatan dan kode ID-nya. Ia lalu berkata langsung pada intinya.

“Kirimi saya satu mesin observasi.”


Bagian 2[edit]

“Ah, Reine~. Kalau kau tidak mau berikan padaku.”

“......nn, boleh. Ambillah.”

Kotori mengulurkan garpunya, dan menusukkannya ke raspberry di piring di depan Reine. Ia lalu pelan-pelan mengangkat garpu tersebut ke mulutnya, menikmati sensasi manis dan asam yang ditimbulkan.

“Mmm, nyam. Kenapa kau tidak suka ini, Reine?”

“......asam kan?”

Sambil mengatakan ini, Reine meminum apple tea yang mengandung banyak gula sekali teguk.

Sekarang ini, mereka berdua sedang berada di sebuah café di jalan besar Tenguu.

Kotori sedang mengenakan pita putih dan seragam SMP-nya, sedangkan Reine memakai cutsew[3] dan denim berwarna terang.

Kotori telah berangkat ke sekolah seperti biasanya namun, dikarenakan spacequake kemarin, sekolah Kotori mengalami kerusakan, jadi sekolah ditutup.

Bagaimanapun juga, langsung pulang ke rumah setelah itu akan terasa janggal, jadi ia memanggil Reine untuk menikmati snack time.

“......oh, ini kesempatan bagus, beritahu saya.”

Reine membuka mulut sepertinya teringat akan sesuatu.

“A~pa?”

“......maaf kalau ini pertanyaan yang terlalu mendasar, tapi Kotori, kenapa kamu memilihnya sebagai negosiator dengan Spirit itu?”

“Mm...”

Mendengar pertanyaan Reine, Kotori memberengut.

“Kau tidak akan bilang ke siapa-siapa?”

“......saya janji.”

Dengan suara rendah, Reine mengangguk. Melihat ini, Kotori menyetujui dan menjawabnya. Murasame Reine adalah wanita yang akan menepati apa yang dikatakannya.

“Sebenarnya, aku tidak sedarah dengan Onii-chan. Latar yang benar-benar mirip galge kan.”

“......Hrm?”

Tanpa terlihat geli ataupun terkejut, Reine menelengkan kepalanya sedikit. Dia segera memproses kata-kata Kotori dan membuat pose yang sepertinya menanyakan ‘apa hubungannya dengan pertanyaan saya?’.

“Karena itulah aku menyukaimu, Reine~”

“......”

Reine memasang wajah kebingungan.

“Abaikan~. ...lalu, coba kulanjutkan. Aku ingin tahu berapa umurku waktu itu, masa-masa yang tidak kuingat, tapi onii-chan ditinggal oleh ibu aslinya, dan keluarga kami mengadopsinya, atau semacam itu kiranya. Sudah lama sekali jadi aku tidak benar-benar ingat, tapi kelihatannya dia cukup merepotkan ketika pertama kalinya kami mengadopsinya. Dia berada pada taraf di mana kelihatannya dia bisa bunuh diri begitu saja.”

“......”

Entah mengapa, alis Reine bergerak terkejut.

“Ada apa?”

“......tidak, silahkan lanjutkan.”

“Nn. Yah, tidak ada yang bisa kami lakukan. Untuk seseorang yang bahkan belum berumur sepuluh tahun, seorang ibu pastinya adalah keberadaan yang esensial, jadi bagi onii-chan mungkin itu adalah kejadian yang menyangkal keberadaannya seutuhnya. —Tapi yah, sepertinya setelah sekitar satu tahun kondisinya sudah stabil.”

Setelah menghembuskan nafas keras-keras, ia melanjutkan.

“Mungkin karena itu, onii-chan anehnya menjadi sensitif dengan rasa keputusasaan di dalam diri orang-orang.”

“......keputusasaan?”

“Mm. Seperti saat semua orang mencela seseorang—berpikir kalau seseorang tidak akan pernah disayangi orang lain. Yah. pada dasarnya sebagaimana dirinya dulu. Kalau ada seseorang dengan ekspresi melankolis semacam itu, meskipun itu orang asing sekalipun, ia bisa jadi langsung menolongnya tanpa pikir panjang.”

