Sword Art Online Bahasa Indonesia:Jilid 4 Bab 8

From Baka-Tsuki
Revision as of 06:14, 2 July 2015 by Synthesis13 (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Bab 8[edit]

Bagian 1[edit]

Setelah dengan susah payah berusaha mengambil kedua pedang yang terhempas ke udara, Kirito dan Lyfa mendarat di depan dua patung yang berjaga di depan gerbang. Recon, yang secara tak terduga sepertinya terus menunggu diam-diam, menyerbu kearah mereka. Melihat seorang Sprigan hitam di samping Lyfa, ekspresinya berubah dan dia menoleh ke arah Lyfa sambil mengusap-usap lehernya.

“Well… bagaimana jadinya?”

Lyfa membalas sambil tersenyum manis:

“Kita akan menyerang World Tree. Kau, aku, dan orang ini, kita bertiga.”

“Be, begitu…Hei… Apa!?”

Lyfa menepukkan satu tangannya ke pundak Recon yang wajahnya berubah pucat dan dia mundur, mengatakan ‘Ayo bekerja keras, lalu berbalik untuk melihat ke pintu batu yang besar. Berdiri diantara kedua patung Lyfa menyadari keduanya seperti mengeluarkan udara dingin, seakan melarang bagi mereka yang ingin masuk.

Mereka mempertimbangkan untuk menyerangnya, tapi kalau boleh jujur setelah melihat seseorang dengan kekuatan seperti Kirito dikalahkan dengan telak oleh ksatria-ksatria penjaga, tambahan sebanyak 2 orang tidak akan begitu merubah hasil akhirnya. Lyfa melirik singkat ke Kirito disebelahnya – dia memperlihatkan ekspresi yang sangat serius, mulutnya tertutup.

Kirito mendongak, terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Yui, apa kau disana?”

Sebelum kata-katanya selesai, partikel cahaya di udara mulai berkumpul dan seorang pixie kecil manis yang familiar muncul. Kedua tangannya pada pinggang, ia cemberut marah. “Oh, lambat! Kalau Papa tidak memanggilku, aku tidak bisa muncul!”

“Maaf, maaf. Aku sedikit sibuk.”

Dengan senyuman pahit Kirito mengulurkan tangan kirinya dan sang pixie duduk di atasnya dengan serius. Recon mengulurkan lehernya dengan kecepatan yang luar biasa untuk melihat pixie itu, seakan-akan dia ingin melahapnya.

“Wow, i-ini Private Pixie!? Ini pertama kalinya aku melihatnya!! Oh, luar biasa, manis banget!!”

Mendengar ini, mata Yui membesar dan ia mundur.

“A, apa-apan sih orang ini?!”

“Hei, kau membuatnya takut.”

Lyfa memegang telinga Recon dan menariknya menjauh dari Yui.

“Jangan hiraukan orang ini.”

“…A, ah.”

Kirito berdiri disitu kebingungan oleh adegan didepannya. Dia mengedipkan matanya dua, tiga kali menatap Yui lagi.

“- Jadi, apa kau mempelajari sesuatu dari pertarungan sebelumnya?”

“Iya.”

Yui memperlihatkan ekspresi sungguh-sungguh di wajahnya yang cantik sembari mengangguk.

“Monster-monster penjaga itu, sementara Health[1] dan STR[2] -nya tidak begitu tinggi, pola spawning[3] mereka tidak normal. Kecepatan spawn-nya meningkat sebanding dengan kedekatan jarak dengan gerbang dalam dan saat kau sampai di depan gerbang mereka akan muncul dengan kecepatan dua belas monster per detik. Itu… ini diatur pada tingkat kesulitan yang mustahil untuk ditangkap…”

“Hmm.”

Kirito mengerutkan dahinya, dan mengangguk setuju.

“Aku tidak menyadarinya karena para penjaga masing-masing tidak begitu kuat, tapi kalau kau melihatnya sebagai sebuah kesatuan mereka adalah bos yang tidak terkalahkan. Ini didesain untuk mengipasi semangat penantang, untuk mempertahankan ketertarikan mereka sampai akhirnya mereka menyerah. Benar-benar sulit…”

“Tapi kalau dipikirkan, keahlian skill Papa yang luar biasa juga sama. Dengan kekuatan yang dahsyat itu penerobosan singkat merupakan hal yang mungkin.”

“………”

Kirito diam dalam berpikir untuk beberapa saat, lalu dia mengangkat kepalanya dan menatap Lyfa.

“…Maaf. Sekali lagi saja, bisakah kau menolongku dengan permintaan egoisku? Walau aku mengerti ini mungkin mustahil, aku ingin mengumpulkan lebih banyak orang atau mencari cara lain. Tapi… firasatku mengatakan sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Aku kehabisan waktu…”

Lyfa mendengarnya dan untuk beberapa saat berpikir untuk mengirimkan pesan ke kediaman penguasa Sylph di ibukota, Sylvain, meminta Sakuya apakah ia dapat mengirimkan pemain-pemain berlevel tinggi untuk datang sebagai bala bantuan.

Tapi segera setelah Lyfa menggigit bibirnya karena menyerah atas ide tersebut, pikirannya kembali ke pagi itu, dalam Jötunheimr. Mengingat insiden dengan kelompok Undine mengembalikannya pada akal sehatnya. Mereka memprioritaskan efisiensi dan keamanan, dan mereka menyerang evil-god yang tidak melawan tanpa mempertimbangkan permintaan Lyfa.

Tentu saja, Sakuya adalah seorang teman dan tidak akan berpikir senada dengan para Undine. Tapi Sakuya adalah seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab yang besar. Pada situasi-situasi tertentu dia akan membiarkan keputusan-keputusan yang wajar mempertimbangkan seluruh ras mengungguli perasaannya. Meskipun dia akan menantang World Tree suatu hari nanti, itu hanya akan terjadi setelah menghabiskan waktu yang cukup untuk persiapan penuh. Jika Sakuya mendengarkan permohonan pertolongan Lyfa, dia mungkin tidak akan datang mengetahui itu akan berarti pembinasaan total pasukannya.

Setelah keheningan yang singkat Lyfa mengangkat wajahnya dengan suara yang cerah dan berkata:

“OK. Ayo kita lakukan yang terbaik. Aku kan melakukan apapun yang kubisa… terus, orang ini juga.”

“Eh, apa…”

Membuat suara seperti itu, Lyfa menyodok Recon dengan sikutnya, alisnya yang selalu terlihat seperti orang kesusahan memberengut sampai batasnya. Lalu mengatakan “Lyfa-chan dan aku adalah sama, tubuh dan pikiran.”, dan hal lain, lalu akhirnya mengangguk setuju. Gerbang batu terbuka dengan suara gerumuh rendah yang terdengar seperti datang dari dasar jurang dan afmosfir yang berat, dan mengerikan keluar dari sisi lainnya, yang menyebabkan Lyfa mengepakkan sayapnya ringan. Sebelumnya saat ia terbang masuk begitu saja untuk menolong Kirito, ia tidak menyadari atmosfir yang meluap-luap ini, tapi sekarang menghadapi gerbang batu itu, ia merasakan tekanan psikologis yang kuat.

Akan tetapi, hatinya secara tidak biasa sangat tenang.

Saat ini rasanya seperti berada di tengah badai. Baik di dunia nyata ataupun dunia maya, semuanya berubah dengan suara yang gemericik dan mengalir. Dia tidak mengetahui kemana ia akan dibawa dalam aliran yang deras ini; yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba mencapai cahaya yang ada dikejauhan.

Mengikuti Kirito, Lyfa dan Recon menghunuskan pedang mereka. termasuk Yui, mata keempat orang bertemu dan meraka menaikkan sayap mereka bersamaan.

“…Ayo!”

Dengan teriakan Kirito mereka semua bertolak dari tanah, memasuki ruangan yang membulat.

Seperti yang diputuskan sebelumnya, Kirito mulai mencoba mencapai gerbang dan berada di tengah ruangan berakselerasi dengan kecepatan luar biasa. Lyfa dan Recon tetap berada di dekat lantai dan mulai membaca mantra penyembuhan.

Dari pancaran cahaya di kanopi raksasa-raksasa putih terbentuk dari cairan kental yang menetes-netes. Mereka menyerbu Kirito dengan sebuah teriakan yang berani dan aneh. Saat barisan depan ksatria penjaga dan Kirito terlihat bertemu, sebuah kilatan cahaya dan ledakan yang menderu diseluruh ruangan.

Beberapa raksasa terpotong-potong dengan satu tebasan dan terpencar ke semua penjuru. Melihat pemandangan seperti itu, Recon berbisik di sebelah Lyfa.

“…Luar biasa.”

Itu memang kekuatan pedang pada level yang mengerikan. Meskipun begitu, menyaksikan adegan Kirito bertarung dengan monster dalam jumlah besar mengirimkan rasa dingin ke bawah tulang belakangnya.

Jumlah musuh terlalu banyak. Banyaknya jumlah ksatria penjaga yang turun dari kanopi yang seperti jala merupakan situasi yang melebihi keseimbangan permainan. Walau dalam dungeon dunia bawah tanah paling buruk, Jötunheimr, spawning rate[4] monsternya masih lebih bisa diatasi daripada ini.

Para ksatria penjaga mengelompok dengan rapat, mengeluarkan pita-pita bergelombang untuk menyerang Kirito. Serangkaian kilatan muncul di atas, dan setiap waktu tubuh sebuah ksatria tercerai-berai cahaya menari seperti salju. Akan tetapi, setiap satu dihancurkan tiga yang lain akan muncul.

Saat Kirito sudah setengah jalan menuju pintu di atas ruangan, HP Bar-nya hanya berkurang 10 persen. Lyfa dan Recon melepaskan matra penyembuhan yang telah mereka siapkan dan dimasukkan dalam keadaan siap. Tubuh Kirito diselubungi oleh cahaya biru dan health-nya kembali penuh.

-Tapi.

Sebuah hal yang buruk terjadi pada waktu yang bersamaan.

Sekelompok ksatria penjaga yang terbang rendah berbalik ke arah Lyfa dan Recon dengan teriakan yang ganjil.

“Ua…”

Recon mengeluarkan suara gelisah.

Lyfa merasakan dibalik topeng-topeng kaca ksatria-ksatria penjaga berfokus pada mereka. ia secara tidak sadar mengepitkan giginya dengan rapat.

Untuk menghindari dijadikan sebagai target, Lyfa dan Recon hanya menggunakan sihir untuk menyembuhkan Kirito. Umumnya, monster hanya menyerang pemain yang berada dalam zona deteksi mereka. Itu berarti, mereka tidak menyerang pemain dengan jangkauan jauh jika mereka tidak menggunakan panah atau sihir penyerang.

Akan tetapi, para ksatria penjaga itu sepertinya berbeda dengan monster-monster di dunia luar, mereka menggunakan algoritma dengan maksud jahat juga. Jika mereka bereaksi terhadap sihir penunjang dari jauh lalu menggunakan sebuah formasi ortodoks seperti penyerang terhadap barisan depan dan penyembuh di belakang formasi menjadi tidak berguna.

‘Itu grup lima atau enam ksatria, berbalik sana!’ harapan Lyfa menjadi harapan kosong, mereka mulai mengepakkan keempat sayap mereka dan para ksatria menukik turun. Masing-masing dari mereka memegang pedang yang dengan mudah lebih tinggi dari Lyfa di tangan kanan mereka. pedang mereka terlihat bersinar dengan cahaya lapar ingin memangsa mereka.

Lyfa berseru pada Recon:

“Aku akan mengalihkan perhatian mereka, kau lanjutkan saja penyembuhannya seperti ini!” Lyfa naik tanpa menunggu jawaban. Meskipun begitu, walau biasanya selama pertarungan-pertarungan sampai saat ini Recon selalu mendengar perintah Lyfa, kali ini dia berkata ‘Tunggu’, lalu memegang tangan kanan Lyfa. Terkejut, Lyfa menoleh ke arahnya dan dihantam oleh ekspresi serius yang jarang terlihat, bahkan suaranya juga tegang.

“Lyfa-chan… walau aku tidak begitu mengerti, ini adalah pertarungan yang penting ‘kan?”

“- Iya. Sekarang ini mungkin sudah bukan game lagi.”

“…Walau tidak mungkin aku bisa menyamai Si Sprigan itu… aku akan lakukan sesuatu untuk mengatasi para penjaga itu…”

Segera setelah dia selesai bicara, Recon bertolak dari tanah dengan flight controller[5] ditangannya. Sementara Lyfa berdiri disitu terheran, dia terbang jauh ke depan, langsung ke arah kumpulan ksatria penjaga.

“I-idiot…”

‘- Dia bukan lawan yang sebanding’, pikir Lyfa, tapi ia tahu ia tidak dapat mengejarnya lagi. Melihat ke samping, HP Kirito yang penuh mulai menurun sekali lagi. Lyfa terpaksa mulai membacakan mantera penyembuhan. Walau ia dengan cepat memberikan sihirnya, Lyfa dengan cemas terus memperhatikan Recon dari belakang.

Recon mengeluarkan sihir ber-atribut angin yang memiliki cakupan daerah yang luas yang dia siapkan selama ia terbang untuk menyerang para ksatria penjaga. Banyak pedang berwarna hijau menebar dalam bentuk kipas dan menyerang para penjaga, mengoyak mereka. HP para ksatria tidak turun begitu banyak, tapi mereka semua menargetkan Recon.

Para raksasa putih mengeluarkan lolongan yang terdistorsi saat mereka berkonfrontasi dengan pemuda hijau kecil. Recon terbang di sekitar pedang raksasa yang berbahaya, sebagaimana dia bergerak seperti daun yang dipermainkan angin, dan keluar dari belakang mereka. para ksatria segera berbalik, mengikutinya.

Lyfa menyelesaikan manteranya dan cahaya sihir penyembuhan mengelilingi Kirito. Beberapa ksatria penjaga bereaksi dan mulai turun. Para ksatria itu bergabung dengan grup yang mengejar Recon, menyebabkan gerombolan itu menjadi dua kali lebih besar.

Meskipun tidak begitu mahir dalam pertarungan udara Recon menghindari pedang yang menyerbu kearahnya dengan konsentrasi yang luar biasa. Dia kadang-kadang terkena serangan dan HP-nya perlahan-lahan mulai turun, tapi tidak ada luka yang fatal.

“…Recon…”

Cara terbang Recon terlihat putus asa dan Lyfa merasa tersentuh, namun ia tahu Recon tidak mungkin bertahan. Setiap ia memberikan sihir penyembuh pada Kirito, sekelompok baru ksatria turun, menambah jumlah yang berkerumun di sekitar Recon.

Akhirnya, ksatria penjaga yang mengejar Recon terbagi menjadi dua tim. Mereka sepertinya akan menggencetnya. Satu dari banyak ujung pedang yang turun seperti hujan mengenai punggung Recon, melemparnya jauh.

“Recon, cukup! Pergilah keluar!!”

Lyfa tidak tahan lagi melihatnya dan berteriak. Sekali seorang pemain menyelamatkan diri keluar, dia tidak akan bisa masuk lagi selama masih ada pertarungan di dalam. Ia memutuskan untuk bertahan sampai batas kemampuannya, lalu terbang sambil membaca mantera penyembuhan.

Tapi sebelum itu, Recon menoleh dan menatapnya. Wajah Recon tersenyum yakin. Melihatnya, Lyfa berhenti membuka sayapnya.

Recon mulai membaca mantera baru sambil menerima berlapis-lapis serangan pedang. Tubuhnya dengan cepat dikelilingi oleh sebuah efek cahaya berwarna ungu gelap.

“…!?”

Menyadari bahwa itu adalah sebuah atribut sihir kegelapan, Lyfa terkesiap. Sebuah lingkaran sihir yang rumit tiba-tiba muncul. Dinilai dari ukurannya, itu adalah mantera yang cukup tinggi. Sangat jarang untuk melihat sihir kegelapan di wilayah Sylph, Lyfa tidak tahu efek seperti apa yang dimilikinya.

Lingkaran sihirnya menjadi besar sejenak, berputar pada sumbunya sambil menyelubungi ksatria-ksatria yang berkumpul ke arahnya. Pola rumit cahaya itu memadat dalam sekejap – lalu semuanya dihantam oleh kilatan yang dahsyat.

“Wah…!!”

Lyfa dibutakan oleh kilatan itu dan secara refleks memalingkan wajahnya. Sebuah ledakan yang terdengar seperti akan menghancurkan surga dan bumi terjadi, menggoyahkan seluruh ruangan. Dibutuhkan sedetik penuh untuk pulih dari cahaya putih yang membutakan. Lyfa berusaha untuk melihat ke pusat ledakan sambil mengepalkan tangannya. Ia begitu terkejut sampai kehilangan kata-kata. Para ksatria penjaga yang mengelilingi Recon telah tidak ada. Satu-satunya sisa keberadaan mereka hanyalah cahaya ungu yang tipis yang menggantung di udara.

Kekuatannya sangat mengerikan. Tidak begitu banyak mantera sekuat itu dalam atribut angin tau api. ‘Si Recon itu, kapan dia mempelajari mantera rahasia seperti ini?’ Lyfa berseru dalam kegembiraan dan rasa terkejut. Kalau serangan seperti ini digunakan beberapa kali lagi maka menerobos menuju gerbang di atas menjadi mungkin. Lyfa berencana untuk menyembuhkan Recon sekarang dan menggerakkan tangannya – tapi lagi-lagi ia membeku di tempat.

Setelah ledakan sosok kecil Recon tidak ada. Sebagai gantinya, «Remain Light[6] » mengapung di udara.

“- Sihir Penghancuran Diri…?” Lyfa berbisik dalam keterkejutan. Benar juga – dia ingat pernah mendengar tentang sihir kegelapan seperti ini dulu. Tetapi, sihir itu punya death-penalty[7] yang beberapa kali lebih buruk daripada kematian yang normal, jadi sihir itu bisa digolongkan sebagai sihir terlarang.