‘Begitulah’, itu yang diutarakan pandangan Kotori selagi tertuju ke bawah.

“Jadi kupikir, ‘kalau dia’. —Satu-satunya yang terpikirkan olehku yang bisa menghibur Spirit itu adalah onii-chan.”

Kotori berkata demikian, dan Reine merespon ‘...begitu’ lalu merendahkan pandangannya.

“......tapi, yang ingin saya dengar bukanlah alasan emosional semacam itu.”

“......”

Terhadap kata-kata Reine, alis Kotori bergerak terkejut.

“Jadi, apa maksudmu?”

“......benar-benar merepotkan kalau kamu berpura-pura tidak tahu begitu. Saya tidak percaya kalau kamu tidak mengerti.—Dia itu sebenarnya apa?”

Reine adalah penganalisa terbaik <Ratatoskr>. Dengan menggunakan realizer khusus, jangankan struktur material, lewat penyebaran temperatur dan ukuran gelombang otak, dia dapat kurang lebih memahami seluk-beluk emosi seseorang.

—Bahkan kemampuan tersembunyi dan ciri khusus seseorang.

Kotori melepas keluhan yang cukup keras untuk dapat didengar.

“Yah, pada waktu aku mempercayakan onii-chan pada Reine aku kurang lebih sudah tahu kalau ini akan terjadi~”

“......ahh, maaf tapi saya sudah menganalisanya sedikit. …saya pikir aneh untuk melibatkan orang biasa dalam strategi ini tanpa alasan yang kuat.”

“Mm, aku tidak keberatan~. Lagipula seiring waktu mungkin ini akan menjadi hal yang diketahui semua pihak juga~”

Berbarengan dengan suara pintu yang terbuka dan suara pelayan yang menyerukan ‘Selamat datang’, Kotori mengangkat bahu.

Ia lalu mengambil sedotan yang tersandar di dalam gelas di depannya, dan menyedot blueberry juice yang tersisa dalam satu tarikan.

Lalu—

“Ppfuuuuuugh!?"

Melihat pasangan yang baru saja memasuki toko duduk di booth di belakang Reine, jus yang telah disedotnya tadi ke dalam mulutnya tersembur keluar dengan kekuatan yang mencengangkan.

“......”

Entah bagaimana, kelihatannya pasangan itu tidak sadar, Reine yang duduk di hadapan Kotori, menjadi korban moro reflex[4] Kotori. Singkatnya, dia jadi basah kuyup.

“Maaf, Reine...”

“......nn.”

DAL v01 233.jpg

Dengan pelan, Kotori meminta maaf, dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, Reine mengambil sapu tangan dari kantungnya dan menyeka wajahnya.

“......ada apa, Kotori?”

“Mmm... kupikir aku melihat sesuatu yang tidak logis atau malah tidak realistis.”

“......apa itu?”

Merespon pertanyaan Reine, Kotori tanpa mengucapkan apapun menunjuk ke belakang Reine.

“...?”

Reine membalikkan kepala—dan tiba-tiba berhenti bergerak.

Beberapa detik kemudian, kepalanya berputar kembali ke posturnya semula, lalu dia mendekatkan apple tea ke mulutnya.

Lalu, *pfuugh*, dia menyemburkan teh itu ke arah Kotori.

“......benar-benar sangat mengagetkan.”

Mungkin itu cara Reine memperlihatkan kekagetannya.

Namun itu memang sudah sewajarnya. Bagaimanapun juga, di belakang Reine, kakak Kotori, Itsuka Shidou, sedang duduk bersama dengan seorang gadis.

Bukan itu saja. Gadis yang dikatakan itu adalah yang disebut oleh grup Kotori sebagai sebuah malapetaka, seorang Spirit.

“Eeeeh... apa yang terjadi.”

Kotori mengusap wajahnya dengan sapu tangan yang diberikan Reine padanya, seraya ia bertanya dengan suara yang dipelankan.

Ngomong-ngomong, di sapu tangan Reine terdapat gambar beruang tepat di tengahnya. Berkat noda-noda dari blueberry juice dan apple tea, sekarang penampilannya terlihat seperti Kikaider[5]

Ia mencari-cari di sakunya dan melihat handphone-nya. Tidak ada pesan dari <Ratatoskr>. Artinya, mereka belum menyadari gangguan apapun dari waktu Spirit tersebut muncul.

Namun, tidak diragukan lagi dialah sang Spirit, Tohka. Tidak mungkin ada banyak gadis secantik itu.

“Apa ada cara bagi para Spirit untuk muncul tanpa kita sadari?

“......bagaimana kemungkinannya kalau dia cuma orang yang mirip?”

Kotori memikirkan kata-kata Reine sejenak.

Tapi ia langsung menggelengkan kepalanya.

“Kalau begitu kasusnya, berarti onii-chan sedang kencan dengan seorang gadis normal. Kalau kau bertanya mana yang lebih mungkin antara hal itu dengan kemunculan seorang Spirit secara diam-diam... yang kedua itu masih unggul tipis kemungkinannya.”

“......begitu.”

Benar-benar komentar yang kejam, namun Reine menerimanya begitu saja.

“......tapi kalau memang begitu ini jadi merepotkan. Saya ragu Shin bisa menghadapi Spirit itu sendirian.”

“Nn...”

Lalu, di saat mereka berdua menempatkan tangan di mulut sambil mengeluh, mereka mendengar percakapan dari dua orang di belakang Reine.

“Huh, jadi tinggal memilih makanan dari buku ini?”

“Ya, betul.”

“Roti jamur. Gak ada roti jamur?”

“Uhh kupikir itu agak... lagipula, bukannya kau terus memakan itu di toko roti tadi?”

“Aku mau makan itu lagi. Apa-apaan serbuk tadi itu... benar-benar membuat ketagihan... kalau benda itu sembarangan diedarkan di dunia pasti akan terjadi bencana... orang-orang akan gemetaran karena sindrom penarikan [6] dan tak diragukan lagi akan memulai perang memperebutkan jamur.”

“Gak mungkin.”

“Muu, apalah. Ayo kita mulai pencarian rasa baru.”

“Iya iya... tapi aku cuma punya sisa 3000 yen.”

“Nu? Apa itu?”

“Aku bilang karena kau terus-terusan beli makanan jadinya uangku habis!”

“Muu, dunia yang keras. Baiklah, sepertinya tidak ada jalan lain. Tunggu sebentar, aku akan mengumpulkan uang.”

“Tu...tunggu! Kau berencana apa!”

Mendengar percakapan itu, Kotori mengeluh panjang.

Setelah mengambil pita hitam dari sakunya, ia mengikat rambutnya.

Itu adalah cara Kotori untuk merubah pola pikirnya. Sekarang ini, Kotori telah bertransformasi dari adik kecil Shidou yang manis menjadi mode komandannya.

Lalu, membuka handphone-nya, ia tersambung ke <Ratatoskr>.

“...ahh, ini aku. Ini darurat. —Laksanakan kode strategi F-08●Operation <Hari Libur Tenguu>. Semua awak, segera menuju pangkalan kalian.”

Mendengar ini, wajah Reine berkedut.

Menunggu sampai panggilan telepon Kotori selesai, dia mengeraskan suaranya.

“......kamu serius mengenai ini, Kotori?”

“Ya. Ini situasi di mana kita tidak bisa memberinya perintah apapun. Tidak ada jalan lain.”

“......begitu. Kalau sudah seperti ini—berarti ini bagian Route C. ...Hmm, kalau begitu saya akan bergegas. Saya akan bernegosiasi dengan pihak toko ini secepat mungkin.”

“Mohon bantuannya.”

Sembari mengatakan ini, Kotori mengambil Chupa Chups dari sakunya dan memasukkannya ke mulut.


Bagian 3[edit]

“......”