Lyfa memejamkan matanya rapat-rapat, kehilangan kata-kata untuk beberapa detik. Walau hanya sebuah permainan; pengalaman, waktu, dan usaha yang Recon curahkan membuatnya menjadi sebuah pengorbanan sungguhan. Dari sini sampai selanjutnya, ‘menyerah’ bukanlah pilihan. Ia membuka matanya dengan tekad yang bulat lalu melihat ke atas. Lalu –

Saat ia melihat pemandangan didepannya ia merasa tenaga meninggalkan kakinya.

Atap ruangan melengkung itu begitu penuh dengan warna putih sampai ia tidak bisa melihatnya sama sekali.

Kirito adalah titik hitam kecil ditengahnya. Setelah setiap ayunan pedangnya, tubuh-tubuh berjatuhan. Itu terlihat seperti menusukkan jarum ke bukit pasir. Lubang pada dinding yang terbuat dari badan ksatria penjaga putih yang Kirito buat segera terisi, sepenuhnya menghalanginya.

“Uoooooo!!”

Kirito bertarung seperti setan dan mengaum seakan ia akan muntah darah, teriakan menantangnya samar-samar mencapai telinga Lyfa.

“… Ini mustahil onii-chan… hal seperti ini…”

Sejujurnya, gagasan bahwa jiwa seseorang terperangkap di dunia ini, meskipun Kirito yang memberitahunya, merupakan sesuatu yang masih tidak bisa ia percayai. Ini adalah sebuah game, sebuah dunia game virtual[8] untuk dinikmati. Ia tidak bisa membantah merasakan penolakan terhadap cerita yang menghubungkan dunia ini dengan «Dunia SAO» yang seperti mimpi buruk.

Bagaimanapun, Lyfa merasa ini pertama kalinya ia melihat apa yang disebut «Sistem yang Jahat». Dunia game virtual memiliki keseimbangan yang adil, tetapi tempat ini penuh dengan nafsu membunuh terhadap pemain. Seperti sabit dewa kematian yang diayun-ayunkan – perasaan seperti itu. Memang tujuan sang dewa untuk membunuh. Tak seorangpun bisa menentang.

Tiba-tiba sebuah suara rendah, piuh, seperti kutukan bergema dalam dome[9].

Sebagian dari ksatria penjaga berhenti bergerak, tangan kiri mereka terulur ke depan saat mereka membaca mantera. Itu adalah mantera yang mengunci gerakan Kirito pertama kalinya dia datang kesini. Saat terkena, sihir itu akan menimbulkan efek ‘stun[10]’, membuat korbannya terbuka untuk serangan pedang.

Membayangkan melihat adegan Kirito ditusuk oleh pedang yang tak terhitung jumlahnya membuat Lyfa membeku.

Pada saat itu…

Mendadak, dari belakang muncul sebuah ombak, tidak, sebuah tsunami suara yang memukul sayap Lyfa yang melayu.

“Ap…!?”

Lyfa dengan segera berbalik – dalam formasi yang rapat mereka datang melalui pintu yang terbuka berpakaian dalam armor[11] baru berwarna hijau yang berkilauan. Itu adalah pasukan Sylph.

Sekali lihat menunjukkan Lyfa bahwa perlengkapan mereka adalah kelas senjata kuno. Kelompok pemain yang besar itu, berpakaian lengkap dalam peralatan baru yang sama, menyerbu melewati Lyfa seperti angin musim semi dan terbang ke arah kanopi. Ada sekitar 50 orang dari mereka.

Sambil terkagum-kagum Lyfa memusatkan perhatiannya pada mereka, dan satu per satu cursor nama bermunculan. Ia tidak bisa melihat wajah mereka karena tertutup pelindung kepala, tetapi nama yang ditampilkan semuanya merupakan nama para pemain elit dari wilayah Sylph. Mendengar raungan heroic dari kelompok itu para ksatria penjaga menghentikan sementara mantera yang ditujukan untuk Kirito dan mulai bergerak. Perasaan ngeri dan kegembiraan menyelimuti Lyfa. Namun, mereka bukan satu-satunya kelompok yang bergabung dalam usaha menundukkan dome ini.

Beberapa detik setelah pasukan elit Sylvain terakhir masuk, sebuah seruan perang lain terdengar. Saling menindih, teriakan mereka bercampur menjadi seperti raungan behemoth[12] , seperti halilintar yang menyambar dikejauhan.

Pasukan baru yang menyerbu masuk lumayan lebih kecil daripada Pasukan Sylvain. Lyfa memperkirakan ada sekitar 10 orang. Meskipun begitu, setiap anggota dari kavaleri[13] berukuran luar biasa besar.

“Naga Terbang…!”

Lyfa berteriak kaget. Dari kepala hingga ekor, mereka beberapa kali lebih besar daripada pemain dan ditutupi oleh sisik warna abu-abu besi. Sebagai bukti bahwa mereka bukanlah monster liar. Dahi, dada, dan ujung menonjol pada sayap mereka yang sangat panjang dilengkapi dengan armor besi berkilauan.

Dari kedua sisi armor di dahi naga tersebut, kekang yang terbuat dari rantai perak memanjang, dipegang erat oleh pemain yang duduk pada pelana dipunggungnya. Para penunggangnya pun dilindungi oleh armor baru, telinga-telinga segitiga menonjol dari kedua sisi kepala mereka, dari bawah armor punggung mereka sebuah ekor yang tidak bisa diabaikan.

Tidak diragukan lagi mereka adalah Senjata terakhir Cait Sith, para Ksatria Naga. Mereka biasanya digunakan sebagai pertolongan terakhir. Para pejuang legendaris yang disimpan dalam kerahasiaan penuh, tidak pernah terlihat dalam screeshot, dan sekarang, mereka beterbangan di depan mata Lyfa.

Tertangkap dalm euphoria, dengan darahnya mendidih, Lyfa berdiri disana dengan sayapnya terbentang tegang. Tiba-tiba, ia mendengar seseorang memanggil dari belakangnya:

“Maaf, kami terlambat.”

"Maaf, kami terlambat."

Ia segera berputar dan berdiri disana adalah sosok sang Penguasa Sylph, Sakuya, mengenakan bakiak ber-hak tinggi dan berpakaian santai. Disebelahnya adalah Alicia Rue, Pemimpin para Cait Sith, yang berkata sambil menggerak-gerakan telinganya:

“Maaf, para penempa Leprechaun harus menempa armor naga sesuai jumlah yang dibutuhkan, jadi baru bisa diselesaikan barusan. Walau dengan uang yang diberikan oleh si Sprigan, kas kami, dan kas bangsa Sylph sekarang kosong!”

“Dengan kata lain, kedua ras akan bangkrut kalau kita dimusnahkan disini.”

Sakuya tertawa dingin dengan kedua tangannya menyilang.

-mereka datang. Keduanya, walau berisiko kehilangan status mereka sebagai penguasa, mereka datang dengan segera. Pasukan gabungan dari kedua ras ini, mengatasi perebutan sumber daya yang merupakan esensi dari MMORPG, melemparkan semua perhitungan risiko pada angin, pasti akan dengan efektif mengungguli ekspektasi para GM[14].

“…Terima kasih… Terima kasih, Anda berdua.”

Lyfa hanya dapat mengatakan kata-kata itu dengan suaranya yang bergetar. Pastinya, di dunia ini ada hal-hal yang lebih penting daripada peraturan, dan sikap, dan akal sehat – pikiran itu memenuhi hatinya, dan ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Meskipun keduanya bicara dengan suara yang mereka yang berbeda serta menggunakan nada yang sama saat berkata ‘kita impas sekarang’, lalu mentap kearah kanopi dengan ekspresi serius. Sakuya menyentakkan kipas tangan di tangan kanannya. “Well – kita juga akan pergi!”

Melihat dinding ksatria penjaga putih mengirimkan kelompok untuk menyerang barisan depan pasukan Sylph, Lyfa mengangguk kuat, dan ketiganya bertolak dari tanah. Kirito berada di tengah dome sibuk dalam pertarungan sengit, tapi sepertinya dia menyadari datangnya bala bantuan dan berhenti mencoba untuk menerobos sendirian, meninggalkan sedikit ruang antara dirinya dan dinding penjaga.

Dengan anggun meluncur ke bagian tengah ruangan, Alicia Rue mengangkat tangan kanannya dan berseru dalam suara yang cantik dan berwibawa.

“Pasukan Naga! Bersiap untuk serangan napas!”

Kesepuluh pasukan penunggang naga melayang dalam sebuah lingkaran besar disekitar mereka bertiga, termasuk Lyfa. Dengan sayap mereka terbentang dan lehernya membentuk huruf S, ia bisa melihat cahaya berwarna jingga di belakang gigi mereka.

Selanjutnya, Sakuya dengan cepat mengangkat kipas merah yang terlipat.

“Regu Sylph, bersiap untuk serangan spesial!”

Tersusun dalam bujur sangkar yang padat, para pasukan Sylph mengangkat pedang mereka di atas kepala mereka menggunakan tangan kanannya, cahaya hijau zamrud menyelubungi pedang mereka seperti filigree[15].

Para ksatria penjaga terlihat seperti kerumunan cacing putih berkumpul begitu banyak dan meneriakkan teriakkan ganjil yang menggelegar seraya mendekat. Alicia Rue menggigit bibirnya dengan taringnya yang panjang, lalu menunggu para ksatria penjaga untuk batas serangan, melambaikan tangan kanannya, menaikkan suaranya, dan berteriak.

“Fire Breath[16], serang!”

Lalu semua semua napas dari sepuluh naga yang terakumulasi dilepaskan dalam kobaran api. Garis-garis api merah menyala keluar dari mulut mereka, meninggalkan bekas di udara. Sepuluh pilar api menghantam pada ksatria naga yang mengelilingi Kirito dan prajurit Sylph.

Cahaya yang menyilaukan menerangi seluruh ruangan. Beberapa saat kemudian, bola api tiada henti menciptakan dinding api besar. Suara ledakan yang dahsyat menggoncang ruangan. Sisa-sisa ksatria penjaga tertiup ke segala arah, meninggalkan api putih yang berkobar.

Tapi seakan tidak ada habisnya, gerombolan baru menerobos dinding sisa-sisa tubuh penjaga sebelumnya, dengan paksa menerobos neraka api yang menyala. Pertama-tama, seperti ingin menelan Kirito, yang berada di depan, mereka membuka mulut besar-besar, terlihat seperti cairan yang menyebar.

Saat massa putih seperti hendak membanjir Sakuya dengan tajam mengayunkan kipasnya ke bawah, berteriak:

“Fenrir Storm[17], serang!”

Pasuka Sylph menusuk tajam pedang panjang mereka dalam irama yang sempurna. Dari masing-masing dari 50 pedang sebuah kilat hijau yang menyilaukan menyembur keluar dan memotong udara secara zig-zag, penembus dalam pada gerombolan ksatria penjaga.

Lagi, dunia diwarnai oleh kilatan cahaya putih yang menyilaukan. Sekarang tidak terjadi ledakan, sebagai gantinya petir tebal menyambar dengan bebas. Ksatria penjaga yang tersambar meledak menjadi potongan-potongan kecil.

Setelah kelompok besar kedua dihancurkan bagian tengah dari dinding ksatria penjaga jatuh. Namun, seperti permukaan suatu cairan, lubang yang dibuat dalam dinding itu segera terisi dari sisi-sisinya.

Ini adalah ‘sekarang atau tidak sama sekali’, Lyfa yakin. Ia segera menghunuskan katananya dan bertolak ke udara untuk menyerbu ke depan. Para pemimpin masing-masing ras sepertinya juga membuat keputusan yang sama. Suara Sakuya melengking di udara seperti pecut.

“Seluruh pasukan, maju!”

Itu pastinya merupakan pertempuran paling besar yang pernah terjadi di dunia itu. dari belakang datang napas api yang terus menerus, ksatria-ksatria penjaga terbakar sampai mati dan terus berjatuhan satu per satu. Formasi hulu ledak[18] prajurit Sylph menebas raksasa-raksasa yang berkumpul dengan pedang mereka yang kuat, menciptakan lubang besar pada dinding tubuh itu.

Pada ujung formasi adalah Sprigan hitam kecil. Kelas perlengkapannya jauh lebih lemah daripada para pejuang Sylph, tapi dengan pedangnya bergerak melebihi kecepatan yang seperti dewa, apapun yang disentuh pedangnya terpotong dan meledak.

Lyfa terbang ke celah yang dibuka pejuang Sylph, segera sampai di belakang Kirito. Setelah menahan pedang dari satu ksatria penjaga yang akan menyerang punggung Kirito, Lyfa menghujamkan katananya pada topeng kaca monster tersebut. Memegang katananya sambil berputar, leher dari si penjaga terlepas dari tubuhnya, dan tubuhnya terbakar dalam api putih. Kirito menoleh pada Lyfa, dan berkata dengan hanya menggerakkan bibirnya.

“Sugu, aku serahkan bagian belakang padamu.”

“Kau bisa mengandalkanku!!”

Matanya bertemu mata Kirito dan merespon tanpa kata, lalu menempelkan punggungnya pada punggung Kirito. Keduanya berputar-putar, menebas ksatria penjaga yang terus menerus muncul dihadapan mereka.

Satu lawan satu, ksatria-ksatria raksasa seharusnya tidak mudah dibunuh baginya. Akan tetapi, saat ia menempel ke punggung Kirito dan menyamai kecepatannya, Lyfa merasa para ksatria itu terus melambat. Tidak – mungkin system sarafnya yang berakselerasi? Ini terjadi di pertandingan kendo juga sebelumnya, Lyfa diselimuti perasaan bahwa ia bisa mengetahui semua yang terjadi disekitarnya.

Ia merasa dirinya dan Kirito telah menjadi satu. Dengan system saraf mereka terhubung langsung, sinyal-sinyal listrik mengalir dari satu ke yang lain. Tanpa melihat, ia mengetahui bagaimana Kirito bergerak dibelakangnya. Saat pedangnya memotong ke leher salah satu ksatria penjaga, sambil berputar, Lyfa menebas leher ksatria yang sama dan menghabisinya. Pada topeng ksatria lain yang Lyfa rusak, Kirito menyerang bagian yang sama, memotong dalam.

Kirito, Lyfa, para pejuang Sylph, dan pasukan naga bergerak seperti kesatuan putih yang panas, terus menerus menyentuh dan melelehkan dinding ksatria penjaga tanpa batas, maju semakin dalam dan semakin dalam. Jumlah ksatrianya tidak terbatas, tetapi banyaknya ruang dalam dome sudah tetap. Selama mereka terus maju, saatnya akan segera tiba.

“Seraaaa!!”

Dengan teriakannya yang bersemangat Lyfa memotong seorang ksatria penjaga menjadi dua, ksatria itu roboh dan menghilang.

Dibalik beberapa ksatria terakhir, walau hanya sekejap, ia melihat puncak dome.

“Oooo!!”

Dengan teriakan, Kirito bergerak dari belakang Lyfa saat kilatan cahaya hitam menyerbu ke celah pada dinding badan itu. gerombolan terakhir ksatria penjaga mendekatinya dari semua penjuru sambil meneriakkan teriakan penuh kebencian untuk mencegah penyusup. Mereka berjumlah hampir tiga puluh.

“Kirito-kun!!”

Lyfa secara refleks mengayunkan pedangnya dan melemparnya pada tangan kiri Kirito dengan sekuat tenaga.

Pedang hijau itu berputar di udara dan mendarat di tangan Kirito seakan ditarik ke arahnya.

“U…oooooo—!!”

Dengan teriakan yang menggoncang seluruh ruangan, Kirito memegang pedangnya di tangan kanan dan katana di tangan kiri. Mereka menghambur dengan kecepatan yang menakutkan dalam serangan ganda.

Memotong dari kanan atas. Menebas dari kiri bawah. Dua pedang berkilauan merubah sudut sedikit dan membuat lingkaran seputih salju yang terlihat seperti korona pada gerhana matahari. Tubuh para ksatria yang terperangkap dalam tebasannya yang amat sangat cepat terpotong-potong seperti kertas, menyebar ke sekeliling.

Sword Art Online 4 - 200.jpg

Sekarang, terlihat jelas dibalik End Flame dari lingkaran api putih. Terjerat dalam ranting-ranting pohon yang seperti jaring di tengah kanopi ruangan, adalah gerbang melingkar yang terbagi dalam potongan-potongan oleh sebuah persilangan seperti salib. Menjangkau sampai ke dalam batang World Tree, gerbang terakhir menuju Alfheim, kastil di atas pohon.

Sosok kecil berpakaian hitam terus terbang menuju gerbang, menciptakan ekor cahaya dibelakangnya. Dia sampai. Akhirnya.

Di depan mata Lyfa, tubuh-tubuh ksatria penjaga dengan cepat dan berulang menumpuk dan mengisi setiap ruang terbuka dalam sekejap. Sakuya, yang menyadari Kirito menembus garis pertahanan, berseru dari belakang:

“Semuanya kembali, mundur!”

Menghindar bersama dengan regu Sylph sembari menukik dengan bantuan dari serangan napas api, Lyfa, untuk sesaat, melihat ke belakang ke arah kanopi. Ia tidak bisa melihat sosok Kirito karena dinding penjaga, tapi terpantul dalam mata hatinya, naik sosok yang menuju ke tempat yang tak seorangpun pernah mencapainya, naik semakin tinggi dan semakin tinggi.

Terbanglah – Pergilah – Pergilah kemanapun! Melalui pohon raksasa, membubung di langit, ke pusat dunia -!

Bagian 2[edit]

Kupikir urat sarafku akan terbakar, memikirkan kecepatanku menyerbu melewati jarak terakhir itu.

Di depanku adalah gerbang berbentuk lingkaran yang besar terbuat dari empat bagian yang tertutup rapat digambari oleh litograf[19] berbentuk salib. Dibelakangnya, dia – Asuna menunggu. Tertinggal di dunia itu, bersama dengan separuh jiwaku.

Dari belakang, teriakan para ksatria penjaga bergema, penuh amarah. Mereka berbalik, dan sepertinya mereka akan mengejarku. Lalu banyak ksatria muncul dari kanopi di sekitar gerbang bahkan tanpa kilatan cahaya dan menyerbu ke arahku seketika mereka melihatku dalam jarak pandangnya.

Bagaimanapun, aku lebih cepat. Gerbangnya hanya tinggal berjarak satu lengan dariku.

Tapi – akan tetapi.

“…Gerbangnya tidak bisa dibuka…!?”

Aku secara tidak sadar berteriak pada situasi yang tak terduga ini.

Gerbangnya tidak mau terbuka. Sebelumnya, aku berpikir jika aku mendekat sedikit lagi saja, gerbang besar menyebalkan itu akan terbuka, tapi ia tertutup rapat, menghalangi jalanku dan bagian yang berbentuk salib tidak bergerak sedikitpun.

Mulai saat itu, tidak ada waktu untuk melambat. Aku bersiap dengan pedangku di tangan kanan setinggi pinggang, dan berharap dapat menghancurkan gerbangnya dengan satu tebasan, menyerbu ke arahnya, bersatu dengan pedangku.

Segera setelah itu, aku mengenai gerbang itu dan sangat terkejut. Ujung pedangku menusuk potongan batu itu, menebarkan bunga api yang intens. Namun – permukaannya tidak tergores sama sekali.

“Yui – apa yang terjadi!?”

Aku berteriak dalam kebingungan. Tak mungkin, barusan itu tidak cukup? Apa kita tidak hanya harus menerobos ksatria penjaga, tapi juga membutuhkan sejenis item atau flag[20]?

Hampir mengikuti keinginan untuk mengayunkan pedangku lagi, Yui terbang keluar dari saku pakaianku dengan suara lonceng kecil. Dengan lembut ia meletakkan tangannya pada gerbang batu.

“Papa.”

Ia segera memutar kepalanya, dan dengan cepat berkata:

“Pintunya tidak dikunci oleh quest flag atau yang lainnya! Ini seperti ini karena administrator sistem.”

“A – Apa maksudmu!?”

“Dengan kata lain… pintu ini tidak akan pernah bisa dibuka oleh pemain!”

“Ap….”

Aku terdiam.

Ini artinya petualangan besar – bahwa ras yang memanjat World Tree[21] dan mencapai Kota di Langit akan terlahir kembali sebagai peri sesungguhnya, seperti menggantungkan wortel didepan hidung seekor kelinci. Akan tetapi kelinci itu tidak akan pernah bisa mencapainya? Di luar fakta bahwa tingkat kesulitannya kelewat batas, lalu ada pintu yang tidak akan pernah bisa dibuka tanpa kunci yang bernama otoritas sistem…?

Aku merasa tubuhku kehilangan tenaga. Dibelakangku, teriakan para ksatria penjaga menyerbuku seperti tsunami. Namun, tekad yang membuatku dapat memegang pedang lagi tidak mau keluar.

‘- Asuna, aku sudah sampai sejauh ini… tinggal sedikit lagi, sampai aku bisa mencapaimu… sepotong kehangatanmu waktu itu, apa itu yang terakhir bagi kita…?’

‘- Tidak. Tunggu. Itu, kalau tidak salah…’

Mataku membuka lebar. Dengan tangan kiriku, aku meraba-raba dalam kantung belakangku. Ada. Sebuah kartu kecil. Apa yang Yui katakan sebelumnya, bahwa ini adalah kode akses sistem…

“Yui – pakai ini!” Aku mengeluarkan kartu berwarna silver itu di depan mata Yui. Matanya melebar lalu ia mengangguk dalam.

Tangan kecilnya menyapu permukaan kartu. Beberapa garis cahaya mengalir dari kartu ke dalam Yui.

“Menyalin kode!”

Ia berseru, lalu mengempaskan kedua telapak tangannya ke permukaan gerbang.

Aku disilaukan oleh cahaya yang terang dan menyipitkan mataku. Tempat dimana tangannya menyentuh, garis-garis biru terang memancar, dan segera setelahnya, gerbang itu sendiri mulai bersinar.

“- Kita akan ditransfer!! Papa, pegang tanganku!!”

Yui mengulurkan tangan kanannya dan menggenggam erat ujung jari tangan kiriku. Garis cahaya itu disalurkan melalui tubuhnya mengalir ke dalam tubuhku. Tiba-tiba, suara aneh dari ksatria penjaga bergema dari tepat di belakang kami. Walaupun aku menyiapkan diri, lusinan pedang besar meluncur ke arahku. Tetapi, pedang-pedang itu hanya menembusku seperti mereka sudah kehilangan substansi. Bukan, akulah yang mulai menjadi transparan. Tubuhku menghilang perlahan-lahan ke dalam cahaya.

“―!!”

Tiba-tiba, aku merasa seperti ditarik kedepan. Yui dan aku berubah menjadi aliran data dan dihisap ke dalam gerbang, yang telah berubah menjadi tabir putih yang bersinar.

Kesadaranku segera kembali.

Ku gelengkan kepalaku beberapa kali berusaha membuang sensasi yang tertinggal akibat perpindahan tadi sambil mengedip-kedipkan mata. Ini sama dengan penggunaan Kristal teleportasi di Aincrad, tetapi bukannya oleh kesibukan alun-alun gerbang teleportasi yang kukenal, aku dikelilingi oleh kesunyian.

Aku perlahan bangkit dari postur dimana aku menemukan diriku dengan satu lututku menyentuh tanah. Didepanku adalah Yui dengan wajah cemas. Dia tidak lagi dalam wujud pixie kecil, tapi yang asli, dengan penampilan anak perempuan berusia sekitar 10 tahun.

“Papa tidak apa-apa?”

“Iya… Ini…?”

Aku melihat ke sekelilingku sambil mengangguk.

Bagaimanapun kau mengatakannya – tempat ini sangat ganjil. Sama sekali berbeda dengan jalan-jalan yang dihias di Sylvain dan Aarun dengan perasaan ‘game’ baru dengan detil yang berlebihan. Segala yang kulihat memberikan kesan kosong, hanya ada dinding putih tanpa tekstur atau detil.

Aku berada di suatu tempat ditengah semacam jalan. Daripada lurus, jalan ini menikung ke kanan. Sama halnya dengan dibelakangku. Sepertinya tikungan ini sangat panjang, atau mungkin jalan yang melingkar.

“… Aku tidak mengerti, sepertinya tidak ada peta untuk navigasi tempat ini…”

Kata Yui dengan wajah bingung.

“Apa kau tahu dimana Asuna berada?”

Ketika ditanya, mata Yui terpejam sebentar, lalu ia mengangguk dalam.

“Iya. Tempatnya sudah – sudah dekat… ke arah sini.”

Bertolak dari lantai dengan bertelanjang kaki, ia berputar dan mulai berlari tanpa suara. Aku kembalikan pedang di tangan kananku ke punggungku lalu segera mengikutinya. Katana yang seharusnya ada di tangan kiriku telah menghilang. Kemungkinan, ketika aku ditransfer kesini, katana itu kembali ke tangan Lyfa, yang merupakan pemilik dari data sistem aslinya. Kalau dia tidak melemparkan pedang itu padaku, aku pasti tidak akan bisa menembus dinding terakhir itu. aku menutup mataku sebentar dan dalam diam menyampaikan terima kasihku pada sensasi yang tersisa di tangan kiriku.

Setelah mengikuti Yui untuk beberapa lusin detik, sebuah pintu persegi dapat terlihat dari sebelah kiri, dinding sebelah luar tikungan. Pintu itu sama-sama tidak dihias juga.

“Sepertinya memungkinkan untuk mencapai puncak dari sini.”

Aku mengangguk pada kata-katanya saat Yui berhenti dan mengamati pintu itu dengan seksama – badanku menjadi kaku seketika.

Terdapat dua tombol berbentuk segitiga berbaris, satu menunjuk ke atas, yang lain menunjuk ke bawah. Ini merupakan sesuatu yang tidak pernah aku lihat di dunia ini, tetapi tidak diragukan lagi, sangat aku kenal di dunia nyata. Aku hanya bisa memikirkan bahwa tombol-tombol ini adalah tombol untuk elevator.

Tiba-tiba dan anehnya, dengan tubuhku dibungkus baju tempur dan pedang di punggungku, aku mengerutkan dahi merasa salah tempat. Tidak – tempat inilah yang aneh. Jika tombol-tombol ini merupakan apa yang kupikirkan, maka tempat ini tidak dapat dikatakan sebagai dunia game lagi. Kalau begitu… tempat apa ini?

Namun keraguan itu melintas di pikiranku hanya sesaat saja. Segera, pintunya terbuka dengan efek suara ‘pong’, memperlihatkan ruangan kecil berbentuk kontak dibaliknya. Memasuki ruangan itu bersama Yui, aku berbalik dan tentu saja, terdapat panel dengan tombol-tombol berbaris di sebelah pintu. Tombol yang menandakan lantai ini menyala dan sepertinya ada dua lantai lagi di atas lantai ini. Meskipun sedikit ragu, aku menekan tombol yang paling atas.

Terdengar efek suara lagi. Pintunya tertutup dan aku diselimuti oleh, yang tidak salah lagi, sensasi naik.

Elevator segera berhenti. Dibalik pintunya adalah jalan menikung yang sama dengan jalan yang kami tinggalkan sebelumnya. Menghadap Yui yang menggenggam erat tangan kananku, aku berkata:

“Apa ini lantai yang benar?”

“Ya. – Sudah, dekat… di dekat sini.”

Sambil berkata begitu, Yui menarik tanganku dan mulai berlari.

Selama tambahan puluhan detik kemudian, aku mencoba menenangkan detak jantungku yang kalut sambil berlalu melewati jalan ini. Kami tiba di dekat beberapa pintu pada lingkar dalam tikungan, tapi Yui melewatinya tanpa melirik sedikitpun.

Akhirnya, Yui berhenti di sebuah tempat kosong.

“…Ada apa?”

“Dibalik sini… ada jalan…”

Yui mengusap dinding lingkar luar yang halus sambil bergumam. Tangannya mendadak berhenti, dan seperti ketika dengan gerbang sebelumnya, garis-garis cahaya biru berliku-liku dengan berbagai sudut menjalar di permukaan dinding.

Ketika Yui dengan tanpa bicara menginjakkan kakinya ke jalan yang terbuka, dia mulai berlari dengan kecepatan yang lebih tinggi. Melihat kelembutan di wajahnya, tak tahan untuk menunggu bahkan satu detik lebih lama, aku yakin Asuna sudah dekat.

Cepat, cepat. Aku berdoa sepenuh hati dari lubuk hatiku sambil terus melangkah maju dengan sungguh-sungguh. Tidak lama kemudian jalannya berhenti di depan dan sebuah pintu dengan 4 sisi menghalangi kami. Yui, tanpa berhenti, mengulurkan tangan kirinya dan dengan paksa mendorong pintu itu terbuka.

“―!!”

Di depan mata kami, kami dapat melihat matahari terbenam yang besar.

Langit senja yang tak berbatas menyelimuti dunia. Aku menyadari ada sedikit perasaan tidak enak tentang pemandangan tempat ini. Tempat ini dibuat di ketinggian yang luar biasa, kau dapat melihat lengkungan halus horison. Suara angin disini terdengar kencang.

Tanpa bisa kuhindari, aku mengingat saat itu.

Asuna dan aku duduk bersebelahan menyaksikan kastil terapung itu menghilang, mengurai ke langit sore yang abadi. Ia mengangkat suaranya, kata-katanya mengapung di telingaku.

“Kita akan bersama selamanya.”

“Ah – iya. Aku sudah kembali.”

Setelah menggumamkan itu, aku mengalihkan pandangan ke kakiku.

Tempat yang tadinya merupakan lantai kristal, sekarang digantikan oleh dahan pohon yang sangat besar.

Penglihatanku, yang telah disempitkan oleh matahari terbenam yang merah menyala, kembali terbuka lebar. Di atas kepalaku, pohon ini bercabang ke segala arah, membentangkan lapisan dedaunan tebal ke semua sisi, seperti pilar yang menyangga surga. Di bawah, cabang-cabang yang tidak terhitung jumlahnya membentang di jarak pandangku. Bahkan jauh di bawah sana, dibalik samudera awan yang luas, aku samar-samar dapat melihat sebuah sungai mengalir berlika-liku di antara padang rumput.

Ini adalah puncak World Tree. Tempat yang Lyfa… Suguha terus mimpikan untuk melihatnya, puncak dunia.

Meskipun begitu ―.

Aku melihat sekitarku perlahan-lahan. Disana, batang World Tree berdiri teguh seperti dinding yang merentang jauh dan bercabang.

“Tidak ada… Kota di Langit…”

Aku berbisik tercengang. Hanya ada jalanan putih yang hambar. Tidak mungkin ini adalah Kota di Langit yang legendaris. Lagi pula, adalah penting untuk membuat semacam event untuk menandai berakhirnya sebuah petualangan besar. Setelah menerobos gerbang di dome, aku tidak mendengar adanya keriuhan pawai.

Dengan kata lain, itu semua adalah kotak hadiah kosong. Dihias dengan bungkus kado dan dipermanis dengan pita untuk menyembunyikan bahwa semuanya adalah kebohongan. Lalu, apa yang harus aku katakan pada Lyfa, yang bermimpi untuk dilahirkan kembali sebagai peri tingkat atas?

“… Ini tidak bisa dimaafkan…”

Aku bicara tanpa berpikir. Terhadap orang atau organisasi yang menjalankan dunia ini.

Tiba-tiba, aku merasakan tarikan kecil di tangan kananku. Yui menatapku dengan wajah khawatir.

“Ah, benar. Ayo pergi.”

Semua ini adalah untuk menolong Asuna. Aku datang kesini hanya untuk itu.

Didepan mataku, sebuah cabang pohon besar memanjang ke arah matahari terbenam. Di tengah cabang pohon terdapat jalan buatan. Jalan di depan sana, dibalik puncak pepohonan yang berdiri dihadapan matahari yang memantulkan cahaya keemasan. Aku dan Yui mulai berlari menuju cahaya itu. Aku berusaha keras menahan rasa kesal dan hasrat yang sepertinya akan terbakar kapan saja, dan melaju menapaki jalanan pohon ini. Daya tanggapku terakselerasi, membuat saat yang sekejap terasa seperti selamanya, sehingga apa yang hanya sesaat dapat menjadi beberapa detik bahkan menit.

Melewati sebuah tumpukan tebal daun yang berbentuk aneh, jalannya berlanjut. Setiap kali dahannya bersilangan dengan dahan lain, akan ada tangga naik dan turun untuk melintasinya. Aku hanya akan mengepakkan sayapku dan melompatinya.

Identitas dari cahaya keemasan yang berkilau itu mulai terlihat. Itu adalah kombinasi dari batangan-batangan logam vertikal dan horizontal membentuk jeruji dari logam – tidak, itu adalah sebuah sangkar.

Di atas dahan yang besar kami berlari pada dahan lain yang paralel dengannya, dan dari dahan itu menggantung sebuah sangkar ortodoks. Bagaimanapun, sangkar itu luar biasa besar. Sangkar itu tidak akan bisa mengurung burung pemangsa, apalagi burung-burung kecil. Benar – itu sepertinya memiliki tujuan lain -.

Aku diingatkan kembali dengan percakapan di tempat Egil, dari ingatan yang sepertinya sangat jauh yang terasa seperti dari dulu kala. Kelima pemain yang saling menggendong untuk melewati batas ketinggian dan mengambil foto. Foto-foto yang mereka ambil memotret seorang gadis misterius terperangkap dalam sangkar. Ya, pasti. Itu adalah Asuna – Asuna pasti ada disana.

Ada keyakinan yang kuat pada tangan kecil yang dengan erat menggenggam tangan kananku, menarik ku maju. Kami berlari begitu cepat seakan meluncur di udara, lalu kami melompati tangga terakhir.

Jalan yang dipahat pada dahan mendadak menyempit saat ia berlanjut ke bawah sangkar dan berhenti.

Aku telah bisa melihat dengan jelas isi sangkar itu. Sebuah tanaman besar dan berbagai bunga dalam pot mengalasi lantai ubin berwarna putih. Ditengahnya adalah ranjang besar dengan kanopi yang mewah. Disebelahnya adalah sebuah meja putih bulat dan sebuah kursi tinggi. Seorang gadis duduk di kursi tersebut dengan kedua tangannya di atas meja dan kepalanya tertunduk dengan aura seperti orang yang sedang berdoa.

Rambut lurus yang panjang mengalir menutupi punggungnya. Ia mengenakan jenis pakaian yang sama dengan Yui tetapi lebih transparan. Sayap-sayap tipis memanjang dengan elegan dari punggungnya. Semuanya disinari oleh cahaya merah brilian dari matahari yang terbenam.

Aku tidak bisa melihat wajahnya. Meskipun begitu, aku tahu. Tidak mungkin aku tidak tahu. Seperti gaya magnet, jiwaku tertarik padanya dengan kilatan yang hampir terlihat yang tercetus diantara kami berdua.

Pada saat itu, gadis itu – Asuna segera mengangkat wajahnya.