Membandingkan antara digit-digit yang tertulis di struk di tangannya dengan isi dompetnya, Shidou mengeluh. Tidak banyak yang tersisa, namun untungnya jumlah tersebut masih bisa ia bayar.

“Ayo, kita pergi Tohka.”

“Nn, sekarang?”

Tohka berkata, memandang heran. Shidou buru-buru berdiri seperti sedang terburu-buru. Kalau mereka tinggal di sini lebih lama maka jalan terbuka untuk mereka hanyalah untuk mencuci piring atau kabur setelah makan.

Selagi Shidou berjalan menuju meja kasir depan, Tohka menyusulnya juga. Dia tidak lagi memancarkan aura kegarangan terhadap pelanggan di sekitarnya. Kelihatannya dia kurang lebih sudah membiasakan diri dengan orang-orang yang berlalu-lalang.

Untuk saat ini, Shidou merasa lega, ia menaruh struk bersama dengan tiga lembar uang kertas yang merupakan 90% sisa uangnya di meja kasir.

“Aku mau bayar.”

Shidou berkata pada sang karyawati yang berdiri di meja kasir—

“...!?”

Ia mengernyit kuat, dan termundur ke belakang.

Itu karena, karyawati yang berdiri di sana adalah...

“......terima kasih atas kedatangannya.”

Ia mengenal wanita dengan lingkaran hitam tebal di bawah matanya itu yang terlihat sangat mengantuk.

“Ap, ap-ap-ap-ap-ap...”

“Nn? Ada apa Shido, ada musuh!?”

Tohka membalikkan wajahnya yang bergetar ke arah Shidou yang terlihat kebingungan.

“B-bukan, bukan itu...”

Ia dengan lemas menidakkan pertanyaan Tohka.

Lalu, Shidou menatap pekerja yang memakai seragam yang luar biasa manis itu dengan sebuah boneka beruang bertengger di bahunya, mata-mata mengantuknya bercahaya.

Untuk sesaat, ia pikir ia merasakan sorotan yang seakan mengatakan ‘kalau kamu memberitahu siapapun kalau saya bekerja di sini saya akan membunuhmu’, tapi ia kemudian sadar kalau ada makna yang berbeda di baliknya.

“......ini kembalian dan struknya.”

Pada saat Shidou kaget tadi, Reine dengan sigap menyelesaikan transaksi. Ia mengulurkan struk sambil mengetuk permukaannya.

Di bagian bawah struk tersebut, tertulis ‘Kami akan membantumu. Lanjutkan date-mu sewajarnya’.

Dengan kata lain, sorotan barusan dimaksudkan agar Shidou tetap melanjutkan date tanpa membiarkan Tohka tahu kalau mereka saling mengenal... mungkin.

“T-tak usah dipedulikan.”

Shidou berkata pada Tohka, sambil mengantungi struk tersebut di sakunya.

Tatapan tajam Reine kembali ke pandangan melamunnya seperti biasa.

Dia lalu mengambil selembar potongan kertas berwarna-warni dari laci mesin kasir dan mengulurkannya pada Shidou.

“......ini ada tiket undian dari pusat perbelanjaan. Setelah anda meninggalkan toko ini, kalau anda mengikuti jalan ke kanan anda akan sampai ke tempat pengundian. Jika anda berminat, silahkan dikunjungi.

Tambah lagi setelah menjelaskan lokasinya secara detail, bagian terakhir tadi diucapkannya dengan sangat jelas.

Shidou menggaruk pipinya. Daripada ‘jika anda berminat’, dia sepertinya memberitahunya agar benar-benar memakainya.

Kalau memang begitu, tanpa menekankan hal itupun semua akan baik-baik saja.

“Shido, apa itu?”

Karena Tohka sedang mengamati tiket undian itu dengan ketertarikan yang kuat.

“Kau mau pergi ke sana?”

“Shido mau ke sana?”

“... ya, aku tidak sabar lagi.”

“Kalau begitu ayo.”

Tohka dengan ceria meninggalkan toko dengan langkah-langkah lebar.

Setelah membungkuk sedikit pada Reine, Shidou menyusulnya.


“—Kerja bagus, Reine.”

Bersembunyi di balik bayang-bayang meja kasir, Kotori berdiri setelah memastikan kepergian mereka berdua dari toko.

“... saya tidak terbiasa dengan ini, terima kasih.”

Reine mengangkat ujung seragam yang banyak rendanya itu, dan berkata dengan suara monoton.

Itulah kode strategi F-08●Operation <Hari Libur Tenguu>.

<Ratatoskr> sudah mempertimbangkan setiap kemungkinan, dan telah mengumpulkan lebih dari 1000 kode strategi. Ini adalah salah satu dari kemungkinan-kemungkinan itu.

Kalau ada kasus dimana Spirit lolos dari pengawasan, dan bertemu langsung dengan Shidou—crew <Fraxinus> akan membaur dengan orang-orang di jalanan dan mendukung Shidou dari balik bayang-bayang.

Untuk alasan ini, seluruh crew telah menghabiskan minimal satu bulan berlatih akting.

“Cocok denganmu. Imut sekali.”

Sambil menjilat permen, Kotori berkata, lalu ia segera menarik handphone-nya dan menghubungi sebuah nomor.

“Ahh, ini aku. Mereka baru saja meninggalkan toko. … Mmm, cobalah senatural mungkin sebisamu. Kalau kau gagal, kau akan dikuliti.”

Mengabarkan informasi dan penalti itu dengan singkat, ia memutuskan hubungan.

“Grup dua sepertinya sudah stand by. —Mari kita lihat, kita sebaiknya kembali ke <Fraxinus>. Meski kita tidak bisa menghubungi mereka lewat suara, kita setidaknya harus menonton videonya.”

“......ya, mari kita lakukan.”

Mendengar kata-kata Reine dari belakangnya, ujung-ujung bibir Kotori melengkung naik.

“Nah sekarang—datepertarungan kita dimulai.”


“Uhm, undian... sepertinya yang itu.”

Setelah Shidou dan Tohka meninggalkan toko dan menapaki jalan, mereka melihat sebuah tempat dengan sebuah meja panjang di mana terlihat banyak tanda silang merah dan roda undian besar yang ditempatkan di atas meja itu.

Di sana ada dua lelaki memakai happi coat[7], yang satu sedang berdiri di dekat roda undian dan satu lagi menyerahkan hadiahnya. Di belakang mereka, berjejer barang-barang yang terlihat seperti hadiah-hadiahnya macam sebuah sepeda dan karung beras. Sudah ada beberapa orang yang membuat barisan.

“...”

Shidou menggaruk pipinya.

Ia cuma mengingat samar-samar... tapi selain orang-orang yang memakai happi coat itu, ia sepertinya ingat pernah melihat wajah-wajah para pelanggan di barisan itu dalam <Fraxinus> juga.

“Oooh!”

Tapi tidak mungkin Tohka akan mengkhawatirkan hal semacam itu. Menggenggam tiket undian yang diterimanya dari Shidou (atau lebih tepatnya, karena kelihatannya dia benar-benar menginginkannya jadi Shidou memberikannya), matanya bergemilang.

“Ayo, kita mengantri.”

“Mm.”

Lalu, Tohka mengangguk, dan mereka masuk ke belakang barisan.

Memandang pelanggan di depan yang sedang memutar roda tersebut, kepala dan mata Tohka ikut berputar seiringan dengan gerakan roda.

Lalu singkatnya, tiba giliran Tohka. Meniru pelanggan sebelumnya, Tohka mengulurkan tiket ke petugas, dan menaruh tangannya di roda undian. Kalau dilihat baik-baik, petugas itu adalah <Bad MarriageTerlalu Cepat Loyo> Kawagoe.

“Aku tinggal memutar benda ini?”

Setelah mengatakan itu, dia memutar roda undian. Beberapa detik kemudian, bola untuk hadiah hiburan keluar dari roda undian tersebut.