Mungkin karena kerinduanku yang dalam, tapi sosok yang indah itu seperti sudah menyumblim menjadi sosok keakraban yang penuh cahaya. Terkadang ia cantik dan cerdas, seperti pedang yang telah diasah. Di waktu lain, sebuah kehangatan yang ramah dan jahil. Wajahnya, yang selalu ada disampingku selama kami bersama di hari-hari pendek namun membuat rindu itu, pertama dipenuhi keterkejutan. Lalu kedua tangannya naik untuk menutup mulutnya sementara matanya yang besar dan berwarna merah kecoklatan berkaca-kaca, meluap membentuk air mata.

Mengambil beberapa langkah terakhir dengan dorongan dari kepakan sayap, aku berbisik dalam suara yang tidak menjadi bunyi.

“- Asuna.”

Yui pun berteriak pada saat yang sama.

“Mama… Mama!!”

Diujung jalan yang berlanjut ke sangkar terdapat pintu persegi yang terbuat dari jeruji logam tebal dengan sisipan pelat logam kecil yang sepertinya merupakan mekanisme pengunci. Walau pintunya tertutup Yui tidak memperlambat langkahnya sambil menarikku. Malah, ia mengulurkan tangannya dan menahannya di atas sisi kirinya. Tangannya diselimuti cahaya biru.

Kemudian, ia melambaikan tangannya ke arah kanan. Pada saat yang sama, pintu itu seketika meledak seakan hanya lembaran logam. Pintu itu segera menjadi partikel cahaya dan terurai, menghilang dengan cepat.

Yui segera melepaskan tanganku dan dengan kedua tangan terentang, berteriak lagi.

“Mama—!!”

Ia langsung menyerbu melalui pintu masuk ke dalam sangkar.

Bertolak dari kursinya, Asuna berdiri. Dia menyingkirkan tangannya dari mulutnya, dan dari bibirnya, sebuah suara yang bergetar namun jelas terdengar.

“- Yui-chan!!”

Lalu Yui bertolak dari lantai, melompat langsung ke dada Asuna. Rambut hitam bercampur dengan rambut coklat kemerahan dan menari di udara, terlihat berwarna merah tua dalam cahaya matahari sore.

Yui dan Asuna berpelukan erat, menciumi pipi satu sama lain dan saling memanggil sekali lagi untuk memastikan.

“Mama…”

“Yui…-chan…”

Air mata mereka berdua mengalir membasahi wajah mereka dan hilang dalam cahaya matahari yang terbenam, bersinar seperti bara api.

Aku menenangkan tenaga yang menggerakkanku maju dan berjalan menuju Asuna dalam diam, berhenti beberapa langkah di depannya. Asuna mengangkat wajahnya, dan mengedipkan matanya untuk menyingkarkan air mata, menatapku langsung.

Pada saat yang sama, aku tidak dapat bergerak. Jika aku bergerak lebih dekat dan menyentuhnya, semuanya mungkin akan menghilang… Lagipula, sosokku sekarang sangat berbeda dengan waktu itu. Kulit gelap Sprigan dan gaya rambut spike, tidak ada kesamaan dengan Kirito dari masa itu. Menahan air mataku, aku tak dapat melakukan apapun selain menatapnya.

Tapi seperti sebelumnya, bibir Asuna bergerak, dan memanggil namaku.

“- Kirito-kun.”

Setelah hening sebentar, mulutku bergerak dan memanggil namanya.

“Asuna…”

Aku mengambil dua langkah terakhir, tanganku terbuka. Aku menyelimuti tubuhnya yang lemah dengan tubuhku, memeluknya erat didadaku dengan Yui diantara kami. Wangi yang membuat rindu melayang disekitarku dan kehangatannya yang kurindukan membasuh tubuhku.

Sword Art Online 4 - 215.jpg

“…Maafkan aku karena begitu lama untuk sampai kesini.” Aku bergumam dengan suara yang gemetar. Asuna melihat ke dalam mataku dari jarak sangat dekat dan membalas.

“Tidak, aku percaya padamu. Aku yakin— bahwa kamu akan datang menolong…”

Lebih banyak kata sudah tidak penting lagi. Asuna dan aku menutup mata dan menenggelamkan wajah ke leher satu sama lain. Kedua tangan Asuna di belakang punggungku, memelukku erat. Sebuah desahan puas dari Yui keluar diantara kami.

- Ini saja sudah cukup. Pikirku.

Jika ini menjadi saat terakhirku akan tidak akan punya penyesalan, walau hidupku padam. Hidup yang seharusnya berakhir di dunia itu, akhirnya berakhir disini, hanya untuk ini…

Tidak, bukan begitu. Akhirnya, sekarang dimulai. Disini, dunia pedang dan pertempuran itu akhirnya akan berakhir dan kami akhirnya akan berangkat ke dunia baru bernama kenyataan, bersama.

Aku menengadah dan berkata:

“Ayo pulang. Ke dunia nyata.”

Aku memegang tangan Asuna dengan erat, dan Yui memegang tangan yang lain. Aku menatap wajah Yui dan bertanya:

“Yui, apakah mungkin untuk me-log out Asuna dari sini?”

Yui mengerutkan alisnya sebentar, lalu menggelengkan kepala.

“Status Mama diikat oleh kode yang rumit. Sebuah system console dibutuhkan untuk membukanya.”

“Console…”

Kata Asuna dengan suara yang terdengar gelisah, dan memiringkan kepalanya.

“Kurasa aku melihatnya di sebuah laboratorium di lantai paling bawah… Ah, laboratorium itu adalah…”

“Maksudmu di tempat masuk putih yang kosong itu?”

“Iya… Kamu datang dari situ?”

“Iya.”

Aku menganggukkan kepalaku, Asuna mengernyit sambil menatapku, sepertinya ada yang mengganggunya.

“Apa kamu melihat sesuatu yang… aneh?”

“Tidak, aku bahkan tidak bertemu siapapun…”

“… Ada kemungkinan anak buah Sugou berkeliaran di sekitar sini… langsung tebas saja dengan pedangmu!”

“Ap… Sugou!?”

Saat Asuna mengatakan namanya, aku terkejut dan pada saat yang sama teryakinkan.

“Ini adalah ulah orang itu… ulah Sugou? Memenjarakan Asuna disini.”

“Iya. – Bukan itu saja, Sugou melakukan hal yang mengerikan disini…”

Asuna mulai bicara, kenyataannya bahkan memancarkan kebencian, tapi ia segera menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kita akan lanjutkan pembicaraan ini saat kita kembali ke dunia nyata. Sugou sedang tidak di perusahaan sekarang. Kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk mendapat akses ke server dan membebaskan semua orang… Ayo!”

Walaupun banyak hal yang ingin kutanyakan, prioritas utamaku adalah mengembalikan Asuna ke dunia nyata. Aku mengangguk dan berputar.

Menarik Asuna yang memegang tangan Yui, aku mulai berlari menuju pintu yang diledakkan tadi. Setelah dua langkah, tiga langkah, saat kami hampir mencapai pinggiran sangkar, pada waktu itu.

— Seseorang sedang mengawasi kita.

Tiba-tiba, aku merasakan sebuah sensasi tidak menyenangkan dari belakang leherku. Perasaan yang sama yang kurasakan di SAO ketika aku dijadikan target oleh PK[22] -er berkursor jingga daripada seekor monster yang bersembunyi dalam bayangan.

Aku segera melepaskan tangan Asuna dan memegang hulu pedangku. Bersiap menghunuskannya, aku menggerakkan tanganku sedikit. Pada saat itu…

Mendadak, sangkarnya dipenuhi oleh air. Terasa seakan kami dikelilingi cairan yang sangat kental dan gelap.

Tidak, bukan begitu. Aku bisa bernapas, tapi udaranya menjadi sangat berat. Meskipun aku dapat menggerakkan tubuhku, seakan kami berada dalam lendir yang lengket, aku merasakan daya tahan yang besar. Tubuhku terasa berat. Matahari terbenam di dalam sangkar dinodai oleh kegelapan.

“—Apa ini!?”

Suaranya terdistorsi, seakan muncul dari dalam air.

Aku mencoba untuk mempertahankan Asuna dan Yui dan menarik mereka mendekat tanpa menghiraukan perasaan tidak menyenangkan yang luar biasa, tapi— aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhku. Udaranya lengket, bergerak seperti punya kesadaran seperti tumbuhan merambat yang mengikatku.

Akhirnya, dunia diselimuti kegelapan sepenuhnya. Tidak, sebenarnya agak berbeda. Aku bisa melihat Asuna dan Yui dalam baju satu setel mereka dengan jelas. Tetapi latar belakangnya seakan dicat dengan warna hitam.

Aku menggeretakkan gigiku dan menggerakkan tangan kananku. Seharusnya aku sudah dekat dengan pinggiran sangkar. Aku mengulurkan tanganku, berpikir akan menarik tubuhku dari ruang itu – tapi tanganku tak menyentuh apapun.

Tidak hanya kelihatannya saja. Kami benar-benar dilempar ke dalam dunia kegelapan. Aku tidak tahu dimana sebenarnya tempat ini.

“Yui—”

‘Apa situasinya’ adalah yang ingin aku katakan. Tapi dari lengan Asuna, Yui tiba-tiba membungkuk dan berteriak.

“Eeek! Papa… Mama… Hati-hati! Ada sesuatu yang sangat jahat disini…”

Sebelum ia bahkan menyelesaikan kata-kata itu, kilat ungu mulai bersinar dari tubuh Yui, dan dengan kilatan yang menyilaukan – lengan Asuna kosong.

“Yui!?”

“Yui-chan—!?”

Asuna dan aku berteriak secara bersamaan. Tetapi tidak ada jawaban.

Dalam kegelapan yang benar-benar hitam yang padat dan lengket, hanya Asuna dan aku yang tersisa. Aku menggapai dengan putus asa, ingin berada lebih dekat dengan Asuna. Dengan mata terbelalak, Asuna mengulurkan tangannya sekuat tenaga.

Akan tetapi, tepat sebelum jari-jari kami saling menyentuh, kami dihantam oleh gaya gravitasi yang besar.

Itu terasa seperti kami dilempar ke dalam dasar sebuah rawa lendir yang sangat, sangat dalam. Aku tidak bisa menahannya, tekanannya meliputi seluruh tubuhku dan aku terjatuh pada satu lutut. Asuna terjatuh pada waktu yang sama, menimpakan kedua tangannya pada lantai yang tidak terlihat.

Asuna melihat kearahku, mulutnya bergerak sedikit-sedikit.

“Kirito…-kun…”

‘Tidak apa-apa. Aku akan melindungimu apapun yang terjadi’, aku ingin berkata begitu. Pada saat itu sebuah tawa bernada tinggi bergema dalam kegelapan.

“Hei, apa pendapatmu tentang sihir ini? Ini dijadwalkan untuk diperkenalkan pada update selanjutnya, tapi mungkin efeknya terlalu kuat?”

Suara itu penuh dengan olok-olok yang tidak bisa disembunyikan, suara yang familiar. Lelaki yang, di depan Asuna yang tertidur, mengolok-olok ku, menyebutku pahlawan.

“—Sugou!!”

Aku berteriak sambil berusaha berdiri.

“Bukan, bukan, di dunia ini, tolong jangan memanggilku dengan nama itu. tidak menggunakan sebutan hormat[23] saat memanggil nama rajamu. Kau boleh memanggilku sang Raja Peri, Yang Mulia, Oberon!!”

Kata-kata terakhirnya melompat beberapa oktaf lebif tinggi, berubah menjadi seruan. Pada saat yang sama, sesuatu menyerang kepalaku.

Memutar kepalaku sedikit, seorang lelaki berdiri disebelahku. Yang dapat kulihat hanya kaki, yang dibungkus oleh sepatu bot yang menutupi celana ketat dengan sulaman yang sangat menyolok, yang dia gerakkan ke kiri dan kanan di atas kepalaku.

Ketika aku melihat ke atas aku bisa melihat dia memakai pakaian panjang berwarna hijau berbisa, dan di atasnya adalah wajah yang terlihat sempurna. Tidak – wajah itu benar-benar sebuah wajah buatan. Memulai dari nol dengan pemodelan polygon, wajah itu adalah wajah yang tampan yang dirusak oleh ekspresi seperti orang sinting, membuatnya benar-benar jelek. Bibirnya yang merah menyimpang jauh, membuatnya terlihat seperti sedang menyeringai.

Walaupun penampilannya berbeda, aku tahu orang ini adalah Sugou. Orang yang mengurung jiwa Asuna di tempat seperti ini, seorang lelaki yang rasa benci saja tidak cukup.

“Oberon – tidak, Sugou!”

Asuna hampir terbaring di lantai, tetapi ia mengangkat wajahnya, berteriak dengan berani.

“Hal-hal yang sudah kau lakukan, aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!! Semua perbuatan jahat itu – kau tidak akan bisa lolos, tidak akan!!”

“Oh? Memangnya siapa yang akan menghentikanku? Kau, atau dia? Atau mungkin Tuhan? Sayangnya, tidak ada Tuhan di dunia ini. Selain aku, hehe!”

Kata Sugou dengan suaranya bercampur dengan tawa yang menyebalkan sambil dia menginjak kepalaku keras-keras. Tidak dapat menahan tekanan dari gravitasi, aku didorong ke lantai.

“Hentikan ini, dasar pengecut!!”

Asuna berteriak, tapi Sugou tidak mendengarkannya. Malah, membungkuk ke arahku, dia mengeluarkan pedangku dari sarungnya di punggungku. Berdiri, dia memberdirikannya di atas jari telunjuknya lalu memutar-mutarnya.

“Well, Kirigaya-kun, tidak… aku mestinya memanggilmu Kirito. Aku tidak berpikir kau bakal benar-benar datang kesini. Apa ini keberanian atau ketololan? Karena kau ada dalam situasi begini, berarti yang terakhir, hehe. Kudengar burung kecilku kabur dari sangkarnya. Berpikir bahwa kali ini dia harus dihukum. Aku cepat-cepat kembali, tapi mengejutkan sekali! Ada kecoa yang tersesat ke dalam sangkar! — Kalau dipikir-pikir lagi, ada satu program yang aneh…” Sugou berhenti, dan melambaikan tangan kirinya, segera mengeluarkan jendela menu. Bibirnya melengkung selama dia melihat ke layar biru yang berpendar beberapa saat, dan bersenandung dengan suara hidung, dia menutup jendelanya.

“…Kabur ya? Lagian program apa itu? Lalu, bagaimana kau memanjat kesini?”

Mengetahui bahwa paling tidak Yui tidak dihapus, aku merasa sedikit lega dan berkata:

“Aku terbang kesini, dengan sepasang sayap ini.”

“Well, tidak masalah. Aku bakal mengerti kalau aku tanya isi kepalamu langsung.”

“… Apa?”

“Kau tidak berpikir kalau aku membuat tempat ini dalam keadaan mabuk, bukan?”

Sambil melambung-lambungkan pedangku dengan jarinya, Sugou tersenyum dengan senyuman yang berbisa.

“Dengan kerja sama yang dicurahkan oleh para mantan pemain SAO, penelitianku terhadap dasar cara kerja proses berpikir dan ingatan sudah 80% selesai. Sedikit lagi dan aku akan mampu mengendalikan jiwa yang tidak pernah mampu dicapai siapapun. Itu selalu dikatakan sebagai karya Tuhan! Selain itu, aku dengan senang mendapatkan specimen baru hari ini. Ah, aku senang sekali. Melihat-lihat ingatanmu, menulis ulang emosimu!! Hanya memikirkannya saja sudah membuatku gemetar!!”

“Tak mungkin… itu, kau tidak bisa melakukan itu…”

Bisikku sambil masih berusaha untuk menguasai kesangsianku setelah pembicaraan yang terlalu gila itu. Sugou menaruh kakinya di kepalaku lagi, mengetuk-ketukkan jari kakinya.

“Kau tidak belajar dari pengalamanmu sebelumnya dan tersambung menggunakan NerveGear bukan? Itu menaruhmu di posisi yang sama dengan tubuh spesimenku yang lainnya. Bagaimanapun juga, anak-anak itu bodoh. Bahkan anjing mengingat apa yang tak boleh dilakukan setelah sekali ditendang.”

“Itu… hal seperti itu tidak akan bisa dimaafkan, Sugou!!”

Asuna berteriak dengan wajah yang seperti tidak berdarah.

“Kalau kau menyentuh Kirito, aku tidak akan pernah memaafkanmu!!”

“Burung kecil, hari dimana aku akan bisa mengubah kebencianmu menjadi kepatuhan penuh dengan satu jentikan jari sudah dekat.”

Setelah Sugou mengatakannya dengan ekspresi mabuk kesenangan, dia memegang pedangku dan membelai bilah pedangnya dengan ujung-ujung jari tangan kirinya.

“Well, mari kita nikmati pesta yang menyenangkan sebelum aku merubah jiwamu! Yeah… akhirnya, aku sudah lama menunggu momen ini. Karena tamu terbaik sudah muncul, kurasa senilai dengan waktu yang kuhabiskan untuk menunggu sampai batas kesabaranku!!”

Sugou berbalik, merentangkan tangannya lebar-lebar.

“Saat ini, aku merekam semua log dalam ruang ini! Tunjukkan padaku ekspresi yang bagus!”

“……”

Asuna menggigit bibirnya, menatap ke dalam mataku, berbisik cepat.

“…Kirito-kun, log out sekarang. Di dunia nyata kau bisa membongkar rencana Sugou. Aku akan baik-baik saja.” “Asuna…!”

Aku merasa terkoyak ke dua arah sebentar. Tapi segera mengangguk dan melambaikan tangan kiriku. Kalau ada informasi sebayak ini, memungkinkan bagiku untuk mendapat tim penolong meski tanpa bukti fisik. Selama kita bisa mengontrol server ALO di RECTO Progress, semuanya akan bisa diselesaikan.

— Tetapi jendelanya tidak muncul.

“Ahahahahahahahaha!!”