“... sayang sekali. Bola merah cuma menang tisu sa—”

Saat Shidou mulai berbicara, Kawagoe membunyikan bel di tangannya keras-keras.

“Hadiah Utama!”

“Oooh!”

“H-huh...?”

Shidou mengernyitkan alisnya namun... melihat petugas lain di belakang Kawagoe menarik keluar sebuah spidol merah dan mewarnai bola emas yang tergambar di samping tulisan ‘Hadiah Utama’ di papan hadiah, ia menghentikan suaranya.

“Selamat! Hadiah utama adalah tiket berpasangan menuju Dreamland!”

“Ooh, apa itu Shido!”

“... taman bermain? Aku belum pernah mendengarnya...”

Dengan ragu-ragu Shidou menjawab Tohka yang telah menerima tiket tersebut dengan perasaan gembira.

Segera sesudahnya, Kawagoe mendekatkan wajahnya dan tanpa keraguan,

“Ada peta yang tergambar di tiket, jadi pastikan untuk mengunjunginya! Anda harus berangkat sekarang juga!”

“... o-oke...”

Mundur selangkah seolah sedang ditekan, ia melihat ke bagian belakang tiket. Memang ada sebuah peta yang tergambar. Dan tempat itu sangat dekat.

“Memangnya ada taman bermain di dekat sini...?”

Shidou menelengkan kepalanya, tapi yah, ini perintah dari <Ratatoskr>. Pasti ada sesuatu di sana.

“... mau lihat-lihat, Tohka?”

“Mhmm!”

Tohka sedang penuh dengan antusiasme, jadi tidak ada salahnya pergi ke sana dan melihat-lihat.

Tempatnya ternyata benar-benar dekat. Dari tempat pengundian berjarak beberapa ratus meter menyusuri sebuah gang. Di kedua sisinya masih berderet bangunan-bangunan, siapapun tidak akan mengira di tempat seperti itu dibangun sebuah taman bermain.

Namun—

“Oooh! Shido! Ada kastil! Kita ke sana!?”

Tohka mengekspresikan kegirangan yang melebihi sebelumnya, saat dia menunjuk ke depan.

Sambil berpikir betapa tidak masuk akalnya ini, Shidou mengangkat pandangannya dari balik tiketnya dan mengarahkan wajahnya ke depan.

“...”

Seketika itu juga, Shidou membeku di tempat.

Memang, meskipun kecil, terdapat sebuah kastil bergaya barat. Di papannya tertulis ‘Dreamland’.

… dan di bagian bawahnya, tertulis ‘Istirahat●Dua Jam 4000 yen~ Menginap●8000 yen~'.

Dengan kata lain, itu adalah love hotel yang hanya bisa dimasuki orang dewasa.

“A-ayo pergi Tohka...! Aku tidak sengaja salah belok tadi!”

“Nu? Bukan yang itu?”

“Ya betul. A-ayo, kita pergi.”

“Tidak bisakah kita mampir ke sana juga? Aku mau masuk.”

“...! Nggak nggak nggak. Jangan hari ini! Oke!?”

“Muuu... oke.”

Ia merasa bersalah karena membuat Tohka kecewa, tapi tempat itu tidak mungkin bagaimanapun juga. Shidou memutar badan untuk membelalak pada Kotori yang mungkin sedang menonton keseluruhannya dari langit, sebelum berbalik lagi.


“Ya ampun, jauh-jauh pergi ke sana cuma untuk berbalik? Benar benar chicken, bahkan untuk kakakku sekalipun.”

Duduk di kursi komandan <Fraxinus>, Kotori mengangkat bahu sambil mengeluh.

“......yah, apa lagi yang kamu harapkan. Kejam juga tiba-tiba melakukan itu.”

Duduk di bagian bawah bridge, Reine berkata sambil mengoperasikan sebuah alat.

Angka-angka yang diperlihatkan di layar berdasarkan analisisnya jauh lebih stabil dibanding sebelumnya. Meskipun masih belum cukup untuk dianggap pacar, angka-angka tersebut menunjukkan kalau Tohka menganggap Shidou sebagai teman yang bisa dipercaya.