Sugou membungkuk, memegang perutnya mengejang dalam tawa.

“Sudah kubilang ‘kan! Ini adalah duniaku! Tidak ada yang bisa kabur dari sini!!”

Sugou menari-nari senang, mendadak mengangkat tangan kirinya. Setelah jari-jarinya memanipulasi jendela menu dua rantai seperti jatuh dari langit dalam kegelapan tanpa ujung dengan suara berdencing.

Ada gemuruh suara logam saat rantai-rantai itu jatuh ke lantai. Cincin-cincin logam besar menggantung dari setiap ujung rantai, Sugou mengambil salah satu lingkaran dan memasangnya pada pergelangan tangan kanan Asuna dengan suara ‘kaching’ yang berisik. Lalu, rantai yang memanjang sampai kegelapan itu tertarik sedikit.

“Kya!!”

Rantainya mendadak tertarik ke atas dan tanan kanan Asuna terangkat tinggi. Ujung-ujung jari kakinya hampir tidak menyentuh tanah ketika rantainya berhenti.

“Dasar brengsek… apa yang kau…!”

Aku berteriak, tapi Sugou bahkan tidak melirik ke arahku sambil bersenandung dan mengambil cincin belenggu lain.

“Aku memang punya macam-macam mainan. Well, aku akan mulai dari sini.”

Sambil berkata demikian, lingkaran itu dibelenggukan ke pergelangan tangan kiri Asuna dan rantainya tertarik lagi. Dengan sisi lainnya terangkat, Asuna tergantung di udara dengan penampilan seperti ia ditangkap dari kedua tangannya. Seperti masih berada dibawah pengaruh gravitasi yang intens, lengkungan alis matanya yang elegan terlihat piuh.

Saat Sugou berdiri di depan Asuna dengan kedua tangan menyilang, dia bersiul vulgar pada Asuna.

“Cantik sekali, wajah ini memang tidak bisa dibuat oleh wanita NPC.”

“…!”

Asuna membersut[24] ke arah Sugou dan menutup kelopak matanya rapat-rapat dengan kepalanya tertunduk. Sugou terkekeh, suara ‘kuku’ terdengar dari belakang tenggorokannya, sambil dia berbalik dan berjalan perlahan di belakang Asuna. Dia mengambil sekumpulan rambut panjang Asuna dalam tangannya dan menghirupnya, menghisap dalam-dalam wanginya.

“Mmm, aroma yang enak. Benar-benar sulit untuk mereplika wangi Asuna-kun di dunia nyata. Aku ingin kau menghargai usahaku membawa analyzer ke kamarmu di rumah sakit.”

“Hentikan… Sugou!!”

Rasa marah yang tidak tertahankan menusuk-nusuk seluruh tubuhku. Bara merah menjalari sarafku, dalam sekejap tekanan yang menahan tubuhku menghilang begitu saja.

“Gu…oh…”

Aku menyangga tubuhku dengan tangan kanan dan melepaskan diri dari lantai. Berdiri pada satu lutut, aku perlahan mengangkat diriku menggunakan seluruh tenaga dalam tubuhku.

Sugou membuat gerakan dramatis pada pinggangnya dengan tangan kirinya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia berjalan ke depanku, memelintir mulutnya.

“Ya ampun, penonton harus tenang… dan diam meringkuk disitu!!”

Berdiri tepat disebelahku, dia tiba-tiba menendang kedua kakiku. Aku kehilangan penyangga dan terhempas ke lantai.

“Guwah!!”

Paru-paruku terkosongkan karena dampak benturan, dipaksa mengeluarkan suara itu. Dengan tanganku menyangga ke lantai lagi, kepalaku terangkat ke atas. Sugou tersenyum dengan senyuman beracun – sambil memegang pedangku dalam tangan kanannya dia menusukku dari belakang tanpa penyesalan sedikitpun.

“Gah…!”

Bara api yang menjalar melalui sarafku dipadamkan oleh sensasi logam tebal menembus tubuhku. Bagian tengah dadaku ditusuk oleh pedang yang sepertinya mengakar dalam ke lantai. Meskipun tidak terasa sakit, aku diserang oleh rasa tidak nyaman yang intens.

“Ki…Kirito-kun!!”

Mendengar jeritan Asuna, aku bertemu tatapannya sambil mencoba memberitahunya ‘aku baik-baik saja’.

Namun, lebih cepat dari kata-kataku dapat keluar, Sugou tiba-tiba bicara ke kegelapan langit di atas dengan suara yang nyaring.

“System Command! Pain Absorption, rubah ke level 8.”

Saat itu, kerucut tajam rasa nyeri murni menyebar ke seluruh punggungku, seakan aku telah ditikam.

“G…Guh…”

Ketika erangan keluar dari mulutku, Sugou melolong dalam tawa.

“Kukuku, masih ada dua suguhan lagi untukmu. Nyerinya akan bertambah kuat perlahan-lahan jadi nantikan saja untuk menikmatinya. Ketika levelnya lebih kecil dari level 3, aku takut sepertinya kau masih akan merasakan gejala syok bahkan setelah log out.”

Dengan sebuah tepukan dari tangannya seakan dia mengatakan ‘sekarang…’, dia kembali ke belakang Asuna.

“B…Bebaskan Kirito-kun sekarang, Sugou!”

Asuna menjerit, tapi tentu saja, Sugou tidak menunjukkan tanda bahwa dia mendengarnya.

“Kau tahu, aku paling benci dengan bocah seperti itu. meskipun dia tidak punya kemampuan atau latar belakang, serangga yang berisik. Kukuku, seperti serangga dalam kotak specimen, mereka harus dijepit dan dihentikan. Lagipula, kau tidak dalam kondisi untuk mengkhawatirkannya, bukan, burung kecil?”

Dari belakang Asuna, Sugou mengulurkan tangan kanannya dan menyentuh pipi Asuna dengan jari telunjuknya. Asuna memutar lehernya mencoba untuk menghindarinya, tapi tidak terjadi seperti yang diharapkannya karena gravitasi yang berat. Jarinya menjalar dari wajahnya dan tidak lama kemudian bergerak turun ke lehernya. Wajah Asuna berubah oleh rasa jijik.

“Hentikan… Sugou!!!”

Aku berteriak, sambil dengan mati-matian mencoba mendorong tubuhku berdiri. Asuna tersenyum teguh dan dengan suara yang bergetar, berkata:

“- Jangan khawatir, Kirito-kun. Aku tidak akan terluka gara-gara hal seperti ini.”

Saat itu, sebuah tawa berdenyit dengan bunyi ‘kiki’ datang dari Sugou.

“Memang harusnya seperti ini. Berapa lama kau pikir harga dirimu akan menopang – 30 menit? Sejam? Mungkin seharian penuh? Perpanjang saja selama mungkin, kesenangan ini!!”

Sambil berteriak, dia menarik pita merah pada kerah gaun Asuna dengan tangan kanannya. Saat dia menariknya, pakaiannya melar dan tersobek. Pita tipis berwarna merah darah itu terkibar di udara tanpa suara dan mendarat di depan mataku.

Dari gaun yang dikoyak kulit putih dadanya jelas tersingkap. Wajah Asuna berubah dalam penghinaan dan matanya tertutup begitu rapat sampai ia bergetar. Tubuh Sugou melengkung ke belakang, tertawa dengan seringai sambil mengulurkan tangannya ke kulit Asuna yang telanjang. Bibirnya terbuka membentuk bulan sabit dan dia menjulurkan lidah merahnya keluar. Sambil membuat suara air liur yang menetes, dia menjilat dari bawah pipi Asuna, naik.

“Ku, ku, haruskah aku memberitahumu apa yang sedang aku pikirkan?”

Sugou berkata dengan suara yang diwarnai kegilaan yang panas sementara lidahnya masih menjulur di dekat telinga Asuna.

“Setelah aku menikmati sampai puas tempat ini aku bakal pergi ke kamarmu di rumah sakit. Kalau aku mengunci pintunya dan mematikan kameranya, kamar itu menjadi ruangan rahasia. Kau dan aku, hanya kita berdua. Aku akan memasang layar besar dan memutarkan rekaman hari ini dan bersenang-senang dengan dirimu yang lain. Aku akan memanfaatkan waktuku dan melakukannya dengan hati-hati. Lagipula, itu tubuh aslimu. Setelah mengambil kesucian hatimu disini, aku akan mengambil keperawanan tubuhmu disana! Menyenangkan sekali, sebuah pengalaman yang benar-benar unik!!”

Tawa Sugou yang melengking seakan membalikkan isi perutku keluar saat suaranya bergema dalam kegelapan.

Asuna terbelalak untuk beberapa saat, mulutnya tertarik rapat penuh keberanian.

Bagaimanapun, rasa takut yang tidak bisa dikendalikannya terkumpul di sudut matanya. Air mata menetes dari kedua matanya menuruni bulu matanya yang panjang lidah Sugou menjilatnya.

“Ah… manisnya, manis sekali! Ayo, menangislah untukku!!”

Kemarahan putih panas yang dapat menghanguskan segalanya menusuk-nusuk menembus kepalaku, menyebarkan bunga api yang kasar dalam penglihatanku.

“Sugou… dasar brengsek… KAU BRENGSEK—!!!”

Aku berteriak, dengan nekat menggerakkan anggota gerakku, berusaha untuk berdiri. Tapi pedang yang menembusku tidak bergerak sedikitpun.

Aku merasakan air mata meluap dari kedua mataku. Merayap seperti serangga jelek dan meronta, aku meraung.

“Kau brengsek… aku akan membunuhmu! Bunuh! AKU PASTI AKAN MEMBUNUHMU!!!”

Aku berteriak, tapi semuanya tenggelam dalam tawa gila Sugou.

Saat ini, jika saja aku bisa meminjam kekuatan…

Ujung jariku mencakar lantai, berdoa untuk bergerak meski hanya satu millimeter ke depan.

Saat ini, jika saja aku diberikan kekuatan untuk berdiri, berapapun harganya tidak apa-apa. Ambil saja hidupku, jiwaku, semuanya, aku tidak peduli. Apakah setan atau iblis, tidak masalah asalkan orang ini bisa kutebas dan kalahkan. Asalkan Asuna bisa kembali ke tempat ia seharusya berada.

Sugou menyentuh tangan dan kaki Asuna dengan kedua tangannya, membelainya. Setiap gerakannya mungkin menimbulkan sinyal stimulasi sensoris yang kuat pada Asuna. Asuna menggigit bibirnya begitu kuat sehingga mulai berdarah, menahan penghinaan itu.

Dengan pemandangan seperti itu dalam penglihatanku, aku merasa pikiranku memutih, terputus oleh sensasi putih membakar. Api kemarahan dan keputusasaan menelanku. Proses berpikirku yang tersisa berubah menjadi debu. Jika jiwaku menjadi seperti warna tumpukan tulang kering, aku tidak akan perlu berpikir. Tidak ada gunanya berpikir.

Jika saja aku punya pedang, kupikir aku bisa melakukan apapun. Karena aku adalah sang pahlawan yang berdiri dipuncak dari 10,000 pendekar pedang. Aku mengalahkan si raja setan, pahlawan yang menyelamatkan dunia.

Dunia virtual hanya dirangkai berdasarkan teori pemasaran perusahaan-perusahaan, hanya sebuah game. Terhanyut dalam pikiran bahwa itu adalah kenyataan yang lain, aku menipu diri berpikir bahwa kekuatan yang diperoleh dalam dunia itu adalah kekuatan yang sesungguhnya. Terbebas dari dunia SAO – atau terusir, setelah kembali ke dunia nyata, apakah aku tidak kecewa dengan tubuhku yang lemah? Di suatu tempat dalam hatiku, tidakkah aku merindukan untuk kembali ke dunia itu, dunia dimana aku adalah pahlawan terkuat? Yang karenanya kau, setelah tahu pikiran Asuna terjebak di dunia game baru, berpikir bahwa kau dapat melakukan sesuatu dengan kekuatanmu sendiri dan datang begitu saja. Ketika hal yang sebenarnya harus kau lakukan adalah untuk menyerahkannya pada para orang dewasa dengan kekuasaan di dunia nyata. Setelah memperoleh kembali kekuatan semu sekali lagi, mengalahkan pemain lain, apakah itu bukan untuk menyenangkan diriku dengan memuaskan harga diriku yang jelek?

Kalau begitu ini – adalah apa yang pantas buatku. Benar, kau hanya menggunakan kekuatan yang diberikan oleh orang lain, gembira seperti seorang anak kecil. Hanya memiliki satu ID tidak dapat melampaui apa yang disebut hak istimewa administrator system. Hanya satu hal yang pasti, penyesalan. Kalau aku tidak menyukainya, aku harus membuang pikiran itu.

『Melarikan diri?』

- Bukan, aku hanya mengakui kenyataan.

『Apa kau menyerah? Pada kekuatan system yang pernah kau sangkal sebelumnya?』

- Mau bagaimana lagi. Aku hanya seorang pemain, orang itu adalah game master.

『Itu adalah kata-kata yang mengotori pertarungan itu. dimana aku dipaksa untuk mengakui bahwa kekuatan kemauan manusia dapat melampaui system, dibuat untuk memahami kemungkinan-kemungkinan di masa depan, pertarungan kita.』

- Pertarungan? Itu adalah omong kosong. Bukankah itu hanya hal yang akan bertambah dan berkurang dalam angka?

『Kau harusnya tahu itu bukan begitu. Sekarang, berdiri. Berdiri dan ambil pedangmu.』

『- BERDIRI, KIRITO-KUN!!』

Suara itu seperti raungan yang menggelegar, menyobek kesadaranku seperti petir.

Pikiranku yang tadinya memudar seperti tersambung kembali dalam sekejap. Aku membuka mata lebar-lebar.

“Wu…oh…”

Keluar dari tenggorokanku dalam suara yang parau.

“O… OOoh…”

Aku mengkertakkan gigi dan menyanggakan tangan kananku ke lantai, mendorong diriku sampai ke siku dengan sebuah suara yang seperti jeritan dari binatang buas yang sekarat.

Ketika aku mencoba mengangkat tubuhku, pedang yang menancap di tengah tulang belakangku bertahan dengan tekanan yang luar biasa.

- Aku tidak bisa terus meringkuk menyedihkan di bawah benda seperti ini. Serangan yang tanpa jiwa ini, menyerah padanya merupakan hal yang tak bisa dimaafkan. Serangan setiap pedang di dunia itu terasa lebih berat. Lebih menyakitkan.

“Wu… Gu, ooh!”

Bersamaan dengan raungan singkat, aku mengerahkan seluruh tenaga di tubuh dan jiwaku untuk mengangkat diriku. Dengan suara ‘shuit’ yang kuyu pedangnya meninggalkan lantai, keluar dari punggungku, dan perputar di lantai.

Sugou melotot dengan ekspresi tercengang saat aku sempoyongan di atas kakiku. Segera, sia membuat wajah tidak senang dan mengundurkan tangannya dari tubuh Asuna, mengangkat bahu dengan dramatis.

“Oh, ya ampun, kupikir aku sudah menentukan koordinat benda itu, apa mungkin masih ada bug[25] anehnya. Tim management kami itu benar-benar tidak kompeten…”

Dia bergumam sambil berjalan ke arahku. Mengangkat kepalan tangan kanannya, dia mengarahkannya untuk meninju pipiku.

Aku mengulurkan tangan kiriku, lalu menangkapnya di tengah udara.

“Oh…?”

Aku melihat ke dalam mata terkejut Sugou, membuka mulutku. Serangkaian kata-kata bergema jauh di dalam pikiranku, aku mengulanginya.

“System Login. ID «Heathcliff». Password…”

Gravitasi yang sebelumnya membelenggu tubuhku menghilang segera setelah aku selesai mengucapkan seri karakter alfanumerik yang rumit.

“Ap… Apa!? ID apa itu!?”

Ketika Sugou memperlihatkan giginya dan menjerit dalam keterkejutan, dia menyingkirkan tanganku dan mundur selangkah. Dia melambaikan tangan kirinya ke bawah dan sebuah jendela menu system berwarna biru muncul.

Sebelum orang itu dapat menggerakkan satu jari pun, sebuah perintah suara keluar dari mulutku.

“System command. Supervisor Authority Change. ID «Oberon» ke level 1.”

Dalam sekejap, jendela tersebut menghilang dari bawah tangan Sugou. Dia melotot dengan matanya bolak-balik melihat aku lalu ruang kosong di yang seharusnya tempat jendelanya berada, melambaikan tangannya lagi dalam frustasi.

Bagaimanapun, tidak terjadi apapun. Gulungan sihir yang memberikan Sugou kekuasaan Raja Peri tidak mau keluar.

“Se… Sebuah ID dengan tingkat lebih tinggi dari milikku…? Tidak bisa kupercaya… ini seharusnya tidak mungkin… Aku adalah sang penguasa… Sang pencipta… Penguasa dunia ini… Tuhan…”

Sugou terus berbicara dengan suara yang bernada tinggi seperti contoh audio yang diputar ulang dalam kecepatan tinggi. Aku bicara sambil menatap wajah tampan yang runtuh menuju keburuk-rupaan.

“Bukan begitu, ‘kan? Kau mencurinya. Dunianya. Para penghuninya. Seorang raja pencuri yang menari sendirian di tahta yang ia curi.”

“Kau… Bocah sialan ini… padaku… beraninya kau bicara begitu padaku… aku akan membuatmu menyesalinya… aku akan memenggal kepalamu dan menjadikannya hiasan…”

Sugou mendorong jari telunjuknya yang melengkung seperti kail ke arahku dan berteriak dengan suara yang melengking.

“System command. Object ID «Excalibur». Generate!!”

Akan tetapi, system dunia ini tidak lagi merespon terhadap suara Sugou.

“System command. Dengarkan aku, barang sialan!! Tuhan… Tuhan sedang memerintahkanmu!!” membiarkannya berteriak, aku mengalihkan mataku dari Sugou. Aku melihat ke Asuna yang masih tergantung di atas lantai.

Gaun indahnya telah sobek dan hanya sisa sobekan yang menutupi tubuhnya, rambutnya berantakan, dan ada garis cahaya yang merupakan air matanya di permukaan pipinya. Namun matanya belum kehilangan sinarnya. Deraan yang kuat itu tidak mematahkan jiwanya yang teguh.

- Semuanya akan segera beres. Tunggulah sebentar lagi.

Aku berbisik dalam pikiranku, menatap ke dalam mata berwarna hazel Asuna. Dengan gerakan kecil, ia mengangguk.

Api kemarahan baru muncul dalam diriku ketika aku melihat sosok Asuna yang tertekan. Aku melirik ke atas dan berkata:

“System Command. Object ID «Excalibur» Generate.”

Udara di depanku mulai terdistorsi saat aku mengatakannya. Angka-angka berskala kecil mengalir deras membentuk sebuah pedang. Warna dan tekstur muncul dari ujung lalu turun. Dengan bilah pedang yang memancarkan sinar keemasan, itu adalah pedang panjang yang diukir dengan hiasan yang indah. Tidak diragukan lagi itu adalah senjata yang sama yang disegel di ujung penjara bawah tanah di Jötunheimr. Pedang terkuat yang merupakan impian banyak pemain, dan itu muncul hanya dengan satu perintah, bukan suatu perasaan yang menyenangkan.

Aku memegang hulu pedang itu dan melemparnya kepada Sugou yang terbelalak. Setelah melihatnya menangkap pedang itu dengan gerakan yang berbahaya aku dengan lembut mengangkat kaki kiriku.

Pedangku terbang ke dalam kegelapan dari tempat dimana ia terguling sebelumnya saat aku menginjaknya di bagian hulu pedangnya. Berputar di udara, pedangnya jatuh ke arah tangan kananku dengan kilatan dari besinya yang kebiruan. Dengan suara berat, pedang itu jatuh ke dalam tanganku.

Saat aku mengarahkan pedang besar besi hitam yang berat pada Sugou, aku berkata:

Sword Art Online 4 - 238.jpg

“Waktunya menyelesaikan ini. Raja yang mencuri dan pahlawan palsu… System Command. Pain Absorption ke level 0.”

“Ap… Apa…?”

Mendengar petintah untuk menaikkan nyeri virtual tanpa batasan, warna terkuras dari pipi si Raja Peri yang memegang pedang emas. Dia mundur satu langkah, dua langkah.

“Jangan coba untuk kabur. Orang itu tidak punya keraguan sama sekali dalam situasi apapun. Kayaba Akihiko itu.”

“Ka… Kaya…”

Mendengar nama itu, wajah Sugou berubah drastis.

“Kayaba… Heathcliff… jadi kau… Kau menghalangi jalanku lagi!!”

Melambaikan pedang di tangan kanannya tinggi di atas kepalanya, dia berteriak dengan suara yang seakan dapat membelah logam.

“Kau mati! Kau sudah mati! Kenapa kau harus menggangguku bahkan dalam kematian!! Kau selalu begini… selalu selalu!! Selalu membuat wajah yang seperti kau mengerti segalanya… merebut semua hal yang aku inginkan diujung!!”

Sugou berteriak, mendadak mendorong pedangnya ke arahku sebelum melanjutkan.

“Seorang bocah sepertimu… apa yang kau mengerti!! Seperti apa rasanya berada di bawahnya… apa arti bersaing dengannya. Bagaimana mungkin kau mengerti seperti apa rasanya!?”

“Aku mengerti. Aku menjadi bawahannya setelah dikalahkan olehnya juga. —Tapi aku tidak pernah berpikir untuk menjadi seperti dia. Tidak seperti kau.”

“Bocah… bocah ini… BOCAH INI!!!”

Sugou bertolak dari lantai dan dengan berteriak mengayunkan pedangnya. Segera ketika tubuhnya memperlihatkan celah, aku mengayunkan ke bawah pedang di tangan kananku. Ujung pedangku menggores pipi mulus si Raja Peri.

“Aaah!!”

Sugou berteriak sambil menutupi pipinya dengan tangan kirinya dan melompat mundur.

“SAKIIIT!!!”

Teriakan dari sosok dengan mata terbelalak itu hanya membuat aku lebih marah. Pikiran bahwa Asuna berada dalam tahanan lelaki ini selama dua bulan sangat tak tertahankan. Mengambil langkah besar ke depan, aku mengayunkan pedangku. Sugou secara refleks mengangkat tangan kanannya untuk menghalanginya dan pedangku menebas pergelangan tangannya. Tangan dan pedang emas yang dipegangnya menghilang ke dalam kegelapan. Suara pedang itu jatuh di tempat yang jauh bergema dengan jelas.

“AAAAAAaaah!! Tangan... Tanganku!!”

Meskipun hanya sinyal psedo-elektrik, itulah sebabnya Sugou merasakan nyeri yang nyata. Tentu saja, itu tidak cukup. Tidak mungkin cukup.

Aku mengayunkan pedangku dengan tenagaku ke arah jubah hijau yang membungkus dada Sugou sementara dia memegangi tempat dimana tangannya hilang dan mengerang.

“Guboaaaa!!”

Perut dari tubuh yang tinggi dan tampan itu terpotong dua bagian, terguling ke lantai dengan suara yang berisik. Tubuh bagian bawahnya segera ditelan oleh kobaran api putih dan jatuh setelah hangus terbakar.

Menjenggut rambut Sugou yang panjang dan bergelombang dalam tangan kiriku, aku mengangkatnya. Dia terus berteriak dengan teriakan yang membuat ngilu dengan suara yang keluar dari mulut yang gemetar yang terus menerus membuka dan menutup, sementara air mata keluar dari mata yang terbuka lebar sampai ke batasnya.

Sosoknya hanya bisa menimbulkan rasa jijik dalam diriku. Aku mengayunkan tangan kiriku, melempar paruhan atas tubuhnya.

Memegang pedang besarku dengan kedua tangan, aku mengambil kuda-kuda di atasnya. Menyaksikan pedangnya turun, dia mengeluarkan teriakan keras.

“…Uoooo!!”

Aku mengayunkan turun pedangku menggunakan seluruh tenagaku. Dengan suara ‘gatsutsu’ yang berisik, bilah pedangnya menembus mata kanan Sugou dan keluar dari belakang kepalanya.

“Gyaaaaaaaaa!”

Teriakan yang memuakkan itu bergema dalam kegelapan seperti beribu roda gigi berputar melawan arah dengan satu sama lain. Mata kanannya terbagi dua di sisi kiri dan kanan pedangku. Kobaran api putih, dalam sekejap menyebar dari kepala ke tubuh bagian atasnya.

Dia berubah menjadi seperti hantu dan terus menghilang, dan untuk beberapa detik sebelum benar-benar hilang Sugou terus menjerit tanpa henti. Teriakannya perlahan menghilang, dan tidak lama kemudian, sosoknya menghilang. Keheningan kembali ke dunia, dan aku melambaikan pedangku, menguraikan bara api putih itu.

Dengan ayunan lembut pedangku, kedua rantai yang mengikat Asuna hancur dan menghilang. Aku melepaskan pedangku, tugasku sudah selesai. Aku menahan Asuna saat ia terjatuh ke tanah, tubuhnya telah lemas.

Energi yang menopang tubuhku juga habis dan aku tergelincir pada satu lutut di atas lantai. Aku menatap Asuna dalam kedua tanganku.

“…Ugh…”

Semburan perasaan tidak berdaya berubah bentuk dan mulai mengalir dari mataku dalam bentuk air mata. Dengan erat memeluk tubuh Asuna, wajahku terkubur diantara rambutnya, aku menangis. Aku tidak bisa mengatakan apapun, aku hanya terus menangis.

“— Aku percaya.”

Suara jelas Asuna menggetarkan telingaku.

“…Ya. Aku yakin… sampai sekarang, mulai saat ini dan seterusnya. Kamu adalah pahlawanku… Kau akan selalu datang menolongku…”

Tangan-tangan yang lembut mengusap rambutku.

- Sebenarnya bukan begitu. Aku… aku sebenarnya tidak punya kekuatan…

Akan tetapi, aku mengambil napas dalam, dan berkata dengan suara yang gemetar.

“… Aku akan berusaha keras untuk menjadi seperti itu. sekarang, ayo pulang…”

Melambaikan tangan kiriku, sebuah jendela system yang rumit muncul yang memang berbeda dengan jendela yang biasanya. Aku menggunakan intuisiku menyelami jendela yang berisi menu bertingkat-tingkat, berhenti ketika jariku mendarat pada menu yang berhubungan dengan transfer.

Menatap ke dalam mata Asuna, aku berkata:

“Di dunia nyata sekarang mungkin sudah malam. Tapi aku akan langsung pergi ke ruanganmu di rumah sakit.”

“Iya. Akan kutunggu. Akan sangat menyenangkan untuk bertemu dengan Kirito-kun dulu.”

Asuna tersenyum cerah. Dia memandang ke suatu tempat yang jauh, dengan mata yang sejernih Kristal, dan berbisik:

“Ah… akhirnya, selesai sudah. Aku akan kembali… ke dunia itu.”

“Benar. …Banyak hal yang berubah, kau akan terkejut.”

“Fufu. Aku pergi ke banyak tempat dan melakukan banyak hal.”

“Iya. – Pasti.”

Aku mengangguk, memeluk erat Asuna lalu menggerakkan tangan kananku. Aku menyetuh tombol log out, dengan ujung jariku bersinar biru menunggu sebuah sasaran, aku dengan lembut menyapu air mata yang mengalir di pipi Asuna.

Lalu, cahaya biru menyelimuti tubuh Asuna yang putih. Sedikit demi sedikit Asuna menjadi lebih transparan seperti Kristal. Partikel cahaya muncul dari jari-jarinya, menari di udara sebelum menghilang.

Sampai Asuna benar-benar hilang, aku terus memeluknya erat. Akhirnya, beban di tanganku lenyap dan aku tertinggal sendirian dalam kegelapan.

Untuk sementara aku tetap merunduk.

Sebagai tambahan pada perasaan bahwa semuanya sudah selesai, muncul juga perasaan bahwa sudah terjadi kemajuan yang besar. Dan insiden ini disebabkan oleh angan-angan Kayaba dan ambisi Sugou – apa ini yang disebut sebuah akhir? Atau ini hanya titik penentuan lain?

Aku memaksa diriku untuk berdiri dengan tubuh yang kehabisan tenaga. Aku melihat ke atas ke dalam kegelapan yang merentang sampai ke kedalaman dunia, dan berbisik sendirian.

“Anda ada disini, bukan, Heathcliff.”

Setelah hening sejenak sebuah suara yang using berbunyi dalam pikiranku, suara yang sama dengan yang sebelumnya.

『Lama tidak berjumpa, Kirito-kun. Walau buatku kejadian hari itu terasa seperti kemarin.』

Kali ini rasanya berbeda, suara itu seperti berasal dari tempat yang sangat jauh.

“—Apa Anda masih hidup?”

Dengan pertanyaan singkat itu, aku mendengar jawabannya setelah kesunyian yang sekejap.

『Bisa dikatakan iya, bisa dikatakan tidak. Di satu sisi, saya adalah sebuah gema dari kesadaran Kayaba Akihiko, sebuah afterimage[26] .』

“Seperti biasa, Anda adalah orang yang berkata dengan cara yang membingungkan. Saya berterima kasih saja sekarang – bagaimanapun, akan lebih baik jika saja Anda muncul dan menolong kami lebih awal.”

『……』

Aku merasa dia mengeluarkan senyuman pahit.

『Sayang sekali, saya minta maaf. Waktu saat system pengawetan terpisah terhubung dan membangunkan programku baru mulai barusan – setelah saya mendengar suaramu. Kau tidak perlu berterima kasih.』

“…Kenapa?”

『Kau dan aku tidak cukup akrab untuk menerima pertolongan gratis. Saya harus mendapat kompensasi, tentunya.』

Sekarang giliranku yang tersenyum kecut.

“Kalau begitu, beri tahu saya apa yang harus dilakukan.”

Lalu, dari kegelapan di kejauhan, semacam objek berwarna silver yang berkilauan jatuh. Aku mengulurkan tangan dan benda itu mendarat dalam tanganku dengan suara yang kecil. Itu adalah kristal kecil berbentuk telur. Dari dalam kristal sebuah cahaya yang redup berkedip-kedip.

“Ini apa?”

『Itu adalah world seed.』

“- apa?”

『Ketika ia bertunas, kau akan mengerti. Saya akan mempercayakanmu dengan keputusan apa yang harus dilakukan pada benda itu setelahnya. Kau hapus tidak apa-apa, kau lupakan juga tidak apa-apa… akan tetapi, kalau kau punya perasaan lain selain rasa benci terhadap dunia itu…』

Suaranya terputus disitu. Diikuti oleh keheningan sejenak, hanya kata-kata perpisahan singkat yang turun.

『Kalau begitu, saya akan pergi sekarang. Semoga kita dapat bertemu lagi suatu hari nanti, Kirito-kun.』

Lalu tiba-tiba hawa kehadiran orang itu hilang.

Aku memutar kepalaku, menjatuhkan telur yang berkilauan itu ke dalam saku di dadaku untuk sementara ini. Hanyut dalam pikiran sebentar, aku mengangkat wajahku.

“- Yui, apa kau ada disini? Apa kau baik-baik saja?!”

Segera setelah aku berteriak, dunia kegelapan itu terbelah dan terbuka mengikuti sebuah garis lurus.

Cahaya jingga segera bersinar masuk, memotong tirai hitam. Anginnya masuk bersamaan dan menyapu kegelapan. Begitu cantik dan menyilaukan sampai aku harus menutup mata untuk sementara waktu. Aku membuka mataku dengan hati-hati dan menemukan diriku telah kembali berada dalam sangkar.

Di depanku, matahari terbenam yang besar memancarkan sinar terakhirnya sebelum turun ke bawah horizon. Tidak ada sosok manusia, hanya suara angin.

“-Yui?”

Aku memanggilnya sekali lagi, cahaya memadat di depan mataku, dan seorang gadis pixie berambut hitam muncul dengan bunyi letupan kecil.

“Papa!”

Dengan teriakan yang bergema Yui melonpat ke dadaku, memeluk leherku erat-erat.

“Kau baik-baik saja. – Syukurlah…”

“Iya… waktu sepertinya alamatku akan diblokir tiba-tiba, aku mundur ke memori local NerveGear. Aku berhasil tersambung lagi, tapi baik Mama dan Papa tidak ada… aku cemas sekali. – Apa yang terjadi pada Mama?”

“Ah, dia sudah kembali… ke dunia nyata.”

“Begitu… itu benar-benar… bagus…”

Yui menutup matanya dan menyandarkan pipinya di dadaku. Aku samar-samar merasakan bayangan kesepian darinya dan dengan lembut mengusap rambutnya.

“- Secepatnya, kami akan datang menemuimu lagi. Tapi… apa yang akan terjadi, dunia ini…”

Setelah gumamanku, Yui tersenyum lebar dan berkata.

“Program intiku bukan bagian dari tempat ini tapi tersimpan dalam NERvGear Papa. Kita akan selalu bersama. – Oh, tapi ada yang aneh…”

“Ada apa?”

“Sebuah data yang agak besar sudah ditranfer ke dalam penyimpanan memori NERvGear Papa… meskipun sepertinya tidak aktif…”

“Hmmm…”

Aku memiringkan kepalaku, tapi mengenyampingkan pertanyaannya dulu. Sebetulnya, ada yang harus aku lakukan terlebih dahulu.

“- Well, aku akan pergi. Menemui Mama mu,”

“Iya. Papa – aku mencintaimu.”

Meneteskan air mata kecil, aku memeluk Yui kuat-kuat sambil mengusap-usap kepalanya dan melambaikan tangan kananku.

Sesaat sebelum aku menekan tombolnya, aku berhenti dan melihat dunia yang diwarnai oleh warna matahari sore. Dunia ini yang diperintah oleh seorang raja palsu, apa yang akan terjadi pada dunia ini setelah dia tidak ada? Hatiku sakit ketika aku memikirkan Lyfa dan pemain lain yang sangat mencintai dunia ini.

Aku dengan lembut mencium pipi Yui dan menekan tombolnya. Cahaya melingkar menyebar dalam penglihatanku, cahaya itu menyelimuti kesadaranku dan membawaku naik lebih tinggi.

Aku merasa sangat lelah ketika aku membuka mata. Di depan mataku wajah Suguha terlihat dengan ekspresi yang cemas. Ketika mata kami bertemu ia segera berdiri.

“M, maaf karena memasuki kamarmu tanpa permisi. Karena onii-chan lama tidak kembali, aku jadi khawatir…”

Kata Suguha, dengan pipi yang agak merona sambil duduk di tepi tempat tidurku. Setelah sedikit time lag [27] anggota gerakku terasa ‘tersambung’ kembali dan aku mendorong tubuh bagian atasku bangun dengan paksa.

“Maaf aku terlambat.”

“…apa semuanya sidah berakhir?”

“-Iya… Selesai… Semuanya…”

Untuk sesaat aku menatap langit-langit sebelum menjawab. Berada dalam situasi berbahaya di dunia virtual dan tertangkap, tapi kali ini terkurung tanpa mampu menyelesaikannya, bukan sesuatu yang dapat aku ceritakan pada Suguha. Suatu saat mungkin aku akan menceritakan semuanya padanya, tapi sekarang aku tidak ingin membuatnya bertambah khawatir. Adikku satu-satunya ini yang sudah menyelamatkanku berkali-kali.