Yah, karena itulah mereka mencoba pola yang agak drastis.

“Meskipun mereka tidak benar-benar sampai ke ujungnya, kalau mereka melakukan sesuatu seperti ciuman saja maka skakmat sudah.”

Saat mengatakan ini, stik permennya bergerak ke sana-sini, lalu ia membuang napas dari hidungnya.

“......apa yang perlu kita lakukan selanjutnya.”

“Nn, coba kita lihat. Ayo kita coba ‘bergandengan’ dan ‘labirin satu jalan’.”


“Haa... haa.”

Meskipun mereka tidak berlari, entah mengapa ia sesak napas. Di saat mereka keluar ke jalan dengan berbagai toko dan bangunan yang berderet, ia memperlambat langkahnya.

“Apa kau tidak enak badan, Shido?”

“Bukan, bukan itu...”

“Lalu ada apa?”

Tohka menelengkan kepala dan bertanya.

“... untuk sejenak tadi, pikiranku melayang ke imouto-ku di langit sana.”

“Di langit?”

Tohka memasang wajah sedikit terkejut.

“Ahh. Dia imouto yang manis sekali dulu...”

Tidak habis pikir dia punya kepribadian ganda seperti itu, keluhnya.

“Begitukah...”

Melihat Tohka yang tiba-tiba memancarkan aura kelam, Shidou akhirnya tersadar. Caranya berbicara barusan, seakan-seakan Kotori sudah meninggal saja.

“Ahh bukan itu Tohka, itu—”

Kata-kata Shidou berhenti.

“Silahkan ambil satu.”

Tiba-tiba, seorang gadis mengulurkan sebungkus tisu saku di depan matanya.

Ia mengulurkan tangannya dan menerimanya, dan gadis tersebut mengangguk sedikit sebelum pergi.

“Shido? Apa itu?”

“Ahh, ini disebut tisu saku—”

Sambil mengatakan ini, Shidou memelintir lehernya.

Tisu saku yang dibagi-bagikan di jalan biasanya adalah untuk promosi. Namun, pada bungkusan sepaket tisu ini, selain ilustrasi pasangan yang sedang bergandengan tangan dan kata-kata ‘Jika kau bahagia, bergandengan tangan-lah’, tidak ada apa-apa lagi selain itu. Apa ini dari semacam organisasi relijius?

Lalu, selagi ia bertanya-tanya, dari toko elektronik di sebelah kanannya ia mendengar suara yang dikenalnya dari suatu tempat.

Di banyak TV set yang berbaris di etalase, sebuah acara aneh sedang disiarkan.

“Ap...!?”

Shidou mengernyitkan alis dan menyuarakan.

Ada sejumlah banyak komentator seperti yang ada pada acara-acara informatif yang disiarkan di siang hari, namun setiap dari mereka semua adalah wajah-wajah yang dikenalnya dari <Fraxinus>.

「Siapapun yang tidak bergandengan tangan pada date pertamanya bukanlah orang yang pantas.」

「Benar, kalau kau memang laki-laki, hal itu jelas harus dilakukan」

“......”

Lalu, selagi Shidou terdiam, jumlah pasangan di sekitarnya bertambah dengan tingkat yang tidak wajar.

Apa lagi, mereka semua dengan intimnya berpegangan tangan, dan dari waktu ke waktu mengatakan ‘enak sekali bergandengan tangan!’ atau ‘rasanya hati kita ikut terhubung!’ dan hal semacam itu, seperti disengaja.

Merasa sedikit pusing, Shidou menaruh tangan di dahinya.

—Sepertinya memang itu rupanya.

Ia mengeluh dengan sangat.

Setelah beberapa lama, Shidou menaruh bungkus tisu tadi di sakunya, dan mencoba menenangkan detak jantungnya, berbalik untuk menatap Tohka.

“H-hey, Tohka...”

“Nn, apa?”

Tohka menelengkan kepalanya sambil bertanya-tanya. Shidou menelan ludah, dan mengulurkan tangannya.

“Uhm, kau mau... bergandengan?”

“Tangan? Kenapa?”

Tanpa maksud tertentu, seolah-olah sebuah tanda tanya polos sedang melayang di atas kepalanya, Tohka bertanya.

Entah kenapa, itu membuatnya merasa justru lebih malu dibanding ditolak mentah-mentah.

“... benar juga. Kenapa ya?”

Kenyataannya, itu bukanlah sesuatu yang dapat dijelaskannya. Selagi ia memalingkan muka, Shidou menarik tangannya—

“Nn.”

—kembali, tetapi tangan Tohka menggenggam tangannya.

“...”

“Nu? Kenapa dengan wajahmu itu. Kau yang tadi bilang untuk bergandengan, Shido.”

“A-ahh.”

Setelah menggelengkan kepalanya perlahan, mereka mulai berjalan.

“Mm, tidak buruk juga, bergandengan tangan.”

Sambil mengatakan ini Tohka tersenyum, dan dia sedikit memperkuat pegangannya.

“... y-ya.”

Ia sadar hanya dengan menyentuh tangan kecil, lembut, dan sedikit lebih dingin itu, wajahnya langsung memerah.

Sebisa mungkin, ia mencoba menghindari memikirkan rasanya, sembari berjalan memikirkan hal-hal lain.

Lalu, setelah berjalan maju untuk beberapa saat, ia melihat marka kuning dan hitam di depan yang menandakan sebuah area dalam pembangunan. Orang-orang berhelm sedang sibuk bekerja.

“Mm... kita tidak bisa lewat sini huh. Yah, mari...”

Shidou berbelok ke kanannya, namun kali ini di jalan itu ditempatkan sebuah tanda dilarang masuk.

“Ah?”

Sambil berpikir kalau ini mencurigakan, ia dengan enggan berbalik ke arah dari mana ia datang.

Tapi, kali ini, jalan yang mereka baru saja tapaki sejauh ini, diblokir sebuah marka.

“......”

Bagaimanapun juga ini terlalu tidak natural. Shidou memicingkan mata pada wajah-wajah para pekerja.

Ia cukup yakin, ia mengenal beberapa wajah-wajah mereka. Mereka adalah para crew <Fraxinus>.

Kehabisan kata, Shidou berputar menuju bukit, dan meliat jalanan yang terbentang di sisi kirinya.

Satu-satunya jalan yang dapat mereka ambil hanyalah itu.

“... jadi mereka menyuruh kami lewat sini huh.”

“Nu? Ada apa Shido?”

“Ti, tidak. …sekarang ini, ayo coba arah sini?”

“Mm, oke.”

Sembari memasang wajah seolah berjalan seperti ini saja sudah menyenangkan, Tohka menyetujui.

“Kalau begitu, ayo pergi Shido!”

“I-iya...”

Dengan sikap yang canggung, Shidou melangkah menuju jalan di sebelah kiri.


Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Tohka melafalkan date lebih seperti ‘Deht’
  2. Tohka mengatakannya dengan konteks yang sedikit berbeda dari territory yang dihasilkan Realizer. Penulisan ‘teritori’ disini bukanlah hasil ketidak-konsistenan.
  3. Pakaian yang dibuat menyerupai blus namun dibuat dengan bahan jersey (Jersey sendiri lebih sering dipakai sebagai bahan T-shirt)
  4. Moro Reflex adalah gerakan refleks yang terjadi pada bayi ketika ia terkejut atau takut. Di sini, sebagai akibat dari moro reflex, Kotori yang terkaget menyemburkan minuman yang ada di dalam mulutnya
  5. Kikaider adalah nama tokoh dalam serial tokusatsu Jepang yang berjudul sama.
  6. withdrawal symptom, gejala-gejala yang muncul ketika seseorang yang kecanduan terhadap sesuatu berhenti mengkonsumsinya
  7. Happi coat, pakaian tradisional Jepang yang biasanya dipakai pada saat festival-festival dan memiliki lambang tertentu di bagian belakang, bisa berupa lambang toko atau organisasi tertentu.