Larut malam itu di dalam hutan, aku bertemu anak perempuan berambut hijau, dan petualangan baruku dimulai – selama perjalanan yang panjang, dia selalu bersamaku. Dia menunjukkanku jalan, mengajarkanku tentang sekelilingku dan melindungiku dengan pedangnya. Jika dia tidak mengenalkanku pada kedua penguasan dan berteman dengan mereka, aku pasti tidak akan bisa menerobos dinding ksatria penjaga itu.

Kalau diingat kembali, aku menerima bantuan dari banyak orang. Tapi tentu saja, bantuan paling besar datang dari gadis perempuan di depanku ini. Ketika aku Kirito dan dia adalah Lyfa, dan ketika aku Kazuto dan dia adalah Suguha, dia menolongku dan mendukungku, tapi pada saat yang sama pundaknya yang kecil menanggung kesedihan yang mendalam.

Sekali lagi aku menatap wajah Suguha, wajahnya memiliki baik keaktivan seorang anak laki-laki yang mempesona maupun tunas baru pubertas. Aku mengulurkan tanganku dan dengan lembut menepuk kepalanya, Suguha tersenyum kecil malu-malu.

“Aku sungguh berterima kasih banyak, Sugu. Kalau kau tidak ada disini, aku tidak akan bisa berbuat apa-apa.”

Wajah Suguha menjadi bertambah merah dan dia menundukan kepalanya. Dia ragu beberapa saat, lalu membuat keputusan dan menyandarkan pipinya ke dadaku.

“Iya… aku senang. Di dunia Onii-chan, aku bisa menolong onii-chan.”

Bisik Suguha sambil matanya terpejam. Dengan tangan kananku, aku dengan lembut memeluknya punggungnya dan memberinya pelukan erat yang singkat.

Setelah aku melepasnya, Suguha menatapku dan berkata.

“Lalu… kau mendapatkannya kembali, ‘kan? Orang itu – Asuna-san…”

“Iya. Akhirnya – akhirnya dia kembali… Sugu, aku…”

“Iya. Pergilah, dia juga pasti menunggu Onii-chan.”

“Maaf, aku akan menceritakan semuanya saat aku kembali.”

Aku menepuk kepala Suguha dan berdiri.

Aku berganti baju dalam waktu yang bisa memenangkan rekor, tapi berhenti sebentar di beranda memakai jaket. Diluar sudah benar-benar gelap. Jarum pada jam dinding antik yang menggantung di ruang tamu menunjukkan waktu sedikit kurang dari jam 9 malam. Jam besuk sudah lama selesai, tapi situasi ya situasi. Kalau aku menceritakan keadaannya di nurse station[28] , aku mungkin bisa masuk.

Suguha segera berlari kepadaku, ‘aku buatkan ini’, dan memberiku sebuah sandwich tebal. Aku menerimanya dengan penuh syukur dan menggigitnya, lalu membuka pintu dan berjalan menuju halaman.

“Di, dingin…”

Aku merundukkan kepalaku ketika aku menyadari udara dinginnya menembus jaketku. Suguha menengadah ke langit malam yang gelap dan berkata.

“Ah… salju.”

“Oh…”

Benar, ada dua atau tiga serpihan salju yang terbang turun. Aku sempat ragu sebentar apakah harus memanggil taksi. Kalau aku melakukannya, aku harus menunggu lalu berjalan ke jalan utama untuk menemukannya, jadi akan lebih cepat kalau aku menggunakan sepedaku saja.

“Hati-hati… sampaikan salam pada Asuna dariku.”

“Ya. Lain kali, aku akan memperkenalkanmu dengan benar.”

Aku melambaikan tangan pada Suguha dan duduk di atas sepeda gunungku, lalu mulai mengayuh.

Aku membiarkan sepedaku melaju dalam kecepatan tinggi, dan kecepatan yang gila meniup pikiranku keluar dari kepalaku sementara aku melaju melalui Saitama selatan. Salju perlahan-lahan turun semakin banyak tapi tidak menumpuk, dan jalanan yang lengang sangat membantu.

Aku ingin sampai pada Asuna di rumah sakit secepat mungkin – tapi pada saat yang sama aku juga merasa takut terhadap apa yang mungkin aku temukan. Selama dua bulan belakangan, aku sudah mendatangi kamar itu begitu sering, selalu merasakan kekecewaan. Berpikir apa ia akan menjadi patung dingin seperti itu, aku menggenggam tangannya sementara ia terpenjara dalam tidur. Aku terus memanggil namanya meskipun itu tidak pernah tersampaikan.

Seperti ini, sambil menuruni jalan, aku bahkan mengingat setiap jaraknya, menemukannya di dunia peri, mengalahkan sang raja palsu, dan membebaskannya dari rantai yang membelenggunya mungkin saja hanya khayalanku.

Jika aku mendatangi kamarnya di rumah sakit beberapa menit kemudian dan Asuna belum terbangun.

Jiwanya tidak lagi berada di ALfheim, tapi dia masih tidak kembali ke dunia nyata – lagi ia mungkin menghilang ke suatu tempat yang tak dikenal.

Bukan hanya salju yang menghantam wajahku dalam gelapnya malam yang menyebabkan udara yang sangat dingin menjalar di punggungku. Tidak, tidak mungkin ada yang seperti itu. system yang mengatur dunia yang bernama kenyataan tidak mungkin sebegitu kejamnya.

Sementara pikiranku yang kusut tumpang tindih aku terus mengayuh sepeda. Aku berbelok ke kanan di jalan raya menuju jalan yang menanjak. Roda sepeda gunungku berperan menjadi sekop dan bertolak ke salju tipis di atas aspal, mempercepat laju sepedaku.

Tidak lama kemudian, bayangan sebuah bangunan besar muncul di depanku. Sebagian besar lampunya sudah padam, tapi cahaya biru berkelebat dari helipad di atap yang seperti will-o-the-wips[29] mencoba untuk menarik korbannya ke kastil kegelapan.

Sebuah pagar besi tinggi muncul setelah aku mendaki jalan berbukit. Aku mengayuh sepanjang pagar itu selama puluhan detik selanjutnya. Aku akhirnya mencapai gerbang depan, dilindungi oleh tonggak gerbang yang tinggi.

Karena tempat ini merupakan fasilitas medis yang sangat terspesialisasi, tempat ini tidak menerima kasus gawat darurat. Gerbangnya sudah tertutup rapat dan di pos penjaganya sudah tidak ada orang. Aku mengayuh melewati pintu masuk tempat parkir utama dan masuk ke pintu masuk khusus staff yang kecil.

Aku memarkirkan sepedaku diujung lapangan parkir. Terlalu mengesalkan untuk menguncinya dulu jadi aku langsung lari saja. Dalam cahaya orange yang dipendarkan oleh lampu sorot natrium aku bisa melihat bahwa lapangan parkir benar-benar kosong. Keheningannya hanya dipecahkan oleh salju yang turun dari langit, mewarnai dunia menjadi putih. Aku terus berlari sambil mengeluarkan kepulan uap dengan napasku yang kasar.

Separuh jalan di lapangan parkir yang luas, saat aku akan melewati antara sebuah mobil van tinggi yang berwarna gelap dan sebuah sedan putih, pada saat itu.

Aku hampir bertabrakan dengan sosok seseorang berlari dari belakang mobil van.

“Ah…”

‘Maaf,’ adalah apa yang hendak aku katakan sambil mencoba menghindar, sesuatu melintasi penglihatanku –

Flash – sebuah kilatan logam yang jelas mengiris ke arahku.

“—!?”

Segera setelahnya, panas merekah dari lengan kananku, tepat di bawah siku. Pada saat yang sama, banyak warna putih beterbangan. Itu bukan serpihan salju. Warna putih itu adalah bulu-bulu halus warna putih. Insulasi jaket musim dinginku.

Aku mundur dengan oleng, entah bagaimana menabrak bagian belakang sedan putih dan berhasil berhenti.

Aku tidak dapat memahami situasi saat ini. Sambil masih terkejut, aku melihat ke arah bayangan hitam yang berjarak sekitar dua meter dariku. Bayangan itu adalah seorang lelaki. Dia memakai setelan yang hampir hitam. Dia memegang sesuatu yang panjang, tipis, dan putih dalam tangan kanannya. Benda itu bersinar redup di bawah cahaya lampu sorot.

Sebuah pisau. Pisau survival yang besar. Tapi, kenapa.

Wajahku membeku saat aku merasakan tatapan lelaki yang berada dibalik bayangan van itu. dia menggerakkan bibirnya, tetapi yang keluar adalah bisikan yang parau.

“Kau terlambat, Kirito-kun. Apa jadinya kalau aku sampai masuk angin?”

Suara itu. suara yang bernada tinggi dan lengket.

“Su… Sugou…”

Aku terkesiap, pada saat aku menyebut namanya, lelaki itu mengambil satu langkah ke depan. Lampu-lampu natrium menerangi wajahnya.

Dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu, rambutnya yang disisir rapi sudah jadi berantakan dan ada janggut yang berusia beberapa hari menutupi rahangnya yang tajam. Dasinya hampir lepas dan menggantung kendur di lehernya.

Dan juga – mata-mata yang aneh mengintaiku dari balik kacamata berbinkai logam. Alasannya langsung terlihat. Meskipun matanya terbuka selebar mungkin, mata kirinya sudah berdilatasi menyesuaikan diri dengan kegelapan malam hari sementara mata kanannya kecil dan berkontraksi. Di World Tree itu adalah bagian yang ditusuk oleh pedangku.

“Kau melakukan hal yang kejam, Kirito-kun.”

Kata Sugou dengan suara yang serak.

“Rasa sakitnya belum hilang. Yah, ada berbagai macam obat yang bagus, jadi tidak masalah.”

Tangan kananny merogoh ke dalam saku setelannya, mengambil beberapa kapsul dan melemparnya ke dalam mulutnya. Dengan suara ‘kacha kacha’ dia mulai mengunyah dan Sugou mengambil satu langkah lagi mendekatiku. Akhirnya berhasil keluar dari kekagetanku, aku mampu menggerakkan bibirku yang kering.

“- Sugou, kau sudah tamat. Kau sudah terlalu jauh untuk menutupi kejahatanmu. Terima saja hukumanmu dengan patuh.”

“Tamat? Apa? Tidak ada yang berakhir. Yah, Recto sedang tidak stabil sekarang. Aku akan pergi ke Amerika. Ada banyak perusahaan yang menginginkan keahlianku. Aku sudah mengumpulkan banyak data. Jika aku menggunakannya untuk menuntaskan studiku, aku akan menjadi raja sebenarnya – Tuhan yang sebenarnya – Tuhan dunia nyata ini.”

- Dia tidak waras. Bukan, mungkin dia sudah rusak dalam waktu yang lama.

“Sebelum itu, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Pertama, aku akan membunuhmu, Kirito-kun.”

Setelah dia selesai bicara dengan suara yang tertahan dengan ekspresi yang tidak berubah, Sugou dengan cepat mendekatiku, pisau di tangan kanannya dengan santai bergerak ke arah mataku.

“…!!”

Aku bertolak dari aspal dengan kaki kananku, mencoba menghindarinya. Akan tetapi, karena salju di bawah sepatuku, aku terpeleset dan kehilangan keseimbangan, jatuh di lapangan parkir. Aku terjatuh dengan sisi kiriku menghantam tanah, memaksa udara keluar dari tubuhku.

Sugou melihat padaku dengan pupil yang sepertinya tidak bisa fokus.

“Hei, berdiri.”

Setelah itu, dia menendangku di paha dengan ujung sepatu mahalnya. Dua kali. Tiga kali. Rasa sakit yang panas menjalari tulang belakangku, bergema di belakang kepalaku. Rasa sakitnya juga bergema ke lengan kananku menciptakan nyeri yang tajam. Aku akhirnya menyadari ternyata ada luka sobekan tidak hanya pada jaketku tetapi juga pada lenganku.

Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa bersuara. Pisau survival yang sedang dipegang Sugou – bilah pisau yang panjangnya lebih dari 20 cm, tekanan berat dari alat pembunuh itu, membuatku membeku.

Membunuh – Aku – dengan pisau itu?

Pikiranku yang terpecah mengalir dan hilang. Bilah pisau itu, menusuk tubuhku tanpa suara, dengan mematikan – sebagai kata-kata menjelma mengambil nyawaku dengan luka yang fatal, aku membayangkan saat yang sekejap itu lagi dan lagi. Selain hal itu, tak ada yang bisa kulakukan.

Nyeri di tangan kananku menjadi rasa panas yang tumpul. Beberapa tetes cairan gelap menetes dari celah antara kerah tangan jaketku dan sarung tanganku. Aku mulai membayangkan darah mengalir dari tubuhku tanpa henti. Gambaran «kematian» yang jelas dan nyata yang bukan nilai numeric dalam bentuk HP bar.

“Hoi, berdiri. Cepat berdiri.”

Sugou seperti mesin menendang dan menginjak kaki ku terus menerus.

“Kau, apa yang kau bilang padaku disana. Jangan kabur? Jangan ragu? Ayo selesaikan ini? Kau mengatakannya dengan sombong.”

Aku mendengarnya berbisik, suara Sugou dipenuhi oleh kegilaan yang sama dengan suara yang kudengar dalam kegelapan di seberang sana.

“Kau ‘ngerti sekarang? Seorang bocah sepertimu yang tidak punya kemampuan selain main game, dan tidak punya kekuatan yang sesungguhnya sama sekali. Itulah yang disebut sampah rendahan. Walau begitu, kau menggagalkan aku, aku yang hebat ini… sudah sewajarnya, hukuman untuk dosamu adalah kematian. Tidak ada yang lebih cocok selain kematian.”

Setelah bicara dalam nada yang tidak berubah, Sugou menjejakkan kaki kirinya di atas perutku, dan merubah pusat gravitasinya. Dari tekanan fisik dan tekanan mental yang diberikannya saat dia mengeluarkan kegilaannya, aku tak bisa bernapas.

Aku menatap wajah Sugou selama dia mendekat, mengambil napas yang dangkal dan tidak teratur. Sambil membungkuk, Sugou memegang pisau itu dalam tangan kanannya dan mengangkatnya tinggi di atas kepalanya.

Tanpa berkedip, dia mengayunkannya ke bawah.

“—gh”

Suara yang kaku keluar dari balik tenggorokanku – Bersamaan dengan suara logam yang redup, ujung pisaunya menggores pipiku dan menghujam ke aspal pada waktu yang sama.

“Ah… mata kananku agak buram, bidikanku jadi melenceng.”

Sugou bergumam sambil mengangkat pisau kembali tinggi-tinggi.

Tepian pisaunya berkilatan dalam cahaya lampu natrium, dan menggambar garis berwarna jingga dalam kegelapan.

Mungkin karena ia menusuk aspal, ujung pisaunya sedikit pecah. Rusaknya itu memberikan kesan lebih nyata pada pisaunya sebagai sebuah senjata. Daripada sebuah senjata yang terbuat dari polygon, ia terbuat dari molekul logam yang dipadatkan, berat dan dingin, dan bilah pedang yang benar mematikan.

Semuanya terlihat melambat. Salju yang turun dari langit. Uap yang keluar dari mulut Sugou. Pisau yang turun ke arahku. Kerlipan cahaya berwarna jingga yang terpantul pada gerigi yang diukir pada pisau.

Itu mengingatkanku, dulu pernah ada senjata bergerigi seperti itu…

Sebuah potongan memori yang tidak berarti mengalir ke permukaan dari pikiranku yang sudah berhenti.

Apakah itu? Senjata itu sejenis item pisau belati yang dijual di level pertengahan di Aincrad. Seingatku, senjata itu disebut «Sword Breaker». Kalau kalian menangkis senjata lawan dengan bagian yang seperti gergaji, ada sedikit bonus untuk meningkatkan kesempatan untuk merusak senjata mereka. karena sepertinya menarik, aku menaruh skill tersebut dalam skill slot dan menggunakannya untuk beberapa waktu, tapi tidak puas dengannya karena kemampuan ofensifnya yang rendah.

Senjata yang dipegang Sugou saat ini lebih kecil dari itu. ia bahkan tidak bisa disebut belati. Tidak – benda seperti itu bahkan tidak bisa disebut sebagai senjata. Benda itu adalah alat untuk pekerjaan sehari-hari. Bukan sesuatu yang seorang pendekar pedang akan gunakan untuk bertarung.

Di dalam telingaku, aku mendengar kata-kata Sugou dari beberapa detik yang lalu.

Kekuatan yang sebenarnya, tidak punya apapun yang seperti itu -.

Ya… benar. Bahkan tidak perlu dikatakan. Tapi memangnya kau siapa, mengatakan kau akan membunuhku, Sugou? Seorang ahli pengguna pisau? Ahli ilmu bela diri?

Aku melihat ke balik kacamata Sugou, matanya yang kecil seperti diwarnai warna darah. Kegirangan. Kegilaan. Tapi mata-mata itu juga mengandung sesuatu yang lain. Itu adalah mata seseorang yang mencoba untuk melarikan diri. Itu adalah mata seseorang yang jatuh ke dalam keputus-asaan dalam situasi mematikan, dikepung oleh gerombolan monster dalam penjara bawah tanah, mata orang yang mengayunkan pedangnya mati-matian, mencoba untuk menahan kenyataan.

Orang ini sama dengan aku yang dulu. Terus menerus mengejar kekuatan, tapi tidak bisa mendapatkannya, hanya maju dengan langkah yang jelek.

“…Mati, kau bocah sialan!!!!”

Teriakan Sugou menarik kesadaranku kembali dari dunia yang bergerak lambat.

Aku mengangkat tangan kiriku seperti magnet dan menangkap pergelangan tangan kanan Sugou saat dia mengayunkan pisaunya. Pada waktu yang sama, aku mengulurkan tangan kananku dan mendorongkan ibu jariku ke bagian cekung tenggorokannya di sebelah dasi yang longgar.

“Guu!!”

Dengan suara seperti dengkuran, Sugou melengkung ke belakang. Aku memutar tubuhku, memegang tangan kanan Sugou dengan kedua tanganku, dan membantingkan tangannya ke aspal yang membeku dengan segenap tenaga. Tangannya mengendur bersama teriakan, dan pisaunya menggelinding ke jalan.

Berteriak dengan suara yang melengking seperti peluit, Sugou melompat menuju arah pisau terjatuh. Aku melenturkan kaki kananku, kubiarkan kakiku terbang, sol sepatuku menghantam rahangnya. Aku mengambil pisaunya dan menggunakan gaya tolaknya untuk berdiri.

“Sugou…”

Dari tenggorokanku keluar suara yang parau sekali membuatku hampir tidak percaya bahwa itu adalah suaraku sendiri.

Melalui sarung tangan di tangan kananku, aku merasakan hawa kehadiran pisau yang keras dan dingin itu. benda itu merupakan senjata yang buruk. Terlalu ringan, jangkauannya pun sangat kecil.

“Tapi cukup untuk membunuhmu.”

Setelah berbisik seperti itu, aku berpaling pada Sugou yang menengadah melihatku dengan wajah kosong sambil duduk di atas jalanan di lapangan parkir yang dilapisi aspal, lalu dengan garang melompat ke arahnya.

Aku renggut rambut dan kepalanya dengan tangan kiriku dan menabrakkannya ke pintu mobil van. Dengan suara yang tumpul, bodi mobil yang terbuat dari alumunium itu penyok, dan kacamatanya terlepas.

Mulut Sugou ternganga lebar. Mengincar tenggorokannya, aku menggerakkan tangan kananku yang memegang pisau tanpa ragu -.

“Guu… Uuu…!”

Aku menghentikan tanganku disitu, menggeretakkan gigi.

“Iii! Hiii! Iiiii!”

Sugou membuat suara yang sama dengan suara yang dikeluarkannya di dunia itu sepuluh menit yang lalu, dengan teriakan bernada tinggi itu.

Sudah sewajarnya orang ini mati. Sudah sewajarnya dia dihukum. Semuanya akan selesai jika aku meneruskan tangan kananku. Ini adalah penyelesaiannya. Pemenang dan yang kalah akan dengan jelas ditentukan.

Akan tetapi -.

Aku sudah bukan pendekar pedang. Dunia itu yang segalanya ditentukan oleh kemampuan pedang seseorang sudah ditinggalkan di masa lalu.

“Hiiiii….”

Mendadak, mata Sugou berputar ke atas, memperlihatkan bagian putihnya. Teriakannya putus, dan tubuhnya kehilangan tenaga seperti mesin yang diputuskan dari listrik.

Tangan kiriku juga kehilangan tenaga. Tergelincir dari tanganku, pisau itu menggelinding ke atas perut Sugou.

Aku juga mengundurkan tangan kiriku dan berdiri.

Aku berpikir kalau aku harus melihat lelaki itu bahkan satu detik lebih lama, impuls untuk membunuh akan mendidih, dan aku tidak akan dapat menahannya lagi.

Aku menarik dasinya dan membalikkannya berbaring pada perutnya, dan mengikat kedua tangannya di balik punggungnya. Aku taruh pisauya di atas mobil van. Aku memutar tubuhku, dan kembali melanjutkan berjalan. Aku terhuyung-huyung, selangkah demi selangkah, menyeret kakiku sambil mulai berlari menyeberangi lapangan parkir.

Aku butuh lima menit untuk menaiki tangga lebar di depan pintu masuk. Aku berhenti dan mengambil napas dalam. Aku menunduk melihat badanku, yang akhirnya berhasil aku kendalikan.

Aku dalam keadaan yang buruk, kotor oleh salju dan pasir. Luka di pipi kiri dan lengan kananku sepertinya sudah berhenti berdarah, meski masih terasa sakit.

Aku berdiri di depan pintu otomatis. Namun, tidak ada tanda-tanda pintu tersebut akan membuka. Aku melihat menembus kaca, lobby utamanya berpenerangan redup, tetapi penerangan biasa dinyalakan di balik meja resepsionis. Aku melihat dari sisi ke sisi. Aku menemukan sebuah pintu ayun kecil di ujung kiri, dan untungnya, pintu itu terbuka saat aku mendorongnya.

Kesunyian mengisi gedung itu. aku menyeberangi barisan bangku yang teratur yang membaris di lobby yang luas.

Tidak ada orang di meja depan, tapi di dalam nursing station yang berdekatan, aku mendengar percakapan yang menyenangkan. Berdoa agar bendengar suara yang ramah, aku membuka mulutku.

“Um… Permisi!”

Beberapa detik setelah suaraku bergema, sebuah pintu terbuka dan dua orang perawat dengan seragam berwarna hijau muda keluar. Keduanya memperlihatkan ekspresi curiga yang berubah menjadi syok ketika mereka melihatku baik-baik.

“- Apa yang terjadi padamu!?”

Perawat muda yang tinggi dengan rambutnya ditumpuk di atas kepalanya berseru. Ternyata, perdarahan di wajahku sepertinya lebih banyak dari yang aku kira. Aku menunjuk ke arah pintu masuk dan berkata:

“Aku diserang oleh seorang lelaki dengan pisau di lapangan parkir. Aku meninggalkannya pingsan di balik sebuah sedan putih.”

Ketegangan menjalari wajah kedua wanita itu. perawat yang lebih tua menjalankan sebuah mesin di belakang counter, memegang mikrofon kecil dekat wajahnya.

“Security, tolong datang ke nurse station lantai 1, segera.”

Sepertinya ada petugas keamanan yang berpatroli di dekat sini, dan seorang lelaki dengan seragam warna biru segera muncul dengan suara langkahnya berlari. Ekspresi pria itu jadi serius setelah mendengar penjelasan perawat. Penjaga itu pergi ke pintu masuk sambil berbicara pada walkie-talkie. Perawat yang muda mengikutinya.

Setelah melihat luka di pipiku selama sekitar semenit, perawat yang tinggal berkata:

“Kamu, keluarganya Yuuki-san yang di lantai duabelas ‘kan? Apa lukamu hanya ini saja?”

Sepertinya ada sedikit kesalahpahaman, tapi aku mengangguk tanpa keinginan untuk mengoreksinya.

“Begitu. Saya akan panggilkan dokter, tunggulah disini.”

Dia berlari dengan suara ‘pitter patter’ segera setelah berkata demikian.

Aku mengambil napas dalam-dalam dan melihat ke sekeliling. Memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sekitarku, aku menyandar ke counter dan mengambil salah satu kartu pass untuk tamu dari dalamnya. Aku berputar ke arah yang berlawanan dengan arah perawat itu pergi, ke bagian rawat inap yang telah kulewati berkali-kali sebelumnya, dan memaksa kakiku untuk berlari.

Elevatornya berhenti di lantai 1. Saat aku menekan tombolnya, pintunya terbuka dengan bunyi lonceng yang pelan. Aku bersandar pada dinding dalamnya dan menekan tombol untuk ke lantai paling atas. Meskipun percepatannya lambat untuk elevator sebuah rumah sakit, lututku seperti hampir patah karena tambahan sedikit beban. Aku mati-matian mempertahankan tubuhku berdiri.

Setelah apa yang kurasakan sebagai beberapa detik yang panjang, elevatornya berhenti dan pintunya terbuka. Aku jatuh keluar elevator ke koridor didepannya.

Ruangan Asuna hanya beberapa puluh meter jauhnya, tapi jaraknya seperti tak berujung. Aku menyangga tubuhku, yang seperti akan jatuh, ke dinding dan bergerak maju. Setelah berbelok ke kiri pada koridor berbentuk huruf L, di depanku, aku melihat sebuah pintu putih.

Langkah demi langkah, aku berjalan.

Sama seperti waktu itu -.

Ketika aku kemabli ke dunia nyata dari akhir dunia virtual yang dikelilingi langit matahari terbenam, aku bangun di sebuah rumah sakit lain, berjuang untuk berjalan dengan kaki yang layu. Dalam pencarianku pada Asuna, tak ada yang bisa kulakukan selain berjalan. Koridor waktu itu, seperti tersambung ke tempat ini.

Aku akhirnya bisa bertemu dengannya. Waktunya sudah tiba.

Saat jarak yang tersisa semakin mengecil, bermacam perasaan tumbuh dengan cepat dalam hatiku. Pernapasanku menjadi cepat. Ujung penglihatanku berwarna putih. Meskipun begitu, aku tidak mengalah untuk jatuh disini. Aku berjalan. Dengan sepenuh hati, menaruh kakiku di depanku.

Tidak menyadari ada dimana aku sampai. Aku sampai di depan sebuah pintu, aku berhenti tepat sebelum menabraknya.

Dibaliknya, adalah Asuna—. Itu adalah satu-satunya yang aku pikirkan sampai titik itu.

Mengangkat tangan kananku yang gemetar, kartunya tergelincir dari tanganku karena keringat. Aku mengambil kartunya kembali dan memasukkannya ke celah di pelat besi di pintu kali ini. Menahan napas, dengan cepat aku menggesekkannya.

Warna lampu indikatornya berubah, dan pintunya terbuka dengan suara motor yang halus.

Dengan lembut, wangi bunga mengalir dari dalam.

Penerangan ruangannya telah digelapkan. Cahaya putih yang redup masuk melalui jendela, dipantulkan oleh salju di luar.

Bagian tengah ruangan ditutupi oleh tirai yang besar. Ada tempat tidur gel dibaliknya.

Aku tidak bisa bergerak. Tidak bisa melanjutkan. Aku tidak bisa bersuara.

Tiba-tiba, suara yang tidak terduga terdengar dalam telingaku.

‘Hei – dia menunggumu.’

Aku merasa seperti ada tangan lembut yang mendorong pundakku.

Yui? Suguha? Di tiga dunia, itu adalah suara orang yang menolongku. Aku mengambil selangkah maju dengan kaki kananku. Lalu selangkah lagi, dan selangkah lagi.

Aku berdiri di depan tirai, mengulurkan tanganku, dan mengambil tepinya.

Dan menariknya.

Dengan suara yang halus, seperti angin yang melintas di atas padang rumput yang luas, selubung putih itu bergoyang dan menyingkir.

“…Ah.”

Suara yang kecil keluar dari tenggorokanku.

Seorang gadis dalam baju pemeriksaan medis yang tipis yang mirip gaun putih salju, duduk di tempat tidur membelakangiku, melihat keluar jendela yang gelap di sisi seberang. Rambut panjangnya yang berkilauan melayang-layang dalam cahaya salju yang menari. Kedua tangannya beristirahat didepannya, memegang benda berkilau berwarna biru yang berbentuk seperti telur.

NERvGear. Mahkota duri yang mengikat gadis itu telah menyelesaikan tugasnya dan tidak bersuara.

“Asuna.”

Aku berbisik dalam suara yang hampir tidak berbunyi. Tubuh gadis itu berguncang hebat – menggerakkan udara yang dipenuhi aroma bunga, dan berputar.

Masih mencoba bangun dari tidur yang panjang, mata berwarna hazelnya dipenuhi kilauan saat dia menatap lurus padaku.

Berapa kali aku memimpikan hal ini terjadi? Berapa banyak aku berdoa agar hal ini terjadi?

Dari bibirnya yang berwarna lembut dan basah, muncul senyuman yang lembut.

“Kirito-kun.”

Ini adalah pertama kalinya aku mendengarnya, suara itu. suaranya sangat berbeda dengan yang kudengar setiap hari di dunia itu. meskipun begitu, menggetarkan udara, menggetarkan pendengaranku, suara itu yang mencapai kesadaranku, berkali-kali, ribuan bahkan jutaan kali lebih indah.

Asuna memindahkan tangan kirinya dari NERvGear dan mengulurkannya ke arahku. Itu saja membutuhkan tenaga yang membuatnya gemetar.

Seperti menyentuh patung salju, aku dengan lembut, lembut sekali mengambil tangan itu. tangannya begitu kecil dan kurus membuat hatiku sakit. Namun, tangannya hangat. Seakan mencoba untuk menyembuhkan setiap luka, kehangatannya mengalir dari sentuhan itu. tenaga tanap diduga meninggalkan kakiku, dan aku menjatuhkan diriku ke sisi tempat tidur.

Asuna mengulurkan tangan kanannya, dengan lembut menyentuh pipiku yang terluka, dia memiringkan kepalanya bertanya-tanya.

“Ah… pertarungan terakhir, yang paling akhir baru saja berakhir. Selesai…”

Sambil berkata demikian, dari kedua mataku, akhirnya mengalir air mata. Tetesannya membasahi pipiku, mengalir ke jari-jari Asuna, dan bercahaya dalam cahaya yang berasal dari jendela.

“…Maaf, aku belum bisa mendengar dengan baik. Tapi… aku mengerti, kata-kata Kirito-kun.”

Asuna mengusap pipiku dengan penuh perhatian dan berbisik. Jiwaku bergetar saat aku mendengar suara itu.

“Selesai sudah… akhirnya… akhirnya… Aku bisa bertemu denganmu.”

Air mata yang bersinar perak mengalir menuruni pipi Asuna. Matanya yang basah, menatap mataku seakan sedang menyampaikan perasaannya, dia berkata:

“Senang bertemu denganmu, Aku Yuuki Asuna. — Aku pulang, Kirito-kun.”

Aku menjawab, menghentikan tangisan yang keluar dari tenggorokanku.

“Aku Kirigaya Kazuto… Selamat datang, Asuna.”

Wajah kami saling mendekat dan bibir kami saling menyentuh. Dengan lembut. Lalu lagi. Dengan kuat.

Aku melingkarkan lenganku mengelilingi tubuhnya yang lemah dan memeluknya.

Jiwanya pergi berkelana. Dari satu dunia ke dunia lain. Dari kehidupan yang ini ke kehidupan selanjutnya.

Dan, kerinduan pada seseorang. Dengan kuat saling memanggil.

Dahulu kala, dalam sebuah kastil besar yang melayang di udara, seorang pemuda yang bermimpi menjadi pendekar pedang, bertemu seorang gadis yang pandai memasak, dan jatuh cinta. Walau mereka sudah tidak ada, hati mereka setelah perjalanan yang tak berujung, akhirnya bertemu kembali.

Saat aku mengusap-usap punggung Asuna sementara dia menangis, aku melihat ke jendela dengan mata yang penuh air mata. Dalam salju yang semakin lebat, aku merasa aku melihat dua bayangan bersebelahan.

Satu, dengan dua pedang di belakang punggungnya dan berpakaian dibalut mantel hitam panjang.

Yang lain, seorang gadis berpakaian dengan seragam ksatria merah dan putih, dengan pedang rapier menggantung di pinggangnya.

Mereka tersenyum, berpegangan tangan sambil berbalik dan perlahan bergerak menjauh.


Catatan Penerjemah dan Referensi[edit]

  1. Istilah gaming, biasanya direpresentasikan oleh HP Bar
  2. Istilah gaming, singkatan dari Strength = kekuatan
  3. Istilah gaming yang dipakai di MMORPG, spawn dapat diartikan sebagai ‘lahir’. Contoh penggunaan lain dapat dilihat di http://wiki.terrariaonline.com/NPC_spawning
  4. lihat ref 3
  5. Alat pengendali terbang bagi mereka yang belum dapat terbang dengan leluasa dalam game ALO
  6. Istilah dalam ALO. Efek yang muncul saat pemain atau mob mati dalam pertarungan
  7. Istilah gaming. Hukuman bagi pemain yang mati dalam permainan. Misalnya mati dalam pertarungan. biasanya berupa pengurangan experience point (EXP) dsb.
  8. Vitual = maya → http://id.wikipedia.org/wiki/Realitas_maya
  9. Dome=kubah=ruangan melengkung, as in Tokyo Dome
  10. Stun= efek paralisis, lumpuh
  11. Pakaian untuk melindungi tubuh dari serangan
  12. Hewan mitologi yang disebutkan dalam bible? Lengkapnya dapat dilihat disini http://en.wikipedia.org/wiki/Behemoth
  13. Pasukan yang menunggang binatang, biasanya kuda
  14. Istilah gaming. Singkatan dari Game Master → http://en.wikipedia.org/wiki/Gamemaster
  15. Semacam perhiasan yang biasanya terbuat dari emas dan perak. → http://en.wikipedia.org/wiki/Filigree
  16. Napas api.
  17. Badai Fenrir. → http://id.wikipedia.org/wiki/Fenrir
  18. Meruncing seperti bagian depan misil
  19. Tulisan atau ukiran pada potongan logam, bisa berisi peta atau pesan.
  20. Istilah gaming. Sejenis event kecil disamping garis besar cerita yang mendasari game
  21. Pohon Dunia
  22. Istilah gaming. Singkatan dari Player Killer = orang yang dalam game membunuh avatar orang lain.
  23. Honorific. Seperti –san, -kun, -dono, -sama dan lain-lain.
  24. Melihat dengan tatapan marah.
  25. Kesalahan pada desain software atau hardware computer → http://id.wikipedia.org/wiki/Kutu_perangkat_lunak
  26. http://en.wikipedia.org/wiki/Afterimage
  27. Kegagalan untuk merespon dengan cepat → http://en.wikipedia.org/wiki/Lag
  28. Tempat perawat jaga atau perawat yang bertugas saat itu berkumpul dalam ruangan. Biasanya bersatu dengan ruangan perawat.
  29. Cahaya yang muncul di malam hari seperti lentera yang membuat orang-orang yang mengembara tersesat dari jalan yang benar. Sejenis hantu, atau cahaya yang dipakai hantu untuk menyesatkan orang. → http://en.wikipedia.org/wiki/Will-o%27-the-wisp